Tentang Kematian

Tulisan ini dibuat bukan karena stress melewati masa pandemi ini ya. Tetapi memang, kematian sudah biasa menjadi isu yang datang dan pergi di kepala ini. 


Menjadi seseorang yang kerap kehilangan harapan, kehilangan rasa percaya diri, tentu rasanya ingin mati saja. Sejak kapan ini saya rasakan? Sejak beberapa tahun terakhir. Ketika lelah dengan pekerjaan dan impian impian hidup, yang kadang membuat saya terlalu keras pada diri sendiri. 


Dan isu kematian kembali hadir di hari hari saya, akhir akhir ini. Saya kerap menangis memikirkan anak saya jika saya mati. Saya tak sanggup membayangkan hari-harinya tanpa saya. 


Dengan begitu, saya berusaha untuk tetap hidup. Meski dengan hati yang sakit, meski dengan jiwa yang layu. 


Jika ada yang bertanya ada apa dengan diri saya? Maka kalian boleh membuat jawabannya sendiri. Kalian boleh berasumsi bahwa saya jauh dari Tuhan, saya kurang bersyukur, dan lainnya. Tentu saya izinkan kalian berasumsi apapun. 


Yang pasti, saya hidup dengan perasaan kecewa, saya hidup dengan hati yang dipenuhi dengan harapan kosong, rasa sakit yang berasal dari innerchild, rasa tidak berdaya dari masa masa terendah hidup saya, rasa sakit dicampakan, rasa sakit dikhianati dan lainnya. 


Ada banyak manusia yang hidup dengan perasaan seperti itu. Tentu bukan saya sendiri. Tetapi bisa jadi, orang lain bisa berdamai, bisa menerima. Namun mungkin berbeda dengan saya. 


Saya masih hidup dengan “merawat” semuanya meski kini kehidupan saya sudah berbeda. Tetapi diri saya tidak jauh berbeda, saya terus merasakan simpanan emosi datang silih berganti sesuai dengan apa yang terjadi di hari hari saya dengan tokoh yang kini ada. 


Satu yang saya syukuri saat ini, kehadiran buah hati tentu menjadi kekuatan tersendiri. Ia membuat hidup saya lebih terasa berarti. Membuat saya tidak ingin mati dulu, membuat saya ingin berusaha, termasuk berusaha bahagia, sebab saya ingin membersamainya dengan bahagia. 


Merasa dicintai membuat saya bisa menjalani hidup dengan baik. Beranggapan bahwa ia membutuhkan saya membuat saya bersemangat. Hingga akhirnya saya menyadari satu hal, salah satu obat yang saya temukan di kehidupan kini adalah rasa dicintai. Saya tentu berharap rasa cinta seorang anak akan terus bisa saya rasakan hingga akhirnya saya benar benar mati. 


Kadang saya merasa harapan saya ini salah. Sebab suatu hari akan datang masa di mana anak saya akan memiliki dunia sendiri. Saya khawatir akan membebaninya. Maka saya berusaha agar tidak membebaninya begitu banyak, saya hanya ingin ia bahagia dengan hidupnya, lalu saya akan mati dengan bahagia pula. 


Merasa dicintai memang perasaan yang positif dan menguatkan. Sebaliknya, merasa tidak dicintai, diabaikan, memang perasaan yang merusak diri. Semoga siapapun kamu yang membaca, berusaha untuk mencintai orang orang terpenting di dalam hidup kamu dengan tulus, dengan sepenuh hati. Sebab kita tidak pernah tahu bagaimana kondisi hatinya yang sebenar benarnya. 

Share this:

0 komentar :