A.I.R

Selaksa air yang mengalir
Tampak bening jika sungai bersih
Tampak keruh jika sungai kotor
Namun kembali pada warna air
Tetap bening dimanapun ia berada
Jangan membuat air tampak keruh hanya karena wadahnya yang kotor..
Ini bukan tentang siapa Tuhan mu, bukan pula tentang apa Agama mu! Tapi ini tentang kita! Tentang kau dan aku sebagai manusia. Kupikir kau akan paham bagaimana hubungan kita seharusnya. Hubungan yang sejajar seperti garis horizontal yang memang dibentangkan takdir untuk kita, sesama. Tak berlebihan jika kita menyebut hubungan kita ini sebagai saudara. Meski tak ada rantai garis keturunan dari ibu bapak ataupun sesepuh mu, tetapi ketahuilah, bahwa kita berasal dari tempat yang sama. Tanah!
Jika harus memilih tak ada yang ingin terlahir sebagai hitam,
Tak ada yang ingin tumbuh sebagai benalu,
Tak ada yang berharap menjadi debu,
Namun inilah hidup mu wahai manusia!apa yang terjadi saat ini. Bukan sebelum kau lahir atau setelah kau mati.
Aku ingin sedikit berbagi cerita dengan kau, tetapi ku mohon sekali lagi, jangan kau bawa dalam cerita ini tentang perbedaan Tuhan dan Agama, karena itu akan membuat kita semakin terasa berbeda. 
Aku salah seorang penganut toleransi, aku senang berteman dengan tamu-tamu gereja, aku senang berteman dengan generasi tiong hoa, bahkan aku bersahabat baik dengan mereka yang bukan pengunjung masjid. Seperti aku bersahabat dengan gadis berjilbab putih, ataupun bujang berjanggut tipis. Itu semua hal yang biasa bagi ku. Tak ada beda. Tak pernah terbesit dalam pikirku, untuk membedakan sikap hanya karena keyakinan. Seperti yang sudah berulang kali ku dengar dan kukatakan ( juga), agama itu masalah kenyamanan dalam keyakinan.   

Karena ini semua hanyalah masalah  keyakinan yang meneguhkan hati ulah kenyamanan terhadap keyakinan itu sendiri. Banyak pelajaran yang ku dapat dari mereka yang berbeda Tuhan dengan ku. Mereka banyak mengajarkan keramahan yang mungkin tak kudapat dalam hari ku, memberiku jamuan ringan tentang bagaimana bisa tersenyum renyah ditiap harinya. Karena aku pernah bertanya pada salah satu rekan ku pemilik mata sipit, apa rahasia mereka memiliki wajah yang murah senyum

Dengan santai ia menjawab “ Ibu selalu mengajarkan untuk tiap hari tersenyum dengan siapapun jika ingin sukses. Sempat saya berpikir, apa hubungannya sukses dan tersenyum? Dan ketika saya resmi menjadi dokter, saya paham sekarang. Karena dengan tersenyum, kemurahan dan kemudahan dalam hidup akan mengiringi langkah”

Aku  yang mendengarpun nyaris turut dalam keharuan, dihadapannya aku perlahan masuk kedalam diriku. Melihat diriku, betapa malu. Aku yang mengawali pagi dengan sujud ku pada Tuhan tak lantas membuat ku seperti yang rekan ku lakukan. Padahal ia tak pernah sujud pada Tuhannya, inilah yang ku katakan pada kalian,teman! Bawasannya kebaikan itu tidak membedakan kepada siapa ia akan berlabuh. Aku ingin sepertinya, hingga aku bisa menghiaskan apa yang ku yakini dalam diriku. Padahal dalam kitab yang ku baca, jelas sudah perintah seperti apa manusia harus bersikap dengan manusia. Tutuplah wajah mu jika kau malu dengan benda yang kau sebut Al-qur’an. Yang telah kau siakan dan membiarkannya hanya menjadi pajangan. Galilah kuburan untuk mu menyimpan segala kebaikan jika kau pikir tak ada yang pantas untuk kau bagi kebaikan yang kau punya, dan bawa untuk cacing yang akan menemani mu didalamnya
 
Lampu akan terang jika dihidupkan dalam ruangan yang gelap,
Dan tak akan tampak menerangi jika dihidupkan dalam ruangan yang sudah terang..
Telah ku katakan bahwa kita berasal dari tempat yang sama, tanah! Dari tanah dan akan kembali ketanah. Kita hadir untuk berpulang. Seperti hujan yang selalu berpulang, hujan adalah air yang berasal dari tanah yang kemudian hijrah  ke langit, yang kemudian turun berpulang kambali ke tanah. Tak pernah bukan, hujan memilih untuk turun hanya pada satu jenis tanah? Karena hujan tak pernah membedakan. Yang hujan tahu, ia akan turun sesuai dengan perintah Nya. Kupikir kita bisa seperti hujan, tak pernah membedakan dengan siapa kita akan berbuat kebaikan. Meski memang menurut keyakinan ku, bukan termasuk saudara karena tidak sama Tuhan dan diharamkan untuk menikah jika belum satu keyakinan, dan beberapa ayat Tuhan ku yang lain, yang tak perlu ku jelaskan ( bukan wewenang ku). Namun, tak lantas membuat ku untuk membentangkan tembok perbedaan hanya karena salah mengartikan perintah Tuhan ku. Bukan kah Tuhan tidak melarang kita untuk berbuat baik meski tak sama? Lantas, apa harus membedakan dengan siapa kita berbuat baik? Jawablah sesuai dengan apa yang kau yakini.
Semua akan baik jika ‘ia’ baik, ‘ia ‘ adalah HATI.
Sudah ku katakan berulang kali, masalah keyakinan bukan lagi titik yang harus kita tentukan koordinatnya pada garis horizontal, melainkan mutlak pada garis vertikal. Biarlah ini menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Bukan dengan kita. “ Tuhan tak pernah meminta kita untuk bermusuhan, Tuhan tidak pernah membuat hambanya memborong rasa benci dengan perbedaan, Tuhan menciptakan perbedaan hanyalah untuk sebuah ujian, ujian yang akan menghasilkan  sebuah kebenaran. Jika kau yakin, maka teguhkanlah! Jika kau meragu,maka yakinkanlah dengan hati mu. Tuhan berada dekat dengan kita, bahkan lebih dekat dari nadi”

Seperti Tuhan menciptakan pelangi, dengan warna yang berbeda, namun mereka tampak sangat indah. Itulah simbol perbedaan yang ku punya dan ku tanamkan dalam pikiran ku. Ku ingin hidup ku menyusuri hari layaknya pelangi, berdampingan untuk mengindahkan dunia. Meski tak setiap saat akan terlihat. Simpanlah rasa ingin “menyamai”, hasrat untuk selalu sama, tak akan mengubah warna yang lekat pada tubuh mu. Putih bukan hanya warna kesucian, ia juga simbol perdamaian. Merah tak hanya melambangkan darah, tetapi juga keberanian dan semangat, hijau tak hanya untuk alam, melainkan warna yang melambangkan ISLAM, dan warna lain yang bisa dimaknai dengan banyak hal.

Perbedaan hadir untuk menjadi pembeda, seperti islam yang hadir diantaranya untuk menbedakan, sebuah kemuliaan..

Ku ingin kita mengunggah sikap seperti Muhammad SAW, ingatkah dengan cerita tentangnya dengan pengemis buta yang tiap waktu melantunkan hinaannya pada Muhammad. Sementara tiap hari Muhammad menyuapinya makanan yang sebelumnya sudah ia lembutkan dengan gigi-giginya sendiri meski terdengar olehnya langsung cercaan yang jelas diperuntukan untuknya. Kau tahu apa cercaan yang dikatakan pengemis buta itu?

Jangan percaya pada lelaki gila itu!Muhammad! Dia gila..”

Pertama kali ku dengar kisah itu, ingin sekali ku remas mulut pengemis itu. Tak pernah aku terima Rosul ku dicerca, dikatakan gila! Sungguh, aku manusia biasa. Bahkan jauh dari yang Muhammad lakukan. Ia tak berhenti menyuapi pengemis itu, meski terdengar olehnya sendiri. Kelembutan itu tetap terulang tiap harinya, hingga pengemis itu mengetahui bahwa lelaki yang menyuapinya makanan tipa hari adalah Muhammad, orang yang dikatakannya gila. 
Aku selalu menangis tiap mengulang cerita itu. Bukan karena kasian pada Muhammad, melaikan aku begitu bangga dengan Pemimpin yang ku ikuti jejak keyakinannya. Sungguh aku bangga mengatakan bahwa “ aku pengikut Muhammad SAW”
Betapa keyakinan yang ku yakini mengajarkan kelembutan, mengajarkan kebaikan tanpa meninjau perbedaan. Keyakinan manapun tak pernah ada yang mengajarkan perang. Tak pernah menyulutkan rasa benci. Semua keyakinan yang ada dimuka bumi ini utuh menyebarkan suara surga, menyemaikan bibit malaikat. Namun tak utuh sampai pada manusia.

Memang kita bukan Nabi, kita bukan Muhammad, namun tak ada salahnya jika kita menauladaninya, bukankah suri tauladan kita adalah Nabi Muhammad? Lantas mengapa kita enggan sepertinya? Berbuat baik dengan siapapun, tanpa menghirukan siapa dan apa yang ia yakini.

Ingin sekali rasa nya kita semua berjalan dalam lintasan yang sama meski kita berbeda kereta. Beriringan untuk mengindahkan jalan, setiap keyakinan mengajarkan kebaikan. Setiap keyakinan memberikan surga bagi yang mengerjakan amalan, pula neraka bagi yang mengerjakan keburukan. Lagi dan ( lagi) harus ditegaskan! Berbuat kebaikan tanpa melihat siapa dan apa yang ia yakini.

“ pantulkanlah pada diri kita cahaya islam, cahaya yang mampu mengalahkan sinar mentari ataupun rembulan. Karena cahaya yang dipantulkan berasal dari kebaikan. Kebaikan dari hati yang diwarnai oleh perbedaan. Cahaya yang membuat yang ragu menjadi yakin, cahaya yang membuat gelapnya hati menjadi benderang, cahaya islam yang Tuhan ciptakan untuk satu tujuan, kebenaran dalam kebaikan.”
Sematkan pada diri kita, bahwa kita berasal dari tempat yang sama dan tujuan yang sama. Dari tanah kembali ke tanah, dan hidup untuk mati.

Salam damai dalam Islam

Share this:

0 komentar :