TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home All post
Kali ini saya ingin menulis tentang orang ketiga, tepatnya orang ketiga dalam suatu hubungan. ( selingkuhan,red)
 
Mau mendapatkan atau mencari artikel atau tulisan tentang hal ini sangat mudah. Bahkan beberapa waktu yang lalu membaca tulisan di Mojok.co tentang tulisan Mbak siapa ya lupa namanya, seorang selingkuhan yang baik.

Baik? Selingkuhan yang baik? Seperti apa itu? Apa iya ada?

Well
, saya sendiri gak pernah memiliki peran sebagai orang ketiga dalam sebuah hubungan. Amit-amit deh minta jauh! Kayak gak ada pilihan lain saja. Tapi apa iya yang jadi orang ketiga benar-benar gak tahu bahwa dia hanyalah orang ketiga, hanya optional? Pertanyaannya, apa gak ada satu atau dua tanda yang mengarahkan dia pada kecurigaan tentang hal tersebut? Masa' sih? Skeptis nih saya *mikir*

Kalau disurvey, mungkin
"prevalensi" perselingkuhan di jagad raya ini lebih tinggi dari "prevalensi" penyakit menular. Ibaratnya nih, penyakit menular aja ga akan ada kalau ga didahului sama yang namanya perselingkuhan. Iya apa iya? Kalau enggak, saya harus belajar epidemiologi lagi nih Nah balik lagi ke perselingkuhan dan orang ketiga, tentu saja saya bukan satu-satunya perempuan yang sukses membongkar sebuah perselingkuhan yang terencana, terstruktur dan masif ( abaikan bahasa saya ini ) tetapi dari pasir kehidupan ini saya belajar banyak. Tidak sekadar tentang urusan sepele "cinta-cintaan" (cih) tetapi lebih dari itu. Ini tentang kecerdasan, tentang kebodohan yang juga disadari ( secara sadar) tetapi tetap dilakukan.

Beberapa hari yang lalu
housemate saya membacakan sebuah artikel yang mengatakan bahwa seseorang yang berselingkuh diduga memiliki IQ rendah, dan kalau boleh ada penelitian lebih lanjut saya urun saran untuk meneliti juga IQ yang menjadi selingkuhan atau orang ketiga. Saya hanya penasaran, tidak hanya IQ, kalau bisa EQ dan SQ juga.

Sebab mengetahui bahwa
"penyakit" ini tejadi di mana-mana, tidak hanya kalangan orang bodoh, marginal dan sok mampu, tetapi juga di kalangan atas, mapan dan mampu tentunya. Jadi membuat saya tergiring untuk berasumsi bahwa akar dari perselingkuhan ini memang hati, hati yang saya pun gak paham seperti apa. Mungkin harus ada penelitian terlebih dahulu dengan responden yang tidak lain dan tidak bukan adalah pelaku dari perselingkuhan itu sendiri.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah sebuah kejahatan yang disusun dengan baik. Juga sebuah kebenaran jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada perselingkuhan yang tidak direncanakan. Ketika nafsu menjelma menjadi sebuah kerlingan,aneka pujian, atau berbalut puisi hasil jiplakan atau bisa jadi berbalut air wudhu dan sembahyang bersama, atau berpura-pura menjadi yang paling menderita atau apalah 1000 trik dalam menahlukan hati. Jika diidentifikasi lebih lanjut, bisa kita bedakan mana yang sasarannya adalah mahkluk polos setengah bego mana yang mahkluk bebal dan masa bodok mana yang berpura-pura tidak keduanya.

Saya teringat dengan banyak kasus yang ada di sekitaran saya. Entah perselingkuhan saat belum menikah pun dalam status menikah. Keduanya sama saja. Ketika nafsu yang menjadi dewa, maka jadilah ia viral di mana-mana. Fenomena gunung es pun terjadi, satu per satu korban dari perselingkuhan mulai menyadari dan sedikit cerdas harus berlaku apa. Tidak lagi khawatir ini itu, sebab penderitaan menahan pedih jauh lebih mematikan ketimbang menahan malu yang mungkin seminggu sudah berlalu.
*bukancurcol*

Saya juga amat setuju ketika seorang Psikolog mengatakan bahwa
jangan menyalahkan diri sendiri ketika pasangan anda selingkuh, sebab apapun kesalahan anda, tetap saja selingkuh bukan jalan keluar ataupun sebuah balasan atas kesalahan atau kekurangan anda.

Well,
sama seperti membuat kesalahan. Sekali masih merasa berdosa, dua kali merasa sedikit berdosa, tiga kali merasa mungkin akan berdosa, seterusnya makan dosa mungkin akan berlalu bersama waktu atau apalah pikiran yang berusaha mengabaikan.

Yang saya pahami, apapun alasannya melakukan hal ini tidak akan pernah ada titik benarnya. Tidak ada alasan pun alibi yang dapat diterima, tidak satu pun.

Dan hal ini terjadi ketika ada
"kesepakatan" atau "penerimaan" dari pihak ketiga yang entah mengetahui pun tidak, pura-pura tidak tahu pun sungguh tidak tahu, bahkan ada yang memang mengetahui tetapi pura-pura lupa atau pura-pura amnesia. Karena jika tidak ada gayung yang bersambut, maka tidak akan terjadi.


Jadi ingat kalimat yang selalu Bang Napi sampaikan di akhir acara bahwa
kejahatan tidak hanya terjadi karena kesempatan, tetapi juga karena ada niat dari pelakunya. Waspadalah!

Good night!

*korban setelah menonton film detektif
53 tahun silam terdapat satu hari bersejarah di mana Papua kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa bersejarah terjadi tepat tanggal pada 1 Mei 1963 dimana secara resmi UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) menyerahkan kembali wilayah Irian Barat yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda kepada pemerintah Indonesia. Saat itu pula bendera Merah Putih kembali dikibarkan di tanah Irian Barat secara gagah berani.
53 tahun yang lalu pemerintah dan segenap bangsa Indonesia haru biru menerima “saudara kandung” kita kembali. 
Namun gejolak itu ternyata tidak pernah padam. Berganti hari, bertambah generasi, gejolak di dalam dada mereka kian menyala. 
Saya baru menginjak tahun ketiga berdomisili di bumi cenderawasih. Salah satu provinsi, salah satu pulau yang masuk menjadi daftar tempat yang begitu ingin saya kunjungi. Dan sudah dua tahun lebih saya menikmati apa yang saya rencanakan. Ambil bagian dalam membangun tanah ini, meski yang saya lakukan hanya seperti debu yang dihempas oleh angin. Tetapi sesederhana itu niat saya. 

Sejak berada di sini, saya sudah menyiapkan mental untuk menyaksikan aksi demo, aksi perkelahian, dan hal-hal lain seperti yang banyak dikabarkan. Sebab saya menyadari bahwa saya hanyalah seorang pendatang. Tetapi saya juga menyiapkan hati yang tulus untuk menjadi bagian dari Papua.

Akhir-akhir ini, enam bulan terakhir ini tepatnya,harus saya akui memang aksi demo yang menuntut
referendum semakin sering dilakukan. Bahkan frekuensinya menjadi sangat sering dalam tiga bulan terakhir. Jika tidak hari Senin, maka hari Rabu atau pada kedua hari itu mereka akan turun ke jalan dengan membawa atribut demo, spanduk-spanduk yang bertuliskan tuntutan mereka, orasi yang disampaikan secara lantang dan pembuatan “mural” di mana-mana yang bertuliskan “referendum”.

Sebagai seorang pendatang, seorang pendatang yang saat ini tengah menghabiskan hari dengan melaksanakan program kesehatan untuk anak-anak Papua, seorang pendatang yang juga tengah menjadi mahasiswa di Universitas Cenderawasih, seseorang yang sehari-harinya berinteraksi dengan saudara-saudara pribumi, maka saya merasa begitu sedih melihat saudara-saudara saya yang ingin berpisah dari Ibunya sendiri.
Apakah Indonesia begitu tidak baiknya sehingga saudara-saudara ingin berpisah dari Ibu Pertiwi?

Dan setelah berbulan-bulan ini ada banyak saudara saya yang melakukan aksi demo menuntut referendum dilakukan, maka hari ini terdapat juga saudara-saudara yang menggelar aksi damai. Masyarakat yang berkumpul menjadi satu kemudian berkonvoi lengkap dengan mengibarkan bendera Merah-Putih dan spanduk juga poster yang bertuliskan kalimat persuasif untuk mengajak masyarakat yang lain menyudahi segala bentuk usaha untuk merdeka. Mereka juga menuliskan “ Pendatang pun pribumi, mari tong sama-sama pembangun Papua” . Saya tidak dapat menahan haru melihat ini semua, saudara seibu yang kini tengah beradu jarak, beradu hati.

Saya mendapatkan satu informasi dari sebuah essai yang ditulis oleh seorang Guru SMA di Entrop, Jayapura yang merupakan juara essai nasional tahun 2007. Dalam essainya ia menuliskan “
Papua saat ini terus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah terutama dalam hal mengejar ketertinggalannya di berbagai bidang dari daerah lain di negeri ini. sebagai bentuk kemauan kuat untuk memajukan Papua, negara telah mengesahkan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua. Sejak pemberlakuan UU ini, Papua di bawah pemerintahan Republik Indonesia terus berbenah dan terus menjadikan dirinya berdiri sejajar dengan wilayah lainnya di Indonesia. Saat ini sebagai perbaikan UU Otsus, pemerintah tengah menggodok pemberlakuan RUU Pemerintahan Otsus di Tanah Papua yang akan dinilai oleh banyak pengamat akan bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang masih menyisa di Tanah Papua. kita doakan semoga semua berjalan dengan lancar.”

Saya ikut mengaminkan doa-doa yang berisi kebaikan untuk tanah Papua ini. Saya memang tidak memahami betul apa yang terjadi lima puluh tahun silam, saya juga tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi di masa lalu. Tetapi yang saya lihat saat ini, saudara-saudara saya di sini tidak hanya membutuhkan uang, tidak hanya membutuhkan kesepakatan, tetapi mereka lebih membutuhkan pembuktian dari kasih sayang Ibu Pertiwi, Indonesia. Jika Pemerintah Indonesia sudah berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik, maka akan jauh lebih baik lagi ketika kita sebagai anak muda, sebagai masyarakat Indonesia membantu pemerintah agar apa yang kita cita-citakan dan harapkan bersama bisa terwujud. Tidak hanya dengan terus meminta ini itu, namun enggan memberikan apapun yang bisa kita beri untuk negeri ini.
Malu ka 

Jika anak-anak di wilayah lain bisa membaca dengan lancar, maka anak-anak di sini juga harus bisa. Jika anak-anak di luar sana bisa menulis dengan rapi, anak-anak di sini juga harus bisa. Jika anak-anak di sana bisa mengonsumsi makanan yang lezat dan bergizi, maka anak-anak di sini juga harus bisa merasakannya. Jika mama-mama di luar sana bisa memasak masakan yang lezat,bisa menjahit baju, bisa membuat salon, bisa membuka rumah makan,dll maka mama-mama di sini juga harus bisa. Jika pace-pace di luar sana bisa memiliki pekerjaan yang layak dan kemampuan diri yang berkualitas, maka pace-pace di sini juga harus bisa.

Tetapi semua butuh kerjasama, semua membutuhkan usaha, semua diwujudkan dengan cara yang benar. Aktualisasi diri dilakukan dengan cara yang baik. Jika kondisi di luar Papua sudah jauh lebih baik, mengapa kita tidak belajar dari mereka? 

Saya kadang miris melihat kondisi kehidupan saudara-sudara saya di sini, tidak hanya masalah pendidikan dan kesehatan, tetapi juga hal-hal mendasar. Pernah ketika saya overland menuju Kabupaten Sarmi, saya melihat banyak sekali permukiman yang seadanya, anak-anak yang saya bisa menebak status gizi mereka, jauh dari falitias kesehatan, jauh dari fasilitas pendidikan. Saya hancur melihatnya. Begitu lengkap masalah yang ada di sini, begitu rumit mengurainya jika tidak ada kerjasama dari semua pihak dan lapisan kehidupan turut andil dalam memperbaiki kondisi ini.

Sementara dalam kondisi lain, saudara-saudara saya di sini yang tengah bingung, dilema dan resah serta nelangsa akan nasib dan kehidupan mereka sendiri yang mungkin seperti itu-itu saja. Sehingga menciptakan celah bagi pihak ketiga yang mungkin sudah sejak dulu menginginkan bangsa ini terpecah belah.
Namun bagaimana bisa? Apakah ada mantan saudara? apakah pihak-pihak itu tidak mengetahui bagaimana kami mencintai tanah ini? Mencintai Indonesia?

Meski kami tidak membuktikannya dengan perang, tidak membuktikannya dengan demo, tidak membuktikannya dengan frontal, tetapi apakah kehadiran kami dan bertahan di tempat ini bukan karena rasa sayang? Bukan karena rasa peduli? Apakah pihak ketiga itu berpikir kami datang ke sini hanya karena uang? Hanya semata-mata karena uang? Hanya semata-mata karena ditugaskan?

Hei, mari tinggal bersama kami, mari duduk dan menghabiskan waktu bersama kami, kami yang terdiri dari berbagai warna kulit, berbagai bentuk rambut, lihat kami, kami merencanakan masa depan yang cemerlang bersama. Kami melatih anak usia sekolah dasar untuk menjadi lebih sehat, lebih cerdas dan lebih aktif. Kami melatih remaja untuk bisa berpikir positif, tidak tergoda dengan pergaulan yang berisiko, kami mengajak mama-mama untuk skrining kesehatan, kami melakukan banyak hal bersama. Masyarakat di sini merayakan natal bersama, lebaran bersama, sekolah bersama, yang beribadah ke gereja mereka ibadah dengan baik, yang ibadah ke masjid mereka juga beribadah dengan baik, begitu juga saudara-saudara kami yang beribadah ke pure dan vihara. Kami hidup berdampingan, kami baik-baik saja. Apakah masih alasan bagi kalian untuk merebut dan memisahkan kami?

Iya, saya mengerti, saya paham, saya juga setuju jika masih banyak hal-hal yang belum sesuai, yang harus diperbaiki, yang harus ditingkatkan untuk mengejar ketertinggalan, tetapi tidak dengan meminta untuk memisahkan diri dan berganti Ibu
kan? Kita bisa membandingkan dengan beberapa saudara kita yang sudah memalingkan diri, apakah mereka lebih bahagia? Apakah mereka lebih makmur? Apakah mereka lebih maju dari kita? Apakah saat ini kehidupan mereka lebih baik daripada kehidupan mereka dahulu saat masih bersama kita, Indonesia? Saudara, buka mata, buka hati, godaan dan bisikan akan selalu ada. Tetapi apakah kita harus selalu mendengarkan mereka dan mengikuti apa yang mereka inginkan? Apakah semua akan menjadi lebih baik ketika referendum ditunaikan? Mengapa kita tidak bersatu mempertahankan ikatan ini? Jika bukan kita yang bersatu padu mengibarkan Merah Putih, menjaga kedaulatan bangsa kita, lalu siapa lagi?

Saya memang benar-benar tidak mengerti apa-apa, saya tidak tahu alasan yang mendasar saudara kita ingin memisahkan diri, namun sebagai saudara sebangsa, setanah air saya tidak tega, saya tidak sampai hati membayangkan saudara-sudara saya di sini semakin nelangsa.
Jadi bolehkah gejolak itu dipadamkan saja? Tidak inginkah kita bersama-sama satu barisan membangun tanah ini?

Bersama membangun tanah Papua dengan meningkatkan pendidikan anak-anak di sini, bersama-sama bersekolah hingga perguruan tinggi, menjadi Guru, Dokter,Suster, Tentara, Polisi, Arsitek, Manager,Chef, Penyanyi,dan sebagainya, yang apapun profesi kita, kembali membangun tanah Papua bersama hingga ketertinggalan ini bisa kita kejar, agar persatuan ini tidak lagi bisa diceraikan, dan bersama menikmati keindahan alam yang diwariskan oleh bumi pertiwi, keindahan alam yang semoga anak-cucu kita masih bisa menikmatinya.

Ah saudara, sa tra tahan untuk tra menangis. Sa sayang ko sekali. Stop sudah demo minta merdeka, mari kita kuliah yg benar, jangan palang kampus, jangan anarkis.

Cukup peristiwa anakris kemarin yang membuat dosen kita menjadi sakit dan sampai harus dirujuk ke Bandung. Yang sudah-sudah kita dijadikan pelajaran, jangan sampai ada korban dari sikap kita yang keliru. Masa muda memang masa yang berapi-api, maka mari kita salurkan semangat yang membara itu untuk mengabdi pada negeri, belajar yang benar, atur kembali isi kepala dan sudut pandang, yuk sama-sama kita bikin bangga Indonesia.


Dari sabang sampai merauke | Menjajah pulau-pulau | Sambung menyambung menjadi satu | Itulah Indonesia | Indonesia tanah airku | Aku berjanji padamu | Menjunjung tanah airku | Tanah airku Indonesia
Dan ini merupakan perjalanan benar-benar "gila" dan spontan. Awalnya, urusan pekerjaan membawa saya menuju Maumere selama lima hari. Dan dalam kurun waktu lima hari tersebut, saya memutuskan untuk extend dan menyusun rencana mengexplore NTT.  You can call me "crazy" :D

Dari Jayapura saya terbang menuju Makassar, Makassar menuju Denpasar, dan Denpasar-Maumere. Menuruni anak tangga pesawat sambil merasakan udara pertama di tempat ini. Angin yang sejuk berpadu dengan terik matahari membuat mata yang mengantuk menjadi lebih terbuka. Wai Oti nama bandar udara Maumere. Tidak jauh berbeda dengan bandara di daerah lainnya, begitu mungil dan apa adanya. Meski bandara ini merupakan bandara terbesar di Pulau Flores. 

Dari Bandara menuju hotel saya menggunakan jasa penjemputan yang disediakan oleh hotel. Jika kamu ke sini tanpa ada yang menjemput, maka ada banyak pilihan transportasi di sini. Kamu hanya cukup menyesuaikan dengan anggaran yang kamu miliki. Terdapat taksi, ojek dan bemo sesuai dengan tempat yang kamu tuju.

Selama di Maumere saya akan menginap di Hotel Pelita. Salah satu hotel dengan view yang indah dan berada di pusat kota. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menginap di sini adalah Rp.375.000/ malam, kamar dilengkapi dengan AC, televisi, kamar mandi, air hangat, wifi dan tentu saja pemandangan laut yang begitu indah.

Sunrise di Maumere
Setiap kegiatan usai, saya selalu menyempatkan untuk menikmati pemandangan di belakang hotel. Terdapat tanggul yang dibuat dari bebatuan alami dan sangat cocok untuk duduk bersantai. Menikmati suara ombak yang tidak begitu bergemuruh, nyari tenang. Dan ditengah laut terdapat bukit-gunung yang berbaris dan ada juga yang berdampingan. Sayup-sayup sinar matahari memantulkan biasa warna pada langit. Angin lalu lalang membelai lembut permukaan kulit yang kian eksotik. 

Untuk makanan di sini sudah cukup beragam,sayangnya di sekitar hotel tidak ada yang menjual makanan. Hanya saja kamu bisa berjalan sedikit dari hotel untuk menemukan tempat makan yang cukup lezat dan murah. Letaknya tepat disamping swalayan. Ada begitu banyak macamnya. Termasuk nasi padang. Menu-menu lezat ini hanya perlu kamu tukar dengan 25-50 ribu rupiah. Tempatnya dilengkapi AC dan juga wifi. Namun jika kamu ingin jalan-jalan sambil 'mengamankan' perut, kamu bisa mencicipi makanan di kompleks penjual makanan kaki lima di salah satu tempat yang dikenal dengan nama Perumnas 2. Di sana terdapat aneka makanan seperti tahu tek, mie, nasi goreng, ayam lalapan, dan lainnya. Silahkan kamu pilih sesuai selera dan kantong!

Maumere yang merupakan Ibukota dari Kabupaten Sikka. Terkenal alam Sikka yang begitu indah. Ada banyak sekali objek wisata yang patut untuk dikunjungi. Salah satunya adalah Pantai Koka. Pantai ini terletak di perbatasan antara Maumere dengan Kabupaten Ende. Dari Kota Maumere menuju pantai ini kita harus menghabiksan sekitar 1 jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor berkecepatan 40-60 km/jam. Pantai dengan pasir putih dan perbukitan di sekitarnya. Dari jalan raya kita harus melewati jalan yang sedikit berbatu sekitar 2 kilometer untuk bisa menemukan pantainya. Pantai ini sudah dikelola dengan baik, sehingga sudah ada tiket masuk dan uang parkir. Tetapi tidak perlu khawatir karena biaya tersebut masih ramah kantong yakni lima ribu rupiah. 



And here we go!
Pasir putih, batu karang, air jernih biru kehijauan, aduhai semesta alam..

 
Pantai ini sungguh sangat saya rekomendasikan untuk dikunjungi. Tenang, bersih dan begitu nyaman. Terdapat bale-bale di sekitaran pantai. Jika datang bersama keluarga, tentu saja bisa menyewa salah satu dari yang tersedia. Terdapat juga warung kecil di sekitaran bale-bale, jadi jangan khawatir kelaparan atau kehausan. Tinggal siapkan saja rupiahnya :D

Kita bisa menikmati keindahan pantai ini dari berbagai sisi. Di tepi pantai kita bisa bermain bersama pasir putih nun halus, berjalan sedikit menyusuri kaki bukit kita bisa menikmati ombak yang berseteru dengan batu karang, dan di sini kita bisa menikmati matahari tenggelam dari atas bukit yang boleh didaki. Hanya butuh waktu sekitar 10-15 menit untuk sampai di puncak dan menikmati pemandangan dari ketinggian. Di ketinggian ini kita bisa menyusuri pemandangan ke segala arah. It's so peacefull..





Sayangnya, sore itu saya harus bergegas menuju Moni. Salah satu desa di Kabupaten Ende yang paling dekat dengan Gunung Kelimutu. Dan akhirnya saya berpamitan dengan Maumere, dengan Pantai Koka, dengan senja dan fajar yang begitu indah di tempat ini. 

Perjalanan penuh dengan kejutan. Sejatinya saya tidak akan pernah berhenti menyambung setiap langkah dan jejak yang ada. Karena saya yakin, setiap cerita yang tercipta dari sebuah perjalanan selalu bermakna. Maumere, ia mengajarkan saya bagaimana menjadi orang asing yang tetap menyenangkan bagi mereka yang baru ditemui dengan atau tanpa perbedaan. Terimakasih!


More pictures please check my instagram @Fenymariantika

Hari kedua,

Memulai perjalanan menuju lembata dengan menggunakan kapal laut. Rencana awal saya akan ikut kapal fery, kapal penumpang yang biasa mengangkut penumpang dari Larantuka menuju - Wae Werang-Lembata. Sayangnya, kedatangan saya di pelabuhan sedikit terlambat. Kapal sudah berangkat setengah jam yang lalu.

Akhirnya saya memutuskan untuk mencari jalan lain dengan menanyakan pada orang-orang yang ada di pelabuhan.

" Nona mau kemana ni?" tanya seorang Nenek yang sedang duduk menghabiskan sarapan paginya

" Lembata,Nek "

" Su jalan setengah jam yang lalu ni. Tunggu kapal cepat saja"

" Ada kah Nek?"

" Ada, tunggu saja sampai jam 12"

Saya mengangguk sambil tersenyum pada sang Nenek. Hanya menunggu beberapa menit, ada bapak-bapak yang memberi info bahwa ada kapal cepat menuju Lembata.

Lets go!

Mengangkat ransel kemudian membeli tiket di loket yang tersedia. Hanya dengan seratus ribu rupiah maka saya sudah bisa menyeberang menuju Lembata. Yeya!

Saya sudah sangat excited dengan perjalanan ini. Untuk masuk ke dalam kapal pun sudah membuat adrenalin saya terpacu, bagaimana tidak, dari daratan menuju kapal hanya menggunakan tangga yang menempel pada tanggul yang memisahkan daratan dengan laut. Dan kebetulan ombak cukup tinggi pagi ini.


Perlahan kapal cepat yang bermuatan sekitar 30 orang melaju. Melewati bukit-bukit yang begitu hijau. Di sebelah kiri saya menyapa Tanjung Gemuk, saya bisa melihat dari kejauhan betapa pantainya masih begitu bersih, hijau dan ah luar biasa menyegarkan.

Sementara disebelah kanan saya terdapat pulau Solor.  Meski jauh mata memandang, tetapi perkembangan pulau itu sangat nampak dari pembangunannya. Seolah-olah kaki bukit sudah sesak dengan perumahan-perumahan warga. Ini saya lihat juga saat melewati Pulau Adonara yang pelabuhannya dikenal dengan nama Wae Werang. Nampak tempat-tempat ibadah berdiri kokoh di permukiman warga. Di pulau ini juga kapal berenti sejenak untuk menurunkan penumpang. Jika tujuan hanya ke Pulau Wae Werang makan ongkos kapal hanya lima puluh ribu rupiah.

Sepanjang perjalanan mata akan disuguhkan dengan bukit-bukit atau pulau pulau berpenghuni. Melihat barisan bukit tertata rapi dengan kumpulan awan putih diatasnya. Ada pula hamparan hutan homogen melengkapi daratan. Dengan bibir pantai yang tetap indah meski tidak bertabur pasir putih.

Eh saya keliru, setelah melewati Pulau Wae Werang di bagian awal, dipertengahan saya melihat ada satu bagian bibir pantai yang pasirnya berwarna putih. Saya seperti melihat salah satu pantai di Pulau Bali, dream land. Bedanya tidak ada karang yang menjulang tinggi. Di daratan yang sama dengan bibir pantai yang berpasir putih ini saya melihat ada gereja yan menjulang tinggi di kaki bukit. Ah, senang sekali melihat tempat ini, begitu damai dan 'khusyuk'.

Singkat perjalanan diatas kapal menuju Pulau Lembata akhirnya sampai. Terik begitu terasa di permukaan kulit. Beban dipundak seolah meningkat. Di dermaga saya mencari-cari saudara baru yang akan menjemput dan menyediakan tempat bermalam. Setelah beberapa menit akhirnya bertemu. Waktu menunjukan pukul 10 lewat beberapa menit, tetapi matahari sudah terlalu tinggi untuk jam 10 pagi.

Rumah yang akan saya "tumpangi" tidak terlalu jauh dari dermaga, hanya sekitar 10 menit kami sudah sampai. Rumah yag cukup megah untuk ukuran masyarakat di sini. Saya menyalami satu per satu tuan rumah. Mereka begitu ramah dan tetap dengan khas logat mereka. Kami berbincang-bincang sebentar sebelum akhirnya saya mohon izin untuk menggunakan kamar mandi dan beristirahat sebentar sebelum akhirnya mengelilingi sebagian pulau Lembata.

Sekitar pukul 2 siang, saya sudah dibangunkan untuk bersiap-siap menuju beberapa objek wisata yang ada. Pantai dan juga perbukitan.


Saya sangat menikmati perjalanan, setiap perjalanan, tidak terkecuali perjalanan kali ini. Sepanjang jalan saya tidak henti-hentiny melepas senyum meski hanya beberapa garis, menyapa mama-mama yang sedang beraktivitas di pinggir jalan pun di pekarangan rumah mereka. Ada kebahagiaan yang lahir dari kesederhanaan pulau ini. Saya merindukan perasaan yang seperti ini.

Tidak terlalu jauh ternyata pantai yang akan dituju, pantai yang sebenarnya ada sepanjang jalan. Saya bisa melihat mereka dari ketinggian, pasir putih, karang, manggrove dan ombak lembut yang bersahutan. Ah, I just wanna let go! 


Saya sempat singgah dan menikmati pantai yang menjadi salah satu resort di pulau Lembata. Pantai yang konon menjadi milik pribadi orang nomor satu di pulau ini. Saya menyukai sudut di mana saya duduk, dari sini saya bisa melalap habis pemandanngan di sekitar saya. Ada kata yang lebih dari sekadar indah?

 
Barisan pantai Waijarang, Pantai Bean dan aneka pantai lainnya yang saya nikmati dari kejauhan. Dari kejauhan, saya bisa menikmati mereka dengan paripurna, tidak hanya menikmati pasir putihnya, tetapi juga biru dan hijaunya air laut yang secara berganti menggelitik tepian pantai. Sementara barisan bukit dan gunung berada di hadapan mereka. Sungguh saya menikmati mereka meski hanya dari atas bukit cinta Wolorpas. 

Di pulau ini juga terdapat teluk Waienga yang jika kita beruntung bisa menemui lumba-lumba, sayangnya terlalu sore jika saya memaksakan untuk tetap berkunjung ke sana. Maka saya putuskan hanya berhenti di atas bukit cinta ini. Saya meyakini bahwa perjalanan bukan sekadar banyaknya destinasi yang dikunjungi, tetapi tentang bagaimana saya mampu menghemat ego demi kebahagiaan saya yang sebenarnya.

Saya kembali menuju Larantuka keesokan harinya, perjalanan masih panjang, tetapi saya tidak pernah bosan menikmati setiap detailnya. Jika perjalanan adalah candu, maka biarlah saya menanggung risikonya!

Sampai bertemu di cerita part Ende dan wilayah pulau Flores lainnya!

**Aneka foto perjalanan bisa dinikmati di instagram pribadi saya @Fenymariantika

Menulis ini di dalam mobil yang sudah terparkir di depan rumah kost. Ditemani langit kelabu dan rintik hujan. Sementara radio masih dengan merdu memutarkan tembang-tembang yang tengah naik daun.

Sore ini, tepatnya hari ini saya mengingat kalimat yang pernah Dahlan Iskan tulisan dalam bukunya yang berjudul " ganti hati " yaitu menjadi si miskin yang tetap bermartabat. Dahlan Iskan yang kaya raya itu saja selalu berusaha menjadi si miskin yang bermartabat. Sebab dengan begitu kita mampu memelihara harga diri.

Semoga tulisan saya ini bukan hasil dari melodramatis saya berpisah dengan Februari. Tulisan yang lahir dari banyak pengamatan dan (mungkin) pengalaman pribadi.

Saya ini tentulah bukan siapa-siapa. Bukan seseorang yang memiliki popularitas pun tidak berusaha untuk meraihnya. Bukan juga seorang wanita dengan harta berlimpah, bukan. Saya tidak memiliki apa-apa, tabungan hanya satu sampai dua juta itu pun kalau bisa bertahan, tidak punya kendaraan pribadi sekalipun sepeda, tidak punya reksa dana apalagi investasi. Hanya memiliki sebuah rumah di kampung halaman, yang (mungkin) menjadi tempat kemana saya akan pulang suatu hari, iya suatu hari.

Saya hanya anak rantau yang menghabiskan waktu remaja dan dewasa awal di Ibukota, keliling pulau Jawa, Sumatera dan kemudian menikmati dua tahun terakhir saya di Papua. Menjadi anak rantau yang menghabiskan banyak waktu di jalan, turun ke masyarakat dan menyusuri keindahan alam.

Saya berusaha menjadi si miskin yang bermartabat. Meski tidak memiliki apa-apa, setidaknya saya tidak pernah meminta-minta apalagi meminta belas kasihan. Saya berusaha tidak mengeluh meski mungkin pada saat itu ada hal yang layak dikeluhkan. Sebab orangtua saya mengajarkan untuk bisa mandiri, untuk bertahan dengan apa yang dimiliki, untuk bersyukur atas semua pencapaian. Tangan di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah. Ini merupakan salah satu prinsip dalam hidup yang bisa menjadi cara dalam memelihara harga diri sendiri.

Saya sangat berusaha jadi si miskin yang bermartabat dengan  mencari penghasilan tambahan dengan tenaga ekstra tanpa memperdulikan posisi atau jabatan saya di kantor utama. Sebab sebagai tulang punggung keluarga saya harus memiliki kemampuan dalam mengelola dan mengembangkan kreatifitas dalam mencari nafkah. Meski harus sampai pulang malam atau kehilangan banyak tenaga. Semua saya lakukan untuk menjadi si miskin yang bermartabat. Bukan karena gengsi, serakah atau terburu-buru menjadi kaya raya., tidak sama sekali. Ini hanya cara untuk menghargai diri sendiri dan tentu saja untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan menjalani hidup dengan baik.

Sebab banyak orang yang memilih cara lain, memilih jalan lain, dengan merugikan pihak lain, dengan cara yang tidak baik, dengan sulap atau magic, dengan kebohongan atau menjadi penjilat, apapun itu. Sah-sah saja. Up to you! Hidup memang mempersilahkan kita untuk memilih. Tersedia banyak sekali pilihan dari a hingga z. Tidak ada yang salah, tidak ada yang paling benar. Hanya saja saya tengah berusaha untuk memilih jalan yang sesuai, menurut saya. Di mana kemampuan bisa dimaksimalkan untuk mencapai tujuan tanpa harus mengabaikan harga diri, tanpa harus membuat cerita dan citra diri yang buruk. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama dan amal baik tentunya. Setiap jalan yang kita pilih selalu membawa kita pada sebuah muara, entah itu muara kebaikan atau sebaliknya. Selamat melanjutkan perjalanan!





Langganan: Komentar ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Tentang Kematian
    Tulisan ini dibuat bukan karena stress melewati masa pandemi ini ya. Tetapi memang, kematian sudah biasa menjadi isu yang datang dan pergi d...
  • Hal Tersulit
    Orang bilang hal tersulit di dalam hidup adalah memaafkan. Bisa jadi tidak semua sepakat tentang itu. Tetapi kali ini saya bagian dari yang ...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2022 ( 1 )
    • ▼  September ( 1 )
      • Filterisasi Hidup
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes