Manusia 'Waras'

Mungkin tidak berlebihan ketika orang lain menganggap bahwa hidup yang membahagiakan itu ketika sudah tercapai cita-cita menuntut ilmu ke luar negeri, jalan-jalan mengitari dunia, sudah menemukan tambahan hati bahkan sudah di-sahkan, lantas memiliki karir yang kian melesat bak meteor, dan memiliki buah hati yang lucu, mengemaskan lagi cerdas. 

Analognya seperti penonton sepak bola, penonton akan memeriahkan, meriuhkan ketika tendangan itu berhasil membawa bola masuk ke gawang melewati penjagaan wasit yang teramat ketat. Dan gemuruh dari mereka juga tidak akan hilang ketika tendangan-tendangan itu meleset atau gagal seketika.

Dalam permainan sepak bola dan permainan yang menyerap penonton tentu saja hal-hal tersebut lazim terjadi. Tidak bisa disangkal dalam kehidupan pun seperti itu.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mengambil peran banyak sekali. Kita sebagai tokoh utama, sekaligus tokoh kedua, ketiga, piguran, cameo bahkan kita menjadi penonton dan komentator dalam waktu tertentu ataupun secara bersamaan.

Bayangkan betapa crowded kehidupan kita sebenarnya!

Jika saat ini kamu adalah seorang Ibu rumah tangga yang putus sekolah karena terpaksa menikah lalu hidup di pemukiman yang padat penduduk, memiliki suami kerja serabutan, lantas banyak waktu yang digunakan untuk menonton televisi, bermain di media sosial, atau bahkan menghabiskan banyak waktu duduk bersama ibu-ibu yang lain sambil membeli sayur dan berbincang-bincang.

Pada saat di posisi tersebut, kamu membayangkan atau membandingkan betapa membahagiakan ketika saat itu kamu tidak hamil dan terpaksa menikah, melanjutkan sekolah hingga kuliah, bekerja di sebuah perusahaan besar, bertemu dengan eksekutif muda, lalu menikah, memiliki rumah di perumahan elite, sesekali berlibur di Bali atau Singapore.

Atau

Kamu adalah seorang Isteri dari suami yang luar biasa, seorang konsultan, memiliki karier yang cemerlang, memiliki banyak kesempatan ke luar negeri karena kehebatan diri kamu sebagai seorang pengusaha, hidup mewah di apartemen, hidup bahagia berdua dengan suami.

Yang pada posisi tersebut, kamu membayangkan memiliki kehidupan yang lebih sederhana, memiliki waktu untuk keluarga dan memiliki buah hati.

Atau

Kamu adalah seorang suami yang begitu lemah lembut, berprofesi sebagai pengajar, memiliki isteri seorang dokter, memiliki dua orang anak, hidup serba cukup, memiliki keluarga yang hampir harmonis.

Pada saat yang bersamaan, kamu membayangkan isteri mu lebih banyak waktu lagi  untuk keluarga, bisa menghabiskan weekend bersama, pulang ke rumah orangtua bergantian, memiliki waktu berdiskusi, memiliki waktu bermain yang seimbang bersama anak-anak.

Dan sebagainya.

Seperti itu kah kita? Yang tidak pernah berhenti membayangkan, membandingkan, berandai-andai? 

Padahal sebenarnya yang harus kita fokuskan, kita utamakan adalah memaksimalkan apa yang ada saat ini, hari ini. Karena sebaiknya kita tidak perlu lagi mengungkit-ungkit masa lalu, sama saja seperti kita membawa bangkai atau sisa-sisa tengkorak ke permukaan tanah. Tidak bisa berbuat apa-apa selain memandangi atau meratapi dan menguburnya kembali dan jangan pernah diusik lagi.Jadi, siapapun diri kita saat ini, inilah kita. Fokus dan utamakan. 

Pada satu sisi, sebenarnya hal seperti itu berpotensi untuk menjadi motivasi, namun jika ditinjau lebih dalam lagi, hal tersebut lebih besar potensinya merusak diri. 

Mengapa demikian?

Karena hati akan semakin dipenuhi dengan hal-hal yang tidak nyata, atau lebih tepatnya adalah harapan yang penuh kepalsuan, absurd. Hal absurd ini yang kemudian membuat diri semakin enggan untuk menjalani kehidupan yang nyata. Sebab khayalan, harapan jauh lebih manis, jauh lebih indah dari apa yang ada di depan mata.

Maka, kondisi ini kerap menjadi kondisi yang tidak terhindarkan dan semakin kritis apalagi jika didukung oleh pertemanan baik secara nyata maupun dunia maya yang tidak membawa ke arah yang positif, diperparah dengan kecanggihan teknologi yang membuat sepasang suami isteri bahkan tidak lagi mampu berkomunikasi dengan baik, anak ke orangtua pun demikian. Sehingga kerenggangan hubungan semakin nyata dan mimpi manis akan berakhir menjadi kenyataan yang buruk.Ulalala, pusing!

Eits tapi jangan sesak dulu! kita masih bisa mencegah itu semua kok!Dengan apa? Well, rumus dibawah ini bukan sudah sukses saya lakukan, tetapi masih terus saya lakukan juga. Dan jika kamu memiliki rumus lain yang sama manjurnya, yuk berbagi! Kita simak dulu ya, 

Pertama, kita bisa mulai dengan menjalani hidup dengan se-nyata-nyatanya! Artinya boleh saja memiliki impian, tetapi stop untuk berandai-andai atau membandingkan dengan orang lain. Karena apa? Karena setiap kita manusia pasti memiliki cerita yang berbeda-beda. Impian itu untuk dicapai, tapi pengandaian wajib untuk dimusnahkan!Ini yakin banget deh, anak kembar aja gak akan punya garis tangan yang sama. Wallahu a'lam bishawab

Kedua, kita bisa melanjutkan usaha kita tetap waras dengan cara stay postitive thinking. Dengan begitu kita lebih meredakan ‘nyeri hati’ ketika gagal atau ketika rumput tetangga terlihat lebih hijau. Dan secara gak langsung, kita bisa sekalian belajar untuk berlapang dada a.k.a legowo.

Ketiga, jalani hidup di dunia nyata. Kita harus bisa kontrol banget nih penggunaan media sosial. Gunakan seperlunya saja. Sebaiknya kita tidak membuat semua akun di semua media sosial atau mendownload semua aplikasi untuk bersosial. Karena nyatanya, banyak sekali kerugian yang dialami orang orang masa kini ketika belum bisa menahan diri atau memanfaatkan kecanggihan teknologi secara bijak, baik pada kalangan anak-anak, remaja bahkan orang dewasa.

Keempat, perbanyak silaturhami. Dengan begitu membantu kita hidup lebih nyata lagi. Dan bisa mennjadi alarm ketika kita sudah mulai acuh apalagi frozen society.

Kelima, kuatkan iman kita.Perbaikan hubungan dengan Tuhan seyogyanya kunci dari semuanya. Ketika kita paham bagaimana menjalin hubungan dengan Tuhan, artinya kita hanya akan melakukan hal-hal yang baik-baik saja dan mejauhi hal-hal yang tidak baik. Dan karena ini adalah proses yang panjang dalam hidup, maka hasilnya pun tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat. Sehingga bisa jadi ini merupakan usaha yang paling berat namun harus tetap kita lakukan.

Nah, cukup ya lima aja. Setidaknya dengan menuliskan ini, saya juga diingatkan kembali untuk kembali menjadi manusia ‘waras’. Bagaimana dengan kamu?  Yuk kita hidup happy di kehidupan yang nyata, jangan hanya pura-pura happy aja, kepura-puraan itu bikin lebih capek loh :D



  

Share this:

0 komentar :