TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home All post
Sejatinya kita tengah berjalan, bergerak mengitari bumi. Mencari sesuatu yang mungkin kita sendiri tidak yakin dengan hal tersebut. Mimpi, cita-cita, harapan, kenyamanan, dan apapun kita menyebutnya. Masing-masing kita tengah menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak pernah kita pahami dengan sungguh, bisa jadi kita hanya sekadar berpura-pura memahami.

Berawal dari berpura-pura bahwa kita paham akan membawa kita pada satu titik pemahaman, kita semakin belajar, semakin mencari, semakin berusaha untuk melepaskan jubah ketidakpahaman yang kemudian membuat kita mendapatkan pelajaran darinya. Tidak ada yang benar-benar benar dari dunia ini. Perjalanan tetap memberikan kita dua makna, dua sudut pandang, dua sisi; kiri dan kanan. 

Kini aku berjalan menuju titik yang sama dengan yang ( mungkin ) kamu tuju. Aku memulainya dari barat dan kamu memulainya dari timur. Kemudian kita bertemu di satu titik yang sama dekat sama jauh.

Kilometer itu bernama kamu.

Ini bukan perkara berapa kali kamu pun aku singgah di tempat yang lain. Tetapi ini tentang perjalanan kita akan berhenti di mana. Tempat kita kembali pulang usai perjalanan panjang. Tempat di mana kita tidak perlu menjadi orang lain, tempat di mana segala amarah; kecewa; harapan; bahagia; air mata bisa tercurah begitu saja. Tempat di mana kamu dan aku bisa kembali jalan bersama dengan arah dan langkah yang seirama. 

Kilometer itu bernama kamu.
Sekali lagi aku ingin mengatakan. Tidak peduli seberapa kali kamu singgah ditempat lain, sebab kamu mengetahui kemana kamu harus pulang.  

Seperti perjalanan, tak berlangsung sepanjang waktu. Tetap ada interval didalamnya. Karena jarak antara bayang dan kita hanya sebatas mata.



Ketika lisan tak sejalan dengan hati..
Ketika apa yang dilihat tidak sesuai dengan yang dirasa..


Anggap saja kita tengah bermain peran, berpura-pura tegar padahal ada hati yang tak terlihat oleh mata sedang menahan perih,atau anggap saja kita sedang berpura-pura sanggup bertahan meski sebenarnya pijakan sudah tidak lagi seimbang, bahkan berkali-kali jatuh walaupun tidak satu pun mata menangkapnya. Anggap saja kita sedang mendapatkan peran sebagai ibu peri yang mampu tersenyum sepanjang masa dan mengabaikan rasa kecewa pun beban kehidupan.

Iya, anggap saja kita sedang bermain peran menjadi orang lain yang selalu bahagia dan bersyukur.
Anggap saja kita sedang menikmati lakon sebagai seseorang yang paling beruntung di dunia. Anggap saja masalah, ujian, cobaan tidak pernah menghampiri hari. Anggap saja kita sedang berada di surga dengan kehidupan yang serba ada. Anggap saja kita sedang menjadi atau berada sesuai keinginan kita. 

Sebab, hanya Allah yang mengetahui segala sesuatunya. Kita? hanya berpura-pura mengetahui segalanya. Padahal sebenarnya kita tidak lebih dari sekadar menikmati kepura-puraan. Atau mungkin bukan "kita"? melainkan hanya saya? Iya, mungkin hanya saya yang tengah berpura-pura mampu menjalani kehidupan dengan cara dan rasa yang terbaik. Bisa Jadi!


Ketika kamu sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Semua nampak begitu membosankan dan tidak menarik. Ketika itu, bisa jadi kamu tengah menginginkan hal yang sama seperti yang saya inginkan saat ini. Bebas.

Bebas dari segala macam beban yang kerap memenuhi pikiran juga doa-doa. Bebas dari kekhawatiran akan hidup yang terlampau sering menghantui bukan memotivasi. Bebas dari pikiran negatif yang selalu membayangi setiap optimisme yang tengah dialirkan. Iya, saya ingin bebas dari segala belenggu yang terlalu erat menahan langkah saya untuk terus menapaki jalan ini.


Adakah kamu mengerti bahwa di dunia ini sudah terlanjur terkontaminasi oleh banyak aliran, sudut pandang atau apapun mereka menyebutnya. Setiap orang merasa benar, setiap orang tidak mau mengalah, setiap orang berusaha menjadi yang pertama, yang terhebat, dan aneka “ter” lainnya. Sehingga pandangan sinis, fitnah-fitnah, hingga persaingan yang tidak sehat meramaikan hiruk pikuk dunia kita saat ini. Siapa pula yang sudah berjasa menciptakan standar-standar hidup seperti itu? Yang mungkin membuat orang lain menjadi tertekan. Mungkin termasuk saya? Bisa jadi. 

Dan sungguh, menjadi manusia di jaman ini sungguh tidak mudah. Bicara soal agama bukan lagi masalah yang sederhana. Agama itu bukan tentang fisik, setidaknya bagi saya pribadi. Agama itu tentang keseluruhan, tentang keutuhan. Dan saya memohon, berhenti mengatasnamakan agama untuk sesuatu yang jauh dari kebaikan.

Saya mungkin seseorang yang kurang bersyukur. Mengapa begitu? Sebab saya pernah meminta kepada Allah untuk menyudahi perjalanan di dunia. Sebab saya lelah. Meski saya paham sekali, bekal kebaikan untuk hidup di akhirat sangat jauh dari cukup. Mungkin hanya dosa-dosa saya yang kian menggelembung. Tetapi, Allah belum memenuhi permintaan saya, mungkin Allah masih memberi saya waktu untuk menyukupi bekal saya. Sayangnya, mungkin hanya dosa-dosa yang berhasil saya kumpulkan. Beginilah manusia yang merugi seperti saya, meski sudah berusaha menjadi insan sebaik mungkin, nyatanya saya belum mampu menjadi sebaik-baiknya manusia. Astagfirullah, berulang kali meminta ampun, namun berulang kali berbuat dan mengulangi perbuatan dosa. Bukankah semua itu melelahkan?

Saya kembali bertanya kepada diri saya sendiri, sebenarnya apa tujuan saya di dalam kehidupan ini? Kehidupan yang katanya hanya sementara, namun begitu alot. Apa mungkin memang saya tidak bahagia dan kurang bersyukur? Di mana sebenarnya letak syukur dan bahagia? Apakah hanya berwujud senyum atau ucapan Alhamdulilah?

Saya masih belum mengerti. Tetapi mungkin setiap orang pernah merasakan apa yang saya rasakan saat ini? Atau mungkin hanya saya? Bisa jadi orang lain menemukan kebahagiaan dan tujuan hidup dari keluarga yang terkasih. Bicara tentang keluarga, saya juga memiliki keluarga yang baik, sederhana dan kadang membuat saya rindu. Tetapi bukan keluarga yang sempurna. Karena tetap saja, ada intrik yang kadang membuat saya kembali melambaikan tangan pada Tuhan. Begitu mudahnya saya menyerah? Mungkin. Seperti yang saya katakan tadi bahwa saya sudah lelah dan bosan.

Saya ingat bahwa Allah sang pembolak-balik hati kita. Bisa jadi semua ini ada hikmahnya. Saya melampaui batas. Sebagai manusia, harusnya saya tidak mengabaikan nilai-nilai yang sudah ditanamkan. Menjadi hina dan nista adalah sebuah kehancuran yang sangat disesali. Semoga masih ada waktu untuk memperbaiki di kemudian hari. Allah ma ana




Dear Kamu, 

Banyak sekali cerita yang sudah kamu buat dalam hidup kamu. Pergantian rasa senang dan sedih yang kadang kala cukup mengganggu kamu pun orang sekitar mu. Konflik antara diri sendiri membuat kamu kian bingung terhadap diri sendiri. Ya harus diakui memang, mencari dan menemukan jati diri yang tepat bukan pekerjaan yang mudah. Sebab kesabaran dan keluasan juga kesehatan hati akan menjadi kuncinya. Belum lagi masalah kamu dengan orang lain. Orang yang kamu kenal,berteman, merasa satu track,  dekat kemudian menjalin love-hate relationship atau sekadar kenal kemudian saling membicarakan kemudian. Hidup dengan sesama hanya seperti itu kah? Jika tidak saling menyayangi, maka akan saling membenci. Bisa kah kita biasa-biasa saja dengan berada diantara keduanya? Anggaplah sebagai zona nyaman. Mungkin itu lebih baik, datar.

Sebab kamu selalu mengatakan bahwa hidup itu tak mudah, sehingga jangan mempersulit diri. Karenanya rasa sakit yang berasal dari vertigo atau gastritis kronis kadang membuat kamu tidak mampu untuk sekadar mengeluh atau mengutuk kenyataan. Kamu lebih memillih tidur seharian, menonton komedi, melakukan perjalanan dengan angkutan kota yang melewati pinggiran laut, atau kamu akan memilih berbincang lebih lama dengan keluarga kamu di pulau yang entah berapa ribu kilometer dari tempat kamu saat ini. Bukankah rindu itu semakin meradang wahai nona pemilik bahu yang tangguh?
 
Lalu apa kabar dengan impian-impian mu tahun lalu? Kamu bermimpi untuk bisa kembali menjadi mahasiswi agar memiliki kesempatan menuntut ilmu sampai ke negeri mata biru, kembali menyusuri keindahan pulau Jawa yang tak ada habisnya kekaguman kamu pada Tuhan semesta alam,kembali menjalin hubungan baik dengan seseorang yang istimewa kemudian membangun cinta dalam rumah tangga. Adakah diantaranya yang sudah menjadi nyata? Atau sebaliknya?

Kamu memilih untuk kembali hidup di daerah baru seorang diri, yang di sana kamu bisa dengan bebas mengembangkan diri, sambil memusatkan semua perhatian kamu untuk keluarga, untuk sepasang suami isteri yang merelakan anak gadisnya jauh demi masa depan. Iya, kamu memilih untuk menyimpan kembali impian kamu ditahun lalu demi tugas yang lebih mulia. Adakah bakti kamu untuk keluarga akan berakhir? Mungkin tidak akan pernah sampai akhir hidup kamu.

Lalu apa kabar hati yang pintunya masih kamu tutup rapat? Begitu takut dengan rasa sakit, kecewa, gagal dan apapun itu namanya. Jika kamu tidak mencoba memberikan sedikit ruang untuk pintu itu terbuka, khawatir hati kamu akan menjadi pengap. Tidak kah kamu ingin membukanya agar cahaya dan udara segar bisa masuk kedalamnya, lagi pula kamu buka pintu hati hanya sewaktu-waktu saja, ketika diluar memang cerah. Namun jika hujan atau badai, jangan pernah kamu buka.

Nona yang langkanya tidak pernah lelah, adakah kamu kecewa sebab impian mu masih harus disimpan bahkan sudah kamu tumpuk dengan impian tahun ini yang juga harus kamu simpan? Kecewa yang kamu miliki selalu kamu lahap sendiri, tidak kah ingin kamu bagi? Rasanya tidak adil jika kamu hanya berbagi tentang suka cita saja. Atau mungkin kamu hanya membaginya pada orang-orang yang kamu anggap mereka mampu menerima duka cita kamu pada hidup? Ah kamu, jangan terlalu percaya pada mereka yang selalu ada untuk kamu. Bisa jadi mereka tengah mempersiapkan langkah mundur dengan teratur untuk membuat kamu kian mandiri.

Hidup memang terdiri dari banyak rasa, impian, kenyataan, juga batas diantara keduanya. Tetapi tidak ada yang perlu kamu khawatirkan selama kamu menjadi gadis yang selalu berusaha memperbaiki diri, selalu belajar dan mengembangkan kemampuan dan pengetahuan. Kurangi bicara yang mengandung unsur negatif, berusaha selalu menjadi pribadi yang berada di pihak bijak bestari, memandang segala sesuatu dari sisi baik.

Semangat menjalani kehidupan di tahun berikutnya, Fe! Perkuat usaha juga do'a. Tidak ada yang baru dibawah matahari, dan tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Ada rencana Allah yang indah yang selalu Dia siapkan untuk kamu. Bismillah


Best,

Your mirror

100 Surat Pelangi yang pernah saya tulis tanngan dan saya berikan kepada 100  murid di SD Ngabab 2 dalam kegiatan Kelas Inspirasi Malang

Tidak ada hal yang lebih mampu menyalakan pemantik api ditengah kencangnya badai selain semangat unuk terus mencoba menyalakannya dengan beragam cara..

Dan mungkin hal yang serupa yang tengah saya lakukan saat ini. Sebenarnya, bisa saja saya memilih untuk hidup di dalam rutinitas yang aman dan membosankan. Atau bisa saja saya memilih bekerja di dalam ruangan steriil beraroma karbon. Iya, bisa saja. Namun sayangnya, saya terlahir dan berkembang sebagai sesorang yang menyukai dunia luar, menyukai terik matahari yang meski karenanya saya pintar mengumpat.

Saya adalah anak daerah yang hoby berada di daerah orang lain. Saya senang sekali ketika saya berada di suatu tempat dan saya menemukan "satuan" anak-anak lucu, menggemaskan dan tidak bisa dipungkiri bahwa juga ada yang menjengkelkan,kadang. Tapi ya seperti itulah anak-anak,kan?

Seperti tahun lalu, saat saya mengabdi sebagai Pencerah Nusantara di sebuah desa asri nun syahdu, desa yang berada di ketinggian ribuan kaki. Tosari, Pasuruan, Jawa Timur. Selama satu tahun saya di sana, saya cukup lekat dengan adik-adik yang tinggal dilingkungan rumah dinas. 

Kebetulan, saya dan teman-teman membuat rumah baca di salah satu ruang rumah dinas kami. Ratusan buku sumbangan dari teman-teman saya di Ibukota membuat mereka begitu rajin singgah untuk membaca buku, meminjam bahkan sekadar bermain mainan edukasi yang kami sediakan.
Tumpukan buku yang dikirim dari Jakarta untuk program Gunung Pintar di Tosari
Saya merasakan sekali bahwa mereka adalah obat. Anak-anak yang aktif dan cerdas itu adalah obat. Pun bagi saya pribadi, ritme kerja selama di desa Tosari tidak mungkin membuat rasa semangat saya stabil, tentu saja ada dinamika yang bergejolak. Dan pada saat saya rindu rumah, rindu travelling, namun tidak bisa saya wujudkan, bermain dengan mereka adalah salah satu obat pelipur lara.

Saya membayangkan, mengkhayal jika saja semua anak memiliki nasib yang baik seperti mereka. Memiliki orangtua yang memahami betapa pentingnya pendidikan. Jangan salah! orangtua mereka adalah petani,yang sebagian hari dihabiskan dikebun. Tetapi mereka tidak melupakan kewajiban untuk mendampingi anak-anaknya tumbuh. Bahkan para orangtua tidak jarang mengantarkan anak-anak mereka bermain dirumah dinas kami, untuk membaca, untuk belajar.

Dengan laju dan tingkat kelahiran yang tinggi di negeri kita, saya sangat memimpikan semakin banyak orang-orang yang peduli terhadap generasinya. Anak-anak jalanan bisa berkurang, bahkan kita tidak lagi menemukan anak-anak mengemis di jalan raya, tidak lagi mendengar berita anak dibawah umur mencuri, dan aneka kejahatan yang dilakukan anak dibawah umur. Karena jika tidak, maka ngeri sekali negeri ini akan dipenuhi dengan anak-anak yang jauh dari "cahaya", anak-anak yang terlahir tanpa bisa harus memilih dengan siapa mereka dilahirkan. Tetapi tentu saja mereka bisa memilih masa depan seperti apa yang mereka inginkan.

Sebabnya, saya mencoba untuk terus melaju, bertemu anak-anak di lereng gunung, di perbatasan, di laut, dimana pun mereka, senyum dan masa depan mereka adalah sebuah hal yang harus diciptakan dan diperjuangkan. Tidak hanya oleh mereka, orangtua mereka, tetapi juga oleh kita. Orang-orang dari sisi terluar namun peduli dengan impian mereka.
Salah satu generasi pribumi yang hadir ketika saya mengadakan pemeriksaan kesehatan gratis, dia tidak menangis ketika jarum menembus kulit di ruas jari manis, sebab kami sudah berteman :D

Saya selalu membuat "amanah" dari pekerjaan menjadi media saya untuk bertemu dengan mereka. Juga seperti  di Papua, saya melakukan hal yang sama. Mendekati anak-anak untuk mendapatkan tempat dihati mereka sebelum saya meluncurkan misi pekerjaan. Anak-anak yang lugu dan manis. Lagi-lagi harus saya katakan, mereka adalah obat.
Bersama anak-anak di Kampung Enggros, Kota Jayapura. Sebelum saya memberikan seminar kesehatan


Langganan: Komentar ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Tentang Kematian
    Tulisan ini dibuat bukan karena stress melewati masa pandemi ini ya. Tetapi memang, kematian sudah biasa menjadi isu yang datang dan pergi d...
  • Hal Tersulit
    Orang bilang hal tersulit di dalam hidup adalah memaafkan. Bisa jadi tidak semua sepakat tentang itu. Tetapi kali ini saya bagian dari yang ...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2022 ( 1 )
    • ▼  September ( 1 )
      • Filterisasi Hidup
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes