TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home All post
Aku tidak dapat menjanjikan apapun kepadamu, selain bakti ku
Perjalanan menuju desa terakhir sebelum mendaki ke Danau Kelimutu sudah dimulai. Perjalanan dengan sepeda motor di malam hari yang dilakukan oleh dua orang gadis nekat yang sama sekali tidak ragu melanjutkan perjalanan ini. 

Setelah menghabiskan sore di Pantai Koka, perjalanan menuju Ende menjadi lebih antusias. Terlebih lagi ketika gelap mulai menguasai sementara bulan penuh sudah menyapa di sisi kanan jalan. Ia nampak sedang menemani perjalanan ini, begitu bercahaya dan menarik. Sayangnya, teknologi yang kami bawa sangat terbatas, tidak mampu mengabadikannya selain menggunakan kedua mata yang mungkin sudah cukup.

Patut disyukuri ketika jalan raya yang dilewati selalu memberikan kemudahan, meski gelap, berliku, menanjak dan menurun, tetapi semua masih dapat dikendalikan. Perjalanan ini aman hingga kami sampai di satu desa yang bernama, Moni. Desa paling akhir sebelum mencapai Danau Kelimutu. Mengingat di sana tidak akan ada warga yang berjualan di tengah malam, maka kami memutuskan untuk mengisi perut di sebuah warung di desa sebelum desa Moni.

Apa kabar kasur malam ini? 

Bukan saya namanya jika terlalu memusingkan akan tidur di mana. Setelah dari Moni, kami terus menancap gas sepeda motor hingga berhenti di pos masuk taman nasional. Di sisi pos nampak ada gubuk yang sudah ditempati oleh beberapa pemuda, sehingga kami meminta izin untuk tidur di mushola. Alhamdulilah diberi izin oleh petugas, bahkan kami diperkenankan untuk menumpang mandi dan sedikit waktu untuk sekadar berbincang dengan mereka.

Tidak lama kemudian kami terlelap, dingin lantai dan udara membuat kami tidak begitu menikmati tidur malam ini. Sebuah masalah? No way! Waktu sholat subuh kemudian datang, usai sholat kami bersiap-siap menuju danau! Yihaaaa

Saat sedang melangsungkan perjalanan seperti ini, saya seolah berpola tidak sebagai perempuan, tidak ada rasa takut pun khawatir. Inilah yang membuat saya semakin candu dengan satu hal; perjalanan. 

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di pos terakhir sebelum tracking di mulai. Sudah terlihat banyak kendaraan yang diparkir rapi. Dan sudah terdengar logat dan bahasa asing dari para turis yang juga sangat excited dengan perjalanan ini.



Kami mulai menapaki track yang tersedia. Berbekal pakaian seadanya, penerangan dari handphone dan bulan, lalu lagu Gie yang selalu diputar oleh memori. Rasanya dada saya ingin meledak, bahagia! Betapa tidak, saya bisa merasakan aroma dari dedaunan yang basah, tanah basah, dan menikmati bulan yang sempurna tepat di atas kepala. Mendaki pun tidak menjadi masalah. Hanya memerlukan waktu sekitar 20 menit saya sudah bisa melihat semburat matahari pagi yang sedang berusaha untuk keluar dari peraduannya. Langit menjadi begitu megah dengan taburan warna merah jingga, putih dan biru tipis dibalut dengan abu-abu secara kasat mata. Awan seolah tahu diri dan hanya muncul sekejap saja. Menyaksikan matahari terbit di puncak ini, lalu melemparkan padangan pada lembah dan danau beraneka warna. Kabut tipis seolah menjadi pelengkap keistimewaan pagi ini. Nikmat Tuhan yang mana yang bisa didustakan?

Tidak akan pernah sebanding  pujian kepada Tuhan atas semua yang Ia ciptakan


Lebih dari dua jam saya menikmati pemandangan yang ada. Tidak bosan apalagi jemu. Melihat banyak turis asing yang juga menikmati sedari tadi. Saya senang mereka bisa menikmati alam Indonesia yang luar biasa. Saya cukup beruntung karena pagi ini cerah, tidak tertutup kabut pun awan kelabu. Semakin beruntung karena warna danau begitu cantik. Cokelat, tosca dan hijau. Saya menikmatinya dalam diam, habis kata-kata yang bisa saya ucapkan saat berada di sini. Saya benar-benar ingin menikmatinya dalam diam dan di dalam pelukan, pelukan hangatnya matahari pagi.

 


Di puncak ini juga, saya sempat berinteraksi dengan penduduk lokal yang berniaga di sini. Bercanda dengan mereka, saling bersenda gurau. Bahkan Mama-Mama di sini berdoa agar saya bertemu jodoh di sini dan tinggal di Ende. Ah ya, begitu polosnya do'a orang tua  di sini. 

Salah satu Mama yang sedang menawarkan kain tenun khas Kelimutu

Sekitar pukul 10 kami memutuskan untuk turun dan melanjutkan perjalanan. Perasaan bahagia terbawa sepanjang  jalan. Tidak peduli dengan jalanan berlubang, berair, berbatu dan lainya. Tidak peduli dengan terik yang mulai menyengat, bahagia jauh lebih penting dari itu semua. Dan saya akan terus melanjutkan perjalanan ini, dengan atau tanpa teman perjalanan. Perjalanan kami selanjutnya adalah berburu kain Ende dan mengisi perut di Kota Ende. For your information, Kota Ende sudah sangat berkembang jika dinilai dari padatnya jalan raya, pemukiman dan pasar. Jika ingin menikmati Kota Ende, banyak tempat yang bisa dikunjungi untuk sekadar menikmati kearifan lokal. Selamat menjelajah!



** Photos credit by @fenymarintika and @Zuniatmi
Wanna see more pictures? please follow my instagram @fenymariantika
Pukul 16.35 WITA saya meninggalkan hotel Pelita di Maumere. Hotel yang sudah lima hari menjadi tempat saya bernaung. Sore ini saya akan melangsungkan perjalanan ke Flores Timur, Kabupaten Larantuka tepatnya. Wilayah yang konon menjadi pusat peribadatan umat Katolik ketika hari paskah tiba.

Dari Maumere menuju Larantuka menghabiskan waktu 3-4 jam dengan menggunakan angkutan umum berjenis mini bus. Sekitar pukul 16.45 WITA mini bus menjemput saya di hotel, karena sebelumnya sudah saya hubungi. Biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 60.000. Cukup murah bagi saya dengan perjalanan yang cukup jauh.


Pukul 18.15 WITA  mini bus ini baru tancap gas dan menuju Larantuka. Perjalanan malam ditemani rembulan yang benderang. Langit begitu indah dengan bintang-bintang yang berserakan dan dihiasi awan putih. Sementara di dalam mini bus sudah diramaikan oleh suara merdu Mita Talahu dengan tembang-tembang hitsnya.

Sepanjang jalan saya sudah melewati beberapa desa, salah satu desa Geliting. Konon ini menjadi salah satu desa yang mayoritas muslim. Tolerasi di sini cukup tinggi, umat katolik dan muslim saling menghargai satu sama lain. Begitu indahnya, Ibu Pertiwi :)

Menempuh jalan ini seolah membawa saya pada kenangan. Saat masih bersama-sama dengan tim Pencerah Nusantara. Jalanan yang saya lalui saat ini serupa dengan jalanan Probolinggo. Kanan kiri dipenuhi dengan pepohonan rindang, permukaan jalan yang datar dan sempit dan gelap.

Setelah menghabiskan satu album Mita Talahu, akhirnya bus sampai di Kota Larantuka sekitar pukul sepuluh malam. Tidak ada lagi aktivitas di Kota ini, semua mahluk hidup nampaknya sudah kembali ke huniannya masing-masing.

Saat masih di Maumere, saya bertemu seorang teman yang kebetulan berencana untuk menemui keluarganya di sini. Alhasil malam ini saya dan dia bermalam di rumah milik familinya. Tepat ditepian pelabuhan. Rumah yang begitu sederhana, bertembok bambu dan beratap seng berlantai tanah. Alhamdulilah masih ada tempat untuk sekadar meluruskan badan. Rupanya keluarga Kak Fitri ini pedagang ikan asap, kacang rebus dan yang lain, sehingga sebelum tidur saya masih bisa berkenalan dengan aroma yang memenuhi ruangan di rumah ini. Rasanya saya semakin mengantuk :D

Meski Larantuka terkenal dengan pusat wisata umat Katolik, tetapi jangan khawatir bagi kita umat muslim, sebab adzan masih bisa dikumandangkan di sini, terdapat masjid yang cukup besar dan bagus di pinggir jalan raya. Saat subuh tiba, saya mendengar adzan dikumandangkan. Alhamdulilah

Untuk menghemat waktu saya langsung bangun, mengambil air wudhu, mencuci muka, sikat gigi setelah itu saya sudah siap untuk berkeliling. Yeay! Saya bisa merasakan ketenangan di tempat ini. Masyarakat menjalani hidup yang begitu dinamis namun tetap menjaga tatanan kehidupan. Sekitar pukul setengah enam saya sudah berada di jalan raya, menikmati udara pagi dan langit yang mulai bercahaya. Melihat kanan-kiri, sudah banyak dari mereka yang mulai beraktivitas. Saya menyapa sekelompok Ibu-Ibu yang tengah mengantri untuk mendapatkan air bersih di pusat pasar. Saya juga melihat pertokoan satu per satu mulai dibuka.
Langkah saya menuju pelabuhan, sepanjang jalan saya tidak menemukan botol minuman pun bungkus obat batuk yang kerap saya temui jika saya di Jayapura. Ah semoga saja memang ditempat ini semua sudah lebih baik dan terjaga.

Sampai di pelabuhan, saya menuju sisi kiri lapangan pelabuhan. Duduk ditepian batas antara pelabuhan dan laut. Menikmati matahari yang perlahan lahir dari arah yang berbeda, sementara dihadapan saya muncul garis berwarna warni pada permukaan awan putih yang biasa kita sebut pelangi. Seperti sarapan pagi yang Tuhan hidangkan untuk saya! MasyaAllah 

Cukup lama saya duduk terpaku di sini, menikmati apa saja yang ada. Sembari terus memulihkan hati. Tidak pernah terlupa, tidak sama sekali.
Setelah merasa cukup dengan laut dan sunrise, saya beranjak. Menuju sisi Larantuka yang lain. Saya memilih berjalan di tepi jalan raya, sambil menikmati bibir pantai yang membentang sepanjang jalan. Ada kedamaian yang kemudian tercipta, ada senyum yang lahir begitu saja. Saya menikmati bangunan yang memenuhi kaki bukit, tidak hanya rumah warga, tetapi juga gereja. Banyak sekali gereja dengan ragam bentuk dan hiasan. Saya juga sempat singgah di salah satu patung Bunda Maria yang letaknya masih di sisi kiri jalan raya. Dan saya sempat mengabadikan foto bibir pantai yang dibelakangnya terdapat gunung api Lewotobi, sayangnya saya tidak berencana untuk melakukan pendakian. Mungkin lain kali, sehingga saya putuskan untuk mengabadikannya dulu dalam sebuah gambar. 

Saya menyusui jalan ini hingga perbatasan Kota Larantuka dan Kota lainnya. Berbalik arah kemudian kembali menyusuri Kota kecil ini yang indah dan penuh kedamaian. Menyapa mereka, mereka beranggapan bahwa saya seorang mahasiswa, anggaplah begitu. Demikian membuat saya semakin bahagia :D

Saya begitu merasa bersyukur, semacam itu.

Merasa cukup dengan keindahan Maumere-Sikka-Larantuka-Lembata, maka tujuan selanjutnya adalah Ende. Sejak saya mulai adiksi akan travelling, Ende merupakan salah satu titik tujuan saya. Selain Danau Kelimutu yang terkenal sampai manca negara, tentu saja saya sangat penasaran dengan kain tenun dan aneka ragam budaya di sana. Sttt, ini menjadi rahasia kita saja ya, diam-diam saya berencana untuk jatuh cinta dengan kain-kainnya :D

Siang itu jelas sekali saya sangat mengejar waktu. Ketika kapal yang membawa saya dari Lembata menyandar di pelabuhan Larantuka, tidak ada cela untuk membuang waktu. Dengan berjalan cepat saya langsung mencari bus menuju Maumere, sayangnya hari paska sudah tiba. Tidak ada bus yang ngetem (angkutan yang sedang berhenti menunggu penumpang)  di sekitar pelabuhan, sehingga mau tidak mau saya harus naik angkot terlebih dahulu untuk mendapatkan bus.
Tidak terlalu jauh ternyata, karena sekitar 2 kilo di depan sana, banyak bus yang begitu bersemangat mendapatkan penumpang. Saat itu ada sedikit masalah kecil, masalah yang biasa terjadi di dunia perangkutan : perebutan penumpang. Saat itu juga, "taring" saya mau tidak mau harus keluar. Ketika mereka memperebutkan saya, tanpa rasa takut bahkan sedikit berteriak saya mengatakan " Saya ini mengejar waktu, sebelum jam 4 saya harus sampai di Maumere! Saya dari pelabuhan ke sini sendiri tanpa bantuan siapapun termasuk pak supir bus di depan, jadi hak saya mau memilih bus yang mana yang lebih dahulu akan jalan. Kalau bapak-bapak masih ribut juga, sini saya bayar dua-duanya!" Ups! sangarnya keluar kan :D Salah satu yang tidak saya sukai dari travelling kali ini ya ini salah satunya, saya harus berurusan dengan supir-supir yang "kelaparan" dan egois sekali. Tapi semua menjadi beres setelah saya berhenti berbicara dan langsung naik ke bus yang sudah siap berangkat! bye!

Gosh! sebagai penumpang yang sudah menciptakan suasana yang cukup heroik saya sadar diri dong, di dalam bus saya tidak lagi berhak memilih tempat duduk, alhasil saya mendapatkan kursi tengah di bangku paling belakang. Saya sudah bingung sendiri membayangkan kegagalan saya nanti saat mengambil gambar sepanjang perjalanan.
Perjalanan Larantuka-Maumere bukan perjalanan yang membosankan. Sebab, di sebelah kiri saya, sepanjang jalan selama 4 jam, saya disugukan dengan laut! laut yang hijau kebiruan, mangrove bersisian, batu karang, perbukitan, ah! saya semacam menyesal menggunakan bus, seharusnya saya sewa motor saja supaya lebih mudah untuk berhenti di mana pun tempat yang saya suka :D

Setengah perjalanan bus berhenti di satu rumah makan padang di daerah Boru, kecamatan Wulangitang. Rumah makan padang yang menurut saya menunya tidak biasa, sebab apapun makannya selalu dilengkapi dengan satu mangkuk kuah ikan. Saat melihat pelayan menghidangkan saya sempat membatin, ini kobokan ( air untuk cuci tangan) atau? melihat raut wajah bingung saya, seorang bapak dihadapan saya memberitahu bahwa itu kuah ikan. Seketika kami tertawa terbahak-bahak. 

Masih dalam perjalanan, di sisi kiri saya yakni hamparan laut, terdapat kampung Konga, kecamatan Larantuka, ia merupakan kampung penghasil mutiara letaknya tepat di bawah perbukitan.  Informasi ini saya dapatkan dari seorang penumpang yang berdomisili di Lembata dan akan berlibur bersama keluarganya di Maumere. Ia bercerita banyak tentang Lembata, Larantuka, dan pulau Flores tentunya. Teman perjalanan yang menyenangkan menuju Maumere. 

Setelah melewati jalan berliku selama empat jam, sampai juga akhirnya di Maumere. Saya sudah membuat janji dengan seorang teman lama untuk menghabiskan weekend kami bersama menuju Ende dan berakhir di Labuan Bajo.


Saya merasakan dan menyadari bagaimana rasa menjadi hamba yang Ia sayangi, Allah begitu menyayangi saya meski saya berlumur dosa...

Ketika Allah pertemukan saya dengan banyak teman, berinteraksi melalui canda dan juga cerita, cerita pedih yang mendalam pun cerita penuh suka cita. Saya kian menyadari betapa Allah tidak pernah berhenti mencurahkan kasih sayang pada umatNya. 
Karena menjalani hidup sebagai manusia yang tentu saja tidak mampu menolak apapun yang akan terjadi maka hanya satu hal yang dapat dilakukan, berserah pada Maha Kuasa. Menjalani hidup dengan sebaik-baiknya kita sebagai manusia.  Harapan memiliki hidup yang damai tentu menjadi dambaan setiap manusia. Bisa dengan leluasa menikmati hari tanpa harus bermuram durja, mampu menyelesaikan masalah dan mendapatkan jalan keluar tanpa harus memperpanjang derita.

Dan masa lalu semakin menegaskan betapa saya pernah luput mengingat nikmat yang Allah beri. Hari kemarin semakin memperlihatkan pada saya bahwa saya pernah menciptakan jarak dengan Dia yang begitu mencintai saya. Saya menjauh Dia merengkuh.

Dan rasa sakit menyadarkan saya bahwa rasa sakit tidak akan ada apa-apanya dibandingkan rasa sayang Allah yang Allah berikan dalam beragam cara. Melalui do'a Ibu, melalui do'a keluarga, para sahabat, teman-teman seperjuangan, orang-orang yang mungkin tergerak hatinya untuk turut mendoakan. Subhanallah, betapa cinta Allah sangat menguatkan..

Jika bukan karena Allah melembutkannya, bisa jadi hati sudah mengeras
Jika bukan karena kasih sayang Allah, bisa jadi hari ini tidak lagi ada tulisan ini
Jika bukan karena kecintaan Allah, maka kebaikan akan tenggelam bersama senja
Jika bukan karena Allah menguatkan saya, tentu tidak akan kalian pandang siapa saya



Ramadhan Hari Kelima, 2016
Sebagai seorang perempuan muslim, yang tengah belajar untuk menjadi baik dan bermanfaat, yang dalam perjalanan tidak hanya tersandung bantu, tetapi juga terhempas oleh angin timur. Semakin hari semakin memahami, bahwa kebaikan akan selalu berbanding lurus dengan niat yang terpatri di dalam hati. Dan keburukan juga akan berbanding lurus dengan rupa hati di dalam sana, ketika kegelapan dan kehendak Allah memulai cerita. 

Selamat Datang, Ramadhan.

Ini menjadi Ramadhan ke 20 dalam hidup saya. 20 tahun yang lalu saya berusia enam tahun, dan pada usia itu saya mulai mengikuti orangtua saya untuk berpuasa, selain mengikuti orangtua, saya juga bersemangat karena dijanjikan hadiah 30.000 rupiah oleh Mbah Putri. Dan pada puasa pertama dalam hidup saya, saya berhasil berpuasa satu bulan penuh dan mendapatkan hadiah!

Begitu kontras dengan Ramadhan ke 20 ini, di mana saya tidak lagi diiming-imingi hadiah, tetapi lebih mulia dari itu, ampunan Allah, kasih sayang Allah dan ridha Allah. Saya menyadari bahwa yang saya cari saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah kebaikan Allah SWT. 

Selamat Datang, Ramadhan.

Setiap kita memiliki cerita hidup yang berbeda-beda meski mungkin serupa. Cerita hidup yang Allah atur dan rencanakan jauh sebelum kita mengenal dunia. Dan saat ini, saya tengah belajar menerima setiap jalan yang Allah terangkan. Pahit, berduri, getir, sakit, derita, bahagia, tawa, apapun rasa, saya tengah belajar merasakan dan menerima. Dan Ramadhan membuat semuanya semakin nikmat. 


Selamat Datang, Ramadhan.

Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan, maka saya sangat menanti, memanfaatkan dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Sebab saya menyadari bahwa dosa yang melekat pada diri saya sudah amat membelenggu saya. Dan saya tidak ingin berlama-lama berkubang dan berkabung dalam masa yang kelam ini. Sebab saya meyakini bahwa Allah akan selalu memberikan petunjuk dan cahayanya. 

Selamat Datang, Ramadhan.

Hidup memang tidak mudah, dengan demikian saya ingin membuat langkah kaki ini lebih ringan. Ramadhan tidak hanya mengajarkan untuk menahan lapar dan dahaga saja, tetapi jauh lebih dari itu. Saya begitu malu akan diri sendiri, yang lagi lagi belum mampu mengambil pelajaran dari orang lain sehingga Allah menegur, mencurahkan kasih sayangnya secara langsung pada saya melalui ujian ini dan itu.

Dan kini saya bersama Ramadhan, menikmati kehadirannya yang hanya sebentar ini. Berharap setelah ia pergi, tidak banyak hal yang berubah selain kebaikan yang terus menerus menjadi candu untuk kita semua. Kebaikan pada sesama yang akan membawa kita pada kebaikan secara universal. Kasih sayang Allah begitu amat nyata untuk dirasa, semoga kita senantiasa bersyukur dan semakin bersyukur sehingga Allah kian dekat dan lekat.

Tidak mengapa jika kita belum benar-benar berbahagia atas kehadiran Ramadhan, sebab tidak ada rasa yang bisa dipaksa untuk hadir di hati kita. Semua membutuhkan proses, mencintai membutuhkan proses, mari kita belajar mengenal Ramadhan, semakin belajar mengenal Islam, jangan berhenti belajar menjadi hamba Allah yang baik. Semoga kita menjadi orang yang beruntung.

Saya tidak ingin berpura-pura bahagia atas kedatangan Ramadhan, tetapi sejujurnya saya memang menantikannya. Sebab saya ingin membayar hutang padaNya, meski mungkin masih belum mampu untuk menebus semua dosa-dosa saya, tetapi biarlah harapan dan usaha untuk mendapatkan ampunan menuntun saya pada jalanNya.


Selamat Datang, Ramadhan.
Langganan: Komentar ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Tentang Kematian
    Tulisan ini dibuat bukan karena stress melewati masa pandemi ini ya. Tetapi memang, kematian sudah biasa menjadi isu yang datang dan pergi d...
  • Hal Tersulit
    Orang bilang hal tersulit di dalam hidup adalah memaafkan. Bisa jadi tidak semua sepakat tentang itu. Tetapi kali ini saya bagian dari yang ...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2022 ( 1 )
    • ▼  September ( 1 )
      • Filterisasi Hidup
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes