Jejak di Bangladesh
Membayangkan Indonesia jauh sebelum merdeka, meski tidak sama tetapi mungkin seperti ini kondisi saat itu. Di mana kemiskinan menjadi pakaian hampir semua orang. Anak-anak telanjang dengan sisa tangisan di sekitar mata, dengan koreng-koreng di sekujur tubuh, perut membuncit, rambut seperti jagung, hewan-hewan hidup segan mati tak mau. Sementara tumpukan plastik sangat mudah ditemui di sepanjang jalan, irama klakson seperti bersahut-sahutan dari pagi hingga ke pagi. Seperti itukah Indonesia tempo dulu? Semoga tidak.
Pemandangan itu saya lihat di tempat ini, setelah beberapa menit saya mendarat di Cox'z Bazaar, sebagai tim medis dalam merespon pengungsi Rohingya, kota yang saat ini menjadi salah satu kota yang terkenal karena menerima keberadaan lebih dari 600 ribu pengungsi Rohingya.
Perjalanan menuju Cox'z Bazaar sudah kami mulai sejak pukul 05.25 waktu Indonesia bagian barat dari bandara internasional Soekarno Hatta menggunakan maskapai Malindo air. Perjalanan ini akan singgah di Kuala Lumpur sebelum mendarat di Bangladesh dan berganti pesawat menuju Cox'z Bazaar. Kali ini tentu saya tidak sendiri, saya bersama 5 orang tim medis lainnya dan 1 orang tim media. Total perjalanan kami sekitar 8 jam, 2 jam lebih lama dari seharusnya.
Sesampainya di bandara Cox'z Bazaar, kami mencari transportasi lokal untuk menuju lokasi penginapan. Mungkin karena terlihat ada sekolompok orang Melayu di bandara Cox’s Bazar, tim UN yang kebetulan sedang menuggu tamu menyempatkan untuk menghampiri kami dan membantu kami untuk bernegosiasi dengan pemilik transport lokal. Sejak memberikan pelayanan di sini, tim dari Indonesia yang tergabung dalam Indonesian Humanitarian Alliance (IHA), sudah menyewa 2 flat di kota Cox'z Bazaar. Hal ini dilakukan karena terdapat peraturan dari petugas militer Bangladesh yang melarang masyarakat umum berada di wilayah pengungsi lebih dari jam 5 sore. Sehingga memudahkan kami tim 9 untuk segera meluncur menuju penginapan.
Transportasi lokal di Cox'z Bazaar disebut dengan tom-tom, secara fisik ia mirip sekali dengan bajai namun tom-tom di sini tidak dilengkapi dengan pintu sehingga saat menumpanginya, kita wajib berpegangan pada besi atau apapun yang bisa mengamankan kita saat supir mulai ugal-ugalan.
Hari pertama berada di negara tetangga jauh tidak begitu membuat saya merasa asing. Karena pemandangan masih cukup karib di mata, di mana penduduk lokal mengenakan pakaian tertutup bahkan berjilbab. Ya, bangladesh salah satu negara dengan mayoritas muslim juga, meski secara style cukup berbeda dengan muslim-muslimah di tanah air.
Alhamdulilah hari pertama dilalui dengan lancar, kami menutup hari pertama dengan tidur nyenyak dalam rasa dingin yang mulai menyusup ke dalam kulit.
Hari kedua hingga ke 2 hingga ke 17 tidak ada aktivitas yang jauh berbeda. Meski suhu berada di angka 10-12 derajat celcius, saya bersama tim sudah bersiap sejak pukul 6 pagi, jam 7 hingga jam 8 kami habiskan untuk mengisi perut dengan paratha atau plain rice di rumah makan yang letaknya tidak jauh dari hotel, dan beberapa kali di hari-hari terakhir kami mencicipi menu sarapan baru yaitu khichuri, nasi kuning bumbu rempah-rempah yang lengkp dengan daging, mirip dengan nasi briyani. Bagaimana dengan rasa? Enak! Setiap selesai makan, resto akan memberikan sepiring hidangan penutup yang berisi potongan timun, wortel dan cabe. Sebenarnya ini bukan hidangan penutup, tetapi semacam sayur pendamping makanan utama. Hanya saja kami biasa memakannya saat menutup prosesi makan. Bahasa begini banget Fe? Haha
Setiap pagi setelah sarapan, maka partner lokal kami akan menghamipir kami ke penginapan lalu berangkat menuju lokasi pengungsian. Sepanjang jalan kami disugukan dengan padatnya jalan raya, penduduk lokal yang beraktivitas di sekitar, serta pantai sepanjang jalan yang langsung terhubung dengan lautan. Konon Cox'z Bazaar merupakan kota dengan pantai natural terpanjang di dunia. MasyaAllah kan? Lalu bagaimana dengan waktu tempuh? sekalipun lancar waktu tempuh ke lokasi menghabiskan 1,5 jam hingga 2 jam. Jika kami berangkat jam 8, maka kami sampai di lokasi sekitar jam 10.
Hari pertama berada di negara tetangga jauh tidak begitu membuat saya merasa asing. Karena pemandangan masih cukup karib di mata, di mana penduduk lokal mengenakan pakaian tertutup bahkan berjilbab. Ya, bangladesh salah satu negara dengan mayoritas muslim juga, meski secara style cukup berbeda dengan muslim-muslimah di tanah air.
Alhamdulilah hari pertama dilalui dengan lancar, kami menutup hari pertama dengan tidur nyenyak dalam rasa dingin yang mulai menyusup ke dalam kulit.
Hari kedua hingga ke 2 hingga ke 17 tidak ada aktivitas yang jauh berbeda. Meski suhu berada di angka 10-12 derajat celcius, saya bersama tim sudah bersiap sejak pukul 6 pagi, jam 7 hingga jam 8 kami habiskan untuk mengisi perut dengan paratha atau plain rice di rumah makan yang letaknya tidak jauh dari hotel, dan beberapa kali di hari-hari terakhir kami mencicipi menu sarapan baru yaitu khichuri, nasi kuning bumbu rempah-rempah yang lengkp dengan daging, mirip dengan nasi briyani. Bagaimana dengan rasa? Enak! Setiap selesai makan, resto akan memberikan sepiring hidangan penutup yang berisi potongan timun, wortel dan cabe. Sebenarnya ini bukan hidangan penutup, tetapi semacam sayur pendamping makanan utama. Hanya saja kami biasa memakannya saat menutup prosesi makan. Bahasa begini banget Fe? Haha
Setiap pagi setelah sarapan, maka partner lokal kami akan menghamipir kami ke penginapan lalu berangkat menuju lokasi pengungsian. Sepanjang jalan kami disugukan dengan padatnya jalan raya, penduduk lokal yang beraktivitas di sekitar, serta pantai sepanjang jalan yang langsung terhubung dengan lautan. Konon Cox'z Bazaar merupakan kota dengan pantai natural terpanjang di dunia. MasyaAllah kan? Lalu bagaimana dengan waktu tempuh? sekalipun lancar waktu tempuh ke lokasi menghabiskan 1,5 jam hingga 2 jam. Jika kami berangkat jam 8, maka kami sampai di lokasi sekitar jam 10.
Sesampainya di lokasi pengungsian, rasa sedih mulai terasa. Melihat warga lokal Bangladesh saja rasanya sedih sekali, apalagi saat benar-benar bertemu dengan Rohingya. Allah. Di hadapan saya, ada ribuan rumah yang dibangun dari terpal, beralaskan tanah atau lantai seadanya. Lokasi di bukit berdebu, anak-anak bermain telanjang kaki, ada yang berbaju ada yang tidak, ada pula lansia yang duduk berkumpul melihat kedatangan orang-orang, juga ada banyak sekali pengungsi yang sudah berdiri antri untuk mendapatkan bantuan sandang ataupun pangan di mana-mana.
Kami berjalan sekitar 1 kilometer dengan rupa jalan yang menanjak juga menurun, dengan begitu saya memiliki kesempatan untuk mengamati banyak hal sambil menyapa mereka hanya dengan mengucapkan salam dan senyum. Lalu hati memanjatkan doa pada Allah SWT, Ya Rabb selamatkan mereka segera ya Rabb..
Rasanya tidak sampai hati melihat kondisi mereka, terusir dari rumah sendiri tanpa bisa membawa apa-apa. Mampu menyelamatkan diri dan keluarga saja sudah sangat disyukuri. Begitu yang disampaikan oleh para relawan di klinik kami yang alhamdulilah bisa sedikit-sedikit berbahasa Inggris atau Melayu. Setiap hari kami melayani 80-200 pasien selama 17 hari. Selain pelayanan dokter, kami juga memberikan pelayanan untuk rawat luka dan tentu saja promosi kesehatan. Saya dan rekan perawat dari Bandung yang paling sering berada di kelas bersama anak-anak. Mengajari mereka membaca huruf, bernyanyi dan mengajarkan cuci tangan pakai sabun hingga gosok gigi yang benar, tidak lupa membantu mereka menggunting kuku tangan sebelum belajar cuci tangan pakai sabun. Saya menciptakan lagu untuk mereka hafal dan praktekan. Lagu yang saya gabung dengan bahasa mereka, catatan bahwa binna dujja biale secara tulisan ini murni dari pendengaran kami saat mereka mengucapkannya, saya mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam menuliskannya,yang memiliki arti pagi, siang, malam.
Sejak hari pertama di sini, para relawan lokal sudah bercerita bagaimana mereka diusir dari negaranya. Bagaimana mereka pergi tanpa diizinkan membawa apapun dan berjalan puluhan hingga ratusan kilo dengan kaki dan membawa keluarga hingga sampai di Bangladesh, tanpa kuasa Allah saya tidak mampu membayangkan kondisi mereka yang bisa jadi jauh lebih buruk dari ini.
Saya tidak mampu menahan tangis saya ketika mendengar cerita mereka dan mengatakan bahwa saudara mereka di Indonesia sangat peduli dengan mereka, banyak yang berusaha membantu dengan menggalang dana untuk bisa mengirimkan bantuan untuk saudara kita Rohingya.
Setiap pukul 3 sore, jika sudah tidak ada pasien lagi maka kami akan mulai bersiap-siap untuk kembali ke penginapan. Perjalanan pulang masih melalui jalan yang sama dengan jam tempuh yang tidak jauh berbeda.
Jika ada yang bertanya bagaimana perasaan saya selama bertugas? Bahagia, Alhamdulilah tiada tara Allah kasih saya kesempatan untuk bertemu, merasakan bersama mereka. Dengan segala keterbatasan saya, saya benar-benar berusaha memaksimalkan membantu mereka. Saya membawa pulang nilai-nilai yang saya dapatkan dari mereka, saya belajar banyak mana untuk bisa lebih bersyukur lagi dan lagi, dan tentu bagaimana kita bisa memelihara rasa peduli terhadap sesama. Sebab dari sekian harta yang kita miliki, ada hak mereka yang wajib kita bagi.
Selama saya di sana, saya mencoba mengamati, sebenarnya bantuan seperti apa yang mereka butuhkan? Benar mereka sangat membutuhkan sumbangan sandang, pangan dan pakan, tapi dibalik itu? mereka tentu berharap ada bantuan lebih agar bisa hidup dengan layak, sebuah upaya untuk bisa hidup "merdeka".
" Pray for me sister, next year I will move to Dubai, my younger brother in there and wanna take me" Ujar seorang relawan lokal asli Rohingya yang dulunya adalah pengusaha toko obat. Hampir setiap hari ia meminta saya untuk turut mendoakannya.
Berbeda dengan seorang pemuda yang begitu giat belajar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sebelum saya meninggalkan lokasi pengungsian dia akan meminta saya menjadi tutor bahasa, dan sering ia mengatakan " please pray for me, I want to move from here, could you bring me to your country?"
Lalu jika saya dihadapkan dengan pertanyaan itu, apa yang bisa saya jawab untuk membantu mereka bahagia selain, of course insyaAllah I will pray for you.
Menjelang minggu terakhir di sana, saya mendengar bahwa ada upaya banyak pihak yang tengah membuat strategi untuk memulangkan mereka ke negaranya, ke rumah mereka. Kendati demikian, mereka banyak yang menolak dengan alasan tidak akan aman, mereka takut dan sebagainya. Ironi, bagaimana mungkin mereka terusir dari 'rumahnya' sendiri.
Setiap berbincang dengan relawan dari Indonesia, selalu ada rasa syukur yang kami suarakan menjadi Indonesian, lahir, tumbuh dan hidup di Indonesia. Separah-parahnya kondisi di Indonesia, kita harus tetap bersyukur. Sebab tanah air masih begitu berbaik hati pada kita. Dan saya berharap, pertiwi akan semakin bebas dari sampah, terlepas dari kemiskinan, dan tidak lagi tercerai berai.
Dalam beberapa kesempatan di perjalanan pulang bertugas, kami makan malam di sebuah pantai. Jika dibandingkan dengan pantai di Indonesia, tentu saja akan berbeda. Saya tidak bisa mengatakan pantai di sini tidak bagus, hanya saja memang pasirnya berwarna hitam, tidak ada batu karang, namun sunset di pantai ini, kabut yang membalut sekitarnya membuat saya tetap terhanyut. Sunset di sini menjadi salah satu sunset terindah dalam hidup saya. Meski hanya sekali berkesempatan memandanginya dengan bebas di suatu sore.
Sekadar informasi, untuk orang Indonesia yang biasa mengonsumsi nasi, kamu tidak perlu khawatir sebab di sini banyak juga resto yang menyediakan nasi putih atau plain rice, nasi goreng, nasi briyani, dan juga ada ayam goreng. Selama 17 hari di sini saya merasa bahagia-bahagia saja, berat badan saya bertambah 4 kilogram bahkan!
Ohya, jika ke sini dalam rangka berlibur kamu bisa mencoba untuk parasailing di pantai Himchori yang dekat sekali dengan pusat kota Cox'z Bazaar dengan harga hanya 1500 Taka yang setara dengan 274.500 rupiah. Apa istimewanya? Istimewanya kamu akan diajak terbang di atas laut dengan pemandangan yang MasyaAllah indah sekali. Saya tidak mampu menarasikan bagaimana indahnya, juga tidak bisa merekam saat saya terbang di atas, hanya beberapa foto sebelum terbang dan sebelum mendarat. Maha suci Allah!
Selain itu kamu juga bisa bersantai di pantai hanya dengan menyewa bangku-bangku yang disediakan 1 orang 100 Taka yang setara dengan 16.500 rupiah. Sangat murah sekali. Dan jangan bingung ke sini naik apa, kamu bisa naik tom-tom dengan biaya 200 Taka atau 33.000 rupiah.
Nah biasanya orang Indonesia suka sekali nih cari oleh-oleh, meski Bangladesh di awal cerita saya seperti negara miskin yang menyedihkan tetapi banyak juga loh hotel-hotel atau bangunan komersial dan tentunya ada banyak market di sini yang menjual barang-barang lokal. Oleh-oleh dari sini paling memungkinkan adalah permen cokelat atau ragam manisan buah. Untuk cindera mata khas bisa kamu pilih saja sesuai dengan budget kamu. Namun yang paling sering dicari adalah pasmina, selain lebih murah, bahan dan motifnya juga begitu menggoda.
Jangan tanya saya beli atau tidak, sudah pasti tidak :D
Baiklah, sepertinya tulisan ini sudah terlalu panjang, maka cukup sekian cerita perjalanan khusus kali ini. Buat yang mau tanya atau tahu info lainnya, boleh ya tanya via komen atau tinggalin pesan kamu di sebelah kanan yaaa. Dokumentasi selama berada di sana kamu bisa lihat di Instagram saya @Fenymariantika
Sampai jumpa lagi!
Sehat dan bahagia terus ya!
Kami berjalan sekitar 1 kilometer dengan rupa jalan yang menanjak juga menurun, dengan begitu saya memiliki kesempatan untuk mengamati banyak hal sambil menyapa mereka hanya dengan mengucapkan salam dan senyum. Lalu hati memanjatkan doa pada Allah SWT, Ya Rabb selamatkan mereka segera ya Rabb..
Rasanya tidak sampai hati melihat kondisi mereka, terusir dari rumah sendiri tanpa bisa membawa apa-apa. Mampu menyelamatkan diri dan keluarga saja sudah sangat disyukuri. Begitu yang disampaikan oleh para relawan di klinik kami yang alhamdulilah bisa sedikit-sedikit berbahasa Inggris atau Melayu. Setiap hari kami melayani 80-200 pasien selama 17 hari. Selain pelayanan dokter, kami juga memberikan pelayanan untuk rawat luka dan tentu saja promosi kesehatan. Saya dan rekan perawat dari Bandung yang paling sering berada di kelas bersama anak-anak. Mengajari mereka membaca huruf, bernyanyi dan mengajarkan cuci tangan pakai sabun hingga gosok gigi yang benar, tidak lupa membantu mereka menggunting kuku tangan sebelum belajar cuci tangan pakai sabun. Saya menciptakan lagu untuk mereka hafal dan praktekan. Lagu yang saya gabung dengan bahasa mereka, catatan bahwa binna dujja biale secara tulisan ini murni dari pendengaran kami saat mereka mengucapkannya, saya mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam menuliskannya,yang memiliki arti pagi, siang, malam.
Binna dujja biale don’t forget for praying
Binna dujja biale don’t forget for eating
Binna dujja biale don’t for for cleaning
Binna dujja biale don’t forget to happy
Kampanye sehat nan bahagia ketika kami menyanyikannya dengan wajah yang ceria dan tepuk tangan gembira. Sesederhana itu yang bisa saya lakukan untuk mereka. Ketika berinteraksi dengan anak-anak kesedihan saya semakin bertambah. Melihat mereka tumbuh dalam kondisi seperti ini. Ada anak-anak yang tidak mengenakan celana, tidak mandi sudah biasa bagi mereka. Dan setiap jam makan snack, saya selalu menangis, sebab snack untuk kami tidak cukup jika dibagi untuk mereka, meski tetap kami bagi untuk mereka. Begitu juga dengan air minum, meski dari kantor saya sudah memberikan bantuan alat untuk menyaring air tanah, tetapi tidak jarang ada nenek-nenek yang meminta minum.
Sejak hari pertama di sini, para relawan lokal sudah bercerita bagaimana mereka diusir dari negaranya. Bagaimana mereka pergi tanpa diizinkan membawa apapun dan berjalan puluhan hingga ratusan kilo dengan kaki dan membawa keluarga hingga sampai di Bangladesh, tanpa kuasa Allah saya tidak mampu membayangkan kondisi mereka yang bisa jadi jauh lebih buruk dari ini.
Saya tidak mampu menahan tangis saya ketika mendengar cerita mereka dan mengatakan bahwa saudara mereka di Indonesia sangat peduli dengan mereka, banyak yang berusaha membantu dengan menggalang dana untuk bisa mengirimkan bantuan untuk saudara kita Rohingya.
Setiap pukul 3 sore, jika sudah tidak ada pasien lagi maka kami akan mulai bersiap-siap untuk kembali ke penginapan. Perjalanan pulang masih melalui jalan yang sama dengan jam tempuh yang tidak jauh berbeda.
Jika ada yang bertanya bagaimana perasaan saya selama bertugas? Bahagia, Alhamdulilah tiada tara Allah kasih saya kesempatan untuk bertemu, merasakan bersama mereka. Dengan segala keterbatasan saya, saya benar-benar berusaha memaksimalkan membantu mereka. Saya membawa pulang nilai-nilai yang saya dapatkan dari mereka, saya belajar banyak mana untuk bisa lebih bersyukur lagi dan lagi, dan tentu bagaimana kita bisa memelihara rasa peduli terhadap sesama. Sebab dari sekian harta yang kita miliki, ada hak mereka yang wajib kita bagi.
Selama saya di sana, saya mencoba mengamati, sebenarnya bantuan seperti apa yang mereka butuhkan? Benar mereka sangat membutuhkan sumbangan sandang, pangan dan pakan, tapi dibalik itu? mereka tentu berharap ada bantuan lebih agar bisa hidup dengan layak, sebuah upaya untuk bisa hidup "merdeka".
" Pray for me sister, next year I will move to Dubai, my younger brother in there and wanna take me" Ujar seorang relawan lokal asli Rohingya yang dulunya adalah pengusaha toko obat. Hampir setiap hari ia meminta saya untuk turut mendoakannya.
Berbeda dengan seorang pemuda yang begitu giat belajar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, sebelum saya meninggalkan lokasi pengungsian dia akan meminta saya menjadi tutor bahasa, dan sering ia mengatakan " please pray for me, I want to move from here, could you bring me to your country?"
Lalu jika saya dihadapkan dengan pertanyaan itu, apa yang bisa saya jawab untuk membantu mereka bahagia selain, of course insyaAllah I will pray for you.
Menjelang minggu terakhir di sana, saya mendengar bahwa ada upaya banyak pihak yang tengah membuat strategi untuk memulangkan mereka ke negaranya, ke rumah mereka. Kendati demikian, mereka banyak yang menolak dengan alasan tidak akan aman, mereka takut dan sebagainya. Ironi, bagaimana mungkin mereka terusir dari 'rumahnya' sendiri.
Setiap berbincang dengan relawan dari Indonesia, selalu ada rasa syukur yang kami suarakan menjadi Indonesian, lahir, tumbuh dan hidup di Indonesia. Separah-parahnya kondisi di Indonesia, kita harus tetap bersyukur. Sebab tanah air masih begitu berbaik hati pada kita. Dan saya berharap, pertiwi akan semakin bebas dari sampah, terlepas dari kemiskinan, dan tidak lagi tercerai berai.
Dalam beberapa kesempatan di perjalanan pulang bertugas, kami makan malam di sebuah pantai. Jika dibandingkan dengan pantai di Indonesia, tentu saja akan berbeda. Saya tidak bisa mengatakan pantai di sini tidak bagus, hanya saja memang pasirnya berwarna hitam, tidak ada batu karang, namun sunset di pantai ini, kabut yang membalut sekitarnya membuat saya tetap terhanyut. Sunset di sini menjadi salah satu sunset terindah dalam hidup saya. Meski hanya sekali berkesempatan memandanginya dengan bebas di suatu sore.
Sekadar informasi, untuk orang Indonesia yang biasa mengonsumsi nasi, kamu tidak perlu khawatir sebab di sini banyak juga resto yang menyediakan nasi putih atau plain rice, nasi goreng, nasi briyani, dan juga ada ayam goreng. Selama 17 hari di sini saya merasa bahagia-bahagia saja, berat badan saya bertambah 4 kilogram bahkan!
Ohya, jika ke sini dalam rangka berlibur kamu bisa mencoba untuk parasailing di pantai Himchori yang dekat sekali dengan pusat kota Cox'z Bazaar dengan harga hanya 1500 Taka yang setara dengan 274.500 rupiah. Apa istimewanya? Istimewanya kamu akan diajak terbang di atas laut dengan pemandangan yang MasyaAllah indah sekali. Saya tidak mampu menarasikan bagaimana indahnya, juga tidak bisa merekam saat saya terbang di atas, hanya beberapa foto sebelum terbang dan sebelum mendarat. Maha suci Allah!
Selain itu kamu juga bisa bersantai di pantai hanya dengan menyewa bangku-bangku yang disediakan 1 orang 100 Taka yang setara dengan 16.500 rupiah. Sangat murah sekali. Dan jangan bingung ke sini naik apa, kamu bisa naik tom-tom dengan biaya 200 Taka atau 33.000 rupiah.
Nah biasanya orang Indonesia suka sekali nih cari oleh-oleh, meski Bangladesh di awal cerita saya seperti negara miskin yang menyedihkan tetapi banyak juga loh hotel-hotel atau bangunan komersial dan tentunya ada banyak market di sini yang menjual barang-barang lokal. Oleh-oleh dari sini paling memungkinkan adalah permen cokelat atau ragam manisan buah. Untuk cindera mata khas bisa kamu pilih saja sesuai dengan budget kamu. Namun yang paling sering dicari adalah pasmina, selain lebih murah, bahan dan motifnya juga begitu menggoda.
Jangan tanya saya beli atau tidak, sudah pasti tidak :D
Baiklah, sepertinya tulisan ini sudah terlalu panjang, maka cukup sekian cerita perjalanan khusus kali ini. Buat yang mau tanya atau tahu info lainnya, boleh ya tanya via komen atau tinggalin pesan kamu di sebelah kanan yaaa. Dokumentasi selama berada di sana kamu bisa lihat di Instagram saya @Fenymariantika
Sampai jumpa lagi!
Sehat dan bahagia terus ya!
0 komentar :
Posting Komentar