SEMERU
GMP#3
S.E.M.E.R.U
Merdeka adalah ambang batas yang membuat dirimu mampu meraih sebuah titik yang telah kau bayangkan sebelumnya untuk memulai langkah! BUKAN sebuah titik yang harus membuatmu berdiam diri usai mengenakan kemerdekaan itu sendiri!
Membayangkan ketika mengajukan izin untuk kembali mendaki rasanya tak cukup memiliki nyali. Terlebih lagi pendakian ini berlangsung ketika Idul fitri dirayakan. Namun gemuruh didalam hati seolah membakar nyali hingga melalap semua sekat ketidakberanian yang sebelumnya masih mengetuk. Hanya dengan niat dan kesungguhan, akhirnya mampu berbicara dari hati ke hati, menyampaikan maksud pada Ayahanda. Menunduk dengan sesekali memandang wajahnya yang kemudian tertangkap oleh pupilnya yang sedang mendalami keinginan anak gadisnya. " Bapak cuma bisa mendukung apapun itu kegiatan kamu, selama itu masih positif dan bermanfaat. Kamu sudah dewasa, kamu bisa memutuskan apapun itu pilihan kamu. Jaga diri nak, kamu perempuan". Beliau selalu begitu. Bapak terbijak yanng tak pernah luruh kebijakannya.
Dengan izin yang sudah dikantongi, bukan berarti perjalanan siap dimulai. Tepat pada H-5 sebelum keberangkatan sepotong 'godaan' melintas. Mendapat tawaran pekerjaan langsung dari direktur bukanlah hal yang mudah untuk diabaikan. Terlebih lagi Ibunda cukup menyetujui jika puterinya segera bekerja. Rasanya aneh ketika saya lebih memilih untuk tetap melanjutkan rencana mendaki daripada bekerja sesuai dengan profesi. Tetapi itulah keputusan yang harus saya ambil ketika harus memilih.
Hari itu pun tiba, setelah jadwal pendakian harus tertunda satu hari. Tepat pada tanggal 31 Agustus 2011 pukul 16.00 WIB dengan diantar oleh kakak perempuan menuju terminal 16 C di Kota Metro dengan menggunakan sepeda motor, hanya memerlukan waktu 45 menit untuk sampai disana. Dalam perjalanan ada yang terselip diantara rasa yang membahana. Cukup berat meninggalkan kebersamaan dengan keluarga. Sampai tepat di belakang bus yang siap melaju menuju Bandar Lampung. Mencium punggung tangan kakak perempuan, kemudian naik ke dalam bus yang akan menghantarkan saya menuju terminal rajabasa, Bandar Lampung dalam waktu satu jam. Kemudian dilanjutkan dengan bus menuju pelabuhan Bakauheni selama empat jam. Sesampai di pelabuhan langsung menuju kapal ferry yang siap berlayar sekitar dua jam untuk berlabuh di Merak. Masih lekat dalam ingatan dalam perjalanan, ditemani oleh pesan singkat yang cukup menghibur dari teman yang sedang packing katanya. Potongan pesan yang kadang membuat saya tersenyum seperti orang gila. Canda yang menemani perjalanan yang tidak singkat.
Melanjutkan perjalanan dari Merak menuju terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Dengan waktu berkisar empat jam. Alhamdulilah pukul 04.00WIB sampai dimushola terminal Kampung Rambutan. Empat jam lebih awal dari perkiraan. Syukurlah. Menikmati syahdu subuh di terminal. Menanti Jingga menyemburkan pilar-pilar cahayanya yang tak pernah redup. Perjalanan kembali dilanjutkan menuju Citeurup-Bogor menuju kediaman teh Devya yang juga bergabung dalam pendakian ini.
Tak cukup untuk menceritakan secara detik, sesampai di Bogor pukul 08.00 WIB banyak waktu yang saya isi dengan beberapa kegiatan. Mandi, makan, repacking, hingga tidur. Kami sampai di stasiun Senen pada pukul 13 sekian menit. Terlambat dari perjanjian awal. Sesampai di stasiun Senen, saya dan teh Devya bergabung dengan mas Arief dan mas Amoy yang sudah sedari tadi berada di stasiun. Sedikit berbasa-basi menunggu kedatangan mas Tono yang membelikan kami tiket kereta api. Menurut informasi dari mas Arief, mas Tono masih dalam perjalanan. Hingga saya memutuskan untuk melaksanakan shalah dzuhur dan membeli makanan sekadarnya. Namun belum juga menemukan mushola, mas Arief mengabarkan bahwa kereta akan segera berangkat. Dengan setengah berlari kami menuju stasiun dan bergabung dengan mereka berdua yang sudah siap masuk ke dalam stasiun.
Alhamdulilah, di gerbong 4 kami bergabung dengan rombongan pendaki dari Jakarta yang beranggotakan sembilan orang. Namun yang sduah datang baru lima, empat diantaranya adalah mas Tono yang akhirnya tertinggal kereta. Kami berempat hanya mendapat dua kursi, sehingga mas Arief dan mas Amoy merelakan diri untuk berdiri dan sesekali bergantian tempat duduk dengan saya.
Saya membayangkan perjalanan yang panjang didalam kereta. Jakarta- Malang menghabiskan waktu berkisar dua puluh jam bahkan bisa lebih. Tidak ada manfaatnya jika harus ditambahkan sederet keluhan, hingga senang atau tidak perjalanan ini harus dinikmati. Didalam kereta tak jarang gelak tawa memenuhi bincangan kami. Entah apapun yang terjadi bisa dibuat lelucon yang renyah.
Melewati stasiun per stasiun membuat menunggu tak lagi mengasyikkan. Akhirnya penantian ini berujung ketika stasiun Malang berada didepan mata. Alhamdulilah kami sampai sekitar pukul 08 lebih. Tak lupa mengabadikan beberapa pose di stasiun.
Menyempatkan diri untuk mengisi perut dengan sepiring nasi rawon yang cukup nikmat, dilanjutkan dengan ice cream kiwi yang menggiurkan. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju terminal Tumpang dengan menyewa angkot dengan harga akhir delapan puluh ribu rupiah. Seperti tak ada habisnya sesuatu yang bisa ditertawakan! menertawakan kelelahan yang berusaha menyelimuti kami, namun gagal. Kebersamaan yang sangat disayangkan untuk dihabiskan dengan berpeluh dengan lelah.
Sampai di pasar tumpang, kami menunggu rombongan dari Ambarawa yang tersedat oleh macet. Menikmati waktu dengan berjalan-jalan dipasar mencicipi bakso, mondar-mandir ke alfamart bukan untuk berlanja melainkan untuk menumpang ke toilet, menikmati shalat dimasjid yang megah dan akhirnya rombongan ambawara tiba sekitar pukul 13 sekian menit.
Senangnya melihat wajah wajah saudara seperjuangan yang mulai tampak! Ada bang Agha Saus Tiram, bang Ipank, Bang aga, mas Dodhy ( sebenarnya udah datang lebih dulu), yang lain belum kenal.(hehehe). Dengan riang mendekati dan menyalami mereka satu persatu. Selanjutnya berkenalan dengan tiga wanita yang sudah diketahui namanya. Ada mbak Fa, mbak Mei dan Mba Ven. Selalu tidak lupa untuk mengabadikan pose:)
Semua peralatan dan carrier sudah dinaikan dan ditata rapi di atas jeep. Kemudian kami satu persatu menyusun diri diatas jeep. Perjalanan dengan anggota lengkap kembali dimulai..
Bismillah..
Bismillah..
Kesempurnaan itu hanya bagaimana mata berani memandang. Memandang dari dan pada arah yang mana. Layaknya kebahagiaan, hanya ada dalam dua tempat. Otak dan Hati. Hanya pada dua kutub, negatif dan positif. Hanya ada dua bagian, pikiran dan rasa...
Tawa dari barisan yang lengkap lebih memiliki zat perekat yang kuat. Meski mungkin ada hati yang tak berkenan, namun tak lagi menjadi masalah. Kebersamaan lebih dijunjung tinggi daripada hati yang lelah menjadi bahan gurauan. Kami menikmati perjalanan meski lelah tak lepas, berdiri berhimpitan dengan kanan-kiri merupakan jurang yang curam. Tak mengapa! masih ada langit biru dengan awan putih yang menakjubkan. Tanjakan, turunan, tikungan tajam, debu mengepul,menjadi rekan yang berkenan setia dalam perjalanan. Kembali tawa seolah produk yang tak pernah habis untuk diproduksi.
Tak ada kata yangg lebih indah untuk memuji ciptaan Allah yang puncaknya sudah menggoda. Mahameru sudah tampak dari kejauhan. Bromo melambaikan tangan seolah mengajak kami untuk mampir menjamahnya. Melihat padang savana yang hijaunya kini dilalap oleh arang. Namun tak mengurangi keindahannya. Hingga akhirnya jeep membawa kami tepat pada dataran yang dinamai Ranupane. Ranupane yang sudah ramai oleh pendaki. Hawa dingin menyeruak, sementara sunset mulai menenggelamkan diri dibalik ranting pinus yang tak seberapa.
Mas Adhi mulai bertindak mengurus perizinan kami, sementara yang lain packing, kemudian bang Aga mulai membagi peralatan kelompok yang harus dibawa oleh tiap orang. Sementara saya, mulai menjahili mereka. Mengabadikan satu persatu moment yang berkesan. Menatap delapan belas manusia dengan pribadi dan karakter yang berbeda, yang dalam empat hari kedepan akan bersama menikmati jingga, terik surya, senja, kemudian purnama yang belum paripurna. ah, Dunia! Inilah kami yang mencintai keindahan Pencipta.
Saya perkenalkan satu persatu tim kami, ada;
1. Adhi Kurniawan
2. Agha Sam Tirta
3. Bhakti Nagara Afirianto
4.Dwi Yanis Wijanarko
5.Brahmantyo baskoro
6. Aizhar cikiciiiw
7. Meita Kurnia Warnaningsih
8.Dodhy Rhitonga
9. Irfan Kumi
10. Lathifa Bidarani
11. Noven K. Nugraheni
12. Muhammad Husni Santriaji
13. Arief Ridhatama
14. Zaky Muala
15. Devya Ayu Kasha
16. Feny Mariantika
17. Yudi Wowod Putranto
18. Amoy Doank
18. Amoy Doank
19.Adhi Nugroho
**Nama sesuai dengan akun faceboook
Setelah magrib berlalu kami mulai berkumpul dan berdoa dengan khusyuk. Meminta Tuhan merindoi langkah kami menyusuri semeru hingga mahameru. Kami dibagi menjadi tiga kelompok. kelompok 1 terdiri dari Mas Aji, saya, mba Fafa, mba Ven, mba Mei, teh Devya dan bang Ipank. kelompok 2 dan 3 terdiri dari para lelaki yang tersisa.( maaf, lupa!)
Berjalanan dimulai dari Ranu Pane. Dengan medan yang datar dan beberapa tanjakan hingga berada di pos satu. Melewati medan untuk mencapai pos satu masih begitu ringan, meski di titik awal mba Mei mengalami penurunan stamina yang signifikan,sehingga harus saya dopping dengan multivitamin. Menikmati pemandangan langit yang sungguh-sungguh tak bisa didefinisikan melalui kata. Gulita yang sekejap sirna ulah cahaya bintang dan potongan bulan seolah sengaja dihadirkan untuk malam ini, esok dan selanjutnya.
Langkah yang tak seberapa namun membuat kita mampu melewati pos 2, 3, 4, dan sampai ditempat yang kita tuju untuk mendirikan tenda dan menghabiskan waktu malam ini. Ranu Kumbolo. Ya, ditepi danau, dibalik bukit. Usai melewati turunan berupa pasir yang mudah meluruh.
Ingin rasanya mata merekam semua detail perhiasan langit yang terguntai, pepohonan berbaris rapi diantara, pasir melebur, menyelip dibalik ilalang, wewangian alam yang tak tergantikan, lantas dingin menyerukan angin melalap kehangatan dalam sisi Ranu Kumbolo...
Desiran angin seolah menghentikan aliran darah, dingin membuat rankum menjadi kulkas alam yang tak pernah mati. Apapun yang berada disini terancam beku, kecuali hati.(cie-cie)
Kami sampai di Ranu Kumbolo dengan empat tenda yang sudah berdiri gagah. Kemudian dengan gemetaran mulai melaksanakan shalat magrib dan isya. Lantas bergabung dengan mas Aji untuk memasak makanan malam ini. Meski yang tersisa hanya saya, mas Aji, mas Agha, bang Aga, bang Ipank. Sementara yang lain lebih memilih untuk tidur. Menu malam ini dengan bahan dasar mie, telur, bakso, sosis, ati ayam, dan aneka bumbu. Meski angin semakin membuat darah berdesir mencari kehangatan, namun tak kunjung membuat kami menghentikan masak memasak ini. Setelah masakan matang, saya memutuskan untuk masuk kedalam tenda menyusul empat rekan saya yang sedari tadi didalamnya. Memaksa mereka untuk menyantap meski hanya sesuap, memberi kehangatan pada mereka melalui telapak tangan yang masih hangat. Tubuh saya sangat jarang teraba dingin, selalu hangat seperti biasanya. Menurut dunia kedokteran, keseimbangan zat dalam darah yang membuat saya tetap hangat. Bersyukur :)
Baru kali ini bermalam digunung tanpa slepping bag (SB), karena bang Ipank tidak membawakan untuk saya. Jangankan untuk saya, untuk dirinya pun dia tidak membawa. Dengan atau tanpa SB malam tetap berlalu.
Ketika fajar mengetuk malam mengakhiri gelap, dengan semburat jingga yang mulai menyibak surya. Tak ada kokok ayam ataupun adzan yang dikumandangkan, yang ada hanya semilir angin danau yang menambah kebekuan pagi ini. Memaksa diri untuk beranjak dari dalam tenda. Melawan dingin dan kantuk.
Subhanallah..
Betapa indahnya pemandangan pagi ini. Udara dengan bebas hilir mudik mengikuti arah membawa air yang tenang dari timur ke barat, teratur menyeret segenap oksigen yang diburu oleh ikan kecil mengikuti cahaya. Bulir lembut mengembang di rerumputan, syahdu nun sendu. Tenda yang dipadati oleh embun, bukit yang menguning efek jingga melesak dibalik belahan pinus. ah, Tuhan Maha indah...
Membiarkan dingin terkalahkan. Bersama mba Noven lari lari kecil kemudian memanjat bukit yang berada tepat di depan tenda. Sendiri karena yang lain sepertinya tak berniat untuk melihat keindahan di atasnya. Ada semangat yang berwenang tak membiarkan waktu terbuang hanya untuk menikmati dingin membekukan suasana. Sendiri menyusuri anak rumput yang tumbuh sembarang. Ada yang hijau kemudian menguning bahkan nyaris cokelat. Merebahkan tubuh diatasnya, menikmati kehangatan mahahari dan betatap langsung dengan langit biru nun bersih. Hingga mata terlelap selama belasan menit. Khawatir dianggap hilang, saya memutuskan untuk kembali ke perkemahan. ( Meski tak ada yang mencari. hehehhee)
Kembali menepi di pinggir danau, mengumpulkan bahan makanan yang akan dimasak. Memilah bahan bahan yang harus diolah saat ini juga. Akhirnya telur dan tepung diolah menjadi santapan lezat. Mas Aji dan mas Adhi membuat pancake dengan bahan dasar tepung, cokelat batang, keju, telur dan susu. Sedangkan saya meracik bahan dari telur, bawang merah, dan daun bawang. Kemudian meracik bumbu tempe dan merendam tempe setelah mengaduknya dengan tepung. Alhamdulilah menu masakan ini berhasil diselesaikan dan hasilnya cukup memuaskan. Tempe goreng dan telur dadar membuat saya senang, after taste cukup menyamankan lidah dan perut. Usai makan siang, kami bergegas untuk berpindah menuju pos Kali Mati.
Setelah semua shalat dzuhur berjamaah, kami memulai perjalanan dengan menyusuri danau Ranu Kumbolo. Jalan setapak yang di sisi kiri langsung berhadapan dengan danau yang tenang. Meski berdebu karena terik semakin menyengat. Terlebih lagi harus melewati tanjakan cinta. Yang melihatnya pun sudah membuat nafas naik turun. Dikatakan tanjakan cinta konon ada sepasang kekasih yang mendaki kemudian meninggal saat menanjak dibukit itu. Namun cerita tinggallah cerita, meski kini jika ada yanng melewati tanjakan cinta terdapat mitos bahwa jika ingin dipersatukan dengan orang yang dicintai, bayangkan dia ketika menanjak ditanjakan cinta dengan syarat tidak menengok kebelakang dan tidak berhenti selama mendaki tanjakan cinta. Itulah salah satu budaya Indonesia yang penuh dengan mitos di setiap geriknya.
Mampu melewati tanjakan cinta, kami dipertemukan dengan oro-oro ombo yang menyugukan medan yang datar. senang sekali rasanya. Beristirahat sejenak kemudian melanjutkan perjalanan kembali.
Kemudian melaanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di pos Kali Mati pada malam hari. Stamina sudah menurun, semua anggota sudah lelah. Kami berbagi tugs, ada yang memasak, ada yang mencari air, ada yang mendirikan tenda. Semua harus bergerak cepat, mengingat tengah malam harus bersiap-siap untuk summit ke puncak Mahameru.
Sekitar pukul 00.30, tim yang summit sudah bersiap-siap. Kami yang perempuan tidak diperkenankan untuk ikut karena cuaca sedang tidk baik dan beberapa kondisi dari anggota yang lain juga kurang sehat. Sehingga hanya ada beberapa orang aja yang tetap memutuskan untuk menuju puncak.
Saya termasuk yang tidak ikut. Saya di dalam tenda, mendoakan mereka agar selamat sampai turun di pos Kali Mati. Hingga pagi datang lagi, kami yang menunggu di pos menyiapkan makanan untuk mereka. Satu per satu teman kami turun dari puncak, mereka menceritakan betapa tidak baik kondisi di atas sana. Ada beberapa teman yang bahkan harus dicari oleh petugas karena sudah berjam-jam tidak juga turun. Ternyata ia kehabisan minum dan kelelahan, kami begitu mengkhawatirkannya.
Saat matahari sudah mulai meninggi, kami mulai mempersiapkan perjalanan untuk pulang dengan sisa tenaga. Sambil mengantuk dipadu dengan humor seadanya. Kami sampai di Ranu Pane pada malam hari. Kembali bermalam sebelum esok hari berpisah dan kembali ke rumah masiing-masing.
Dan pada pendakian ini, saya berhutang puncak pada Mahameru. Suatu hari saya akan kembali, untuk melunasinya.
Kami sampai di Ranu Kumbolo dengan empat tenda yang sudah berdiri gagah. Kemudian dengan gemetaran mulai melaksanakan shalat magrib dan isya. Lantas bergabung dengan mas Aji untuk memasak makanan malam ini. Meski yang tersisa hanya saya, mas Aji, mas Agha, bang Aga, bang Ipank. Sementara yang lain lebih memilih untuk tidur. Menu malam ini dengan bahan dasar mie, telur, bakso, sosis, ati ayam, dan aneka bumbu. Meski angin semakin membuat darah berdesir mencari kehangatan, namun tak kunjung membuat kami menghentikan masak memasak ini. Setelah masakan matang, saya memutuskan untuk masuk kedalam tenda menyusul empat rekan saya yang sedari tadi didalamnya. Memaksa mereka untuk menyantap meski hanya sesuap, memberi kehangatan pada mereka melalui telapak tangan yang masih hangat. Tubuh saya sangat jarang teraba dingin, selalu hangat seperti biasanya. Menurut dunia kedokteran, keseimbangan zat dalam darah yang membuat saya tetap hangat. Bersyukur :)
Baru kali ini bermalam digunung tanpa slepping bag (SB), karena bang Ipank tidak membawakan untuk saya. Jangankan untuk saya, untuk dirinya pun dia tidak membawa. Dengan atau tanpa SB malam tetap berlalu.
Ketika fajar mengetuk malam mengakhiri gelap, dengan semburat jingga yang mulai menyibak surya. Tak ada kokok ayam ataupun adzan yang dikumandangkan, yang ada hanya semilir angin danau yang menambah kebekuan pagi ini. Memaksa diri untuk beranjak dari dalam tenda. Melawan dingin dan kantuk.
Subhanallah..
Betapa indahnya pemandangan pagi ini. Udara dengan bebas hilir mudik mengikuti arah membawa air yang tenang dari timur ke barat, teratur menyeret segenap oksigen yang diburu oleh ikan kecil mengikuti cahaya. Bulir lembut mengembang di rerumputan, syahdu nun sendu. Tenda yang dipadati oleh embun, bukit yang menguning efek jingga melesak dibalik belahan pinus. ah, Tuhan Maha indah...
Membiarkan dingin terkalahkan. Bersama mba Noven lari lari kecil kemudian memanjat bukit yang berada tepat di depan tenda. Sendiri karena yang lain sepertinya tak berniat untuk melihat keindahan di atasnya. Ada semangat yang berwenang tak membiarkan waktu terbuang hanya untuk menikmati dingin membekukan suasana. Sendiri menyusuri anak rumput yang tumbuh sembarang. Ada yang hijau kemudian menguning bahkan nyaris cokelat. Merebahkan tubuh diatasnya, menikmati kehangatan mahahari dan betatap langsung dengan langit biru nun bersih. Hingga mata terlelap selama belasan menit. Khawatir dianggap hilang, saya memutuskan untuk kembali ke perkemahan. ( Meski tak ada yang mencari. hehehhee)
Kembali menepi di pinggir danau, mengumpulkan bahan makanan yang akan dimasak. Memilah bahan bahan yang harus diolah saat ini juga. Akhirnya telur dan tepung diolah menjadi santapan lezat. Mas Aji dan mas Adhi membuat pancake dengan bahan dasar tepung, cokelat batang, keju, telur dan susu. Sedangkan saya meracik bahan dari telur, bawang merah, dan daun bawang. Kemudian meracik bumbu tempe dan merendam tempe setelah mengaduknya dengan tepung. Alhamdulilah menu masakan ini berhasil diselesaikan dan hasilnya cukup memuaskan. Tempe goreng dan telur dadar membuat saya senang, after taste cukup menyamankan lidah dan perut. Usai makan siang, kami bergegas untuk berpindah menuju pos Kali Mati.
Setelah semua shalat dzuhur berjamaah, kami memulai perjalanan dengan menyusuri danau Ranu Kumbolo. Jalan setapak yang di sisi kiri langsung berhadapan dengan danau yang tenang. Meski berdebu karena terik semakin menyengat. Terlebih lagi harus melewati tanjakan cinta. Yang melihatnya pun sudah membuat nafas naik turun. Dikatakan tanjakan cinta konon ada sepasang kekasih yang mendaki kemudian meninggal saat menanjak dibukit itu. Namun cerita tinggallah cerita, meski kini jika ada yanng melewati tanjakan cinta terdapat mitos bahwa jika ingin dipersatukan dengan orang yang dicintai, bayangkan dia ketika menanjak ditanjakan cinta dengan syarat tidak menengok kebelakang dan tidak berhenti selama mendaki tanjakan cinta. Itulah salah satu budaya Indonesia yang penuh dengan mitos di setiap geriknya.
Mampu melewati tanjakan cinta, kami dipertemukan dengan oro-oro ombo yang menyugukan medan yang datar. senang sekali rasanya. Beristirahat sejenak kemudian melanjutkan perjalanan kembali.
Kemudian melaanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di pos Kali Mati pada malam hari. Stamina sudah menurun, semua anggota sudah lelah. Kami berbagi tugs, ada yang memasak, ada yang mencari air, ada yang mendirikan tenda. Semua harus bergerak cepat, mengingat tengah malam harus bersiap-siap untuk summit ke puncak Mahameru.
Sekitar pukul 00.30, tim yang summit sudah bersiap-siap. Kami yang perempuan tidak diperkenankan untuk ikut karena cuaca sedang tidk baik dan beberapa kondisi dari anggota yang lain juga kurang sehat. Sehingga hanya ada beberapa orang aja yang tetap memutuskan untuk menuju puncak.
Saya termasuk yang tidak ikut. Saya di dalam tenda, mendoakan mereka agar selamat sampai turun di pos Kali Mati. Hingga pagi datang lagi, kami yang menunggu di pos menyiapkan makanan untuk mereka. Satu per satu teman kami turun dari puncak, mereka menceritakan betapa tidak baik kondisi di atas sana. Ada beberapa teman yang bahkan harus dicari oleh petugas karena sudah berjam-jam tidak juga turun. Ternyata ia kehabisan minum dan kelelahan, kami begitu mengkhawatirkannya.
Saat matahari sudah mulai meninggi, kami mulai mempersiapkan perjalanan untuk pulang dengan sisa tenaga. Sambil mengantuk dipadu dengan humor seadanya. Kami sampai di Ranu Pane pada malam hari. Kembali bermalam sebelum esok hari berpisah dan kembali ke rumah masiing-masing.
Dan pada pendakian ini, saya berhutang puncak pada Mahameru. Suatu hari saya akan kembali, untuk melunasinya.
0 komentar :
Posting Komentar