Selamat Jalan, Sahabat

 Beberapa teman pernah berkata bahwa saya seseorang yang begitu mudah bergaul. Mereka menilai hal itu karen saya memiliki banyak teman di luar teman kampus, di mana mana.  Tapi mereka tidak pernah tahu, bahwa saya telah memberi jarak untuk bersahabat dengan orang lain. Sebab saya pernah kehilangan seorang yang begitu saya kasihi, seorang sahabat yang membersamai saya tumbuh. Seorang sahabat yang kemudian berjarak karena lisan saya sendiri, lisan saya yang menyakiti hatinya. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk tidak lagi bersahabat dengan siapapun. Sebab, kehilangannya adalah duka yang mendalam bagi saya hingga saat ini.

Ia adalah sahabat saya sejak SMP hingga SMA, sayangnya dipenghujung SMA persahabatan kami hancur begitu saja. Ia yang saya ingat sekali begitu manja dan selalu jujur ketika tidak bisa ini atau itu, tidak malu meminta untuk dibantu agar bisa, setiap sore kami mengaji bersama di Pondok, ia rela menjemput saya, menunggu saya menyelesaikan pekerjaan rumah, ia yang selalu menggandeng lengan saya saat berjalan. Tetapi persahabatan kami hancur hanya karena kesalahpahaman. Saya tentu meminta maaf dan menjelaskan hal itu, tetapi saya sangat paham tentang rasa kecewa yang sedang merundungnya. 

Alhamdulilah dengan perjuangan saya meminta maaf dan Allah membukakan hatinya, dipenghujung kelulusan kuliah kami, kami kembali menjalin silaturahmi. Seperti biasa, ia yang periang, bercerita dengan binaran matanya, ia bercerita tentang kesulitannya membuat tugas akhir, meminta bantuan dengan polosnya. Saya rindu sekali moment moment seperti itu, seperti saat masih bersahabat dulu. 

Tetapi saya tahu ini tidak akan sama, meski sudah saling sapa, tetap saja saya tahu saya tidak bisa mengembalikan sahabat  saya seperti sedia kala.

Dan beberapa hari ini saya tengah berduka, sebab saya kehilangan ia untuk selamanya. Innalilahi wainna ilaihi rojiun, ia meninggalkan dunia ini setelah berjuang melawan Covid yang menyerangnya selama dua minggu terakhir. Ia berjuang bersama bayi yang ada dikandungannya. Allah..

Saya menyesal sekali hanya berani membalas story-story nya saja. Andai saya lebih berani untuk mengirim pesan, menanyakan kabarnya, memberi semangat, mungkin setidaknya saya masih bisa membersamainya. 

Hanya Allah yang tahu betapa saya menyayanginya meski saya tak lagi memiliki keberanian memanggilnya sahabat. Mungkin hanya Allah yang tahu betapa saya menyesal telah menyakiti hatinya. 

Tria, semoga Allah memberikan surgaNya untuk Tria. Semoga Tria tenang di sana. Mohon maaf lahir dan batin ya Tek. Selamat jalan, Sahabat..

Share this:

0 komentar :