Tahun Pertama Pernikahan



Bismillahirohmanirohim..

 Pasca menikah 7 bulan yang lalu, ini merupakan tulisan pertama di blog kesayangan. Sebenarnya sudah beberapa kali muncul ide untuk menulis, sayangnya proses adaptasi di dunia pernikahan cukup menyita waktu saya. Ketika ada yang sering bertanya, bagaimana kehidupan setelah berganti status dan juga berganti peran?

Here we go, I will share my experience gradually..

Sebelum akad berlangsung, saya dan partner saya sudah berdiskusi tentang bagaimana pekerjaan saya nanti setelah nikah, apakah akan tetap di Jakarta atau bagaimana dan beberapa topik diskusi penting lainnya. Terkait pekerjaan, memang saya sudah memutuskan untuk resign dengan banyak perrtimbangan, termasuk agar dapat berkontribusi secara penuh membangun keluarga kecil ini. 

Jika pembaca sempat membaca tulisan saya di tahun-tahun sebelumnya tentang pernikahan, maka sudah dapat menebak terkait keputusan yang saya ambil. Sebab bagi saya, ketika sudah menikah, yang menjadi fokus utama saya adalah keluarga ini. Meski tidak sedikit yang menyayangkan keputusan saya melepas kenyamanan dari pekerjaan yang sudah saya bangun selama ini. Tetapi kembali lagi pada apa yang menjadi prioritas saya saat ini.Terlepas dari perubahan prioritas saya, saya memang sudah berencana untuk berganti haluan terkait pekerjaan. Bukan karena materi, sebab meski tidak berlebih, setidaknya apa yang saya dapatkan selama bekerja juga sudah cukup. Saya bisa dengan leluasa mengembangkan diri dan meraup ilmu sebanyak-banyaknya. Keputusan kian bulat tentu karena saya ingin mengembangkan diri lebih luas lagi dengan kewarasan lahir dan batin. 

Sehingga 1 hari setelah resmi berhenti bekerja di sebuah lembaga yang mulia, saya langsung terbang ke Padang menyusul suami saya yang sejak awal Juli sudah kembali ke Padang. Kota di mana sebagai ASN, ia harus mengabdikan dirinya.Saya menuju Padang dengan penerbangan sore hari dari bandara Halim Perdana Kusuma menuju Minangkabau, suasana hati begitu gembira karena tidak akan lagi berjarak dengan belahan hati. Yay!

Hari pertama di Padang, di rumah dinas yang sederhana, bersama suami. Perasaan saat itu cukup sederhana, iya kami sebahagia itu. Saya bisa menikmati wajah suami saya yang dipenuhi guratan kelegaannya. Ia begitu gembira mendapati saya kini bersamanya. 
Tidak jauh berbeda dengan apa yang sering dikatakan oleh orang-orang bahwa ada banyak hal yang akan disesuaikan setelah menikah. Dan berbagai hal ini tidak akan pernah habis dan usai. Mulai dari kebiasaan yng terlihat maupun yang tidak terlihat. Terlebih lagi untuk seseorang seperti saya yang toleransinya harus 'disenggol' lebih dulu dan lebih sering agar bisa menerima sesuatu. Contoh saja, dalam kerapihan lemari, kerapihan tempat tidur, barang-barang termasuk penempaatan kursi di meja makan, handuk, dan aneka barang-barang lainnya. Semua harus tertata sesuai dengan yang sudah saya tata atau dengan kata lain sesuai dengan standar saya, sebab saya sama sekali tidak bisa hidup di tempat yang berantakan. Sementara suami, layaknya laki-laki kebanyakan, seadanya dan sesuai standar mereka. Awalnya mungkin suami saya banyak membatin dengan hal tersebut sampai akhirnya ia mampu menyesuaikan meski tidak sepenuhnya, begitupun dengan saya, saya bisa menyesuaikan atau lebih tepatnya lebih legowo ketika harus merapihkan lipatan pakaian yang sedikit berantakan, merapihkan kursi sehabis ia gunakan, menata ulang susunan piring yang ia cuci lalu ditaruh di rak piring sesukanya, dan sebagainya. 

Nah, itu baru sedikit contoh dari banyak hal yang harus disesuaikan dan terlihat oleh mata. Tantangan lain yang tidak kalah menguras tenaga dan pikiran ketika seorang laki-laki yang selama ini selalu hidup sendiri sesuka hati bertemu dengan seorang perempuan yang selama ini hidup dengan aturan aturan yang dibuatnya untuk dirinya sendiri. Saya memang tidak hanya rapi untuk hal-hal fisik tetapi juga dalam pengaturan keuangan, milestone hidup dan sebagainya. Dari semua catatan penting di buku catatan saya, sudah saya catat dengan baik. Perencanaan keuangan sudah saya drafting dengan baik dan mudah dipelajari. Dan ketika saya sedang bersemangat untuk membahas itu dengan suami, suami menyambutnya dengan positif. Ia memberikan masukan terkait aplikasi yang akan memudahkan dalam mengontrol keuangan, memberikan beberapa pandangan terkait milestone, dll 

Semakin hari, semakin banyak topik yang dibahas, tidak hanya yang sederhana menimbulkan tawa, tetapi juga yang pelik menimbulkan airmata. Terlebih lagi ketika di akhir bulan pertama pernikahan kami, kami mendapatkan surprise dari Allah yaitu adanya janin di dalam rahim saya. Perasaaan saya saat itu bingung, sebab saya belum siap dan benar-benar surprise dengan hadiah yang ada. Sementara suami saya senang bukan kepalang. 

Awal-awal kehamilan, saya lebih banyak membutuhkan space untuk beradaptasi dengan ini semua. Terlebih lagi ketika mulai ada tanda dan gejala hamil seperti mual dan muntah. Namun saya bersyukur ketika itu, suami sedemikian rupa ada untuk saya, meski dia bekerja seharian. Perubahan mood saat hamil tentu saja menambah bobot penyesuaian yang sedang saya lakukan. Ada banyak hal-hal kecil yang menjadi besar dipicu oleh perubahan suasana hati kala itu. Perubahan peran, aktivitas dan hal-hal lainnya kadang saya nikmati dengan mudah, namun tidak bisa dipungkiri ada waktu di mana saya merindukan keproduktifitasan saya. Meski di sini saya bisa mengisi hari saya dengan komunitas yoga, belajar bahasa asing, bergabung dengan komunitas Ibu Profesional, belajar masak, belajar bisnis dan lainnya, namun tetap saja ada ruang yang saya rindukan. Hal ini pernah saya sampaikan kepada suami, ia meresponnya dengan baik dan terbuka. Meski lagi-lagi, saya harus menerima bahwa menjadi Ibu rumah tangga adalah pilihan saya saat ini. 

Dan dari satu tahun pertama ini saya banyak sekali belajar bagaimana untuk berdamai dengan pilihan yang saya ambil, bagaimana saya belajar menghargai teman hidup saya sesuai dengan tuntunan yang ada, bagaimana saya belajar sabar dan aneka ilmu-ilmu lainnya. Menakjubkan! saya kadang masih tidak menyangka bahwa saya bisa melakukannya. 

Dan di tahun pertama ini juga saya tidak hanya belajar menjadi seorang isteri tetapi juga calon Ibu. Meski saya seorang bidan, hal ini tidak menjamin saya mampu melewati proses mengandung selama 9 bulan dengan mulus tanpa ada hambatan. Aneka teori yang saya kuasai seperti meluap begitu saja, saya lebih banyak panik dan takut. Meski tidak parah, tetapi 3 bulan pertama saya harus merasakan hiperemesis yang melelahkan diri. 3 bulan pertama berat badan saya hanya bertambah 3 kilo, saya panik, khawatir janin saya menjadi tidak sehat karenanya. Alhamdulilah, masuk bulan ke empat, saya sudah mampu makan seperti biasa hingga kebablasan ketika memasuki bulan ke 6 dan berat badan saya sudah naik 13 kilo. Dan sepanjang waktu itu pula kram pada jemari tangan saya tidak pernah hilang, konon setelah melahirkan baru akan pulih. Dokter mengatakan bahwa hal tersebut kerap terjadi dan masih dalam taraf normal (padahal rasanya sangat tidak nyaman dan sakit). Selain itu, memasuki trimester 2 dan menjelang trimester 3, kaki saya mulai membengkak, tensi sempat meninggi, dan aneka keluhan lainnya yang tidak jarang membuat saya kian panik. Apalagi setelah saya sering berpergian yang cukup jauh atau keluar kota. Bahkan minggu lalu saya merasakan nyeri di bagian pinggang setelah melakukan perjalanan dengan kereta ke Pariaman selama 2 jam, PP 4 jam dan pekan sebelumnya saya ikut suami dan kawan-kawannya jalan jalan ke Solok dengan waktu tempuh ang sama yaitu 2 jam. Setelah 2 pekan berturut-turut tersebut, saya seperti merasakan kontraksi palsu. Paniknya saya bukan main, sebab usia kehamilan saya baru akan genap 28 minggu di minggu kedua bulan Januari. 

Setelah istirahat di tempat tidur selama 1 minggu ini, saya belum merasakan nyeri atau kontraksi palsu seperti yang dokter jelaskan saat kontrol minggu lalu. Saya benar-benar istirahat, bahkan pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh suami saya. Namun dari kontrol terakhir kemarin ada yang mengganggu pikiran saya. Dari hasil USG, dokter meminta saya untuk mulai diet karbo dan jika memungkinkan tidak boleh makan nasi sebab dari taksiran berat janin, janin yang saya kandung bertumbuh dengan pesat. Dan lagi-lagi hal ini membuat saya panik, apalagi sejak awal saya cukup mengontrol asupan makanan saya agar saat melahirkan tidak terlalu sulit dikarenakan bobot janin. Sayangnya dari pernyataan dokter, janin saya 'terlanjur' tumbuh dengan baik. Saya bersyukur sebenernya karena meski saya mual muntah parah, makan pun mengikuti suasana hati, tetapi baby boy bisa tumbuh dengan baik, aktif dan sehat. 

Sungguh satu tahun pertama yang menakjubkan, bukan? yes, it's tough but worth it! Semoga yang tengah berjuang menyesuaikan diri seperti saya, diberikan kelancaran, kekuatan dan kewarasan agar kita tetap bisa hidup dengan baik. 

Selamat berjuang menjalani hari!

Share this:

0 komentar :