TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for Maret 2012



Budaya (Ramah) Tanpa 'Brand'


Sudah terbiasa indera pendengaran kita mendengar bahwa senyum adalah ibadah, Senyum dalam 'kepercayaan' apapun menjadi simbol keramahan seseorang, Senyum dalam dunia kesehatan juga menjadi salah satu olahraga untuk otot-otot yang tedapat diwajah dan sekitarnya. Ya, senyum memang menjadi ikon terlumrah mewakili keramahan.

Akhir-akhir ini tanpa sengaja saya mengamati sebuah budaya yang lahir dari masyarakat,Indonesia khususnya.

Keramahan,dari kata dasar ramah yang artinya baik hati dan menarik budi bahasanya, manis tutur katanya,suka bergaul, menyenangkan. Budaya yang kini sering saya lihat kerap dilakukan oleh lapisan marginal. Jika kita berbicara tentang lapisan masyarakat, tentu saja lapisan terbawah merupakan lapisan yang paling dekat dengan kita. Atau dikenal juga dengan orang pinggiran.

Tenggok saja perkampungan 'kumuh' yang tumbuh dibalik tembok nun tinggi. Tembok yang seolah memang dibangun untuk menciptakan sekat, batas atau apapun kita menyebutnya. Sekat yang sengaja dibangun sebagai pembeda. Mereka yang berkeliling 'membersihkan' tong sampah didepan rumah kemudian dipindahkan kedalam karung yang melekat dibahu mereka. Mereka 'membersihkan' kemudian menyapa dan memberi senyuman. Meski ada yang membalas dengan senyuman namun tak sedikit yang membalas dengan wajah yang dipadamkan.

Sering kita mendengar " tidak level " atau " oh, bukan kelas kita" dan ungkapan sejenisnya. Tentu saja ini yang membuat sebuah himpunan kelas sesuai golongan ataupun  kelas sosial.

Kadang, saya cukup risih dengan tontonan dengan pemeran utama si kaya dengan si miskin. Kenapa? karena yang saya lihat pada kenyataan yang berbeda.

Suatu hari saya melihat si miskin lebih sering membudayakan keramahan ini dari pada si kaya. Pada saat yang berbeda, si miskin seolah tidak mengenal keramahan saat sedang dalam himpunan sesama si miskin. Berbeda ketika si kaya berada dalam himpunan si kaya, keramahan si kaya seolah luruh dan mencair menjadi senyum dan manisnya kata. Apakah budaya ini dilahirkan dengan rumus berbanding terbalik?

Saya tertegun. Sesekali mengoreksi hati dibalik rongga dada ini. Bertanya? Mungkin saya pernah melakukan hal yang sama. Dengan atau tanpa disadari. Mungkin. Atau bahkan itu yang disebut sebagai 'ke-profesionalitas'? atau ' fleksibelisme'?

Sebenarnya apa yang dibudayakan? sebuah kepura-puraan yang menjadi topeng dari keramahan? atau budaya ini hanya berlaku sesuai dengan hukum diagonal ruang? entahlah! saya tidak tahu pasti. Yang saya ketahui hanyalah, budaya ini wajib kita terapkan dengan siapapun, kapanpun, dimanapun, tanpa harus mengetahui siapa yang dia sembah, apa yang dia yakini, dari mana dia berasal, apakah merk bajunya dan 'brand' lainnya. 

Keramahan yang berwujud ter-ringan adalah SENYUM. Jika suasana hati sedang dalam titik yang tidak seimbang, maka terseyumlah. Tidak perlu memaksa untuk menyapa atau bertutur manis, senyum pun sudah cukup. Tetapi keramahan memang kompleks, dan tidak ditunggalkan hanya dengan senyum. Ingat apa yang saya tulis, senyum hanya bagian dari keramahan itu, bukan wujud tunggalnya.

Buatlah menjadi nyata apa yang dunia kenal dari masyarakat kita, kita terkenal dengan keramahan dikancah dunia, bukan suatu masalah jika itu nyata didalam kehidupan kita, di Indonesia dengan sesama orang Indonesia:)

Tersenyumlah:)
karena tersenyum bagian dari keramahan,
Budaya (ramah) tanpa ' brand'




Simple ' L'
*Sepotong cerita tentang L



Kita saling membelakangi matahari yang tertutup awan kelabu. Aku melayangkan pandangan pada gerimis yang perlahan memperbanyak diri. Diruang kerja yang luas ini cukup membuat imajinasiku berhasil menari-nari diatas sepi. Membayangkan dirimu didalam gedung yang tengah sibuk dengan angka angka yang mungkin membuat kau mengerutkan dahi. Sesekali kau memandangi lukisan diseberangmu, lukisan Tuhan yang tak bisa kau sentuh, sebuah perkampungan dengan latar gunung salak nun gagah dengan awan dipuncaknya.

Waktu masih bisa dihitung oleh jari. Meski membutuhkan jari tambahan oranglain. Aku mencoba menguatkan hati ketika harus kembali berjarak dengan mu. Walaupun dalam dekatpun kita tak sering mengadu senyum. Namun tak mengerti mengapa kali ini memberatkan ku. Kau harus berada di kota yang menjadi salah satu rencana untuk kita hidup disana. Kota hujan yang membuatmu semakin damai dalam hari. Sepertinya kau sangat menikmati tempat itu, dan aku semakin menekuk wajahku. Bukan karena tak senang tetapi lebih seperti ‘iri’ karena kau disana belum bersamaku.

Perjalanan ini masih terlalu lambat. Bahkan kita baru berada dikilometer awal. Meski dalam benak ku sudah tertayangkan tempat terindah yang sedang kita tuju. Berusaha menjaga kekuatan kaki agar dapat tetap berdiri dan melangkah, menutup mata kala debu berlalu dibawa angin, bahkan kita tidak lupa mempersiapkan mantel hujan untuk melindungi diri ketika tidak ada tempat untuk berteduh.

Seperti yang kita ketahui tidak ada yang pasti didunia ini kecuali ketidakpastian itu sendiri. Aku tak memungkiri bahwa keraguan itu kerap membangunkan aku sejenak, kembali menimang ‘tentang’ kita yang belum sampai pada dermaga. Namun kau selalu mengatakan bahwa jika bukan diri sendiri yang meyakinkan, lantas siapa yang akan menumbuhkan kepastiaan dan keyakinan tersebut. Hati memang mampu menyerap kalimat itu, namun logika tetap saja bergantung pada realitas. Kenyataan yang membuatku ingin terus bermimpi dan bermimpi. 

Baru aku memahami mengapa sebagian besar wanita gundah ketika beranjak pada fase dewasa namun belum mendapatkan tanda untuk mengakhiri masa lajang, aku paham itu sekarang. Meski kini aku menamai diriku dewasa awal, dan belum merasakan kegundahan yang serupa dengan mereka. Hal tersebut belum menjadi masalahku, tapi tetap saja aku terpaksa turut merasa gundah akan beberapa rekan ku yang memang sudah waktunya menjadi seorang isteri namun belum juga terwujud. Ya, jodoh memang ditangan Tuhan. Tetapi bukan berarti kita berdiam diri dan hanya menunggu. Mintalah pada Tuhan, dan jemput dia. Bukankah ini menjadi sunnah Nabi demi kesempurnaan agama? Jika sudah waktunya mengapa harus ditunda hanya karena belum memiliki harta yang berlimpah? Rasanya itu cerminan dari ketidakyakinan bahwa Tuhan akan melipatgandakan rezeky mereka yang sudah menikah? Ya, aku senang sekali dengan materi yang ku baca dan ku dengar akhir-akhir ini. Tentang hidup, tentang pernikahan, dan tentang berbagi..

Usai romantisme dengan Tuhan tiap menjelang matahari terbit, kita selalu berbagi tentang hari. Tentang rencana dan beberapa impian terdepan. Aku menyampainkannya penuh semangat yang kadang berlebih, dan kau menjadi pendengar yang baik sebulum giliranmu mengutarakannya. Aku menyukai moment itu, saat dimana kita saling menyalurkan semangat dan energi positif, dan satu hal yang ku ingat tentang mu! Tentang senyum dan kedewasaanmu, yang mungkin tak kudapati pada sosok beda meski lebih baik dari mu.

Beberapa hari yang lalu ada kegetiran yang menciptakan tawa. Kebetulan sekali aku memiliki golongan darah AB dan yang ku ketahui golongan darah mu O. Menurut salah satu dosen keperawatan ditempatku bekerja, beliau mengatakan bahwa jika AB dan O menikah akan ada beberapa resiko yang akan diderita oleh anak. Tentu saja aku khawatir akan ini, ketika rekan-rekan ku menyarankan untuk mengganti pasangan, dengan spontan aku menjawab “ lebih baik mengganti golongan darah dari pada harus mengganti pasangan”lantas tawa membahana. Ya, tampak terlalu sinetron, namun inilah dunia hati. Tidak mudah untuk mendapatkan penghuni hati yang pas dengan rumahnya. Seperti rhesus, jika berlawanan akan berakibat fatal.


Menjadi edelwise yang berada dipuncak gunung, yang tidak mudah untuk dijangkau oleh khalayak kecuali seseorang yang berjuang ke puncak untuk melihatnya. Edelwise tidak boleh dibawa ke sembarang tempat, karena suhu akan membuatnya terjaga. Tempatnya memang disini, dipuncak- dipuncak hatiJ

Dalam do’a yang terurai, perlahan meminta pada Tuhan agar menjaga kita dari keburukan, keburukan manusia. Membatasi dengan aneka sekat agar terjaga. Kau selalu menghargaiku layaknya aku sebuah gelas nun cantik yang berada didalam sebuah lemari hias. Yang hanya bisa kau sentuh dan kau bawa jika kau sudah membelinya pada Sang Pemilik. Kini kau belum berhak atas ku. Hanya mata mu yang diizinkan untuk sesekali melihat, itupun dari sudut pandang yang tak terjangkau. Bersabarlah seperti katamu, karena Tuhan bersama hambaNya yang sabar.

Jika Tuhan menggerakan tanganNya untuk kita, kelak akan ku lanjutkan cerita ini. Dan kita tidak lagi pada ruang yang berbeda, melainkan aku menulisnya disamping mu menikmati senja dihiasi gerimis dikota hujan, seperti impian kitaJ,semoga..
Insomia 'Terencana'

pictures by Bhakti N.A

Meski satu siang dihabiskan oleh pekerjaan yang tidak seberapa, namun tetap saja mengurangi energi. Well, akhir-akhir ini memang sedang 'bergelut' kembali dengan sisi lain. SISI LAIN? terdengar horor? bukan, bukan itu. Tetapi sisi lain dari diri :)


Hmm, begini. Saya ingin bertanya suatu pertanyaan yang mungkin sudah banyak orang lain tanyakan terlebih dahulu sebelum saya. ehm, Pernah melakukan sesuatu yang terpaksa? atau menjadi sesuatu karena permintaan orang yang kita sayangi??

" oh iya, saya bisa merasakan hal itu karena saya juga pernah...."


atau

" Saya pikir itu wujud sebuah pengorbanan demi..., meski saya tidak pernah mengalaminya..."

atau bahkan

" Ya, bukan masalah. Saya gak tahu harus bagaimana dan jadi apa. So, saya ikuti saja:)"

Beragam tentunya jawaban dari 'responden' yang menjawab pertanyaan. Ini tentang PILIHAN dan apa yang kita pilih adalah benar sebuah PILIHAN?

Saya ingin bercerita tentang saya, meski saya bukan siapa-siapa, tapi anggaplah saya seseorang yang kelak akan mejadi 'SIAPA'. 
Saya mungkin salah seorang yang bingung terhadap pilihan. Misalnya saja ketika harus memilih sebuah pekerjaan. Saya memiliki profesi karena kuliah saya dibidang kesehatan,sebagai Bidan. Apa yang kalian ketahui tentang bidan? semacam 'dukun beranak' atau yang biasa kalian panggil 'suster'?? jika Ya, maka kalian salah! Bidan itu profesi yang sangat komplit. Jika tidak percaya, datangi saja Bidan terdekat, atau saya, mungkin?:). 
Ketika saya menjalani kuliah dikebidanan pun merupakan 'pilihan' dari Ayahanda yang menginginkan saya menjadi seorang bidan. Dengan pertimbangan agar usai lulus kuliah tidak kesulitan mencari kerja. Ya, memang tidak sulit bagi bidan untuk mendapatkan perkerjaan. Tanpa mencari pun akan mendapatkan tawaran itu, namun tidak bagi saya. Saya pernah mencoba untuk mengabdikan diri menjadi seorang bidan. Saya menyukai pekerjaan ini,sebenarnya. Tapi, saya sering dihantui oleh sisi lain saya. Saya seolah dituntut untuk menjadi ini dan ini. Keduanya sama berat. Saya tidak mungkin meninggalkan predikat sebagai bidan karena saya menghargai kerjakeras Bapak dan do'a Ibu untuk saya menyelsaikan kuliah ini tahun lalu. Namun saya juga tidak bisa ' membunuh' sisi lain saya yang masih ingin terbang lebih jauh  bersama terik matahari yang berbeda koma. Hingga saat ini saya masih 'bingung' memilih yang mana. Menjadi salah satu penyebab semakin tak menentu, dan insomia malam ini memang terencanakan. Saya ingin menghabiskan malam ini untuk membaca, menulis dan berdiskusi.


Menjelang isya, saya pun mengakhiri sebuah diskusi dengan beberapa penulis 'sejarah'. Mereka yang mampu mengepakan sayap dengan pilihan yang tepat. Salah satu dari mereka mengatakan "temukan pekerjaan yang tidak membebani mu, lantas berkaryalah dibumi Tuhan yang luas". Kalimat itu seolah merebus semangat saya yang sempat saya 'bekukan' dalam enam bulan terakhir. Saya belum juga mantap memilih meski sudah beberapa kali meminta petujuk pada Sang MahaTahu, mungkin saya yang kurang seriuse bertanya padaNya atau petunjuk sudah didepan mata namun saya yang bodoh ini tidak menyadari itu?? hahaha

Saya mungkin sedang 'lupa' dengan apa yang pernah saya tulis,bahwa "Tuhan itu Mahakreatif. Ia memberikan tidak dengan satu cara, namun beraneka cara. Agar kita mau berusaha dan sabar didalamnya. Tuhan memberi petunjuk dengan atau tanpa perantara. Dengan pencitraan indera atau dengan jangkauan hati".


Ya, keberhasilan yang tertunda tahun lalu memang masih memberikan efek 'jera' yang cukup, hingga saya pun berulang kali menguatkan posisi' tegak'. Posisi yang saya pertahankan untuk impian, impian yang saya tulis dengan huruf kapital bahwa saya percaya, Impian itu akan menjelma didalam semangat dan keinginan yang luar biasa. Tidak perduli rupiah yang tersisa, semua ada jalannya. 

Pilihan itu diciptakan untuk dipilih. ya, DIPILIH!

Sampai detik ini saya sedang dalam proses menentukan pilihan. Berharap kelak apa yang nantinya saya pilih memang yang terbaik untuk saya, keluarga dan kita semua.

" Kadang apa yang kita anggap itu pilihan yang terbaik, bukan sebenarnya yang terbaik. Kembalikan lagi kepada Sang Maha Mengetahui. Ia sebaik-baiknya Penentu"

Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ▼  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ▼  Maret ( 3 )
      • Budaya (Ramah) Tanpa 'Brand'
      • Simple ' L'
      • Insomia Terencana
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes