Tolikara #1

Perjalanan menuuju Walesi
Perjalanan Menuju Walesi-Wamena
Agustus 2015, tepat pada hari raya umat muslim, sebuah masjid mengalami kebakaran di desa yang bernama Karubaga. Karubaga merupakan ibukota dari Kabupaten Tolikara. Salah satu wilayah yang baru saja memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. 

Kali ini, saya tidak akan membahas tentang apa yang terjadi pada saat itu atau apapun yang berhubungan dengan tragedi tersebut. Sebab saya hanya ingin bercerita tentang serba-serbi perjalanan menuju Wamena - Tolikara dan tentu saja tentang mereka, saudara-saudara kita di sana. 

Pada kesempatan yang pertama, saya pergi bersama tiga orang rekan dari Jakarta. Mereka mewakili lembaga masing-masing dengan tujuan yang sama, memberikan bantuan pada masyarakat di sana. 

Foto ini diambil saat kami berada di Puncak Mega

Kami berangkat dari bandara Sentani menuju Wamena. Perjalanan melalui udara ditempuh hanya sekitar 25- 30 menit. Satu hal yang harus selalu kita siapkan ditempat ini adalah siap-siap untuk menerima. Why? because you will feel it..

Pertama, di pesawat, kita harus mempersiapkan masker atau wewangian supaya mampu bertahan di dalam pesawat tanpa harus mengeluarkan isi perut. Kedua, bersiap-siap menunggu karena nomor tempat duduk yang tertera ditiket kamu sudah ada yang menempati, sehingga kamu akan dicarikan tempat duduk yang lain. 
Usai perkara di pesawat, sesampainya di Wamena saya takjub melihat bandara udara yang begitu sederhana. Hanya beratap seng, berdinding papan dan kawat. Menatap pada kerumunan orang-orang yang berada dibalik pagar batas pengunjung. Banyak yang menawarkan jasa taksi, ojek juga becak. Tidak lupa ada seorang penduduk asli yang berprofesi sebagai model tanpa busana hanya menutup kemaluannya dengan menggunakan koteka. Jika ingin foto bersama, maka harus menyiapkan uang setiap orang sekitar lima puluh ribu hingga seratus ribu. 

Udara di Wamena begitu sejuk. Tidak jauh berbeda dengan daerah yang berada dipegunungan lainnya. Untuk berkeliling di Wamena hanya membutuhkan waktu satu hari. Sebab kota Wamena sangat kecil. 

Siang itu kami tidak langsung menuju Tolikara, kami menyempatkan diri untuk mencicipi makanan di salah satu restaurant Banyumas. Kami tentu saja memilih makanan yang cita rasanya sesuai di lidah. Sebenarnya di sini tidak terlalu banyak pilihan makanan. Sehingga akan menjadi mudah memutuskan mau makan di mana. 

Setelah menyantap makan siang kami bersiap-siap menuju Tolikara. Waktu tempuh Wamena - Tolikara sekitar 3-4 jam. Saya tentu saja sudah sangat tidak sabar untuk melakukan perjalanan. Menikmati pemandangan yang membuat saya jatuh hati berulang kali pada alam ini. 

Belum jauh dari kota, saya sudah menemukan bukit karang yang berada di sisi kanan. Sementara sisi kiri masih dipenuhi dengan pepohonan dan rerumputan. Ada juga sungai-sungai kecil. Dan yang selalu ada dipinggir jalan adalah sekelompok babi berserta anak-anaknya yang begitu menggelitik ketika mereka berlari. 
Perjalanan menuju Tolikara
Setelah itu saya melihat di sisi kiri saya, ada pasir putih yang berada di kaki bukit karang dan bebatuan. Lenkap dengan savana kering di sekitarnya. Ketika melihat pemandangan tersebut, tentu saya mengundang saya untuk singgah dan mengabadikan gambar di sana. Sayangnya, saya tidak mungkin melakukan hal tersebut mengingat saya sedang dalam penugasan kemanusiaam. Alhasil, hanya mata saya yang dengan sempurna mereka detail keindahan pemandangan tersebut.

Satu setengah jam perjalanan membuat jalanan beraspal habis. Kami mulai duduk gemetar nyaris bergoyang karena permukaan jalan sudah tidak lagi rata. Bebatuan dengan ragam ukuran membuat perjalanan semakin menyenangkan. Ditambah dengan musik yang diputar membuat perut kami kian terguncang. Ah perjalanan  memang selalu menyenangkan..

Dan seperti biasa ketika dalam perjalanan, saya tidak pernah rela untuk melewatkan mengambil gambar, apapun yang menurut saya itu sangat menarik. Saya mengabadikan masayrakat pribumi yang sedang memikul sayur mayur dengan menggunakan noken, juga saat bendera merah putih berkibar di halaman sekolah atau kantor-kantor pemerintahan. Senang sekali rasanya melihat merah putih masih berkibar di tempat ini. 
Anak-Anak Papua yang sedang bermain di sekitar rumah


Memasuki setengah perjalanan, tiga rekan saya mulai kehilangan kendali. Kendali untuk tidak tidur. Sementara saya tidak mau melewatkan perjalanan ini. Saya menikmati pemandangan sembari bersyukur. Bersyukur kenapa? Ya, sebab saya memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Saya tidak mampu membayangkan kehidupan mereka. Dan pada saat itu juga, ada ironi yang terasa. Mereka hidup benar-benar seadanya. Sehari-hari hanya ke hutan, berkebun, tidur bersama di dalam Honai, memasak makan dan melakukan segala aktivitas di dalam Honai.( Honai merupakan rumah - tempat tinggal mereka yang dibangun hanya dengan menggunakan kayu dan dilapisi jerami). Ah Tuhan, membayangkannya saja saya sudah sesak. Lalu apa kabar mereka ya? Mereka memang luar biasa bagi saya. 
Honai itu rumah yang tepat ada dibelakang saya

Well, perjalanan masih berlanjut. Kiri jurang kanan jurang. Perjalanan ini sama persis seperti yang pernah saya gambar saat duduk di bangku sekolah dasar. Kiri jurang, kanan jurang, jalanan berkelok dan bebatuan, kabut mulai naik dan menjalar ke semua ruang. Seolah menggoda saya untuk melambaikan tangan. Melalui jendela saya mengeluarkan tangan kiri saya untuk merasakan udara yang begitu segar. Terasa sejuk di kulit. Belum lagi bau tanah dan dedaunan, ciri khas tanaman di pegunungan. Ah, rupanya Tuhan memang sangat mengerti apa yang saya butuhkan dan rindu. Gunung, alam bebas, sebuah perjalanan. Sepanjang jalan saya berkontemplasi dengan diri sendiri. Monolog yang tiada henti. Sampai akhirnya kami sampai di Puncak Mega. Satu titik tertinggi di rute Wamena - Tolikara.  
Puncak Mega

Ketika turun dari mobil dan balik kanan, Subhanallah..
Sudah lama saya istirahat dari aktivitas mendaki gunung. Dan kini saya bisa menikmatinya lagi. Hamparan langit, pepohonan di kejauhan yang nampak begitu homogen, kabut, edelwies, karang, ah bagi saya tidak ada kata yang mampu mewakili apa yang saya lihat pada saat itu. Mungkin salah satu bagian dari surga!

Dan akhirnya empat jam berlalu. Perjalanan yang penuh dengan bebatuan menjadi cerita sendiri. Welcome to Tolikara! Di sisi kanan sudah nampak pagar khas penduduk asli. Itu artinya kami sudah memasuki permukiman. Dan tertangkap oleh mata saya meski dari kejauhan, bendera merah putih di depan pos tentara. Istimewanya Papua, selalu ada pasukan militer yang berjaga-jaga di banyak titik. Termasuk tempat ini. 

Udara sejuk mulai berganti menjadi sangat menusuk. Kami sampai di waktu malam datang. Menyapa siapapun yang ditemui di jalan. Berusaha menampilkan sikap terbaik yang saya miliki. Sebab saya memahami, tidak ada hati yang tidak bisa merasakan kebaikan. 

Tolikara, I'm coming! 
Misi lembaga berjalan, misi pribadi tidak mau kalah. Di sela-sela bertugas, saya berusaha mengabadikan pemandangan di Tolikara. Menyaksikan betapa kental aroma politik di tempat ini, Tapi ah lupakan, Saya tidak ingin ikut-ikutan. Bagi saya, bisa bercengkrama dengan anak-anak di sini, melihat mereka tertawa, atau ekspresi bingung ketika melihat saya atau apapun. Bagi saya itu sangat menyenangkan. Meski saat itu suasana sedang sangat tidak kondusif untuk saya bertingkah seperti turis. 
Akhirnya saya melihat langsung bandara yang ekstrim itu. Saya berjanji dalam hati untuk tidak pernah mendarat di sana. Tetapi ada yang menarik dengan bandara itu, ketika belum ada tanda-tanda pesawat akan mendarat, bandara tersebut digunakan untuk bermain bola atau sekadar berjalan-jalan oleh masyarakat pribumi. Saya tertawa melihat hal tersebut, betapa mereka membuthkan sarana public untuk bermain. 

Dan akhirnya saya menikmati hamparan bintang di langit, itu artinya malam sudah datang..
*Bersambung

Share this:

0 komentar :