TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home All post


Keseruan dan rasa lelah sisa Labuan Bajo masih begitu sangat dirasa. Ketika pagi bangkit dari tidur panjangnya, kemudia kami bertiga berpisah di pelabuhan. Mba Zuni kembali ke Maumere dengan menggunakan bus, begitupun nasib sepeda motornya. Penasaran motor naik bus? Maka segeralah ke tanah Flores ini!

Sementara Etika menunggu jadwal kapal untuk kembali ke NTB, dan saya bersiap-siap terbang menuju Kupang. Sesaat maish di pelabuhan dan berbincang-bincang dengan Etika, lalu saya menyempatkan diri untuk check in online, namun saya gagal terus menerus. Saya merasa aneh tentu saja, dan bertanya-tanya, ada apa ini? (drama) setelah saya lihat lagi, ternyata saya salah membeli tiket. Seharusnya bulan 28 Maret 2016, namun saya membeli untuk tanggal 28 Maret 2017. Pembaca tidak sanggup menahan tawa? Sama! Hahahaha, ketika menyadari keteledoran saya membeli tiket pesawat, bukannya panik melainkan tertawa hingga terbahak-bahak. Astagfirullah sekali memang saya ini. Akhirnya, setelah mencari tiket ulang di traveloka untuk hari yang sama, maka kepanikan mulai muncul, saya pun tidak mendapatkannya.

Hingga saya mencoba mencari alternatif dengan mengubah penerbangan berbagai rute untuk bisa sampai di Kupang, namun tidak satu pun saya dapatkan. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk berdiam diri sejenak, mencoba berpikir lebih tenang. Hingga akhirnya saya mencoba mencari tiket melalui agen yang lain, satu per satu, dengan kepanikan yang sudah tidak bisa disembunyikan. Karena jika hari ini tidak sampai di Kupang, maka perjalanan menuju Rote pun akan sedikit berantakan. Sebab, tiket pesawat Kupang-Rote, Rote-Kupang, Kupang-Sumba, Sumba-Papua sudah dipesan dan sudah siap digunakan. Bayangkan jika hari ini saya tidak mendapatkan tiket, maka ‘kuota’ exploring Kupang pun akan berantakan.

Tetapi Allah berkehendak lain, Alhamdulilah sekali karena saya akhirnya mendapatkan tiket menuju Kupang melalui agen tiket yang lain. Akhirnya saya berangkat dari pelabuhan ke Bandara menggunakan jasa ojek hanya dengan membayar senilai sepuluh ribu rupiah.

Dan ya, lagi-lagi saya surpised melihat Bandara Mutiara II atau  yang saat ini bernama Bandara Komodo, Labuan Bajo yang cukup bagus. Standar internasional, kalau tidak salah. Sayangnya belum dilengkapi dengan outlet cemilan yang mendukung. Cukup lama saya menunggu, dan selama itu juga saya gunakan untuk mengisi perut, mengisi daya iphone, dan melihat-lihat souvenir di lantai 2 bandara. Ini bukan kebiasaan saya sebenarnya, hanya karena saya bosan menunggu, akhirnya saya iseng melihat-lihat. Dan tidak disangka saya membeli 2 buah barang, dompet tenun dan tas tenun berukuran kecil. Bahagianya, saya mendapatkan keduanya hanya dengan lima puluh ribu rupiah. Merdeka!

Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya pesawatnya siap terbang. Jika tidak salah, penerbangan menuju Kupang pada jam dua lewat, dan sampai di Kupang jam setengah empat.

Pendaratan pertama di Bandara El Tari, Kupang, seperti biasa. Hormon ditubuh saya mulai berebut untuk mendominasi. Entah siapa yang memang sehingga saya begitu merasa bahagia. Bertemu dengan orang-orang baru dan berada di tempat baru  dalam waktu singkat. Sesampainya di Bandara Kupang, saya menunggu jemputan. Kebetulan ada kantor cabang saya di sini, sehingga beberapa dari mereka begitu berbaik hati mau menjemput dan memberi saya penginapan untuk dua hari selama di sini.

Berkunjung ke Kupang seperti hanya sebuah persinggahan karena hanya dua hari berada di sini, itu pun tidak cukup 2 x 24 jam. Sehingga hanya sempat mengunjungi beberapa pantai yang tentu saja tetap indah. Sempat menikmati wisata kuliner dan mall di Kupang. Dan sempat berjalan dari Bandara menuju Mall Kupang, yang ternyata itu sangat jauh dan membutuhkan waktu hampir tiga jam. Hingga saya lupa berapa kali saya bertanya, dan berapa kali saya ditawari tumpangan. Dasar muka gembel sih :D

Ada beberapa dokumentasi pantai yang saya kunjungi,saran saya untuk mengexplore Kupang, siapkan waktu kurang lebih 1 minggu, siapkan kendaraan yang mendukung karena terik di Kupang begitu luar biasa dan yang pasti siapkan pakaian yang mendukung untuk dokumentasi di pantai-pantai yang indah. 

1. Pantai Kelapa 1
Pantai ini tergolong cukup bagus, tenang dan sangat mudah dijangkau. Batu karang seolah hanya sebagai pinggiran lalu memberikan ruang yang luas untuk air laut sehingga sangat saya rekomendasikan untuk berenang jika kamu bisa berenang tentunya :) 

Karena saya tidak sedang ingin berenang, maka saya hanya menikmati keindahan pemandangan saat matahari terbit. Syandu dan amat tenang. Hanya terdengar desiran ombak sesekali.




Selesai dari menikmati Pantai Kelapa 1, saya menyempatkan mengunjungi Pelabuhan. Iseng-iseng berhadiah, berharap akan ada pemandangan yang uapik dan tidak disangka-sangka :D





2. Pantai Namosain, Kelurahan Namosain

Pantai ini tergolong pantai yang berada di pusat kota. Dekat dengan pemukiman dan dibuat seperti taman untuk tempat berkumpul ria sekadar menghabiskan waktu bersama sembari menikmati lautan. Pada saat saya berkunjung ke sini air laut sedang surut dan saya berkunjung di sore hari. Waktu yang cukup tepat berkunjung ke pantai ini. 
 
3. Pantai Tablolong, Kupang Barat


Pantai yang satu ini tergolong sangat bagus dan sangat jauh. Lebih dari satu jam waktu tempuh dari pusat kota ke pantai ini. Dengan terik yang luar biasa, saya hanya mampu bertahan tidak lebih dari sepuluh menit berada di tepi pantainya. Menikmati beningnya air laut, lebutnya pasir putih dan pemandangan yang ada. 


Untuk ke pantai ini ada tiket masuk dan biaya parkir. Pantai ini sudah termasuk pantai yang dikelola. Sehingga sudah nampak saung, kotak sampah, bale-bale dan pagar. Hanya saja masih terlihat sampah plastik berserakan mengotori mata.

Saran saya, berkunjung ke pantai ini jangan siang hari. Terlalu terik. Saya sarankan untuk berkunjung pada sore hari. Konon pemandangan sunset di pantai ini cukup diburu banyak traveller.

 Demi pantai ini saya harus merelakan ditinggal oleh pesawat menuju Rote, sehingga mau tidak mau jalan satu-satunya saya akan menuju rote dengan menggunakan kapal laut esok hari. Ini merupakan pengalaman pertama saya ditinggal oleh pesawat, catat ya ditinggal oleh pesawat bukan yang lain :p
 

4. Pantai Oesapa



Di pantai ini, kita tidak bisa menikmati pasir putih atau laut seperti pada umumnya. Karena di sini 'produk' utamanya adalah hutan Mangrove yang terletak di Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima. Di sini, disediakan bale-bale untuk bisa menikmati kesejukan lengkap dengan nuasa alam yang menenangkan. Kembali saya sarankan untuk berkunjung di pagi hari atau siang menjelang sore untuk menghindari terik matahari yang keterlaluan. 

5. Pantai Ketapang Satu
Pantai ini pantai yang terletak di pusat kota. Cukup nyaman jika hanya untuk bersantai di waktu yang singkat. Tiket masuk hanya lima ribu rupiah. terdapat banyak tempat duduk untuk bersantai. 
 
 Nah, karena perjalanan di Kupang hanya dua hari, maka hanya 5 tempat tersebut yang sempat untuk saya kunjungi. Ohya,  ada satu air terjun juga yang saya kunjungi, namun sudah tidak lagi mengindahkan mata dan saya sudah tidak punya dokumentasinya, sehingga tidak saya review di sini. 

Perjalanan di Kupang memang nampak tidak maksimal, sebab hati saya sudah terlanjur berada di Rote dan Sumba. Sudah tidak sabar berada di sana. Maka perjalanan di Kupang berakhir di sini.

Tulisan terakhir saya tentang explore NTT masih bersambung. Menuliskan keseruan yang sudah berlalu memang memiliki cita rasa sendiri. Dan kali ini saya akan bercerita tentang jelajah Labuan Bajo, destinasi wisata yang cukup terkenal di kalangan turis lokal bahkan manca negara. Apa istimewanya?  

Tunggu dulu, saya akan menceritakannya mulai dari jalan kanan yang kami pilih setelah turun dari Kampung Adat Wae Rebo.

Kekurangan perjalanan saya kali ini adalah kamera yang kurang ready dan kalau tidak salah, pada saat itu saya yang mengendarai sepeda motor, sehingga saya luput dalam dokumentasi. Padahal rupa jalan yang kami lewati sangat ekstrem, karena tidak hanya jalan bebatuan yang cukup besar dan licin, tetapi juga luas jalan yang begitu ‘hemat’, dilengkapi dengan posisi jurang berada di sebelah kiri. Lalu apa yang terjadi? Kami putar arah? Balik kanan? Urungkan niat? Oh No! Yang terjadi adalah sebaliknya. Kami melanjutkan perjalanan dnegan tawa yang tidak putus-putus, terpeleset, terjatuh, dorong motor, dan aneka hal-hal yang luar biasa membuat perjalanan kami benar-benar penuh tawa. 


 

*ketiga foto di atas belum cukup mewakili rupa jalan belasan kilometer atau bahkan puluhan kilometer yang kami tempuh :D

Oh iya, by the way, saya lupa, saya sudah memperkenalkan tokoh lain dalam cerita ini selain saya? Maafkan saya jika belum, maka izinkan saya mengenalkannya kali ini. Namanya Zuni, seorang teman dari kantor lama, yang kebetulan sedang bertugas di Maumere dan kami bertemu lagi dalam sebuah acara, lalu ketika mengetahui saya akan explore NTT maka ia urun diri untuk ikut. Maka jadilah perjalanan ini kemudian berkawan meski tanpa rencana sebelumnya. Adanya Mba Zuni membuat saya tidak perlu mencari sewa motor, karena akhirnya kami menggunakan sepeda motor miliknya. Dan juga seorang kawan bernama Etika yang turut campur dalam perjalanan kali ini edisi Labuan Bajo, kebetulan ia sedang bertugas di NTB, sehingga bisa membersamai perjalanan ini menjadi lebih berwarna.

Oke, back to the point.

Ada sekitar 7-10 kilometer jalanan yang kami lalui seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Meski jalanan hancur seperti itu, tidak mengurangi kebahagiaan dan ketakjuban kami dengan pemandangan sekitar. Sisi sebelah kiri yang saya katakan jurang, dibawah jurang terdapat pemandangan yang begitu menyejukan mata. Bias sinar matahari yang direfleksikan dengan indah oleh air laut, nampak begitu berbinar seperti bola mata yang dipenuhi kebahagiaan. Hamparan laut dengan warna biru kehijauan, suara angin dan ombak yang saling beradu ritme. Ditambah dengan lekukan bukit bertaburan rerumputan seperti savana dan kuda yang sedang mengisi perut, sesekali kami bertemu dengan penduduk yang sedang bercocok tanam, lalu melihat kerumunan sapi dan kerbau yang sedang berendam di kubangan, melewati bayak jembatan dan sungai, melewati sisi kota-kota kecil dengan cuaca yang silih berganti, matahari dan hujan seperti sudah dibagi shiftnya dengan rapi. Sehingga pakaian yang melekat di tubuh kami nampaknya tidak perlu lagi dicuci.

Perjalanan dari Barat Daya Kota Ruteng menuju Manggarai Barat di mana Labuan Bajo berada cukup jauh. Perjalanan kami di mulai sekitar pukul delapan pagi, dan kami sampai di Labuan Bajo beberapa saat sebelum magrib tiba, sekitar pukul empat sore dan langsung disambut oleh hujan. Masih teringat jelas meski sudah beberapa bulan yang lalu, dalam perjalanan dari Wae Rebo – Labuan Bajo kami singgah untuk makan siang pada tengah hari, mungkin sesuai dengan jadwal sholat dzuhur, lalu makan sore di warung bakso ketika sudah di Labuan Bajo.Sesampainya di Labuan Bajo kami cukup lelah berputar-putar mencari penginapan yang sesuai dengan budget yang sudah kami siapkan. Sambil saya mencari di traveloka, kami juga mencari langsung  di sekitar.

Sebelum sampai di Labuan Bajo, saya tidak pernah membayangkan bahwa kota ini seperti ini. Begitu kecil dan ‘dipaksa’ menjadi sebuah kota yang ‘wah’. Nampak seperti pulau dewata, namun hanya sebagian kecil. Begitu banyak penginapan, sesuai dengan isi kantong dan life style atau status sosial. Terdapat juga mini market lokal pun nasional (?), dan tentu saja yang tidak kalah banyak adalah toko baju, cinderamata dan tempat makan. Sepanjang jalan pengunjung akan menemukan toko-toko tersebut. Dan untuk pengunjung yang muslim, tidak perlu khawatir karena terdapat masjid yang cukup besar di depan kantor pelabuhan. 

Pada malam pertama di labuan Bajo kami memutuskan untuk menginap di sebuah hotel, hotel dengan harga yang sangat murah yakni Rp. 325.000,- yang bernama Hotel Blessing yang berada di pusat kota. Di hotel ini, kamar yang disediakan cukup nyaman, dilengkapi dengan kasur dan tempat tidur tentunya, lemari, kipas angin, televisi, kamar mandi, air hangat dan jendela yang langsung bertemu dengan sinar matahari. ‘ fasilitas’ yang cocok bagi traveller macam saya. Ah tapi ini hanya pencitraan semata, sebab saya masih menggunakan jasa laundry dengan membayar sekitar tiga puluh lima ribu untuk sejumlah pakaian saya. Setelah kami check in, kami kembali menuju pelabuhan dan sekitarnya. Demi explore Labuan bajo dengan harga yang murah. Ini merupakan salah satu kebanggan saya ketika bisa mendapatkan harga yang hampir membuat orang lain masuk jurang :p

For your information, salah satu destinasi yang banyak dikunjungi di sini adalah Pulau Komodo. Lalu disusul dengan beberapa destinasi lainnya seperti  Pink Beach, Padar Island, Kenawa Beach, Rinca Island, Kelor Island, Gili, Manta Point, dan masih banyak yang lainnya. Biasanya banyak sekali travel agen yang open trip sesuai dengan itinerary yang sudah disiapkan dan biaya akan disesuaikan dengan bayak lokasi yang dikunjungi dan kapal yang disewa. 

Sore itu, kami menuju pelabuhan, berbincang-bincang sedikit dengan masyarakat yang ada. Mereka bertanya dan kami menjawab. Keajaiban ketika saya travelling adalah keramahan yang tiba-tiba menjadi bagian diri saya, tapi percayalah, itu hanya sesaat :D Perbincangan pun semakin terdengar menyenangkan, ada seorang lelaki yang ternyata menyediakan perahu untuk disewa. Ia memberikan harga tiga juta per hari, sudah termasuk makan 2 kali sehari. Bagi saya tentu saja harga tersebut terlalu tinggi, negosiasi pun terjadi. Saya dengan santai menawar dan menjawab setiap penawaran dari mereka. Mereka pun menanggapi penawaran dari saya dengan beberapa kali saling bertatap muka, penawaran demi penawaran pun terjadi, dan harga akhir disepakati senilai satu setengah juta :D kami bersalaman, saling bertukar nomor handphone, dan saya berlalu dengan wajah merekah dan jumawa :D 

Mega merah mulai menyala dan senja mulai sirna. Kami menyempatkan menikamti senja di pantai tidak bernama di sekitaran pelabuhan Labuan Bajo. Pantai yang menyediakan pemandangan syahdu dan sederhana, meski saya melihat sampai menghiasi setiap sudut pantai. Usai merasa cukup, kami kembali ke Hotel untuk beristirahat karena dini hari kami harus bangun dan berlayar menuju kebahagiaan, ke pulau komodo maksudnya.

Sebelumnya, saya akan share itinerary esok hari. Esok hari kami akan ke Pulau Padar, Pulau Komodo, Pantai Pink, lalu camping di Pantai Kenawa. Lalu mengapa Pulau Rinca dilewati? Karena tujuannya untuk bersilaturahmi dengan komodo, maka cukup bagi kami hanya ke Pulau Komodo. Apa kabar dengan Manta Point? Menarik sebenarnya, tetapi cukup bagi saya bertemu dengan biota laut di Pink Beach. 


And here we go!
 
Dini hari kemudian berlalu, perahu sudah siap untuk melaju. Amunisi seadanya tetapi cukup lengkap untuk sebuah perjalanan yang luar biasa. Saya duduk di bahu perahu. Menikmati pecahan sinar matahari yang mulai berbagi, kantuk seolah pergi seperti zombi yang takut dengan matahari. Lalu laut mulai memainkan perannya. Ombak yang tadinya tenang mulai menunjukan rupa aslinya. Mereka berusaha membawa kami ke dalam permainan mereka. Meski tanpa memakai pelampung, kami tetap berani menikmati permainan dengan air laut, sesekali. 

Sekitar tiga jam kami sampai di Pulau Padar. Pulau yang membuat saya takjub. Mengapa? Tentu saja bukan hanya karena ia indah, tetapi karena ia benar-benar indah! 


Sebelum trekking dan sampai di titik terindah Pulau Padar, saya harus melakoni drama terlebih dahulu. Hari itu merupakan hari Minggu, tiba-tiba ada tiga orang laki-laki dewasa yang menghadang kami para pengunjung lalu menanyakan tiket masuk kepada kami. Lalu saya bertanya kepada Pak Jumadi, pemilik perahu kami sekalligus guide kami. Lalu ia mengatakan biasanya tiket dibeli saat di Pulau Komodo, namun karena kami lebih dahulu ke Pulau Padar, maka tiket pun belum dibeli. ( note : kami tidak bermaksud untuk melanggar peraturan, hanya saja ini cara yang efektif mengingat kami hanya satu hari) dan tidak ada ketentuan tersebut, katanya. Sehingga saya harus maju di garis depan, menghadari si Bapak yang paling tua diantara ketiganya. Lalu beradu argumentasi hingga akhirnya ia menyerah dan membiarkan kami pergi.
Kapal rombongan lain yang memilih menunda ke Pulau Padar, mungkin beli tiket dulu ke Komodo :D
Ohya, tidak hanya saya yang protes, tetapi juga ada rombongan lain yang mempertanyakan tindakan mereka ( seorang bule dan pasangannya) yang bertanya mengapa swiping hanya di hari minggu? Mengapa tidak dilakukan di hari-hari lain juga? Dan ternyata ada beberapa rombongan sebelumnya yang menunda kedatangan mereka ke Padar Island hanya karena oknum yang menyebalkan yang sedang praktik pungli di hari Minggu yang indah ini. Untungnya, bagi saya bukan masalah besar untuk menghadapi makhluk macam begitu. Dan info dari guide saya, Lelaki itu menanyakan dari mana saya berasal karena belum ada orang yang berani berargumentasi ( baca : marah) dengan dia seperti yang saya lakukan. Ya mohon maaf ya Pak, tanpa mengurangi rasa hormat, saya bukannya bermaksud kurang ajar, tetapi kelemahlembutan saya Bapak tolak, sehingga mau tidak mau saya harus mengeluarkan taring saya sebelum Bapak menggeluarkan taring Bapak lebih dahulu. 

Well, drama berakhir dengan baik. Saya bahkan menyampaikan kepada mereka untuk menyiapkan tiket lengkap dengan stampel jika ingin membuka “ pos” baru di Pulau Padar. Bye drama!

Trekking pun di mulai. Untuk melihat keindahan yang sempurna memang membutuhkan usaha dan sudut pandang yang tepat. Dan untuk mendapatkan titik tersebut, pengunjung harus mendaki bukit sekitar dua puluh menit, bisa juga lebih, tergantung kemampuan dan seberapa sering kamu berhenti untuk istirahat atau mengambil gambar. Sebab pemandangan di Pulau Padar membuat saya tidak ingin kemana-mana. 


Dan ketika sudah sampai di titik tertinggi atau titik yang cukup untuk menikmati sebagian kecil keindahan surga, maka welcome to heaven, wait just a piece of heaven. Kamu akan melihat bagaimana Tuhan begitu ahli dalam menciptakan keindahan, bagaimana laut terlihat terbagi menjadi beberapa titik dengan ukiran bukit yang berbeda-beda. Bagaimana peletakan tanjung atau teluk menjadi ornamen yang begitu sempurna. Belum lagi perpaduan warna putih pada pasir dengan warna air laut biru bergradasi hijau, ditambah dengan hamparan rumput berwarna hijau kecokelatan. Meski terik begitu menyengat, namun udara yang lahir dari tempat ini seolah menjadi oase di gurun sahara. Padar Island so wonderful!



Mengingat perjalanan masih panjang, maka kami mulai turun perlahan. Jika mendaki membutuhkan waktu sekitar 20 menit, maka ketika turun menjadi sedikit lebih lama karena jalan begitu licin dan berpasir, sehingga beberapa kali terjatuh.Usai dari Padar, maka itinerary selanjutnya adalah pulau Komodo. Dari Pulau Padar, kami membuthkan waktu sekitar 30 menit-45 menit untuk bisa sampai di Pulau Komodo. Namun di tengah perjalanan kami menyempatkan untuk mampir di Kampung pulau Komodo untuk mengisi bahan bakar, beristirahat sejenak dan sholat dzuhur.


Di sini kami menyempatkan untuk bermain di dermaga, mengambil banyak gambar untuk didokumentasikan. Bertemu dengan penduduk lokal, berbincang dan bermain-main dengan anak-anak pulau yang sedang mandi di laut. Menyaksikan kehidupan mereka, kehidupan yang serba terbatas namun kebahagiaan mereka terlihat begitu luas. 

Usai dari sini, kami melanjutkan perjalanan kami ke Pulau Komodo, hanya membuthkan waktu sekitar 20 menit untuk bisa sampai ke sini. Setelah perahu bersandar di dermaga, kami langsung berlari di jembatan yang berada di atas laut, melihat lihat ke bawah, menikmati pemandangan di mana banyak ikan-ikan kecil sedang beraktivitas. Hingga akhirnya kami sampai di tugu pulau Komodo. Sebelum sampai ke pos perizinan, kami menyempatkan untuk mengabadikan gambar di sini.


Selanjutnya kami menuju sebuah bangunan, kantor yang begitu ramah lingkungan dan terlihat ramai oleh para petugas. Rangers adalah sebutan untuk mereka. Kami disambut oleh seorang Bapak yang sangat ramah. Menerima kami di ruangannya, mengajak kami berkenalan dan berbicang sesaat sebelum mengisi buku izin. Ia hanya meminta kami membayar senilai delapan puluh empat ribu rupiah, bukan dua ratus ribu seperti pada umumnya. Ia mengatakan karena kami begitu lucu dan menawan :P Tanpa berlama-lama, kami langsung menuju habitatnya Komodo ditemai oleh seorang rangers yang lengkap dengan tongkatnya. Konon, tongkat kayu yang ia bawa sudah cukup menjadi penangkal keganasan Komodo. Hanya beberapa langkah dari pos, sekitar 30 langkah orang dewasa, kami sudah bisa bertemu dengan para komodo. Kami bisa bertemu dengan beberapa komodo dari berbagai usia, hingga komodo yang paling tua, yang hanya tidur tanpa daya, begitu kurus dengan kulit yang sudah sangat rapuh. Beberapa kali mengabadikan moment bersama para komodo dengan berbagai pose, sayangnya saya tidak menemukan dokumentasi tersebut. Hilang entah ke mana. Pengalaman bertemu dengan komodo merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Jika selama ini hanya dapat melihatnya melalui gambar, maka kali ini saya bisa melihatnya langsung bahkan menyentuhnya dengan nyata. Di Pulau ini memang hanya terdapat Komodo dewasa, sementara bayi atau anak Komodo ditangkar di Pulau Rinca. Namun jika kamu memiliki waktu yang lebih banyak, tidak ada salahnya kamu mengunjungi dedek-dedek Komodo di Pulau Rinca. 

Setelah puas berbincang tentang sejarah dan aneka cerita di sini lalu puas melihat komodo, maka kami melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya yaitu Pink beach! Yeay

Salah satu bonus perjalanan ini adalah kami mendapatkan guide and team yang sangat menyenangkan. Meski mungkin mereka hanya mendapatkan keuntungan sedikit dari kami, namun mereka tetap meberikan pelayanan yang maksimal. Contohnya saja sebelum sampai di Pink Beach, mereka menawarkan kami untuk singgah di Pantai yang saya lupa namanya untuk bisa menikmati kelapa muda di tepi pantai. Ah, apalah ini namaya kalau bukan kebahagiaan :D Ketika sedikit lagi perahu sampai di garis pantai, saya sudah bersiap siap melompat dan byuuurrrrr, lalu berenang sesuka hati di pantai yang begitu bersih, jernih dan hangat. Sementara guide and team langsung mencari kelapa-kelapa muda untuk disantap. Sekitar lima belas menit maka santapan pun ada di depan mata. Ketika sedang enak-enaknya menikmati buah kelapa, maka hancur tiba-tiba ketika salah seorang crew perahu menyadari bahwa air mulai surut dan perahu karam.Pada saat yang sama, saya langsung melirik pada yang lain. Berusaha menilai respon mereka yang bisa jadi tidak sama dengan respon saya. Sementara guide dan satu teamnya langsung menuju perahu dan berusaha sekuat tenaga untuk memindahkan perahu. 


Sementara saya dan rekan saya hanya melihat aksi mereka sambil melanjutkan menyantap buah kelapa muda ini, sebelum akhirnya kami membantu mereka menurunkan barang-barang karena perahu terlanjur karam dan tidak ada cara lain untuk membuatnya bisa berlayar kecuali menunggu air laut pasang yang berarti harus menunggu sekitar 2-3 jam lagi. 

Lalu otak saya mulai mencari akal, pasti ada rencana seru yang sudah Allah siapkan untuk hal ini. Setelah mencari-cari alternatif, maka kami memutuskan untuk jalan menyusuri bukit ( trekking lagi) menuju pink beach, konon dari pantai saat ini, butuh waktu mungkin satu jam untuk bisa berada di balik bukit dan sampai ke Pink Beach.


Dan akhirnya kami trekking lagi. Beberapa barang seperti tas yang hanya berisi pakaian kami tinggal di perahu, lalu kami hanya membawa barang-barang berharga dan bahan makanan secukupnya. Semua sisa barang aman karena 2 crew perahu tetap tinggal bersama perahu, sementara guide pergi bersama kami. Sepanjang jalan begitu banyak informasi dan cerita yang saya dapatkan. Tentang rute yang sedang kami lewati ini, konon merupakan rute yang masyarakat gunakan saat panen buah asam, saat mengembala, termasuk saat berperang dan sebagainya. Hamparan savana di tengah-tengah laut dan perbukitan menambah keistimewaan perjalanan ini. Saya sangat bersyukur meski warna kulit dan wajah mulai menghitam dan kian kusam, namun perjalanan yang menyenangkan seolah tidak ada apa-apanya :D



Dan usaha kami untuk sampai Pink Beach pun hampir usai. Tertinggal satu tebing lagi kami sudah sampai, dan sebelum sampai di tebing, maka Allah memberikan kesempatan pada saya untuk melihat baby Manta :D



Akhirnya, pink beach di depan mata. Tanpa berlama-lama saya langsung berguling-guling ri di atas pasir yang memang berwarna pink, merah muda. Mereka begitu halus dan menggemaskan. Setelah itu saya langsung berenang dan menikmati pemandnagan bawah laut dengan kacamata seadanya tanpa kamera underwater.



Tidak apa, bagi saya melihat mereka secara langsung sudah menjadi kebahagiaan tersendiri. Di pantai ini kami cukup lama, menunggu perahu lain datang untuk menjemput kami, perahu yang sudah di pesan oleh Pak Jumadi agar kami bisa melanjutkan perjalanan. Setelah puas di Pink Beach dan hari sudah mulai gelap, kami kemudian berlayar menuju pantai di mana perahu kami karam. Tidak membuthkan waktu yang lama, hanya sekitar lima belas menit kami sudah sampai. Di sana saya sempat mengabadikan sunset yang begitu elegan turun ke bumi. Bagiamana membayangkannya? Jangan dibayangkan! 




Hari menggelap, kami menuju Kampung Pulo untuk mandi dan makan malam di rumah kerabat guide kami. Pengalaman yang luar biasa ketika mandi di kamar mandi tanpa dinding alias terbuka, tepat dibawah langit malam penuh bintang, kami hanya berdoa bahwa tidak ada satu pun mata yang turut menyaksikan moment ini. Karena sudah malam, kami memutuskan untuk kembali ke Labuan Bajo, tidak perlu singgah di Kenawa. Sebab malam sudah terlalu dingin, dan kami pun tidak membawa tenda. ( lah tadi bilang mau camping? :p)

Perjalanan pulang sama sekali tidak saya rasa. Konon beberapa kali berhenti di lautan karena gelombang cukup dinamis, saya sama sekali tidak merasa, mungkin karena tidur saya yang begitu nyenyak meski dalam posisi tubuh terlipat. Hingga akhirnya pada adzan subuh kami sampai di Pelabuuhan Labuan bajo lagi. 


Perjalanan yang sungguh melelahkan, menyenangkan dan unimaginable!
Sampai ketemu di cerita perjalanan selanjutnya, masih ada Kupang, Rote dan Sumba :D


Perjalanan menyusuri kehidupan di Nusa Tenggaran Timur (NTT) memang tidak ada habisnya. Mungkin hal ini menjadi salah satu yang saya syukuri terlahir sebagai anak Indonesia dan menyukai perjalanan. Beberapa tulisan tentang perjalanan mengexplore NTT sudah saya tuntaskan. Namun masih banyak yang belum selesai saya tuliskan. Setelah ini, maka masih ada cerita tentang explore Labuan Bajo, Kupang, Rote dan Sumba. Maka saya memang harus berkerja keras untuk melunasi 'hutang' saya ini, sebelum semakin banyak cerita dari perjalanan selanjutnya. 

Saya harus mengakui dan bersaksi bahwa kekayaan Indonesia memang benar-benar begitu luar biasa. Tidak hanya alamnya, tetapi juga manusia-manusia yang melahirkan budaya dan keragaman. Dalam cerita ini, saya akan menceritakan bagaimana perjalanan saya menyusui Manggarai untuk bisa menikmati hari yang istimewa di sebuah kampung adat yang bernama Wae Rebo. 

Setelah menikmati pagi hari di Danau Kelimutu, Ende, saya langsung menancapkan gas menuju titik selanjutnya. Melintas di jalan berliku dengan tembok-tembok bukit di sebelah kiri dan jurang di sebelah kanan. Tidak hanya berliku, namun juga naik turun, berlubang, berdebu, berpasir, dan tentu saja tidak lupa ditemani oleh terik yang luar biasa. 

Pandangan saya tidak luput memperhatikan, merekam, satu per satu apa saja yang nampak di kejauhan. Melihat aktivitas warga yang ternyata tidak jauh berbeda dengan di Papua. Dimana kaum perempuan terlihat lebih banyak bekerja, sementara kaum laki-laki menghabiskan duduk bersama sebayanya sambil merokok, menguyah pinang lalu tertawa hingga dada mereka terguncang-guncang. Juga nampak anak-anak usia sekolah bermain di sekitar rumah, pinggir jalan, atau di sungai-sungai kecil yang ada di sekitar mereka. Ah Indonesia..

Terlepas dari pemandangan sosial yang ada, saya juga menikmati suguhan alam yang tersedia.  Di Manggarai,NTT banyak sekali wisata alam yang masih begitu alami dan belum komerisal. For your information, Manggarai merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki wilayah yang sangat luas. Sehingga saat saya menjelajahi Manggarai maka banyak sekali yang bisa saya dapati.

1. Air Terjun 
Jika kita mencari informasi tentang air terjun di Manggarai, maka tentu saja akan muncul banyak sekali informasi tersebut. Beruntungnya, tanpa saya mencari, dalam perjalanan dari Ende menuju Manggarai, saya sudah disugukan dengan pemandangan air terjun yang juga dijadikan sebagai salah satu sumber pembangkit listrik. Meski menikmatinya dari kejauhan, tetap saja tidak mengurangi rasa syukur saya bisa menikmati pemandangan yang mengindahkan mata seperti ini. Kalaulah saya tidak salah, ini masih berada di kawasan Manggarai Timur. 





2. Danau
Manggarai Timur semacam salah satu puzzle surga alam di Indonesia. Betapa tidak, saya bisa bertemu dengan danau yang begitu asri, indah dan begitu damai. Danau Rana Mese namaya. Terletak disebuah desa yang bernama Compang Congkar, Kelurahan Elar, Kabupaten Manggarai Timur. Jika dari Ende menuju Manggarai, maka kita bisa menemukannya di sebelah kanan jalan. Tidak ada biaya tiket masuk, kita bisa memarkirkan kendaraan kita di pinggir jalan, lalu tracking sekitar 15 menit dengan kondisi jalan yang naik turun, basah dan berumput.


I actually can imagine how beautiful my country is

3. Sawah
Selama ini kita menganggap tidak ada istimewanya dengan sawah. Iya, tanah yang hanya dipenuhi dengan tumbuhan padi dan rekan-rekannya, yang juga sering dihiasi dengan 'orang-orangan' sebagai cara ampuh untuk menakuti-nakuti  hama. Lalu apa bedanya dengan sawah yang ada di Manggarai? Nah, bedanya adalah sawah yang terledak di desa Cancar, Ruteng itu cukup unik karena membentuk jaring laba-laba. Sawah ini cukup sulit saat kami cari. berulang kali putar arah dan bertanya tentang keberadaan sawah ini, akhirnya kami menemukannya. Tentu berada di tengah-tengah pemukiman warga. Dan untuk masuk ke titik terdekat dari sawah ini, pengunjung harus membayar tiket masuk sebesar sepuluh ribu rupiah. Sayangnya, saya tidak menemukan dokumetasi saya di sawah laba-laba ini. Tetapi bisa dilihat di instagram saya :D


4. Kampung Adat Bena, Bejawa

Seperti yang saya katakan, bahwa kekayaan Indonesia begitu luar biasa. Salah satunya ada di kampung ini. Untuk bisa ke Kampung Adat Beda, kita harus menyusuri jalan yang tidak kalah berliku dari jalan-jalan sebelumnya. Perbedaaanya, udara di sepanjang jalan tidak lagi panas,melainkan dingin dan berkabut. Saya seperti dejavu berada di Sukabumi atau wilayah Jawab barat yang lain. Kampung Adat Bena benar-benar alami. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat yang sudah hidup di rumah modern. Biaya masuk tidak diberi ketetapan, hanya pengunjung diminta memberikan secara sukarela saat mengisi buku tamu di kantor pengelola. 

 

Di sana saya benar-benar bisa menikmati betapa kearifan lokal benar-benar perlu di lestarikan. Bagaimana seharusnya pemerintah peduli dengan masyarakat yang berada di 'perut' bumi, yang mungkin mereka tidak pernah merasakan kasih sayang dari penguasa secara langsung. Bisa jadi selama ini mereka hanya merasakan apa-apa dari ampasnya saja.Tetapi bukan masalah yang besar bagi mereka, hidup di rumah mereka ini, rumah yang mereka bangun dari memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan alam, bahkan dari hasil tumbuhan-tumbuhan yang mereka pelihara, mereka bisa menghasilkan karya yang luar biasa. Kain tenun berbahan dasar kapas dan pewarna alami. 


Kain-kain ini tidak hanya mereka jadikan sebagai souvenir dari Kampung adat mereka, tetapi juga digunakan oleh mereka sehari-hari. Terdapat beraneka ragam bentuk, tidak hanya kain, tetapi juga terdapat selendang, dompet bertali, dan aneka olahan lainnya. Harga pun beragam, dari 50.000 hingga 500.000, wajar jika harganya cukup mahal, karena pembuatannya membutuhkan waktu yang tidak sebentar.  

Jangan lupa mengabadikan gaya favoti kamu di 'titik' terhitz kamu :D

5. Kampung Adat Wae Rebo
Jika kampung adat Bena bisa ditempuh tanpa harus 'ngotot', maka berbeda dengan kampung adat yang satu ini. Sedari awal, ketika sedang beristirahat di warung-warung sambil bertanya-tanya tentang jalan menuju Wae Rebo, maka mereka akan menjawab sambil meneliti kami lebih lanjut. Melihat dua orang gadis mengendari motor ingin menuju Wae Rebo sebelum hari gelap. Keraguan mereka menjadi hal biasa bagi kami, sebab mereka bukan orang pertama yang ragu dengan perjalanan kami. Perempuan, explore, berdua. So what? tidak perlu menunggu hujan berhenti, kami tancap gas dan mengikuti jalan, penunjuk jalan dan feeling yang ada. Allah tidak akan menyesatkan, bukan? :D

Candu sekali perjalanan ini. Tidak ada rasa khawatir, rasa takut pun rasa-rasa negatif lainnya. Yang ada hanya kebahagiaan yang memenuhi rongga dada dan rasa syukur yang kadang tidak sadar hingga membasahi mata. 

Jalan longsor, berbatu, berkerikil, berair, berlubang, benar-benar melengkapi perjalanan menuju Wae Rebo. Infonya, dari titik terakhir kami beristirahat yang saya lupa nama desanya, masih sekitar 5-6 jam lagi untuk bisa sampai di desa terakhir sebelum tracking menuju Wae Rebo. 

Ini salah satu pemandangan yang ada ketika menuju Kampung Adat Wae Rebo, ada banyak sekali desa yang di lalui.
Setelah melewati jalan berbatu dan menanjak, maka nanti akan menemui pantai yang cukup nyaman untuk disinggahi

Abang gak mau temenin neng, Bang? :p

Bonus perjalanan
Ini neng seneng banget karena dikasih Allah nikmat kegagalan, dengan begitu neng akan dapet yang terbaik :D

Jika ada yang bertanya apakah saya tidak lelah? Maka jawabnya tentu saja tidak. Meski mungkin secara fisik lelah, namun otak dan hati saya begitu bersemangat dan bahagia. Seolah oksitosin dan adrenalin sudah bersekongkol untuk mengalahkan kantuk, lelah dan lapar. 

Lalu bagaimana dengan hambatan yang lain? Sepanjang perjalanan tidak ada hambatan yang berarti. Saya begitu sering menyapa masyarakat yang ada, sok kenal dan sok ramah, padahal dunia tahu saya sama sekali tidak ramah. Namun bukan masalah yang basar kan jika saya mencoba berbeda? Haha, meski ketika hampir mencapai desa terakhir harus di'marahi' oleh perangkat desa yang melarang lewat karena sedang ada ibadah, namun berkat wajah dan cara bicara yang dibuat seolah-olah perempuan maha lembut, akhirnya kami diizinkan untuk berlalu.

Jalanan menanjak ada di depan mata, sebenarnya cukup kasihan dengan motor yang kami bawa. Istirahat hanya sesekali, namun berkali-kali harus kerja rodi. Tidak jarang motor pun harus kami dorong ketika tidak mampu menanjak. Sekitar 15 menit kami sudah sampai di 'pos' terakhir sebelum tracking. Jangan membayangkan 'pos' ini seperti pos yang ada di taman nasional, ini hanya gubuk kecil yang dihuni seorang kakek yang kebetulan kebunnya tepat di sana. Alhasil kami menitipkan motor dan keril kami di pada kakek. Tanpa berlama-lama berbincang, kami berlalu melanjutkan perjalanan. Jangan lupa, karena tracking diasumsikan akan menghabiskan waktu sekitar empat jam, maka kami sarankan untuk membawa bawaan seperlunya. Seperti air minum dan cemilan yang sangat ringan. Kami mulai tracking sekitar pukul 3 sore.

Meski terlatih sebagai pendaki, namun tetap saja pendakian harus membutuhkan fisik yang sering berlatih. 15 menit pertama masih jumawa, 30 menit berikutnya nafas sudah mulai tidak teratur. 1 jam berikutnya langkah sudah mulai melambat. Namun karena hari sudah semakin sore, maka entah dari mana tenaga bisa muncul dan aktif kembali.

Foto ini diambil di pertengahan perjalanan, dan waktu menunjukan pukul 16.44 WITA



Mungkin bagi kebanyak orang, perjalanan seperti ini hanya membuang-buang waktu, perjalanan gembelan, dan lain-lain. Mungkin memang benar, tetapi mungkin bisa juga salah. Apapun itu, siapa peduli? Bukankah perjalanan yang dilakukan bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri. Enjoy it,noonaa

Karena bersama kesulitan selalu ada kemudahan



 Akhirnya kami sampai juga di Kampung Adat Wae Rebo pada pukul 17. 41 WITA. Mungkin tidak sampai 4 jam seperti yang diinformasikan. Alhamdulilah lebih cepat sampai dan selamat. Sesampainya di gapura ini, saya merasakan usaha yang saya keluarkan tidak sia-sia. Seperti dejavu kembali, saya mengingat pos awal saat mendaki gunung Papandayan, dikelilingi oleh bukti dan disesaki oleh kabut. Terasa sangat mistis :D


Saya sempatkan berkeliling sebelum antrian bertemu dengan kepala kampung usai. Pada kesempatan yang sama, ternyata pengunjung sedang begitu ramai. Rumah-rumah yang ada di Kampung adat Wae Rebo digunakan juga sebagai penginapan untuk pengunjung yang datang. Biaya untuk tiket masuk jika tidak menginap sebesar Rp. 200.000,-, jika menginap maka Rp. 375.000,- ( sudah termasuk penginapan dan makan malam - makan pagi) . Harga ini merupakan harga saat saya berkunjung pada bulan Maret 2016.  

Setelah malam datang, antrian bertemu kepala kampung untuk meminta izin dan disambut dengan ritual pun datang. Kami di sambut di rumah utama di mana di sana tempat mama-mama dan tetua kampung tinggal. Kami disambut dengan ritual adat yang tujuannya memperkenalkan siapa kami dan memohon penjaganya pada kepercayaan mereka. Hanya sekitar lima menit, ritul pun usai. Kami kemudian diajak berbincang-bincang sambil menikmati welcome drink Kampung Adat Wae Rebo.

I don't like coffee, but I tried.
Saya menjadi pribadi yang berbeda saat berada di luar 'rumah' saya. Menjadi lebih ramah dan lebih santun. Saya begitu menyukai moment ketika saya berbincang-bincang dengan mama-mama yang secara umur bisa jadi 50-60 tahun jaraknya dengan saya. Rambut mereka semua begitu anggun dengan warna putih alami, binaran mata mereka begitu olos, senyum tulus yang senantiasa terukir di wajah mereka. Meski dalam malam, namun saya masih mampu melihat itu semua. Mereka hidup bersama di rumah ini, hanya di pisah oleh sekat kamar yang tidak seberepa. Beberapa kali suata batuk berdahak saya dengar. Mereka masak di dalam rumah, dengan atap rumah yang terbuat dari pelepah dan rerumputan, mereka pun merokok, saya menjadi sedih dan khawatir akan kesehatan mereka. Semoga Tuhan senantiasa menjaga orang-orang ini, batin saya.

Meski malam sudah mulai larut, namun saya tetap memilih untuk mandi. Meski air begitu menusuk di kulit, namun saya tetap melanjutkan membersihkan tubuh. Saya amat menyukai air dingin, ia seperti realita. Sakit di awal, menennagkan setelahnya.

Bulan di Kampung Adat Wae Rebo
Saya tidak rela menghabiskan malam hanya untuk tidur. Sebabnya saya duduk di bebatuan yang disusun rapi di depan rumah utama. Udara dingin, keheningan, langgit malam, Allahu, tidak berlebihan jika air mata saya kemudian mengalir dengan sendirinya. Betapa saya bersyukur atas nikmat-nikmat yang ada. Menikmati semua ini dengan mata kepala sendiri. 









Kain yang saya gunakan ini merupakan kain tenun khas Ende, anda bisa mendapatkannya di pasar Ende dengan harga 350-500 ribu rupiah




Melalui foto-foto di atas saya ingin membagikan seperti apa pagi di sebuah kampung adat bernama Wae Rebo. Di mana alam masih benar-benar suci dan tenang. Di mana matahari masih bisa dinikmati sinarnya tanpa pengahalang. Di mana buliran embun dengan lembut jatuh perlahan ke permukaan. Satu per satu terekam dengan baik oleh mata, oleh telingga, oleh hidung, dan indra lainnya. 

Sekitar pukul tujuh pagi kami sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Wae Rebo dan menyiapkan diri untuk jelajah jalanan menuju Labuan Bajo. Tracking saat pulang jauh lebih singkat, kami hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam lebih 15 menit. Sampai di pos, kami mengambil barang-barang yang sudah disiapkan oleh Kakek. Tidak ada harga khusus yang diminta, namun kami memberikan lebih sebagai ucapan terimakasih sudah menjaga barang-barang kami. 

Perjalanan selanjutnya akan semakin menantang. Karena turun dari Wae Rebo, kami mengambil jalan lain, jika diawal kami naik ke rute Wae Rebo dari arah kiri, maka kami pulang dan menuju Labuan Bajo melalui rute sebaliknya, arah Kanan, yang menurut info jauh lebih dekat, namun lebih terjal. Wanna join? Tunggu di part selanjutnya!


more pictures please check my instagram @fenymariantika
Langganan: Komentar ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Tentang Kematian
    Tulisan ini dibuat bukan karena stress melewati masa pandemi ini ya. Tetapi memang, kematian sudah biasa menjadi isu yang datang dan pergi d...
  • Hal Tersulit
    Orang bilang hal tersulit di dalam hidup adalah memaafkan. Bisa jadi tidak semua sepakat tentang itu. Tetapi kali ini saya bagian dari yang ...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2022 ( 1 )
    • ▼  September ( 1 )
      • Filterisasi Hidup
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes