Cerita Manusia

Sepagi ini saya sudah menulis dengan judul yang cukup sarkas, selain karena lagi hits juga karena cukup mewakili apa yang ingin saya ceritakan pagi ini. Ini tentang sekilas kehidupan yang biasa dan banyak terjadi di mana-mana. 

Sebagian orang mengawali tahun 2019 dengan hati yang penuh suka cita, sederet resolusi sudah dibuat dan berharap dapat mereka wujudkan. Dan sebagian lainnya ada yang tidak terlalu ambil pusing tentang resolusi atau apapun masalah yang ada di kehidupan mereka. Semua berusaha untuk menjalani hari seperti apa adanya. 

Awal tahun 2019 sudah cukup panas dikarenakan akan ada perhelatan besar di tahun ini, Pilpres, tapi saya tidak ingin membahas tentang ini, terlalu berat. Indonesia juga masih tidak stabil dikarenakan ada banyak bencana yang sedang melanda bumi pertiwi, dan tentu saja saya tidak ingin membahas ini. 

Pagi ini saya menyelesaikan sebuah buku dengan judul " merasa pintar, bodoh saja tak punya" kisah sufi dari Madura milik Alm. Rusdi Mathari. Buku ini pemberian adik non biologis saya, Andini. Seolah ia memahami apa yang sedang saya butuhkan saat ini. Apa memangnya? 

Melalui 224 lembar halaman ini, saya bisa mendapatkan banyak pelajaran dan semacam bertemu dengan teman ngobrol terkait keresahan atau pencaharian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala saya. Tentang kehidupan yang biasa dan banyak terjadi di mana-mana, tetapi tidak cukup menjawab atau membuat saya berhenti bertanya atau mempertanyakan. Apa yang terjadi dewasa ini?

Sehari-hari saya bekerja di Jakarta, meski di malam hari saya bermimpi indah di Bogor. Perjalanan Jakarta -Bogor saya lalui di gerbong-gerbong berisi manusia-manusia masa kini. Manusia yang sedang berjuang untuk hidup katanya. Sementara saya mempertanyakan di mana nilai-nilai kebaikan yang mulai bergeser setidaknya bagi saya. Kalimat atau pemikiran saya bisa jadi hanyalah asumsi yang tergeneralisir berkat kondisi dan respon yang ada di kehidupan sehari-hari. 

Hiruk pikuk di pasar, jalan raya, kereta, terminal, di mana-mana, manusia semakin ganas, semakin tidak sabar dan semakin memperlihatkan keaslian dari diri mereka masing-masing. Entah sejak kapan hidup menjadi perlombaan jalan raya, motor-motor berjalan dengan amarahnya, angkutan semakin berdesak-desakan meski kosong tanpa penumpang, tiket-tiket pesawat tetap mahal akibat permainan atau kapitalisasi sekelompok orang, asap rokok menyesaki tidak hanya dada tetapi juga lorong dan juga jalan-jalan tikus. 

Hari hari masa kini semakin terasa berbanding terbalik dengan kondisi yang diceritakan oleh Alm. Rusdi Mathari dalam bukunya. Suasana perkampungan yang sederhana meski terdapat manusia-manusia yang tidak sederhana. Pemaknaan terhadap hidup begitu kaya dan mudah dicerna. Seseorang yang paham agama tidak melulu menjadi ulama, tetapi buah pemikirannya begitu dalam dan mampu membuat orang lain berpikir, benarkah kita sudah benar-benar memahami apa-apa yang selama ini seolah kita pahami?

Melalui buku ini saya juga belajar dalam mengelola sudut pandang, setidaknya saya sedang berusaha untuk memahami diri sendiri. Membiarkan diri memahami bagaimana hidup seharusnya, bagaimana menyikapi ego, hasrat, nafsu dan sebagainya. 

Semakin hari semakin memahami bahwa tidak perlu melanjutkan hal-hal yang hanya untuk menipu diri sendiri terlebih lagi orang lain. Memaknai hidup sebenar-benarnya dan tidak perlu melelahkan diri sendiri. 

" Banyak dari mereka yang ingin menolong bukan karena ingin menolong. Mereka menolong hanya karrena rasa iba. Rasa tidak enak. Rasa ingin dilihat dan dipuji oleh orang lain bahwa mereka bisa menolong. Mereka sibuk melihat orang lain, tapi alpa melihat ke dalam diri mereka. Sibuk melihat orang lain dan lupa menilai kekurangan diri sendiri. Orang-orang semacam itulah yang mestinya perlu ditolong"  (Rusdi Mathari)

Mau tidak mau, saya mengaminkan kutipan di atas. Sering kali atau mungkin jika mau mengakui, sebagian dari kita menjadi bagian dari mereka dalam kondisi itu. Saya baru saja, mungkin dua minggu yang lalu, baru melepaskan diri dari beberapa hal yang menurut saya tidak baik untuk saya, meski bisa jadi dari sudut pandang orang lain tidak seperti itu. Tetapi lagi-lagi, orang lain tidak lebih paham tentang kondisi yang sebenarnya.  Saya tidak ingin menekan diri saya lebih dalam lagi, tidak ingin membuat diri saya semakin berpura-pura menyukai atau senang berada dalam sebuah komunitas atau organisasi. Ada ketidaknyamanan, ada keraguan, dan saya akhirnya memutuskan untuk melepaskan diri. Meski sangat wajar ketika ada respon terhadap apa yang saya lakukan, sah-sah saja, orang lain berhak menilai saya sesuka hati mereka, dan saya juga berhak memerdekakan diri saya. Iya kan? 

Sebab saya selalu meyakini bahwa berbuat baik dapat melalui beragam cara dan konsep yang sesuai dengan diri kita masing-masing. Tidak perlu memaksakan diri jika memang kita tidak mampu.  Pemikiran ini tidak lebih dari cara saya untuk menjaga kewarasan, karena terlampau banyak hal-hal yang dapat membuat diri ini menjadi tidak waras. Semakin banyak mendengar dan membaca, saya semakin ingin diam dan menarik diri. Seperti Cak Dlahom, tidak perlu dipusingkan dengan problem-problem yang sudah didesign secara sempurna untuk manusia-manusia masa kini. Beruntung hidup di Indonesia yang berpulau-pulau seperti ini, setidaknya sangat mudah untuk menjadi Cak Dlahom selanjutnya, ada banyak pedesaan atau remote area agar bisa merasakan hidup di cerita Cak Dlahom. 

Dahulu saya masih menggenggam cita-cita saya begitu keras, ingin melanjutkan sekolah ke sini, ke situ, bekerja di skala ini, level itu, yang semuanya hanya agar diterima oleh kelompok ini, agar dianggap sama, agar tinggi derajatnya dan hal-hal yang hanya semu semata, yang akhirnya saya pahami bahwa saya tidak memerlukan hal itu. Tetapi bukan berarti saat ini saya melenyapkan cita-cita saya, tetapi latar belakang mencapai itu semua yang kini berubah. Saya ingin melakukan hal-hal itu bukan untuk penilaian orang lain, tetapi pure untuk diri saya sendiri.


Selepas ini, hari-hari saya tidak berubah secara drastis, tetapi setidaknya lebih dapat disederhanakan. saya tidak peduli dengan penilaian orang lain, tidak peduli apakah mereka masih mau berteman dengan saya, berinteraksi dengan saya atau apapun itu. Saya hanya akan peduli dengan hal-hal yang sekiranya bermanfaat untuk orang-orang yang memang membutuhkan saya.




Share this:

0 komentar :