Budaya (Ramah) Tanpa 'Brand'




Budaya (Ramah) Tanpa 'Brand'


Sudah terbiasa indera pendengaran kita mendengar bahwa senyum adalah ibadah, Senyum dalam 'kepercayaan' apapun menjadi simbol keramahan seseorang, Senyum dalam dunia kesehatan juga menjadi salah satu olahraga untuk otot-otot yang tedapat diwajah dan sekitarnya. Ya, senyum memang menjadi ikon terlumrah mewakili keramahan.

Akhir-akhir ini tanpa sengaja saya mengamati sebuah budaya yang lahir dari masyarakat,Indonesia khususnya.

Keramahan,dari kata dasar ramah yang artinya baik hati dan menarik budi bahasanya, manis tutur katanya,suka bergaul, menyenangkan. Budaya yang kini sering saya lihat kerap dilakukan oleh lapisan marginal. Jika kita berbicara tentang lapisan masyarakat, tentu saja lapisan terbawah merupakan lapisan yang paling dekat dengan kita. Atau dikenal juga dengan orang pinggiran.

Tenggok saja perkampungan 'kumuh' yang tumbuh dibalik tembok nun tinggi. Tembok yang seolah memang dibangun untuk menciptakan sekat, batas atau apapun kita menyebutnya. Sekat yang sengaja dibangun sebagai pembeda. Mereka yang berkeliling 'membersihkan' tong sampah didepan rumah kemudian dipindahkan kedalam karung yang melekat dibahu mereka. Mereka 'membersihkan' kemudian menyapa dan memberi senyuman. Meski ada yang membalas dengan senyuman namun tak sedikit yang membalas dengan wajah yang dipadamkan.

Sering kita mendengar " tidak level " atau " oh, bukan kelas kita" dan ungkapan sejenisnya. Tentu saja ini yang membuat sebuah himpunan kelas sesuai golongan ataupun  kelas sosial.

Kadang, saya cukup risih dengan tontonan dengan pemeran utama si kaya dengan si miskin. Kenapa? karena yang saya lihat pada kenyataan yang berbeda.

Suatu hari saya melihat si miskin lebih sering membudayakan keramahan ini dari pada si kaya. Pada saat yang berbeda, si miskin seolah tidak mengenal keramahan saat sedang dalam himpunan sesama si miskin. Berbeda ketika si kaya berada dalam himpunan si kaya, keramahan si kaya seolah luruh dan mencair menjadi senyum dan manisnya kata. Apakah budaya ini dilahirkan dengan rumus berbanding terbalik?

Saya tertegun. Sesekali mengoreksi hati dibalik rongga dada ini. Bertanya? Mungkin saya pernah melakukan hal yang sama. Dengan atau tanpa disadari. Mungkin. Atau bahkan itu yang disebut sebagai 'ke-profesionalitas'? atau ' fleksibelisme'?

Sebenarnya apa yang dibudayakan? sebuah kepura-puraan yang menjadi topeng dari keramahan? atau budaya ini hanya berlaku sesuai dengan hukum diagonal ruang? entahlah! saya tidak tahu pasti. Yang saya ketahui hanyalah, budaya ini wajib kita terapkan dengan siapapun, kapanpun, dimanapun, tanpa harus mengetahui siapa yang dia sembah, apa yang dia yakini, dari mana dia berasal, apakah merk bajunya dan 'brand' lainnya. 

Keramahan yang berwujud ter-ringan adalah SENYUM. Jika suasana hati sedang dalam titik yang tidak seimbang, maka terseyumlah. Tidak perlu memaksa untuk menyapa atau bertutur manis, senyum pun sudah cukup. Tetapi keramahan memang kompleks, dan tidak ditunggalkan hanya dengan senyum. Ingat apa yang saya tulis, senyum hanya bagian dari keramahan itu, bukan wujud tunggalnya.

Buatlah menjadi nyata apa yang dunia kenal dari masyarakat kita, kita terkenal dengan keramahan dikancah dunia, bukan suatu masalah jika itu nyata didalam kehidupan kita, di Indonesia dengan sesama orang Indonesia:)

Tersenyumlah:)
karena tersenyum bagian dari keramahan,
Budaya (ramah) tanpa ' brand'



Share this:

0 komentar :