(Bukan) Warisan
Sejak
dahulu, pernikahan dini sudah menjadi salah satu jalan yang diambil oleh
kebanyakan orangtua yang sudah ‘angkat
tangan’ menghadapi ritme kemiskinan. Bukan,
bukan berarti mereka tidak tahu mana yang lebih baik untuk anak perempuannya,
melainkan sudah tidak lagi mampu berharap lebih pada masa depan, yang kemudian,
rasa pesimis ini menjadi salah satu hal yang diwariskan kepada keturunannya. Inilah salah satu wajah dari kemiskinan yang
secara turun menurun diwarisi kepada generasinya.
Pernikahan
dini atau anak perempuan yang dinikahkan saat berusia dibawah 16 tahun. Hal ini
terjadi di mana-mana, selama pendidikan belum menjadi perhatian utama
dibandingkan dengan urusan perut yang tidak pernah selesai untuk diatasi.
Banyak
anak-anak perempuan yang baru lulus sekolah tingkat dasar dan tidak mampu untuk
melanjutkan sekolah ke sekolah menengah pertama terpaksa untuk menghabiskan
waktu di rumah atau membantu orangtua bekerja di kebun atau ladang dan
sebagainya. Dan hal serupa lebih sering terjadi pada remaja awal yang sudah
tamat sekolah menengah pertama namun tidak mampu melanjutkan ke sekolah
menengah atas. Hal demikian sesungguhnya bukan hal yang baru, sama sekali
bukan. Karena jauh sejak dahulu kala, nenek-nenek kita memang menikah di usia
yang terbilang sangat belia. Hal tersebut lambat laun menjadi hal favorit
ketika memiliki anak gadis dan status ekonomi masih berada digaris merah : sangat miskin.
Kondisi
ini tentu saja menjadi faktor yang mungkin paling besar, mungkin faktor tunggal ketika
pernikahan dini masih marak di kalangan masyarakat yang berada di remote area,
perbatasan atau pulau terluar. Pertanyaannya
adalah apakah ada pilihan lain bagi mereka yang lebih mudah untuk dipilih?
Kemiskinan
tidak lagi menjadi momok bagi sebagian orang atau bahkan banyak orang di negeri
ini. Sebab kemiskinan sudah menjadi sahabat bagi mereka. Tidak ada pilihan.
Terlahir dari keluarga miskin, hidup diperkampungan yang jauh dari teknologi
dan bahan bacaan, terlebih lagi jarang ada tenaga kesehatan dan tenaga pendidik
yang mau dan bisa bertahan mengabdi untuk memberikan pelayanan untuk mereka. Lantas bagaimana motivasi untuk
memperjuangkan hidup bisa tumbuh?
Tidak
banyak orang yang bisa bangkit dari kemiskinan kemudian memupuk harapan tentang
hidup yang lebih berkualitas tanpa pembanding, oleh karena itu anak-anak
dipelosok negeri, di pedalaman harus dikenalkan kepada dunia luar. Anak- anak
harus bisa mendapatkan imunisasi
tentang impian, tentang cita-cita sehingga mereka memiliki alasan untuk
memperjuangkan pendidikan mereka dan bisa menolak atau mengambil sikap ketika
dihadapkan dengan pernikahan. Hal ini mungkin yang luput dari treatment yang dirancang oleh banyak orang di luar sana.
Bahwa ada banyak anak-anak yang tidak tahu bagaimana harus merajut mimpi sebab
mereka tidak memiliki imajinasi sedikit pun tentang masa depan selain apa-apa
yang mereka lihat di sekitar mereka, yang mereka dapatkan dari bangunan ala
kadarnya yang mereka sebut sekolah, yang mereka dapatkan dari satu dua guru
senior yang lulus dari sekolah rakyat dan menikah dengan pribumi.
Kondisi
demikian semakin diperburuk oleh sikap tidak peduli yang ada atau bingung harus mewujudkan kepedulian dalam bentuk bagaimana. Perkembangan jaman
membuat banyak orang semakin tidak peduli dengan kondisi sesama, terlebih lagi
jika tidak pernah merasakan dan jauh dari realita. Atau merasa it’s not my bussiness Sehingga memicu
sebagian anak muda yang masih memiliki kepedulian untuk membuat gerakan,
menyatukan harapan untuk bisa menciptakan dan melahirkan ragam gerakan peduli
pendidikan, peduli kesehatan, peduli kaum marginal. Setidaknya hal ini
dilakukan untuk mengajak banyak orang menyadari bahwa masa depan tidak hanya
miliki diri sendiri, tetapi juga orang lain, lingkungan, masyarakat banyak. Dan
kita memiliki kewajiban untuk membantu sesama. Seharusnya!
Melalui
pendidikan, melalui media transfer cita-cita; impian ; harapan , maka anak-anak
perempuan di negeri ini, di pelosok mana pun mampu merasakan bagaimana seseorang
yang memiliki masa depan. Agar mereka mengetahui bahwa sekolah tidak cukup
hanya mengenakan segaram merah putih atau putih biru pun jangan mau jika
berakhir dengan warna putih abu, karena sekolah tidak hanya berhenti setelah
warna seragam-seragam tersebut, sebab sekolah formal harus kita lanjutkan hingga tidak
perlu menggunakan seragam.
Kepedulian
itu kita wujudkan dengan menyapa imajinasi mereka secara langsung. Menyentuh
kalbu para orangtua dan menumbuhkan semangat mereka dengan bertemu dan
berinteraksi langsung dengan mereka. Bukan untuk memberikan harapan palsu,
bukan juga untuk menenggelamkan mereka pada angan-angan belaka, tetapi membantu
mereka untuk berpikir dan mencari pilihan lain selain menikahkan anak mereka di
usia belia.
Sebab kemiskinan dan
keterbatasan tidak boleh terus menerus menggenggut kehidupan anak-anak, mereka
berhak mendapatkan yang sama seperti yang kita dapatkan : masa depan.
0 komentar :
Posting Komentar