Berkawan Menuju Teluk Kiluan
Tidak lagi ada penghitungan
tempat yang sudah saya tuju, sebab seberapa banyak pun itu, saya tetap tidak
memiliki apa-apa, tidak merasa bangga apalagi jumawa. Sebab perjalanan itu bagi
saya adalah asupan untuk kesehatan tubuh saya, bukan untuk sesuatu di luar dari
diri saya. Apalagi untuk riya’ ( pamer) , yaelah pamer buat apaan kan :P
Kali ini saya ingin berbagi
cerita tentang perjalanan saya mengunjungi lumba-lumba di tanah kelahiran.
Lampung, sebuah provinsi yang terkenal akan kopi dan juga siger, siger
merupakan salah satu icon adat di sang bumi ruwai jurai.
Perjalanan saya memburu
kebahagiaan di tengah lautan bersama tiga orang teman yang secara spontan turut
menemani perjalanan. Meski saya terbiasa menghabiskan waktu seorang diri, namun
tidak begitu sulit bagi saya untuk berbagi tempat dengan mereka.
Siang itu kami bertemu di
terminal Rajabasa, Bandar Lampung. Saya berangkat dari kediaman saya di
Sukadana, lampung Timur menuju Bandar Lampung diantar oleh keluarga hingga di
Metro. Lalu dari Metro saya menggunakan Bus dengan ongkos sepuluh ribu rupiah.
Jika bicara terkait kenyamanan, maka bus yang tersedia jauh dari kata nyaman.
Air conditioner (AC) yang dijanjikan ada hanyalah sebuah tulisan belaka,
karena AC sama sekali tidak berfungsi,
banyak kerap penumpang yang merokok di dalam bus. Sayangnya, saya sudah tidak
ingin menyia-nyiakan energi saya hanya untuk perkara ini. Maka saya putuskan
untuk diam, dan membiarkan wajah saya terpaku tepat di jedela.
Perjalanan dari Metro menuju
Bandar Lampung hanya membutuhkan waktu satu jam. Sesampainya di terminal
Rajabasa, tidak butuh waktu yang lama pula untuk bertemu dengan ketiganya. Ada
seorang teman lama yang bernama Etika, yang ditemani oleh pacarnya, Fadhil dan
seorang teman dari kampung halaman, Endra. Bertemu strangers bukan hal yang sulit bagi saya,tetapi mungkin hal yang
tidak mudah bagi mereka.
And here go!
Dari Bandar Lampung menuju
destinasi pertama yaitu Teluk Kiluan. Cukup jauh dan jalanan tidak sama sekali
nyaman untuk dilalui. Mengendarai motor matic menjadi salah satu pelengkap
dalam cerita ini. Kami berangkat setelah sholat dzuhur, Etika bersama Fadhil,
dan Saya bersama Endra. Meski saya berasal dari Lampung, namun kota ini menjadi
salah satu kota yang belum secara utuh saya explore. Entah mengapa, namun saya tidak
begitu tertarik seperti ketertarikan saya dengan daerah lain. Sehingga saya
sama sekali tidak mengetahui jalan atau rute menuju tempat ini. Awalnya, ketika
saya memutuskan untuk menuju Teluk Kiluan seorang diri, saya berencana seperti
biasa. Menyewa motor dengan peta seadanya. Namun karena perjalanan ini
berkawan, sehingga saya hanya duduk santai di kursi penumpang, sambil menikmati
sisi kanan dan kiri, sesekali berbicang dengan teman baru, berkali-kali
terpingkal-pingkal karena candaan yang mungkin garing atau tidak lucu. Hingga
langit biru mulai berubah warna menjadi kelabu lalu hitam seutuhnya.
Berliku-liku, berbatu-batu, lubang demi lubang, kubangan di mana-mana, akhirnya
kami sampai di bibir pantai.
Sejenak meluruskan tulang belakang, sembari menikmati sisa-sisa jingga,
dan desiran ombak yang hanya sesekali terdengar.
Enam jam perjalanan terbayarkan,
tunai. Kami sampai di Teluk Kiluan dengan senang. Di sini, terdapat banyak
sekai cottage dan jasa penyewaan
perahu untuk melihat lumba-lumba. Namun untuk menghabiskan malam ini, kami
memutuskan untuk camping di tepi
pantai. Bukan ingin menciptakan adegan-adegan romantis apalagi erotis, tetapi
kami memang lebih memilih untuk menjaga kantong agar tidak tipis :D
Saya amat menyukai suasana malam
seperti ini. Di kelilingi dengan udara segar dan jauh dari keramaian. Hanya ada
suara-suara masyarakat berbicara dengan dialek daerah, bintang yang tidak
begitu banyak tetapi tetap cukup menerangi malam.
Fadhil dan Endra sedang berkutat
dengan tenda dan hammock, sementara
saya dan Etika menyiapkan makan malam. Makan malam sederhana, amat sederhana.
Aneka cemilan dan spaggeti siap saji tengah kami siapkan untuk disantap. Penuh
dengan tawa dan kata-kata yang tidak berbicara. Begitulah hidup, terlalu banyak
kata yang tidak bersuara.
Selain cottage, tersedia juga musholla dan kamar mandi berbayar. Terdapat
juga pendopo yang biasa digunakan jika hujan turun tiba-tiba. Tidak jauh dari
tempat kami membangun tenda. Sambil menyantap makan malam, Endra mulai memaikan
gitarnya. Ia bahkan hanya membawa gitar dalam perjalanan kali ini. Nampak
sekali anak muda ini tengah mencari “jalan” yang akan ia pilih untuk
melanjutkan kehidupannya. Sementara dua orang lainnya, tengah memastikan bahwa
rencana pernikahan mereka berjalan dengan baik. Sementara saya? Menghabiskan
waktu dengan menjawab aneka pertanyaan “ mengapa “ yang menari-nari di dalam
kepala.
Saat dengan menikmati kebersamaan
kami, tiba-tiba hujan mulai turun dengan lembut. Awalnya kami tidak begitu
menghiraukan, namun semakin lama mereka turun begitu ribut, sehingga kami
memutuskan untuk pindah ke pendopo. Memindahkan tenda ke sana dan menghabiskan
malam tanpa kehangatan.
Dini hari Fadhil, Etika dan Endra
sudah mulai bersuara. Mereka bersiap-siap untuk berburu kebahagiaan melihat
lumba-lumba. Sementara saya seperti bayi yang mencari cara untuk membuka mata,
sebelum akhirnya mereka semua membangunkan saya :D
Mungkin ini salah satu perbedaan
ketika saya melakukan perjalanan seorang diri dengan berkawan, yaitu
kebahagiaan yang berbeda. Saya bisa menikmati tawa dan juga rasa kesal dalam
waktu bersamaan. Tetapi saya cukup bahagia.
Mengawali pagi dengan ibadah
subuh, mandi dan sarapan. Setelah itu
menuju bibir pantai untuk naik perahu yang sudah disewa dan negosiasi
tadi malam. Harga sewa hanya tiga ratus ribu rupiah. Harga yang cukup murah
apalagi dibagi empat orang, ini salah satu sumber kebahagiaan saya :D
Satu persatu dari kami naik ke
perahu, perahu yang hanya cukup untuk empat orang dengan berat badan rata-rata
50 Kg, lengkap dengan pelampung, kamera dan doa :D
Dan kami berlayar menuju lautan..
Saat berada di lautan, seperti ada rasa yang ingin meledak di rongga dada, rasa bahagia dengan komposisi lain, mungkin sisa kejenuhan, ampas amarah, dan rasa-rasa lain yang pernah tinggal di dalam sana. Tertahan karena ini dan itu.
Di lautan, saya semakin merasa
tidak ada apa-apanya. Begitu kecil dihadapan ciptaan Tuhan yang lain. Bukit dan
gunung yang menjulang tinggi, awan dan langit yang begitu gagah menahan segala
makhluk langit, melihat lautan hanya di permukaan, dalamnya laut siapa yang
tahu?
Dan euforia saya sempurna kala
melihat puluhan lumba-lumba berantraksi, seolah-olah ia paham benar bahwa kami
datang hanya untuk bertemu mereka. Lompat ke sana kemari, dengan kekhasan mereka.
Saya tertegun, sambil melafadzkan apa-apa yang saya kagumi, ketika bahagia
begitu mudah dirasa, di sana lahir rasa bersyukur sekaligus penyesalan atas
cerita hidup yang begitu penuh warna sebagai manusia.
Kami menyempatkan untuk mampir ke salah satu pantai berpasir putih di kawasan Teluk Kiluan |
Usai mengunjungi kampung
lumba-lumba di Teluk Kiluan, maka kami melanjutkan perjalanan kami menuju
pantai Laguna. Pantai yang terletak dibalik bukit dan berpagarkan batu karang.
Untuk sampai ke pantai ini, kami hanya cukup menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari Teluk Kiluan. Tidak ada tiket masuk, hanya ada tiket parkir sebesar sepuluh ribu rupiah.
Dari tempat parkir, dilanjutkan dengan tracking sekitar 20 menit. Setelah itu maka kami langsung disugukan dengan hamparan pasir putih, laut biru kehijauan dan deburan ombak yang menghantam batu karang tanpa ampun.
Untuk sampai ke pantai ini, kami hanya cukup menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari Teluk Kiluan. Tidak ada tiket masuk, hanya ada tiket parkir sebesar sepuluh ribu rupiah.
Dari tempat parkir, dilanjutkan dengan tracking sekitar 20 menit. Setelah itu maka kami langsung disugukan dengan hamparan pasir putih, laut biru kehijauan dan deburan ombak yang menghantam batu karang tanpa ampun.
Sebagai penikmat alam, tentu saja
euforia saya kembali bertaburan. Seakan saya sudah tidak mampu menahan rasa
ingin menari di atas pasir dan sisa-sisa air laut di atasnya. Kedua mata saya
sungguh beruntung, sebab saya membiarkannya untuk menikmati keindahan ciptaaan
Tuhan yang tiada tara.
Tidak cukup sampai di situ, saya juga menyempatkan diri untuk menikmati underwater di pantai ini. Hanya dengan kacamata renang sederhana dan kemampuan renang yang biasa saja, saya bisa bertemu dengan aneka macam ikan-ikan lucu di bawah sana. Yang menarik adalah bentuk pantai ini, sebab batu karang memiliki banyak ‘cekungan’ yang bisa menampung air laut sehingga dapat dipergunakan layaknya kolam dengan batu karang dan biota laut yang asli.
Sepulang dari Pantai Laguna kami
berencana untuk mengunjungi Pantai Gigi Hiu, sayangnya jalan yang harus
dilewati sangat terjal dan dikhawatirkan kendaraan kami tidak mampu
melewatinya, sehingga rencana pun diubah, kami balik arah dan memutuskan untuk camping di Pantai Klara.
Perjalanan menuju Pantai Klara
tergolong aman dan lancar. Sekitar tiga jam kami sudah sampai di Pantai Klara.
Karena malam ini saya sedang tidak mood
untuk beraktivitas maka saya memutuskan untuk beristirahat lebih awal. Saya
tidur saat yang lain sedang menikmati makan malam dan berbincang-bicang. Salah
satu hal yang membuat saya tidak nyaman melakukan perjalanan dengan orang lain
ketika attitude atau manners yang membuat tidak nyaman. Entah
terlalu mendominasi atau terlalu 'hitung-hitungan'. Dan demi mengantisipasi kejutekan
berlanjut atau kalimat-kalimat bad mood
keluar dari mulut saya, maka saya memutuskan untuk tidur.
Dan pagi pun menyapa dengan irama alam yang begitu berbeda, senandung
terdengar lebih mendayu, seolah mengikuti ritme dedaunan yang menari di pagi
hari.
Perjalanan kali ini pun berakhir
di sini, di suatu pagi yang sendiri. Ramai seolah hanya fatamorgana, sebab ia
hanya sebuah rupa, tidak berjiwa.
Sampai jumpa di perjalanan
selanjutnya, wahai jiwa yang selalu rindu Tuhannya.
0 komentar :
Posting Komentar