TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for Mei 2017
Mungkin tidak berlebihan ketika orang lain menganggap bahwa hidup yang membahagiakan itu ketika sudah tercapai cita-cita menuntut ilmu ke luar negeri, jalan-jalan mengitari dunia, sudah menemukan tambahan hati bahkan sudah di-sahkan, lantas memiliki karir yang kian melesat bak meteor, dan memiliki buah hati yang lucu, mengemaskan lagi cerdas. 

Analognya seperti penonton sepak bola, penonton akan memeriahkan, meriuhkan ketika tendangan itu berhasil membawa bola masuk ke gawang melewati penjagaan wasit yang teramat ketat. Dan gemuruh dari mereka juga tidak akan hilang ketika tendangan-tendangan itu meleset atau gagal seketika.

Dalam permainan sepak bola dan permainan yang menyerap penonton tentu saja hal-hal tersebut lazim terjadi. Tidak bisa disangkal dalam kehidupan pun seperti itu.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mengambil peran banyak sekali. Kita sebagai tokoh utama, sekaligus tokoh kedua, ketiga, piguran, cameo bahkan kita menjadi penonton dan komentator dalam waktu tertentu ataupun secara bersamaan.

Bayangkan betapa crowded kehidupan kita sebenarnya!

Jika saat ini kamu adalah seorang Ibu rumah tangga yang putus sekolah karena terpaksa menikah lalu hidup di pemukiman yang padat penduduk, memiliki suami kerja serabutan, lantas banyak waktu yang digunakan untuk menonton televisi, bermain di media sosial, atau bahkan menghabiskan banyak waktu duduk bersama ibu-ibu yang lain sambil membeli sayur dan berbincang-bincang.

Pada saat di posisi tersebut, kamu membayangkan atau membandingkan betapa membahagiakan ketika saat itu kamu tidak hamil dan terpaksa menikah, melanjutkan sekolah hingga kuliah, bekerja di sebuah perusahaan besar, bertemu dengan eksekutif muda, lalu menikah, memiliki rumah di perumahan elite, sesekali berlibur di Bali atau Singapore.

Atau

Kamu adalah seorang Isteri dari suami yang luar biasa, seorang konsultan, memiliki karier yang cemerlang, memiliki banyak kesempatan ke luar negeri karena kehebatan diri kamu sebagai seorang pengusaha, hidup mewah di apartemen, hidup bahagia berdua dengan suami.

Yang pada posisi tersebut, kamu membayangkan memiliki kehidupan yang lebih sederhana, memiliki waktu untuk keluarga dan memiliki buah hati.

Atau

Kamu adalah seorang suami yang begitu lemah lembut, berprofesi sebagai pengajar, memiliki isteri seorang dokter, memiliki dua orang anak, hidup serba cukup, memiliki keluarga yang hampir harmonis.

Pada saat yang bersamaan, kamu membayangkan isteri mu lebih banyak waktu lagi  untuk keluarga, bisa menghabiskan weekend bersama, pulang ke rumah orangtua bergantian, memiliki waktu berdiskusi, memiliki waktu bermain yang seimbang bersama anak-anak.

Dan sebagainya.

Seperti itu kah kita? Yang tidak pernah berhenti membayangkan, membandingkan, berandai-andai? 

Padahal sebenarnya yang harus kita fokuskan, kita utamakan adalah memaksimalkan apa yang ada saat ini, hari ini. Karena sebaiknya kita tidak perlu lagi mengungkit-ungkit masa lalu, sama saja seperti kita membawa bangkai atau sisa-sisa tengkorak ke permukaan tanah. Tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi atau meratapi dan menguburnya kembali dan jangan pernah diusik lagi.Jadi, siapapun diri kita saat ini, inilah kita. Fokus dan utamakan. 

Pada satu sisi, sebenarnya hal seperti itu berpotensi untuk menjadi motivasi, namun jika ditinjau lebih dalam lagi, hal tersebut lebih besar potensinya merusak diri. 

Mengapa demikian?

Karena hati akan semakin dipenuhi dengan hal-hal yang tidak nyata, atau lebih tepatnya adalah harapan yang penuh kepalsuan, absurd. Hal absurd ini yang kemudian membuat diri semakin enggan untuk menjalani kehidupan yang nyata. Sebab khayalan, harapan jauh lebih manis, jauh lebih indah dari apa yang ada di depan mata.

Maka, kondisi ini kerap menjadi kondisi yang tidak terhindarkan dan semakin kritis apalagi jika didukung oleh pertemanan baik secara nyata maupun dunia maya yang tidak membawa ke arah yang positif, diperparah dengan kecanggihan teknologi yang membuat sepasang suami isteri bahkan tidak lagi mampu berkomunikasi dengan baik, anak ke orangtua pun demikian. Sehingga kerenggangan hubungan semakin nyata dan mimpi manis akan berakhir menjadi kenyataan yang buruk.Ulalala, pusing!

Eits tapi jangan sesak dulu! kita masih bisa mencegah itu semua kok!Dengan apa? Well, rumus dibawah ini bukan sudah sukses saya lakukan, tetapi masih terus saya lakukan juga. Dan jika kamu memiliki rumus lain yang sama manjurnya, yuk berbagi! Kita simak dulu ya, 

Pertama, kita bisa mulai dengan menjalani hidup dengan se-nyata-nyatanya! Artinya boleh saja memiliki impian, tetapi stop untuk berandai-andai atau membandingkan dengan orang lain. Karena apa? Karena setiap kita manusia pasti memiliki cerita yang berbeda-beda. Impian itu untuk dicapai, tapi pengandaian wajib untuk dimusnahkan!Ini yakin banget deh, anak kembar aja gak akan punya garis tangan yang sama. Wallahu a'lam bishawab

Kedua, kita bisa melanjutkan usaha kita tetap waras dengan cara stay postitive thinking. Dengan begitu kita lebih meredakan ‘nyeri hati’ ketika gagal atau ketika rumput tetangga terlihat lebih hijau. Dan secara gak langsung, kita bisa sekalian belajar untuk berlapang dada a.k.a legowo.

Ketiga, jalani hidup di dunia nyata. Kita harus bisa kontrol banget nih penggunaan media sosial. Gunakan seperlunya saja. Sebaiknya kita tidak membuat semua akun di semua media sosial atau mendownload semua aplikasi untuk bersosial. Karena nyatanya, banyak sekali kerugian yang dialami orang orang masa kini ketika belum bisa menahan diri atau memanfaatkan kecanggihan teknologi secara bijak, baik pada kalangan anak-anak, remaja bahkan orang dewasa.

Keempat, perbanyak silaturhami. Dengan begitu membantu kita hidup lebih nyata lagi. Dan bisa mennjadi alarm ketika kita sudah mulai acuh apalagi frozen society.

Kelima, kuatkan iman kita.Perbaikan hubungan dengan Tuhan seyogyanya kunci dari semuanya. Ketika kita paham bagaimana menjalin hubungan dengan Tuhan, artinya kita hanya akan melakukan hal-hal yang baik-baik saja dan mejauhi hal-hal yang tidak baik. Dan karena ini adalah proses yang panjang dalam hidup, maka hasilnya pun tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat. Sehingga bisa jadi ini merupakan usaha yang paling berat namun harus tetap kita lakukan.

Nah, cukup ya lima aja. Setidaknya dengan menuliskan ini, saya juga diingatkan kembali untuk kembali menjadi manusia ‘waras’. Bagaimana dengan kamu?  Yuk kita hidup happy di kehidupan yang nyata, jangan hanya pura-pura happy aja, kepura-puraan itu bikin lebih capek loh :D



  
Semoga tulisan ini tidak mengandung arogansi penulis. Hanya saja saya ingin mengutarakan beberapa hal, yang saling berkaitan secara langsung pun tidak. 

Akhir-akhir ini, hari-hari saya semakin dipenuhi dengan aktivitas yang padat. Bekerja, mengajar, komunitas, membaca buku, aneka jurnal, dan sebagainya. Saya teramat senang beraktivitas seperti itu, sampai akhirnya dua malam ini, saya merasakan suhu tubuh saya naik turun.  Lalu menjadi sulit untuk tidur dengan cepat. 

Dan di sela-sela waktu untuk tidur saya mulai bepikir tentang "pola" yang saya buat dalam kehidupan saya. Hingga pagi ini saya menuliskan ini, saya tengah merasa bosan dengan rangkaian aktivitas yang ada. Saya tentu tidak ingin menjadi seseorang yang tidak bersyukur, tetapi perasaan seperti ini kerap hadir ketika saya mulai merasa lelah dan penat. Pada awalnya mungkin ini hanya sedikit mengganggu,namun semakin sering ia hadir maka semakin terasa sangat mengganggu. 

Satu pertanyaan yang saya ajukan untuk diri saya sendiri " Apa yang sebenarnya saya inginkan?". 

Dalam hidup, setiap kita memiliki goals, memiliki purpose, dan mungkin tidak ada yang sama meski akan ada kemiripan diantara sesama kita. Lalu untuk mencapai itu semua, kita dengan rencana yang matang (idealnya) akan berusaha untuk mewujudkan. 

Namun ini adalah panggung kehidupan, di mana kita sebagai manusia tidak akan pernah bisa menjalankan hidup seorang diri atau atas kehendaknya sendiri. Apa yang direncanakan oleh kita sejak dini belum tentu akan terealisasi di kemudian hari.  Ada hubungan yang penuh misteri dengan alam dan juga Penciptanya. Hubungan ini kadang membuat kita sedikit banyak tidak mampu menguraikannya, sehingga bisa jadi salah satu ketidakmampuan kita akan berakhir dengan perasaan yang tidak enak seperti penat atau merasa kehilangan diri sendiri. 

Perasaan tidak membahagiakan kadang bukan karena tidak memiliki apa yang ingin kita miliki, tetapi tidak bahagia karena kita tidak merasa bahwa apa yang kita miliki mampu membahagiakan kita. Jika ditinjau perasaan seperti ini, maka kita akan bermuara pada satu kesimpulan bahwa kebahagiaan itu bukan karena orang lain atau karena hal lain, namun karena diri sendiri memutuskan untuk bahagia atas apa yang ada dan belum ada dalam kehidupan. 

Kita-manusia memang merupakan makhluk yang begitu dinamis, baik keseharian maupun hati. Iman saja bisa naik turun, apalagi perasaan emosi yang lainnya. Dengan demikian, apa yang bisa kita lakukan agar hal ini tidak berlanjut menjadi sebuah keburukan? 

1. Belajar untuk berbahagia
Kalimat tersebut terbaca sangat mudah, namun sulit untuk dilakukan. Karena kebanyakan dari kita hanya berpura-pura untuk berbahagia. Benar tidak? Tidak ada salahnya kita tanyakan pada diri sendiri, apakah benar selama ini kita sudah membahagiakan diri sendiri? atau hanya sekadar pura-pura bahagia?

Saya pernah melakukannya, berpura-pura seperti orang yang bahagia. Dengan begitu saya cukup mampu merasakan atau menipu diri sendiri dan orang lain. Namun ketika saya kembali pada kesunyian, maka perlahan kondisi yang sebenarnya akan muncul ke permukaan. 

Ada apa dengan kita? Ada apa dengan manusia seperti saya? Apakah ini menjadi salah satu dampak sebagai makhluk sosial yang hidup di masa kini? Masa di mana memiliki standar hidup, keinginan hidup yang terlalu beragam dan menguras pikiran? 

Kadang, saya berasumsi seperti itu. Bisa jadi karena tujuan atau keinginan hidup yang ingin dicapai terlalu beragam dan terlalu melangit. Sehingga begitu sulit untuk dijangkau namun diri sudah terlanjur mengikatnya di dalam pikiran. 

Contoh saja, saya ingin keliling dunia sambil menulis atau membuat buku tentang anak-anak dari setiap negara, bagi saya, hal tersebut bisa-bisa saja saya lakukan namun harus dibarengi usaha yang sedemikian rupa. Keinginan tersebut akan terdengar memotivasi ketika suasana hati saya sedang baik. Namun ketika saya berada di fase low, maka saya mulai mempertanyakan pada diri saya, mengapa saya harus mewujudkan keinginan saya tersebut? Bukankah saya bisa saja melakukan hal lain yang lebih mudah namun tetap membahagiakan? Seperti itulah gambarannya sederhana yang saya alami. 

2. Temukan Hikmah


Bisa jadi sebuah kewajaran ketika kita manusia merasa kehilangan diri atau arah. Sebab kita memang akan diuji dengan banyak hal untuk tetap tegar dan konsisten. Namun apalah daya, manusia dinamis, manusia baperan yang terkadang uncontrol. Dalam menemukan hikmah, kadang pikiran menjadi tokoh utama, sehingga ia harus jernih dan tennag. Krena akan sulit menemukannya ketika keruh dan bergejolak. 

Saya mengambil contoh dalam point ini seperti masalah pernikahan. Pada usia ini, mau tidak mau saya harus menerima anggapan orang lain pada saya, termasuk ketika mereka mengatakan bahwa saya terlalu pilih-pilih, standar yang dibuat terlalu tinggi, workaholic, terlalu mengejar karier, dan aneka anggapan yang lain. Pada awalnya saya abai dengan semua anggapan seperti itu, namun beberapa waktu ini saya mulai tergangu. Hal ini salah satu faktor yang membuat saya semakin penat, bagaimana tidak, mereka yang menyampaikan anggapan seperti itu kepada saya sama sekali tidak mempertimbangkan dampaknya, bahkan mereka yang mengatakan seperti itu tidak mengetahui sama sekali tentang saya. Apakah mereka tahu bahwa saya berencana menikah 6 tahun yang lalu? Namun gagal hanya karena perbedaan suku? Lalu saya berencana menikah lagi, lagi dan lagi. Namun masih gagal hingga saat ini dengan beragam penyebab.

Jika saya tarik mundur ke belakang, harus saya akui saya melakukan kesalahan yang besar. Mengapa? Pertama, karena saya abai akan perintah Allah, perintah Nabi Muhammad. Mengapa? Karena saya memilih cara yang salah. Dalam agama yang saya yakini, jelas untuk perkara ini sudah diatur dengan rinci. Bagaimana proses untuk menikah tidak boleh menggunakan cara yang salah a.k.a pacaran, teman dekat atau apapun istilahnya. Namun dengan bebal saya berpura-pura menyetuji bahwa semua masih dalam batasnya tidak melanggar norma ataupun nilai-nilai agama. Kedua,karena untuk menikah membutuhkan bekal yang tidak hanya materi tetapi juga ilmu bisa jadi ilmu yang saya miliki belum cukup. Bayangkan, di dalam kepala saya, saya sudah medesign bagaimana nantinya saya membangun keluarga, bagaimana saya akan berusaha agar anak-anak saya menjadi anak yang tidak hanya cerdas untuk dunia tetapi juga untuk akhirat, bagaimana konsep pernikahan saya yang saya inginkan begitu sederhana, dan sebagainya. Dan semua itu saya upayakan sesuai dengan standar agama saya. Sehingga saya berusaha untuk terus belajar setiap harinya hingga kesempatan itu datang pada saya. Maka, hikmah dari belum menikah-nya saya adalah saya maish memiliki banyak waktu untuk belajar. 

3. Jangan menolak kesempatan berbuat kebaikan 

Apakah ada yang menolak kebaikan? Ada, saya pun masih sering secara tidak sadar melakukannya. Contohnya ketika saya memiliki waktu luang, jika saya saya mau menggunakan kesempatan tersebut, maka saya bisa saja memilih untuk pergi mengajar anak-anak di kampung-kampung atau melakukan pemeriksaan kesehatan. Namun saya memilih untuk berada di rumah, dan jika saya bosan membaca buku, maka saya akan menghabiskan waktu dengan menonton film atau bernyanyi, dll. Kadang, pada saat itu saya berpikir mengapa saya tidak melakukan hal yang lebih bermanfaat? Dan pada saat bersamaan, diri saya menjawab " Tidak apa-apa, sesekali. " atau " take your time". Sebenarnya seperti itu sah-sah saja, namun contoh tersebut bisa semakin mengerucutkan bahwa ada hal lain yang bisa kita lakukan untuk berbuat kebaikan. Dengan begitu, bisa jadi hati lebih senang dan jauh dari kepura-puraan. 

4. Belajar bersyukur

*tariknafas*
Sebagai anak rantau, saya memang didik oleh Tuhan dengan beragam cara. Sehingga saya kerap menjadi 'penceramah' untuk keluarga saya sendiri. Saya sering mengatakan bahwa kita harus belajar bersyukur, pada saat mengatakn seperti itu kepada mereka, sebenarnya saya juga mengatakannya untuk diri saya sendiri. Bagaimana saya berusaha untuk menerima dengan dada yang lapang atas apapun yang ada, apapun yang terjadi di setiap hari saya. Sehingga dengan begitu kita bisa lebih nikmat menjalani hidup karena hati tidak lagi disesaki dengan aneka tuntutan yang bisa jadi tidak masuk akal. 

Hal ini yang jelas saya lakukan dan terus saya lakukan. Contohnya, ketika saat ini saya bekerja sangat jauh dari kampung halaman, dari keluarga, dari rumah. Saya berusaha untuk bersyukur dengan wujud bekerja dengan optimal dan memaksimalkan waktu yang saya miliki. Meski mungkin secara materi saya tidak mendapatkan seperti yang saya harapkan, namun disitu saya memiliki media untuk belajar bersyukur. Sebab melalui pekerjaan ini saya tidak hanya mendapatkan materi, tetapi juga kesempatan lain untuk belajar banyak hal yang nantinya akan berguna saat saya mengepakan sayap saya lebih tinggi lagi. Karena tentu, bagi orang seperti saya, jabatan tidak memiliki arti yang tinggi. Saya bahkan sangat bosan menjadi seorang direktur cabang, hingga tidak jarang saya maish banyak turun ke lapangan, melakukan banyak hal-hal teknis yang berkaitan langsung dengan masyarakat. Sebab passion saya jelas bukan di balik meja hanya duduk rapi.  Namun semua ini saya syukuri, sebab saya benar-benar bisa mempelajari banyak hal, banyak sekali. Termasuk bagaimana harus bersikap atau menyikapi banyak hal. 

Karena jika saya memilih untuk bersungut-sungut, saya tidak akan mendapatkan apa-apa selain kelelahan hati. Maka dengan demikian, saya memilih untuk menerima. Sebab saya meyakini bahwa Allah tidak akan memberikan sesuatu yang buruk kepada saya. Lalu, tidak ada keraguna padaNya. 

Nah, seperti inilah saya berusaha untuk tetap bisa menjalankan hidup dengan "pola" yang ada. Pola yang sudah Allah rencanakan dengan baik, dan kita hanya perlu menjalankannya dengan baik. Iseng-iseng atau salah-salah sedikit wajar kan ya? We are human, right? Terbaca seperti pembelaan :P

Baiklah, penulis sudah sangat lapar dan ingin menunaikan kewajiban mengisi perut, jadi sampai di sini dulu ya. Untuk para pembaca, boleh dong kita saling sharing tentang kehidupan yang begitu indah ini, lewat mana? boleh tinggalin komentar aja di bawah postingan ini. Yeay! sampai ketemu lagi di tulisan selanjutnya. 


Yuk kita bahagia bersama :)

Semoga Allah memberkahi kita semua, Happy Friday
Love


Jika saja boleh, 
Saya ingin sekali memilih lahir dari  suku yang sama persis dengan orang yang ingin saya cintai terus menerus, sehingga saya tidak perlu merasakan "ditolak" oleh calon keluarganya hanya karena saya bukan perempuan dari suku yang sama. 
Sayangnya, saya tidak bisa memilih. Alhamdulilahnya, dengan begitu Allah terus "meruncingkan" kandidat-kandidat yang ada dan kian membantu kita semua memahami bahwa perbedaan itu bukan untuk dijadikan hambatan, namun peluang untuk saling belajar.

Jika saja boleh, 
Saya ingin sekali menjadi perempuan biasa yang mungkin cita-citanya hanya sebatas bayangan kaki melangkah dan tidak perlu setinggi langit, sehingga tidak perlu ada laki-laki yang merasa saya begitu sulit dicapai terlebih lagi nampak sempurna ( jauh sekali dari sempurna). Sayangnya, saya tidak bisa, sebab Allah sudah membuat saya menjadi sedemikian rupa. Alhamdulilahnya, dengan begitu saya bisa sampai pada titik saat ini, meski masih jauh dari puncak tujuan, namun perjalanan menujunya jauh lebih penting, bukan?

Jika saja boleh,
Saya ingin sekali terlahir sebagai warga negara Eropa atau Amerika, sehingga saya tidak perlu bersusah payah belajar bahasa Inggris agar bisa mendapatkan beasiswa. Alhamdulilahnya, saya terlahir sebagai perempuan Sumatera, Indonesia yang begitu tulen namun tetap bisa belajar menguasasi bahasa asing. 

***

Dan jika saya saya meneruskan pengandaian ini, maka jam istirahat saya akan habis hanya untuk menuliskan hal ini. Maka saya putuskan cukup sampai di sini :D

Singkat cerita, apapun yang dititipkan Allah saat ini, baik rahmat pun ujian, bagaimana pun keadaanya,seperti apapun kondisi kita, maka kita hanya perlu melakukan dua hal yang saling berkaitan yaitu bersyukur dengan tidak pernah berhenti belajar menjadi baik dan menerima semua kehendak Allah. Karena sejatinya, semua yang Allah berikan tidak akan luput dari nilai-nilai yang bisa kita ambil sebagai pelajaran. ( Terdengar semacam ceramah? :D )

Gagal? coba lagi, gagal lagi? coba lagi. Selama yang diperjuangkan adalah kebaikan, maka insyaAllah selalu ada jalan. Menikah, Sekolah, Pekerjaan,insyaAllah masih menjadi bagian dari kebaikan. Niat baik akan selalu melahirkan hasil yang baik asal menggunakan cara yang baik. 

Mari melanjutkan hidup dengan beradab! Welcome May, still be nice to me and everyone in the world. 




Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ▼  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ▼  Mei ( 3 )
      • Manusia 'Waras'
      • Jejak Hari
      • Jika Saja Boleh
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes