Simple ' L'


Simple ' L'
*Sepotong cerita tentang L



Kita saling membelakangi matahari yang tertutup awan kelabu. Aku melayangkan pandangan pada gerimis yang perlahan memperbanyak diri. Diruang kerja yang luas ini cukup membuat imajinasiku berhasil menari-nari diatas sepi. Membayangkan dirimu didalam gedung yang tengah sibuk dengan angka angka yang mungkin membuat kau mengerutkan dahi. Sesekali kau memandangi lukisan diseberangmu, lukisan Tuhan yang tak bisa kau sentuh, sebuah perkampungan dengan latar gunung salak nun gagah dengan awan dipuncaknya.

Waktu masih bisa dihitung oleh jari. Meski membutuhkan jari tambahan oranglain. Aku mencoba menguatkan hati ketika harus kembali berjarak dengan mu. Walaupun dalam dekatpun kita tak sering mengadu senyum. Namun tak mengerti mengapa kali ini memberatkan ku. Kau harus berada di kota yang menjadi salah satu rencana untuk kita hidup disana. Kota hujan yang membuatmu semakin damai dalam hari. Sepertinya kau sangat menikmati tempat itu, dan aku semakin menekuk wajahku. Bukan karena tak senang tetapi lebih seperti ‘iri’ karena kau disana belum bersamaku.

Perjalanan ini masih terlalu lambat. Bahkan kita baru berada dikilometer awal. Meski dalam benak ku sudah tertayangkan tempat terindah yang sedang kita tuju. Berusaha menjaga kekuatan kaki agar dapat tetap berdiri dan melangkah, menutup mata kala debu berlalu dibawa angin, bahkan kita tidak lupa mempersiapkan mantel hujan untuk melindungi diri ketika tidak ada tempat untuk berteduh.

Seperti yang kita ketahui tidak ada yang pasti didunia ini kecuali ketidakpastian itu sendiri. Aku tak memungkiri bahwa keraguan itu kerap membangunkan aku sejenak, kembali menimang ‘tentang’ kita yang belum sampai pada dermaga. Namun kau selalu mengatakan bahwa jika bukan diri sendiri yang meyakinkan, lantas siapa yang akan menumbuhkan kepastiaan dan keyakinan tersebut. Hati memang mampu menyerap kalimat itu, namun logika tetap saja bergantung pada realitas. Kenyataan yang membuatku ingin terus bermimpi dan bermimpi. 

Baru aku memahami mengapa sebagian besar wanita gundah ketika beranjak pada fase dewasa namun belum mendapatkan tanda untuk mengakhiri masa lajang, aku paham itu sekarang. Meski kini aku menamai diriku dewasa awal, dan belum merasakan kegundahan yang serupa dengan mereka. Hal tersebut belum menjadi masalahku, tapi tetap saja aku terpaksa turut merasa gundah akan beberapa rekan ku yang memang sudah waktunya menjadi seorang isteri namun belum juga terwujud. Ya, jodoh memang ditangan Tuhan. Tetapi bukan berarti kita berdiam diri dan hanya menunggu. Mintalah pada Tuhan, dan jemput dia. Bukankah ini menjadi sunnah Nabi demi kesempurnaan agama? Jika sudah waktunya mengapa harus ditunda hanya karena belum memiliki harta yang berlimpah? Rasanya itu cerminan dari ketidakyakinan bahwa Tuhan akan melipatgandakan rezeky mereka yang sudah menikah? Ya, aku senang sekali dengan materi yang ku baca dan ku dengar akhir-akhir ini. Tentang hidup, tentang pernikahan, dan tentang berbagi..

Usai romantisme dengan Tuhan tiap menjelang matahari terbit, kita selalu berbagi tentang hari. Tentang rencana dan beberapa impian terdepan. Aku menyampainkannya penuh semangat yang kadang berlebih, dan kau menjadi pendengar yang baik sebulum giliranmu mengutarakannya. Aku menyukai moment itu, saat dimana kita saling menyalurkan semangat dan energi positif, dan satu hal yang ku ingat tentang mu! Tentang senyum dan kedewasaanmu, yang mungkin tak kudapati pada sosok beda meski lebih baik dari mu.

Beberapa hari yang lalu ada kegetiran yang menciptakan tawa. Kebetulan sekali aku memiliki golongan darah AB dan yang ku ketahui golongan darah mu O. Menurut salah satu dosen keperawatan ditempatku bekerja, beliau mengatakan bahwa jika AB dan O menikah akan ada beberapa resiko yang akan diderita oleh anak. Tentu saja aku khawatir akan ini, ketika rekan-rekan ku menyarankan untuk mengganti pasangan, dengan spontan aku menjawab “ lebih baik mengganti golongan darah dari pada harus mengganti pasangan”lantas tawa membahana. Ya, tampak terlalu sinetron, namun inilah dunia hati. Tidak mudah untuk mendapatkan penghuni hati yang pas dengan rumahnya. Seperti rhesus, jika berlawanan akan berakibat fatal.


Menjadi edelwise yang berada dipuncak gunung, yang tidak mudah untuk dijangkau oleh khalayak kecuali seseorang yang berjuang ke puncak untuk melihatnya. Edelwise tidak boleh dibawa ke sembarang tempat, karena suhu akan membuatnya terjaga. Tempatnya memang disini, dipuncak- dipuncak hatiJ

Dalam do’a yang terurai, perlahan meminta pada Tuhan agar menjaga kita dari keburukan, keburukan manusia. Membatasi dengan aneka sekat agar terjaga. Kau selalu menghargaiku layaknya aku sebuah gelas nun cantik yang berada didalam sebuah lemari hias. Yang hanya bisa kau sentuh dan kau bawa jika kau sudah membelinya pada Sang Pemilik. Kini kau belum berhak atas ku. Hanya mata mu yang diizinkan untuk sesekali melihat, itupun dari sudut pandang yang tak terjangkau. Bersabarlah seperti katamu, karena Tuhan bersama hambaNya yang sabar.

Jika Tuhan menggerakan tanganNya untuk kita, kelak akan ku lanjutkan cerita ini. Dan kita tidak lagi pada ruang yang berbeda, melainkan aku menulisnya disamping mu menikmati senja dihiasi gerimis dikota hujan, seperti impian kitaJ,semoga..

Share this:

0 komentar :