TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for November 2015
Ada beberapa pembaca blog saya yang mungkin akan bete jika membaca tulisan saya yang satu ini. Sepotong surat untuk seseorang yang masih Tuhan sembunyikan. Pada saat saya menulis ini, menulis surat memang sedang tren sekali. Tapi tetep boleh ya saya melanjutkan menulisnya, anggap saja ini bagian dari sisi melankolis seorang single women yang selama ini selalu keliatan sanguinis :)

Dear kamu,

Aku ingin kamu mengetahui impian bersama mu, nanti. Sebab jauh sebelum kita bersama, aku senang sekali bermimpi. Aku bermimpi untuk bisa menikah dengan lelaki yang sederhana dan apa adanya. Lelaki yang santun dan tidak begitu mementingkan gengsi. Dia yang memiliki rupa membuat hati tentram tidak perlu seperti arti tentunya,dia yang amarahnya mampu menyadarkan tanpa menyakiti hati, bukan yang membuat luka dan rasa perih di sana. 

Aku bermimpi memiliki pendamping hidup yang tidak peduli dengan masa lalu yang kelam,sebab bisa jadi aku dahulu adalah aku yang hina dina, jatuh bangun dalam keterpurukan berualng kali.

Aku bermimpi Tuhan mengirimkan seseorang yang membuat aku semakin dewasa dan mampu belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dia yang sabar menemani aku belajar masak berbagai menu yang memiliki rasa lezat, sebab saat ini aku hanya mampu memasak sekadarnya dan kadang hambar. Dia yang tidak pernah balik marah ketika aku merajuk karena pesan singkat atau telephone tidak dijawab. Dia yang memaksimalkan usahanya mencari ridha Tuhan untuk menafkahi keluarganya, aku, kamu dan buah hati kita.

Dear Kamu,

Aku bermimpi kelak kita bisa membangun rumah yang didalamnya terdiri dari kebahagian dan rasa syukur. Meski ada badai dan aneka ujian, tetapi aku ingin kamu mengajari aku bagaimana selalu tersenyum dan percaya bahwa Tuhan sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan sempurna. Tidak perlu khawatir berlebihan hingga membuat vertigo dan migrainku kambuh bersamaan. 
Aku pun bermimpi kita bisa mengajarkan putera-puteri kita menjadi anak yang mandiri, memahami agama, dan tentu saja lebih baik dari kita. Aku ingin kita bisa mendampingi anak-anak kita tumbuh dan berkembang menjadi seseorang yang dewasa dan bijaksana.

Aku memang perempuan yang mandiri, keras, idealis dan perfeksionis. Kadang aku menjelma menjadi seseorang yang tidak mebutuhkan orang lain. Tetapi apakah kamu dan orang lain mengetahui apa yang ada jauh di dalam hati ini? Kelak kamu meminta aku untuk menghabiskan semua waktu yang aku punya untuk anak-anak dan keluarga kita, maka dengan senang hati aku melakukannya.
Kamu tidak perlu khawatir aku akan mementingkan karier, sebab tujuan ku saat ini berkarier tidak lebih dari sekadar mengisi waktu luang sambil menunggu pertemuan kita. Sebab aku sebelum bersama mu adalah seorang tulang punggung keluarga dan penikmat sekolah,keinginan ku untuk melanjutkan sekolah tidak pernah surut. Dan ketika sudah bersama mu, tentu saja kamu akan membantu ku menguatkan tulang-tulang ini dan kita akan berdiskusi tentang sekolah dan impian yang lain. Aku percaya kamu akan menjadi teman sekaligus lawan bicara yang menyenangkan!

Aku juga bermimpi kita hidup sederhana tanpa ada rasa bersaing dengan siapapun, kita hidup tenang dan damai di sebuah rumah sederhana lengkap dengan pekarangannya. Sebab kita akan selalu menghabiskan waktu bersama. Membaca buku di teras, menyantap pisang goreng sambil bersenda gurau.

Untuk kamu yang selalu ada disetiap doaku,

Aku jauh di sini mempersiapkan dan tidak pernah berhenti memperbaiki diri untuk sebuah pertemuan nanti. Bisa jadi kita sudah pernah bertemu. Tetapi pertemuan yang kita nanti adalah pertemuan yang paling aku syukuri di dunia ini. Di mana kita, aku, kamu, keluarga dan sahabat berada di satu tempat kemudian kita berjanji hidup semati dihadapan Allah SWT, sampai bertemu.."

Menulis surat di atas dengan penuh harapan. Kadang seorang perempuan bisa begitu melankolis meski hal tersebut jarang ditemui dirinya. Tetapi hati perempuan  tetaplah sama, lemah lembut seperti awan di angkasa raya. Semoga surat itu sampai pada pemiliknya, siapapun dia, segeralah menemukan jalan untuk menjemput penulis surat di atas. Ia menantimu!
 
Perjalanan menuuju Walesi
Perjalanan Menuju Walesi-Wamena
Agustus 2015, tepat pada hari raya umat muslim, sebuah masjid mengalami kebakaran di desa yang bernama Karubaga. Karubaga merupakan ibukota dari Kabupaten Tolikara. Salah satu wilayah yang baru saja memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. 

Kali ini, saya tidak akan membahas tentang apa yang terjadi pada saat itu atau apapun yang berhubungan dengan tragedi tersebut. Sebab saya hanya ingin bercerita tentang serba-serbi perjalanan menuju Wamena - Tolikara dan tentu saja tentang mereka, saudara-saudara kita di sana. 

Pada kesempatan yang pertama, saya pergi bersama tiga orang rekan dari Jakarta. Mereka mewakili lembaga masing-masing dengan tujuan yang sama, memberikan bantuan pada masyarakat di sana. 

Foto ini diambil saat kami berada di Puncak Mega

Kami berangkat dari bandara Sentani menuju Wamena. Perjalanan melalui udara ditempuh hanya sekitar 25- 30 menit. Satu hal yang harus selalu kita siapkan ditempat ini adalah siap-siap untuk menerima. Why? because you will feel it..

Pertama, di pesawat, kita harus mempersiapkan masker atau wewangian supaya mampu bertahan di dalam pesawat tanpa harus mengeluarkan isi perut. Kedua, bersiap-siap menunggu karena nomor tempat duduk yang tertera ditiket kamu sudah ada yang menempati, sehingga kamu akan dicarikan tempat duduk yang lain. 
Usai perkara di pesawat, sesampainya di Wamena saya takjub melihat bandara udara yang begitu sederhana. Hanya beratap seng, berdinding papan dan kawat. Menatap pada kerumunan orang-orang yang berada dibalik pagar batas pengunjung. Banyak yang menawarkan jasa taksi, ojek juga becak. Tidak lupa ada seorang penduduk asli yang berprofesi sebagai model tanpa busana hanya menutup kemaluannya dengan menggunakan koteka. Jika ingin foto bersama, maka harus menyiapkan uang setiap orang sekitar lima puluh ribu hingga seratus ribu. 

Udara di Wamena begitu sejuk. Tidak jauh berbeda dengan daerah yang berada dipegunungan lainnya. Untuk berkeliling di Wamena hanya membutuhkan waktu satu hari. Sebab kota Wamena sangat kecil. 

Siang itu kami tidak langsung menuju Tolikara, kami menyempatkan diri untuk mencicipi makanan di salah satu restaurant Banyumas. Kami tentu saja memilih makanan yang cita rasanya sesuai di lidah. Sebenarnya di sini tidak terlalu banyak pilihan makanan. Sehingga akan menjadi mudah memutuskan mau makan di mana. 

Setelah menyantap makan siang kami bersiap-siap menuju Tolikara. Waktu tempuh Wamena - Tolikara sekitar 3-4 jam. Saya tentu saja sudah sangat tidak sabar untuk melakukan perjalanan. Menikmati pemandangan yang membuat saya jatuh hati berulang kali pada alam ini. 

Belum jauh dari kota, saya sudah menemukan bukit karang yang berada di sisi kanan. Sementara sisi kiri masih dipenuhi dengan pepohonan dan rerumputan. Ada juga sungai-sungai kecil. Dan yang selalu ada dipinggir jalan adalah sekelompok babi berserta anak-anaknya yang begitu menggelitik ketika mereka berlari. 
Perjalanan menuju Tolikara
Setelah itu saya melihat di sisi kiri saya, ada pasir putih yang berada di kaki bukit karang dan bebatuan. Lenkap dengan savana kering di sekitarnya. Ketika melihat pemandangan tersebut, tentu saya mengundang saya untuk singgah dan mengabadikan gambar di sana. Sayangnya, saya tidak mungkin melakukan hal tersebut mengingat saya sedang dalam penugasan kemanusiaam. Alhasil, hanya mata saya yang dengan sempurna mereka detail keindahan pemandangan tersebut.

Satu setengah jam perjalanan membuat jalanan beraspal habis. Kami mulai duduk gemetar nyaris bergoyang karena permukaan jalan sudah tidak lagi rata. Bebatuan dengan ragam ukuran membuat perjalanan semakin menyenangkan. Ditambah dengan musik yang diputar membuat perut kami kian terguncang. Ah perjalanan  memang selalu menyenangkan..

Dan seperti biasa ketika dalam perjalanan, saya tidak pernah rela untuk melewatkan mengambil gambar, apapun yang menurut saya itu sangat menarik. Saya mengabadikan masayrakat pribumi yang sedang memikul sayur mayur dengan menggunakan noken, juga saat bendera merah putih berkibar di halaman sekolah atau kantor-kantor pemerintahan. Senang sekali rasanya melihat merah putih masih berkibar di tempat ini. 
Anak-Anak Papua yang sedang bermain di sekitar rumah


Memasuki setengah perjalanan, tiga rekan saya mulai kehilangan kendali. Kendali untuk tidak tidur. Sementara saya tidak mau melewatkan perjalanan ini. Saya menikmati pemandangan sembari bersyukur. Bersyukur kenapa? Ya, sebab saya memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Saya tidak mampu membayangkan kehidupan mereka. Dan pada saat itu juga, ada ironi yang terasa. Mereka hidup benar-benar seadanya. Sehari-hari hanya ke hutan, berkebun, tidur bersama di dalam Honai, memasak makan dan melakukan segala aktivitas di dalam Honai.( Honai merupakan rumah - tempat tinggal mereka yang dibangun hanya dengan menggunakan kayu dan dilapisi jerami). Ah Tuhan, membayangkannya saja saya sudah sesak. Lalu apa kabar mereka ya? Mereka memang luar biasa bagi saya. 
Honai itu rumah yang tepat ada dibelakang saya

Well, perjalanan masih berlanjut. Kiri jurang kanan jurang. Perjalanan ini sama persis seperti yang pernah saya gambar saat duduk di bangku sekolah dasar. Kiri jurang, kanan jurang, jalanan berkelok dan bebatuan, kabut mulai naik dan menjalar ke semua ruang. Seolah menggoda saya untuk melambaikan tangan. Melalui jendela saya mengeluarkan tangan kiri saya untuk merasakan udara yang begitu segar. Terasa sejuk di kulit. Belum lagi bau tanah dan dedaunan, ciri khas tanaman di pegunungan. Ah, rupanya Tuhan memang sangat mengerti apa yang saya butuhkan dan rindu. Gunung, alam bebas, sebuah perjalanan. Sepanjang jalan saya berkontemplasi dengan diri sendiri. Monolog yang tiada henti. Sampai akhirnya kami sampai di Puncak Mega. Satu titik tertinggi di rute Wamena - Tolikara.  
Puncak Mega

Ketika turun dari mobil dan balik kanan, Subhanallah..
Sudah lama saya istirahat dari aktivitas mendaki gunung. Dan kini saya bisa menikmatinya lagi. Hamparan langit, pepohonan di kejauhan yang nampak begitu homogen, kabut, edelwies, karang, ah bagi saya tidak ada kata yang mampu mewakili apa yang saya lihat pada saat itu. Mungkin salah satu bagian dari surga!

Dan akhirnya empat jam berlalu. Perjalanan yang penuh dengan bebatuan menjadi cerita sendiri. Welcome to Tolikara! Di sisi kanan sudah nampak pagar khas penduduk asli. Itu artinya kami sudah memasuki permukiman. Dan tertangkap oleh mata saya meski dari kejauhan, bendera merah putih di depan pos tentara. Istimewanya Papua, selalu ada pasukan militer yang berjaga-jaga di banyak titik. Termasuk tempat ini. 

Udara sejuk mulai berganti menjadi sangat menusuk. Kami sampai di waktu malam datang. Menyapa siapapun yang ditemui di jalan. Berusaha menampilkan sikap terbaik yang saya miliki. Sebab saya memahami, tidak ada hati yang tidak bisa merasakan kebaikan. 

Tolikara, I'm coming! 
Misi lembaga berjalan, misi pribadi tidak mau kalah. Di sela-sela bertugas, saya berusaha mengabadikan pemandangan di Tolikara. Menyaksikan betapa kental aroma politik di tempat ini, Tapi ah lupakan, Saya tidak ingin ikut-ikutan. Bagi saya, bisa bercengkrama dengan anak-anak di sini, melihat mereka tertawa, atau ekspresi bingung ketika melihat saya atau apapun. Bagi saya itu sangat menyenangkan. Meski saat itu suasana sedang sangat tidak kondusif untuk saya bertingkah seperti turis. 
Akhirnya saya melihat langsung bandara yang ekstrim itu. Saya berjanji dalam hati untuk tidak pernah mendarat di sana. Tetapi ada yang menarik dengan bandara itu, ketika belum ada tanda-tanda pesawat akan mendarat, bandara tersebut digunakan untuk bermain bola atau sekadar berjalan-jalan oleh masyarakat pribumi. Saya tertawa melihat hal tersebut, betapa mereka membuthkan sarana public untuk bermain. 

Dan akhirnya saya menikmati hamparan bintang di langit, itu artinya malam sudah datang..
*Bersambung
Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ▼  2015 ( 8 )
    • ▼  November ( 2 )
      • Surat untuk Kamu
      • Tolikara #1
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes