14 Days Overland NTT ( Part Manggarai Timur-Raya-Barat Daya)

Perjalanan menyusuri kehidupan di Nusa Tenggaran Timur (NTT) memang tidak ada habisnya. Mungkin hal ini menjadi salah satu yang saya syukuri terlahir sebagai anak Indonesia dan menyukai perjalanan. Beberapa tulisan tentang perjalanan mengexplore NTT sudah saya tuntaskan. Namun masih banyak yang belum selesai saya tuliskan. Setelah ini, maka masih ada cerita tentang explore Labuan Bajo, Kupang, Rote dan Sumba. Maka saya memang harus berkerja keras untuk melunasi 'hutang' saya ini, sebelum semakin banyak cerita dari perjalanan selanjutnya. 

Saya harus mengakui dan bersaksi bahwa kekayaan Indonesia memang benar-benar begitu luar biasa. Tidak hanya alamnya, tetapi juga manusia-manusia yang melahirkan budaya dan keragaman. Dalam cerita ini, saya akan menceritakan bagaimana perjalanan saya menyusui Manggarai untuk bisa menikmati hari yang istimewa di sebuah kampung adat yang bernama Wae Rebo. 

Setelah menikmati pagi hari di Danau Kelimutu, Ende, saya langsung menancapkan gas menuju titik selanjutnya. Melintas di jalan berliku dengan tembok-tembok bukit di sebelah kiri dan jurang di sebelah kanan. Tidak hanya berliku, namun juga naik turun, berlubang, berdebu, berpasir, dan tentu saja tidak lupa ditemani oleh terik yang luar biasa. 

Pandangan saya tidak luput memperhatikan, merekam, satu per satu apa saja yang nampak di kejauhan. Melihat aktivitas warga yang ternyata tidak jauh berbeda dengan di Papua. Dimana kaum perempuan terlihat lebih banyak bekerja, sementara kaum laki-laki menghabiskan duduk bersama sebayanya sambil merokok, menguyah pinang lalu tertawa hingga dada mereka terguncang-guncang. Juga nampak anak-anak usia sekolah bermain di sekitar rumah, pinggir jalan, atau di sungai-sungai kecil yang ada di sekitar mereka. Ah Indonesia..

Terlepas dari pemandangan sosial yang ada, saya juga menikmati suguhan alam yang tersedia.  Di Manggarai,NTT banyak sekali wisata alam yang masih begitu alami dan belum komerisal. For your information, Manggarai merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki wilayah yang sangat luas. Sehingga saat saya menjelajahi Manggarai maka banyak sekali yang bisa saya dapati.

1. Air Terjun 
Jika kita mencari informasi tentang air terjun di Manggarai, maka tentu saja akan muncul banyak sekali informasi tersebut. Beruntungnya, tanpa saya mencari, dalam perjalanan dari Ende menuju Manggarai, saya sudah disugukan dengan pemandangan air terjun yang juga dijadikan sebagai salah satu sumber pembangkit listrik. Meski menikmatinya dari kejauhan, tetap saja tidak mengurangi rasa syukur saya bisa menikmati pemandangan yang mengindahkan mata seperti ini. Kalaulah saya tidak salah, ini masih berada di kawasan Manggarai Timur. 





2. Danau
Manggarai Timur semacam salah satu puzzle surga alam di Indonesia. Betapa tidak, saya bisa bertemu dengan danau yang begitu asri, indah dan begitu damai. Danau Rana Mese namaya. Terletak disebuah desa yang bernama Compang Congkar, Kelurahan Elar, Kabupaten Manggarai Timur. Jika dari Ende menuju Manggarai, maka kita bisa menemukannya di sebelah kanan jalan. Tidak ada biaya tiket masuk, kita bisa memarkirkan kendaraan kita di pinggir jalan, lalu tracking sekitar 15 menit dengan kondisi jalan yang naik turun, basah dan berumput.


I actually can imagine how beautiful my country is

3. Sawah
Selama ini kita menganggap tidak ada istimewanya dengan sawah. Iya, tanah yang hanya dipenuhi dengan tumbuhan padi dan rekan-rekannya, yang juga sering dihiasi dengan 'orang-orangan' sebagai cara ampuh untuk menakuti-nakuti  hama. Lalu apa bedanya dengan sawah yang ada di Manggarai? Nah, bedanya adalah sawah yang terledak di desa Cancar, Ruteng itu cukup unik karena membentuk jaring laba-laba. Sawah ini cukup sulit saat kami cari. berulang kali putar arah dan bertanya tentang keberadaan sawah ini, akhirnya kami menemukannya. Tentu berada di tengah-tengah pemukiman warga. Dan untuk masuk ke titik terdekat dari sawah ini, pengunjung harus membayar tiket masuk sebesar sepuluh ribu rupiah. Sayangnya, saya tidak menemukan dokumetasi saya di sawah laba-laba ini. Tetapi bisa dilihat di instagram saya :D


4. Kampung Adat Bena, Bejawa

Seperti yang saya katakan, bahwa kekayaan Indonesia begitu luar biasa. Salah satunya ada di kampung ini. Untuk bisa ke Kampung Adat Beda, kita harus menyusuri jalan yang tidak kalah berliku dari jalan-jalan sebelumnya. Perbedaaanya, udara di sepanjang jalan tidak lagi panas,melainkan dingin dan berkabut. Saya seperti dejavu berada di Sukabumi atau wilayah Jawab barat yang lain. Kampung Adat Bena benar-benar alami. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat yang sudah hidup di rumah modern. Biaya masuk tidak diberi ketetapan, hanya pengunjung diminta memberikan secara sukarela saat mengisi buku tamu di kantor pengelola. 

 

Di sana saya benar-benar bisa menikmati betapa kearifan lokal benar-benar perlu di lestarikan. Bagaimana seharusnya pemerintah peduli dengan masyarakat yang berada di 'perut' bumi, yang mungkin mereka tidak pernah merasakan kasih sayang dari penguasa secara langsung. Bisa jadi selama ini mereka hanya merasakan apa-apa dari ampasnya saja.Tetapi bukan masalah yang besar bagi mereka, hidup di rumah mereka ini, rumah yang mereka bangun dari memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan alam, bahkan dari hasil tumbuhan-tumbuhan yang mereka pelihara, mereka bisa menghasilkan karya yang luar biasa. Kain tenun berbahan dasar kapas dan pewarna alami. 


Kain-kain ini tidak hanya mereka jadikan sebagai souvenir dari Kampung adat mereka, tetapi juga digunakan oleh mereka sehari-hari. Terdapat beraneka ragam bentuk, tidak hanya kain, tetapi juga terdapat selendang, dompet bertali, dan aneka olahan lainnya. Harga pun beragam, dari 50.000 hingga 500.000, wajar jika harganya cukup mahal, karena pembuatannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.  

Jangan lupa mengabadikan gaya favoti kamu di 'titik' terhitz kamu :D

5. Kampung Adat Wae Rebo
Jika kampung adat Bena bisa ditempuh tanpa harus 'ngotot', maka berbeda dengan kampung adat yang satu ini. Sedari awal, ketika sedang beristirahat di warung-warung sambil bertanya-tanya tentang jalan menuju Wae Rebo, maka mereka akan menjawab sambil meneliti kami lebih lanjut. Melihat dua orang gadis mengendari motor ingin menuju Wae Rebo sebelum hari gelap. Keraguan mereka menjadi hal biasa bagi kami, sebab mereka bukan orang pertama yang ragu dengan perjalanan kami. Perempuan, explore, berdua. So what? tidak perlu menunggu hujan berhenti, kami tancap gas dan mengikuti jalan, penunjuk jalan dan feeling yang ada. Allah tidak akan menyesatkan, bukan? :D

Candu sekali perjalanan ini. Tidak ada rasa khawatir, rasa takut pun rasa-rasa negatif lainnya. Yang ada hanya kebahagiaan yang memenuhi rongga dada dan rasa syukur yang kadang tidak sadar hingga membasahi mata. 

Jalan longsor, berbatu, berkerikil, berair, berlubang, benar-benar melengkapi perjalanan menuju Wae Rebo. Infonya, dari titik terakhir kami beristirahat yang saya lupa nama desanya, masih sekitar 5-6 jam lagi untuk bisa sampai di desa terakhir sebelum tracking menuju Wae Rebo. 

Ini salah satu pemandangan yang ada ketika menuju Kampung Adat Wae Rebo, ada banyak sekali desa yang di lalui.
Setelah melewati jalan berbatu dan menanjak, maka nanti akan menemui pantai yang cukup nyaman untuk disinggahi

Abang gak mau temenin neng, Bang? :p

Bonus perjalanan
Ini neng seneng banget karena dikasih Allah nikmat kegagalan, dengan begitu neng akan dapet yang terbaik :D

Jika ada yang bertanya apakah saya tidak lelah? Maka jawabnya tentu saja tidak. Meski mungkin secara fisik lelah, namun otak dan hati saya begitu bersemangat dan bahagia. Seolah oksitosin dan adrenalin sudah bersekongkol untuk mengalahkan kantuk, lelah dan lapar. 

Lalu bagaimana dengan hambatan yang lain? Sepanjang perjalanan tidak ada hambatan yang berarti. Saya begitu sering menyapa masyarakat yang ada, sok kenal dan sok ramah, padahal dunia tahu saya sama sekali tidak ramah. Namun bukan masalah yang basar kan jika saya mencoba berbeda? Haha, meski ketika hampir mencapai desa terakhir harus di'marahi' oleh perangkat desa yang melarang lewat karena sedang ada ibadah, namun berkat wajah dan cara bicara yang dibuat seolah-olah perempuan maha lembut, akhirnya kami diizinkan untuk berlalu.

Jalanan menanjak ada di depan mata, sebenarnya cukup kasihan dengan motor yang kami bawa. Istirahat hanya sesekali, namun berkali-kali harus kerja rodi. Tidak jarang motor pun harus kami dorong ketika tidak mampu menanjak. Sekitar 15 menit kami sudah sampai di 'pos' terakhir sebelum tracking. Jangan membayangkan 'pos' ini seperti pos yang ada di taman nasional, ini hanya gubuk kecil yang dihuni seorang kakek yang kebetulan kebunnya tepat di sana. Alhasil kami menitipkan motor dan keril kami di pada kakek. Tanpa berlama-lama berbincang, kami berlalu melanjutkan perjalanan. Jangan lupa, karena tracking diasumsikan akan menghabiskan waktu sekitar empat jam, maka kami sarankan untuk membawa bawaan seperlunya. Seperti air minum dan cemilan yang sangat ringan. Kami mulai tracking sekitar pukul 3 sore.

Meski terlatih sebagai pendaki, namun tetap saja pendakian harus membutuhkan fisik yang sering berlatih. 15 menit pertama masih jumawa, 30 menit berikutnya nafas sudah mulai tidak teratur. 1 jam berikutnya langkah sudah mulai melambat. Namun karena hari sudah semakin sore, maka entah dari mana tenaga bisa muncul dan aktif kembali.

Foto ini diambil di pertengahan perjalanan, dan waktu menunjukan pukul 16.44 WITA



Mungkin bagi kebanyak orang, perjalanan seperti ini hanya membuang-buang waktu, perjalanan gembelan, dan lain-lain. Mungkin memang benar, tetapi mungkin bisa juga salah. Apapun itu, siapa peduli? Bukankah perjalanan yang dilakukan bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri. Enjoy it,noonaa

Karena bersama kesulitan selalu ada kemudahan



 Akhirnya kami sampai juga di Kampung Adat Wae Rebo pada pukul 17. 41 WITA. Mungkin tidak sampai 4 jam seperti yang diinformasikan. Alhamdulilah lebih cepat sampai dan selamat. Sesampainya di gapura ini, saya merasakan usaha yang saya keluarkan tidak sia-sia. Seperti dejavu kembali, saya mengingat pos awal saat mendaki gunung Papandayan, dikelilingi oleh bukti dan disesaki oleh kabut. Terasa sangat mistis :D


Saya sempatkan berkeliling sebelum antrian bertemu dengan kepala kampung usai. Pada kesempatan yang sama, ternyata pengunjung sedang begitu ramai. Rumah-rumah yang ada di Kampung adat Wae Rebo digunakan juga sebagai penginapan untuk pengunjung yang datang. Biaya untuk tiket masuk jika tidak menginap sebesar Rp. 200.000,-, jika menginap maka Rp. 375.000,- ( sudah termasuk penginapan dan makan malam - makan pagi) . Harga ini merupakan harga saat saya berkunjung pada bulan Maret 2016.  

Setelah malam datang, antrian bertemu kepala kampung untuk meminta izin dan disambut dengan ritual pun datang. Kami di sambut di rumah utama di mana di sana tempat mama-mama dan tetua kampung tinggal. Kami disambut dengan ritual adat yang tujuannya memperkenalkan siapa kami dan memohon penjaganya pada kepercayaan mereka. Hanya sekitar lima menit, ritul pun usai. Kami kemudian diajak berbincang-bincang sambil menikmati welcome drink Kampung Adat Wae Rebo.

I don't like coffee, but I tried.
Saya menjadi pribadi yang berbeda saat berada di luar 'rumah' saya. Menjadi lebih ramah dan lebih santun. Saya begitu menyukai moment ketika saya berbincang-bincang dengan mama-mama yang secara umur bisa jadi 50-60 tahun jaraknya dengan saya. Rambut mereka semua begitu anggun dengan warna putih alami, binaran mata mereka begitu olos, senyum tulus yang senantiasa terukir di wajah mereka. Meski dalam malam, namun saya masih mampu melihat itu semua. Mereka hidup bersama di rumah ini, hanya di pisah oleh sekat kamar yang tidak seberepa. Beberapa kali suata batuk berdahak saya dengar. Mereka masak di dalam rumah, dengan atap rumah yang terbuat dari pelepah dan rerumputan, mereka pun merokok, saya menjadi sedih dan khawatir akan kesehatan mereka. Semoga Tuhan senantiasa menjaga orang-orang ini, batin saya.

Meski malam sudah mulai larut, namun saya tetap memilih untuk mandi. Meski air begitu menusuk di kulit, namun saya tetap melanjutkan membersihkan tubuh. Saya amat menyukai air dingin, ia seperti realita. Sakit di awal, menennagkan setelahnya.

Bulan di Kampung Adat Wae Rebo
Saya tidak rela menghabiskan malam hanya untuk tidur. Sebabnya saya duduk di bebatuan yang disusun rapi di depan rumah utama. Udara dingin, keheningan, langgit malam, Allahu, tidak berlebihan jika air mata saya kemudian mengalir dengan sendirinya. Betapa saya bersyukur atas nikmat-nikmat yang ada. Menikmati semua ini dengan mata kepala sendiri. 









Kain yang saya gunakan ini merupakan kain tenun khas Ende, anda bisa mendapatkannya di pasar Ende dengan harga 350-500 ribu rupiah




Melalui foto-foto di atas saya ingin membagikan seperti apa pagi di sebuah kampung adat bernama Wae Rebo. Di mana alam masih benar-benar suci dan tenang. Di mana matahari masih bisa dinikmati sinarnya tanpa pengahalang. Di mana buliran embun dengan lembut jatuh perlahan ke permukaan. Satu per satu terekam dengan baik oleh mata, oleh telingga, oleh hidung, dan indra lainnya. 

Sekitar pukul tujuh pagi kami sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Wae Rebo dan menyiapkan diri untuk jelajah jalanan menuju Labuan Bajo. Tracking saat pulang jauh lebih singkat, kami hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam lebih 15 menit. Sampai di pos, kami mengambil barang-barang yang sudah disiapkan oleh Kakek. Tidak ada harga khusus yang diminta, namun kami memberikan lebih sebagai ucapan terimakasih sudah menjaga barang-barang kami. 

Perjalanan selanjutnya akan semakin menantang. Karena turun dari Wae Rebo, kami mengambil jalan lain, jika diawal kami naik ke rute Wae Rebo dari arah kiri, maka kami pulang dan menuju Labuan Bajo melalui rute sebaliknya, arah Kanan, yang menurut info jauh lebih dekat, namun lebih terjal. Wanna join? Tunggu di part selanjutnya!


more pictures please check my instagram @fenymariantika

Share this:

0 komentar :