TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for 2011
GMP#3
  S.E.M.E.R.U



Merdeka adalah ambang batas yang membuat dirimu mampu meraih sebuah titik yang telah kau bayangkan sebelumnya untuk memulai langkah! BUKAN sebuah titik yang harus membuatmu berdiam diri usai mengenakan kemerdekaan itu sendiri!


Membayangkan ketika mengajukan izin untuk kembali mendaki rasanya tak cukup memiliki nyali. Terlebih lagi pendakian ini berlangsung ketika Idul fitri dirayakan. Namun gemuruh didalam hati seolah membakar nyali hingga melalap semua sekat ketidakberanian yang sebelumnya masih mengetuk. Hanya dengan niat dan kesungguhan, akhirnya mampu berbicara dari hati ke hati, menyampaikan maksud pada Ayahanda. Menunduk dengan sesekali memandang wajahnya yang kemudian tertangkap oleh pupilnya yang sedang mendalami keinginan anak gadisnya. " Bapak cuma bisa mendukung apapun itu kegiatan kamu, selama itu masih positif dan bermanfaat. Kamu sudah dewasa, kamu bisa memutuskan apapun itu pilihan kamu. Jaga diri nak, kamu perempuan". Beliau selalu begitu. Bapak terbijak yanng tak pernah luruh kebijakannya. 

Dengan izin yang sudah dikantongi, bukan berarti perjalanan siap dimulai. Tepat pada H-5 sebelum keberangkatan sepotong 'godaan' melintas. Mendapat tawaran pekerjaan langsung dari direktur bukanlah hal yang mudah untuk diabaikan. Terlebih lagi Ibunda cukup menyetujui jika puterinya segera bekerja. Rasanya aneh ketika saya lebih memilih untuk tetap melanjutkan rencana mendaki daripada bekerja sesuai dengan profesi. Tetapi itulah keputusan yang harus saya ambil ketika harus memilih.

Hari itu pun tiba, setelah jadwal pendakian harus tertunda satu hari. Tepat pada tanggal 31 Agustus 2011 pukul 16.00 WIB dengan diantar oleh kakak perempuan menuju terminal 16 C di Kota Metro dengan menggunakan sepeda motor, hanya memerlukan waktu 45 menit untuk sampai disana. Dalam perjalanan ada yang terselip diantara rasa yang membahana. Cukup berat meninggalkan kebersamaan dengan keluarga. Sampai tepat di belakang bus yang siap melaju menuju Bandar Lampung. Mencium punggung tangan kakak perempuan, kemudian naik ke dalam bus yang akan menghantarkan saya menuju terminal rajabasa, Bandar Lampung dalam waktu satu jam. Kemudian dilanjutkan dengan bus menuju pelabuhan Bakauheni selama empat jam. Sesampai di pelabuhan langsung menuju kapal ferry yang siap berlayar sekitar dua jam untuk berlabuh di Merak. Masih lekat dalam ingatan dalam perjalanan, ditemani oleh pesan singkat yang cukup menghibur dari teman yang sedang packing katanya. Potongan pesan yang kadang membuat saya tersenyum seperti orang gila. Canda yang menemani perjalanan yang tidak singkat. 

Melanjutkan perjalanan dari Merak menuju terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Dengan waktu berkisar empat jam. Alhamdulilah pukul 04.00WIB sampai dimushola terminal Kampung Rambutan. Empat jam lebih awal dari perkiraan. Syukurlah. Menikmati syahdu subuh di terminal. Menanti Jingga menyemburkan pilar-pilar cahayanya yang tak pernah redup. Perjalanan kembali dilanjutkan menuju Citeurup-Bogor menuju kediaman teh Devya yang juga bergabung dalam pendakian ini.

Tak cukup untuk menceritakan secara detik, sesampai di Bogor pukul 08.00 WIB banyak waktu yang saya isi dengan beberapa kegiatan. Mandi, makan, repacking, hingga tidur. Kami sampai di stasiun Senen pada pukul 13 sekian menit. Terlambat dari perjanjian awal. Sesampai di stasiun Senen, saya dan teh Devya bergabung dengan mas Arief dan mas Amoy yang sudah sedari tadi berada di stasiun. Sedikit berbasa-basi menunggu kedatangan mas Tono yang membelikan kami tiket kereta api. Menurut informasi dari mas Arief, mas Tono masih dalam perjalanan. Hingga saya memutuskan untuk melaksanakan shalah dzuhur dan membeli makanan sekadarnya. Namun belum juga menemukan mushola, mas Arief mengabarkan bahwa kereta akan segera berangkat. Dengan setengah berlari kami menuju stasiun dan bergabung dengan mereka berdua yang sudah siap masuk ke dalam stasiun.

Alhamdulilah, di gerbong 4 kami bergabung dengan rombongan pendaki dari Jakarta yang beranggotakan sembilan orang. Namun yang sduah datang baru lima, empat diantaranya adalah mas Tono yang akhirnya tertinggal kereta. Kami berempat hanya mendapat dua kursi, sehingga mas Arief dan mas Amoy merelakan diri untuk berdiri dan sesekali bergantian tempat duduk dengan saya. 

Saya membayangkan perjalanan yang panjang didalam kereta. Jakarta- Malang menghabiskan waktu berkisar dua puluh jam bahkan bisa lebih. Tidak ada manfaatnya jika harus ditambahkan sederet keluhan, hingga senang atau tidak perjalanan ini harus dinikmati. Didalam kereta tak jarang gelak tawa memenuhi bincangan kami. Entah apapun yang terjadi bisa dibuat lelucon yang renyah. 

Melewati stasiun per stasiun membuat menunggu tak lagi mengasyikkan. Akhirnya penantian ini berujung ketika stasiun Malang berada didepan mata. Alhamdulilah kami sampai sekitar pukul 08 lebih. Tak lupa mengabadikan beberapa pose di stasiun.

Menyempatkan diri untuk mengisi perut dengan sepiring nasi rawon yang cukup nikmat, dilanjutkan dengan ice cream kiwi yang menggiurkan. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju terminal Tumpang dengan menyewa angkot dengan harga akhir delapan puluh ribu rupiah. Seperti tak ada habisnya sesuatu yang bisa ditertawakan! menertawakan kelelahan yang berusaha menyelimuti kami, namun gagal. Kebersamaan yang sangat disayangkan untuk dihabiskan dengan berpeluh dengan lelah.

Sampai di pasar tumpang, kami menunggu rombongan dari Ambarawa yang tersedat oleh macet. Menikmati waktu dengan berjalan-jalan dipasar mencicipi bakso, mondar-mandir ke alfamart bukan untuk berlanja melainkan untuk menumpang ke toilet, menikmati shalat dimasjid yang megah dan akhirnya rombongan ambawara tiba sekitar pukul 13 sekian menit. 

Senangnya melihat wajah wajah saudara seperjuangan yang mulai tampak! Ada bang Agha Saus Tiram, bang Ipank, Bang aga, mas Dodhy ( sebenarnya udah datang lebih dulu), yang lain belum kenal.(hehehe). Dengan riang mendekati dan menyalami mereka satu persatu. Selanjutnya berkenalan dengan tiga wanita yang sudah diketahui namanya. Ada mbak Fa, mbak Mei dan Mba Ven. Selalu tidak lupa untuk mengabadikan pose:)

Semua peralatan dan carrier sudah dinaikan dan ditata rapi di atas jeep. Kemudian kami satu persatu menyusun diri diatas jeep. Perjalanan dengan anggota lengkap kembali dimulai..

Bismillah..
Kesempurnaan itu hanya bagaimana mata berani memandang. Memandang dari dan pada arah yang mana. Layaknya kebahagiaan, hanya ada dalam dua tempat. Otak dan Hati. Hanya pada dua kutub, negatif dan positif. Hanya ada dua bagian, pikiran dan rasa...

Tawa dari barisan yang lengkap lebih memiliki zat perekat yang kuat. Meski mungkin ada hati yang tak berkenan, namun tak lagi menjadi masalah. Kebersamaan lebih dijunjung tinggi daripada hati yang lelah menjadi bahan gurauan. Kami menikmati perjalanan meski lelah tak lepas, berdiri berhimpitan dengan kanan-kiri merupakan jurang yang curam. Tak mengapa! masih ada langit biru dengan awan putih yang menakjubkan. Tanjakan, turunan, tikungan tajam, debu mengepul,menjadi rekan yang berkenan setia dalam perjalanan. Kembali tawa seolah produk yang tak pernah habis untuk diproduksi.
Tak ada kata yangg lebih indah untuk memuji ciptaan Allah yang puncaknya sudah menggoda. Mahameru sudah tampak dari kejauhan. Bromo melambaikan tangan seolah mengajak kami untuk mampir menjamahnya. Melihat padang savana yang hijaunya kini dilalap oleh arang. Namun tak mengurangi keindahannya. Hingga akhirnya jeep membawa kami tepat pada dataran yang dinamai Ranupane. Ranupane yang sudah ramai oleh pendaki. Hawa dingin menyeruak, sementara sunset mulai menenggelamkan diri dibalik ranting pinus yang tak seberapa.

Mas Adhi mulai bertindak mengurus perizinan kami, sementara yang lain packing, kemudian bang Aga mulai membagi peralatan kelompok yang harus dibawa oleh tiap orang. Sementara saya, mulai menjahili mereka. Mengabadikan satu persatu moment yang berkesan. Menatap delapan belas manusia dengan pribadi dan karakter yang berbeda, yang dalam empat hari kedepan akan bersama menikmati jingga, terik surya, senja, kemudian purnama yang belum paripurna. ah, Dunia! Inilah kami yang mencintai keindahan Pencipta.

Saya perkenalkan satu persatu tim kami, ada;
1. Adhi Kurniawan
2. Agha Sam Tirta
3. Bhakti Nagara Afirianto
4.Dwi Yanis Wijanarko
5.Brahmantyo baskoro
6. Aizhar cikiciiiw
7. Meita Kurnia Warnaningsih
8.Dodhy Rhitonga
9. Irfan Kumi
10. Lathifa Bidarani
11. Noven K. Nugraheni
12. Muhammad Husni Santriaji
13. Arief Ridhatama
14. Zaky Muala
15. Devya Ayu Kasha
16. Feny Mariantika
17. Yudi Wowod Putranto
18. Amoy Doank
19.Adhi Nugroho
**Nama sesuai dengan akun faceboook
 
Setelah magrib berlalu kami mulai berkumpul dan berdoa dengan khusyuk. Meminta Tuhan merindoi langkah kami menyusuri semeru hingga mahameru. Kami dibagi menjadi tiga kelompok. kelompok 1 terdiri dari  Mas Aji, saya, mba Fafa, mba Ven, mba Mei, teh Devya dan bang Ipank. kelompok 2 dan 3 terdiri dari para lelaki yang tersisa.( maaf, lupa!)

Berjalanan dimulai dari Ranu Pane. Dengan medan yang datar dan beberapa tanjakan hingga berada di pos satu. Melewati medan untuk mencapai pos satu masih begitu ringan, meski di titik awal mba Mei mengalami penurunan stamina yang signifikan,sehingga harus saya dopping dengan multivitamin. Menikmati pemandangan langit yang sungguh-sungguh tak bisa didefinisikan melalui kata. Gulita yang sekejap sirna ulah cahaya bintang dan potongan bulan seolah sengaja dihadirkan untuk malam ini, esok dan selanjutnya.

Langkah yang tak seberapa namun membuat kita mampu melewati pos 2, 3, 4, dan sampai ditempat yang kita tuju untuk mendirikan tenda dan menghabiskan waktu malam ini. Ranu Kumbolo. Ya, ditepi danau, dibalik bukit. Usai melewati turunan berupa pasir yang mudah meluruh.

Ingin rasanya mata merekam semua detail perhiasan langit yang terguntai, pepohonan berbaris rapi diantara, pasir melebur, menyelip dibalik ilalang, wewangian alam yang tak tergantikan, lantas dingin menyerukan angin melalap kehangatan dalam sisi Ranu Kumbolo...

Desiran angin seolah menghentikan aliran darah, dingin membuat rankum menjadi kulkas alam yang tak pernah mati. Apapun yang berada disini terancam beku, kecuali hati.(cie-cie)

Kami sampai di Ranu Kumbolo dengan empat tenda yang sudah berdiri gagah. Kemudian dengan gemetaran mulai melaksanakan shalat magrib dan isya. Lantas bergabung dengan mas Aji untuk memasak makanan malam ini. Meski yang tersisa hanya saya, mas Aji, mas Agha, bang Aga, bang Ipank. Sementara yang lain lebih memilih untuk tidur. Menu malam ini dengan bahan dasar mie, telur, bakso, sosis, ati ayam, dan aneka bumbu. Meski angin semakin membuat darah berdesir mencari kehangatan, namun tak kunjung membuat kami menghentikan masak memasak ini. Setelah masakan matang, saya memutuskan untuk masuk kedalam tenda menyusul empat rekan saya yang sedari tadi didalamnya. Memaksa mereka untuk menyantap meski hanya sesuap, memberi kehangatan pada mereka melalui telapak tangan yang masih hangat. Tubuh saya sangat jarang teraba dingin, selalu hangat seperti biasanya. Menurut dunia kedokteran, keseimbangan zat dalam darah yang membuat saya tetap hangat. Bersyukur :)

Baru kali ini bermalam digunung tanpa slepping bag (SB), karena bang Ipank tidak membawakan untuk saya. Jangankan untuk saya, untuk dirinya pun dia tidak membawa. Dengan atau tanpa SB malam tetap berlalu.


Ketika fajar mengetuk malam mengakhiri gelap, dengan semburat jingga yang mulai menyibak surya. Tak ada kokok ayam ataupun adzan yang dikumandangkan, yang ada hanya semilir angin danau yang menambah kebekuan pagi ini. Memaksa diri untuk beranjak dari dalam tenda. Melawan dingin dan kantuk.

Subhanallah.. 

Betapa indahnya pemandangan pagi ini. Udara dengan bebas hilir mudik mengikuti arah membawa air yang tenang dari timur ke barat, teratur menyeret segenap oksigen yang diburu oleh ikan kecil mengikuti cahaya.  Bulir lembut mengembang di rerumputan, syahdu nun sendu. Tenda yang dipadati oleh embun, bukit yang menguning efek jingga melesak dibalik belahan pinus. ah, Tuhan Maha indah...

Membiarkan dingin terkalahkan. Bersama mba Noven lari lari kecil kemudian memanjat bukit yang berada tepat di depan tenda. Sendiri karena yang lain sepertinya tak berniat untuk melihat keindahan di atasnya. Ada semangat yang berwenang tak membiarkan waktu terbuang hanya untuk menikmati dingin membekukan suasana. Sendiri menyusuri anak rumput yang tumbuh sembarang. Ada yang hijau kemudian menguning bahkan nyaris cokelat. Merebahkan tubuh diatasnya, menikmati kehangatan mahahari dan betatap langsung dengan langit biru nun bersih. Hingga mata terlelap selama belasan menit. Khawatir dianggap hilang, saya memutuskan untuk kembali ke perkemahan. ( Meski tak ada yang mencari. hehehhee)

Kembali menepi di pinggir danau, mengumpulkan bahan makanan yang akan dimasak. Memilah bahan bahan yang harus diolah saat ini juga. Akhirnya telur dan tepung diolah menjadi santapan lezat. Mas Aji dan mas Adhi membuat pancake dengan bahan dasar tepung, cokelat batang, keju, telur dan susu. Sedangkan saya meracik bahan dari telur, bawang merah, dan daun bawang. Kemudian meracik bumbu tempe dan merendam tempe setelah mengaduknya dengan tepung. Alhamdulilah menu masakan ini berhasil diselesaikan dan hasilnya cukup memuaskan. Tempe goreng dan telur dadar membuat saya senang, after taste cukup menyamankan lidah dan perut. Usai makan siang, kami bergegas untuk berpindah menuju pos Kali Mati.

Setelah semua shalat dzuhur berjamaah, kami memulai perjalanan dengan menyusuri danau Ranu Kumbolo. Jalan setapak yang di sisi kiri langsung berhadapan dengan danau yang tenang. Meski berdebu karena terik semakin menyengat. Terlebih lagi harus melewati tanjakan cinta. Yang melihatnya pun sudah membuat nafas naik turun. Dikatakan tanjakan cinta konon ada sepasang kekasih yang mendaki kemudian meninggal saat menanjak dibukit itu. Namun cerita tinggallah cerita, meski kini jika ada yanng melewati tanjakan cinta terdapat mitos bahwa jika ingin dipersatukan dengan orang yang dicintai, bayangkan dia ketika menanjak ditanjakan cinta dengan syarat tidak menengok kebelakang dan tidak berhenti selama mendaki tanjakan cinta. Itulah salah satu budaya Indonesia yang penuh dengan mitos di setiap geriknya.

Mampu melewati tanjakan cinta, kami dipertemukan dengan oro-oro ombo yang menyugukan medan yang datar. senang sekali rasanya. Beristirahat sejenak kemudian melanjutkan perjalanan kembali.

 Kemudian melaanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di pos Kali Mati pada malam hari. Stamina sudah menurun, semua anggota sudah lelah. Kami berbagi tugs, ada yang memasak, ada yang mencari air, ada yang mendirikan tenda. Semua harus bergerak cepat, mengingat tengah malam harus bersiap-siap untuk summit ke puncak Mahameru.

Sekitar pukul 00.30, tim yang summit sudah bersiap-siap. Kami yang perempuan tidak diperkenankan untuk ikut karena cuaca sedang tidk baik dan beberapa kondisi dari anggota yang lain juga kurang sehat. Sehingga hanya ada beberapa orang aja yang tetap memutuskan untuk menuju puncak.

Saya termasuk yang tidak ikut. Saya di dalam tenda, mendoakan mereka agar selamat sampai turun di pos Kali Mati. Hingga pagi datang lagi, kami yang menunggu di pos menyiapkan makanan untuk mereka. Satu per satu teman kami turun dari puncak, mereka menceritakan betapa tidak baik kondisi di atas sana. Ada beberapa teman yang bahkan harus dicari oleh petugas karena sudah berjam-jam tidak juga turun. Ternyata ia kehabisan minum dan kelelahan, kami begitu mengkhawatirkannya.

Saat matahari sudah mulai meninggi, kami mulai mempersiapkan perjalanan untuk pulang dengan sisa tenaga. Sambil mengantuk dipadu dengan humor seadanya. Kami sampai di Ranu Pane pada malam hari. Kembali bermalam sebelum esok hari berpisah dan kembali ke rumah masiing-masing.

Dan pada pendakian ini, saya berhutang puncak pada Mahameru. Suatu hari saya akan kembali, untuk melunasinya.

all pictures by Bhakti Nagara Arifianto

...Dan kumpulan bintang berbisik dibalik deretan pinus dan edelwise. Menyaksikan hamparan galaksi angkasa yang tak terungkap oleh kata. Membatinkan asma Tuhan untuk keindahan yang luar biasa.  Dibelai lembut oleh dewa angin yang bersiul didalam pori...

Tak mengapa jalan yang dilalui berliku kemudian berlubang. Tak mengurangi kenikmatan ini. Sayang sekali tak  menyertakan pengukur suhu untuk tahu berapa derajat celsius tempat ini.
Mulut tak henti mengunyah permen meski sudah tawar oleh saliva sendiri. Hidung seolah tak lagi sabar kala tercium olehnya wangi embun menebar pada dedaunan, pepohonan, jalanan dan..
 Sempurna!

Perjalanan kali ini banyak sekali perbedaanya. Tak ada pesan khusus yang akan disampaikan pada alam. Dunia hati kini sedang aman,tak ada perang. Perjalanan ini seperti sedang diawan. Melangkahkan kaki begitu ringan dengan wajah riang.

Sempat ragu mengetuk kala harus mengetahui bahwa saya perempuan seorang diri pada pendakian kali ini. Namun keraguan kandas ketika keputusan sudah dibulatkan. Tak ada kekhawatiran akan sesuatu yang entahberantah. saya selalu mematrikan pada diri bahwa setiap orang yang saya temui adalah orang orang baik. Dengan begitu tak lagi mengakhawatirkan tentang perjalanan kali ini.

Akhirnya setelah berdiskusi, membagi tugas dan mempertimbangkan banyak hal, tepat pada tanggal 29 juli 2011 meski saat itu masih berada diBandung. Dalam suasana hati yang sedang abu-abu. Namun saya abaikan sejenak tentang cita itu. Mempercepat langkah untuk segera kembali ke Jakarta. Dengan menumpang angkutan umum yang melintas di jalan banda. Kemudian saya pilih damri dengan bangku yang bari terisi 2.
“ masih lama” batin saya
Tak ada pilihan lain, memutuskan untuk menumpanginya menuju leuwi panjang. Berkisar selama 15 menit bus mini disesaki oleh penumpang. Alhamdulilah, selama satu jam sampai diterminal leuwi panjang tanpa ba.bi.bu menuju bus AC yang melewati tol jatibening agar mempersingkat waktu. Dengan mudah saya menemukannya. 

Tak lama bus pun melaju. Rasa gelisah cukup membuat saya tidak nyaman. Dikejar waktu sungguh tidak mengenakkan. Terlebih lagi saya berkewajiban membeli bahan makanan selama pendakian berlangsung. Meski terbayangkan begitu repot, saya menjalaninya dengan hati riang. Padahal pada hari yang sama saya harus mendengar keputusan yang membuat mata sembab. Oh iya, jangan dibahas. Lupakan! Kembali pada proses persiapan pendakian. Sampai di mertopolitan mall saya menuju pasar swalayan untuk berburu sayur segar, bumbu dan aneka kebutuhan lainya. Melihat diri seperti emak-emak belanja bulanan. Kedua tangan penuh dengan paperbag dan plastik belanja. Ough!*sigh

Sampai diasrama langsung menuju kamar, mengumpulkan semua pakaian kotor selama dibandung, merendam, mencuci, kemudian menjemur( sempet-sempetnya:DDD). Usainya mempersiapkan pakaian selama mendaki(a.k.a packing) yang dibantu oleh sahabat saya yang baik eviliana bee alkahf. Meninggalkannya yang masih packing untuk mandi. ( rempong banget loh suasananya). Tepat pada pukul 17.15 menuju tol jatibening yang masih ramai-lancar.

Bersandar pada trap tol yang menimbulkan kesan “maco” yang guee bangetJJJ sembari menunggu bus 
mayasari yang menuju kampung rambutan. Selama 20 menit baru muncul dari kejauhan. Mendekat, naik dan haap. Berdiri! Sadar menjadi pusat perhatian membuat diri semakin merasa “ cool dan maco”(hahahaha,abaikan!). Dan prosesi berdiri didalam bus berlangsung cukup lama, selain macet selama perjalanan, bus menjadi lenggang baru sesampainya di UKI. Ya setidaknya memberi kesempatan untuk kaki beristirahat walau hanya sejenak. Di UKI, seorang pria berusaha menyulang interaksi.
“ Mau camping, neng??” tanyanya
“ Iya pak” jawabku singkat
“ Kemana??” tanyanya lagi
“ Gunung Papandayan” jawabku singkat lagi
“Ooo.
Saya pikir setelah titik berarti tidak ada kalimat berikutnya, ternyata salah!
“Bapak dulu juga hobi naik gunung. Tapi karena keterbatasan, yah Cuma beberapa gunung saja. Apalagi bapak ini anak pertama, jadi harus memikirkan adik adik”
Hanya membalas senyum.” Lagi curhat nih ceritanyaa???” membatin
“ Satu tim berapa orang,neng?” kembali bertanya
“ Kami berlima,pak”
“ Ooo, seru ya melihat keindahan alam.”
“Iya.”
Biasanya selalu tertarik dengan obrolan yang berkenaan dengan hoby yang sama, namun sore ini agak berbeda. Entah kenapa! Bapak yang berhoby sama masih bercerita tentangnya, dan mohon maaf ya pak. Kuping saya memang berada disana, tetapi tak dengan seriuse mendengarkan.( galau sedang melanda.hahahaJ)

Alhamdulilah sampai dikampung rambutan tepat jam 19.25 WIB. Terlambat 25 menit dari jadwal. Kebetulan saya selalu berusaha agar tidak terlambat. Sampai didalam terminal, menuju masjid yang saya lupa lihat namanya, untuk sholah magrib dan isya. Sampai dimasjid, saya melihat ada pemuda berpakaian hitam-hitam membawa carriel, saya melepas headset dan menyapanya( informasi dari bang aga, mas dodhy sudah diterminal. Otomatis saya berpikir mungkin itu orangnya:’)).
“ Permisi mas, rombongan ke papandayan bukan ya??”
“ Rombongan kemana mba??”
“ Papandayan!”
“ oh bukan!”
“glek! Oh begitu ya, maaf salah,. Terimakasih”
Meletakkan carriel kemudian mengambil air wudhu. Shalat..
Usai salam, berharap mendengar keramaian dari empat pemuda yang tak lain adalah bang aga, mas indra, bang medan (nama aslinya susyeeeJ), mas dodhy( yang saya panggil dengan mas donny, tapi tetep nengok aja. Hahaha). Namun ternyata itu hanya harapan semata (lebuy ihJ). Merapihkan jilbab merah yang membalut kepala saya malam ini, kemudian duduk diberanda masjid. Tepat disamping, ada seorang wanita berjilbab sendirian. Setelah menyapa dan ngobrol sedikit baru diketahui bahwa dia sedang menunggu jemputan adik iparnya untuk kemudian menuju ciamis. Bertukar cerita sampai akhirnya yang menjemputnya datang. Sementara saya? Duh, harus menunggu lebih lama lagi sepertinya. Karena menurut kabar terakhir, mereka sedang dijalan dalam kondisi bergelut dengan kemacetan. Yeah, i know that.

Pukul. 20... Sekian menit akhirnya bang aga, mas indra dan bang medan muncul dari sisi kiri masjid. Senangnya seperti lebaran. Menunggu mereka usai shalat, kemudian mencari warung nasi untuk mengisi perut kami yang ternyata masih sama kosongnya(hhee). Setelah makan diwarung nasi yang sudah gak ada lagi pilihan makanannya, pergi menuju masjid lagi, kemudian ke pintu keluar terminal karena menurut info mas dodhy sudah berada disana.

Tak lama kami dilengkapi oleh kehadiran mas dodhy. Sedikit berbagi tawa, kemudian muncul bus AC menuju garut, dan tanpa berpikir panjang lebar=luas, kami memberhentikannya. Awalnya bangku paling belakang yang kami pilih. Entah dengan alasan apa, saya diminta untuk pindah satu bangku didepannya. Sudah diposisi nyaman, naik beberapa penumpang yang ‘bau-baunya’ akan mengusik ketenangan. Ya, benar! Posisi kursi saya yang sudah PW( posisi wuenak)diubah oleh si kenek jadi sudut 90 lagi! Isshh, menyebalkan sekali itu! Ditambah mereka dekat sekali dengan bahu dan lengan saya! Risih. Seperti meengetahui kerisihan saya, bang aga menawarkan untuk bertukar tempat duduk. Alhasil bertukar tempat duduk menjadi disamping mas dodhy yang sebelumnya disamping mas indra. Tidak membuat perubahan yang signifikan, karena masih saja saya harus berpeluh dengan penumpang laki laki yang tidak kebagian kursi dan berdiri disamping tempat duduk saya. Didalam perjalanan saya mengajak mas dodhy untuk bertukar tempat,alhamdulilah beliau mau. Akhirnya saya kembali nyaman dan tentram:)

Sekitar pukul. 03.. kami tiba diterminal guntur-garut. Sepersekian detik saya hanya bisa diam. Subhanallah udara disini. Dingin!brrrrr....
Ini udara terdingin selama saya diIndonesiaJ kami menghampiri warung serbaguna. Tanpa komando bang aga dan bang medan memesan kopi. Mas indra sibuk mendekati api unggun versi kecil( bukan api unggun kalau gitu mahJ)sementara mas dodhy sibuk dengan carrielnya. Dan saya, sibuk mengosok telapaktangan dan smsn.( heheheJ). Sekitar 45menit jemputan kami datang. Seorang lelaki dewasa membawa mobil pickup menghampiri kami. Berbincang sedikit dengan bang aga, kemudian mempersilahkan kami untuk memindahkan barang bawaan.
“ Perempuan duduk didepan” ujar bang aga pada saya
Saya membalasnya dengan anggukan, walau sebenarnya saya ingin dibelakang juga. Meski saya tahu pasti sangat dingin, tapi pasti hilang ketika saya menikmati hamparan langit dengan tatanan bintang yang subhanallah, saya menyaksikan dari jendela dengan kepala menjulur ke udara.

Melewati jalanan yang berlubang dan berliku tidak membuyarkan pandangan dan indera lain turut merasa.
Bebas, seperti seekor merpati yang bebas mengepakan sayap. Memejamkan mata kemudian membiarkan udara alam melewati tiap pori-pori nasal. Merasakan dinginya mengikuti derisan aliran darah. Terasa, bebas, merdeka..
“ Neng perempuan sendiri gitu??” tanya supirnya
“ muhun mang, kunaon kitu??
“ Wah si neng tiasa sunda nya’??
“muhun, tiasa sakedik-sakedik. Nenek saya sunda mang. Jadi tau dikit aja. Karena memang jarang pake bahasa sunda.”
Selama diperjalanan sedikit banyak berbincanng dengan pak supir. Sengaja menyelipkan bahasa sunda, supaya lebih hati-hati sang supirnya karena merasa’bersaudara’.(heheheuJ).

Sampai dibasecamp sekitar pukul 04...saya benar kehilangan kata! Jika ada kata yang mewakili dan bermakna lebih dari kata dingin! Ya itulah. Yang lebih menakjubkan adalah posisi dimana saat ini saya berdiri! Didataran yang disekelilingnya adalah bukit dan gunung. Subhanallah. Tiada henti hati ini mengukir asma Allah dengan segala keindahannya.

Mekanisme menggigil mulai berlangsung guna mendapatkan panas dari dalam tubuh. Balutan jaket, kaos tangan, dan kaos kaki seolah tidak cukup menambah kehangatan. Kami memutuskan untuk singgah disalah satu warung. Memesan aneka minuman hangat, yang tak berapa lama kemudian sudah memasuki waktu shalat subuh. Tak habis-habisnya kami tertawa,menertawakan tingkahlaku kami yang “excited” dengan udara dan air disini. Subhanallah..

Usai shalat subuh, langit pagi mulai menyibak malam. Langit jingga perlahan naik dan menenggelamkan gulita. Indah..

Layaknya bocah melihat sesuatu yang menakjubkan, saya sedikit berlari kehalaman. Berputar mengitari langit. Ada gemuruh dihati. Senang sekali ya Tuhan. Sembari menunggu bang aga,dkk repacking, saya mematung dihadapan bukit. Diam, hanya memandang.( too twiiieetJ). Kemudian bersiap untuk memulai perjalanan yang dimulai dengan berdoa bersama yang dipimpin oleh bang medan.( yang saya ingat ketika mengguraui beliau ” marilah kita berdoa menurut kepercayaan dan Tuhan masing-masing” dan hanya dibalasnya dengan senyum atau sedikit kaliamat ” emang Tuhan ada berapa sih?” dan pernah saya jawab “ kalau Tuhan saya sih Cuma satu”. Hehehe)

Pendakian dimulai..

Baru beberapa meter dari garis awal, kami berhenti untuk menikmati saat dimana matahari terbit(sunrise). Dan kau tahu kawan! Ini sunrise terindah sampai detik ini! Dimana dari ketinggian, mata saya disugukan dengan hamparan awan yang melayang tenang seperti air, meliuk-liuk seolah sedang bergurau,dihimpit oleh gunung nun gagah menantang, semburat jingga perlahan menyebar ke seluruh bagian. Kontan bang aga langsung terbirit mengeluarkan kamera berserta jajarannya untuk mengabadikan pemandangan yang tak tertandingi, ya kemahsyuran alam.

Setelah kenyang menikmati sunrise, kami kembali melanjutkan pendakian. Sudah mulai nampak dengan jelas medan yang ada dihadapan berupa kerikil dan gundukan sisa muntahan papandayan meletus tahun 2002 yang tak lain adalah kaldera. Sebelum terjadi letusan, ditempat ini terdapat kawah besar yang bernama Nagrak hilang tertimbun longsoran. Letusan melahap begitu luas hingga tampak kawah belerang dan danaunya ( kau akan melihatnya ketika sampai dipuncak, amboi gan). Menurut sumber informasi, kaldera gunung papandayan merupakan kaldera terbesar di Asia Tenggara .
Dengan tertatih saya yang sudah cukup lelah mendaki. Belum seberapa jauh, dan masih sangat jauh sampai ke puncak(haha). Dengan tekad yang kuat, saya tetap mendaki meski perlahan. Keadaan sangat berbeda jika kau melihat keempat pria yang mendaki bersama saya. Terutama bang medan. Melihat langkahnya yang ringan memacu semangat saya untuk tidak ketinggalan. Tetapi tetap saja langkah berat saya yang terurai. Ditambah melewati kawah yang dipenuhi asap belerang dimana-mana. Saya tidak menyukainya karena membuat saya mual dan sesak. Sampai didataran yang lebih tinggi dan terhindar dari asap belerang, bang aga menawarkan untuk bertukar carriel dengan bang medan. Tentu saja saya mau, tidak usah bertukar carriel. Cukup pindahkan saja bahan makanan yang ada didalam carriel saya ke carriel miliknya. Yeah,spontan saya merasa lebih ringan.


Melanjutkan perjalanan melewati kawah belerang yang masih aktif mengeluarkan asapnya dimana-mana. Mencari dataran yang lebih tinggi untuk ‘sarapan’ lumpia pisang yang dibeli diwarung dibasecamp. Tentu saja saya orang yang paling euforia ketika istirahat.(hehe). Merasa cukup apa yang dimakan, melanjutkan pendakian untuk menyelesaikan medan yang berupa kawah belerang yang tinggal 1 turunan dan 1 tanjakan yang keduanya sama-sama curam. Usai melewatinya, kami dihadapkan dengan medan yang datar, bonus sekali untuk saya walau hanya sedikit. lantas disugukan kembali dengan hamparan rumput dan pepohonan tanggung yang menyediakan jalan setapak. Banyak bebatuan dan tanah yang mudah longsor.



Diperjalanan mas indra melontarkan tanya, yang pertanyaan itu sedari tadi saya tanyakan pada diri sendiri. Disisi kiri kami, ada tebing yang terkikis. Sejak melihatnya dari  basecamp, saya sudah membatin. “ada pengikisan juga disini?” tidak heran, tetapi apa tidak sulit mendatangkan alat berat ketempat seperti ini??. Menurut analisa mas indra dan bang aga, tebing itu terkikis secara natural alias alami. Mungkin salah satu efek dari letusan gunung ini. Sampai saat ini belum saya ketahui kebenarannya. Ditebing ini terdapat sebuah jalan ‘umum’ yang biasa digunakan penduduk kampung ‘sebelah’ untuk menuju garut. Beberapa kali kami bertemu dengan penduduk yang juga sedang melewati jalan yang sama dengan tujuan yang berbeda. Sempat takjub dengan kegigihan mereka.Dibalik tebing ini akan segera kami temui pondok selada. Konon dipondok ini kami akan membangun ‘istana darurat’.
 
Langkah saya semakin ringan mendengan bang medan mengatakan bahwa pondok selada sudah didepan mata. Yang artinya sebentar lagi akan sampai.(horeeeee). Dalam hitungan menit ke 30 akhirnya sampai dipondok selada. Alhamdulilah...
Nafas seolah menjadi ringan untuk bersirkulasi. Istirahat sejenak kemudian the men mulai membangun tenda, sementara saya mulai menyiapkan makan siang. Oh iya, kami sampai dipondok selada pukul 10. Dibubuhkan sederet canda mengundang tawa. Ah,saya senang sekali dengan perjalanan yang melelahkan. Saya kembali merasakan berada diantara kakak laki-laki. (syndrome gak punya kakak laki)

Mungkin berkisar satu jam tenda selesai bertengger. Dan makananpun sudah siap dilahap. Saya kaget saat melihat alat masak yang dibawa oleh bang aga. Membayangakan masakan saya akan sulit dihidangkanL. Tetapi bukan Fe kalau menyerah dengan keadaan. This time for you more creative,gal! Untuk permulaan kami hanya menyantap roti panggang, nuget dan sosis goreng. Usai menyuplai energi, bersiap siap menuju puncak papandayan.

Siap!!!!!!

Pendakian dimulai dari pondok selada. Melewati kali yang tak tampak dalam, namun katanya cukup dalam.(tertutup rumput). Mampu melewatinya tanpa membuat kaos kaki basah. Berjalan lagi dengan santai yang kemudian harus menakhlukan jalan setapak yang disesaki oleh pepohonan tanggung( mohon maaf belum tahu nama pohonnya). Tak begitu lama, karena tersibak darinya sudah ada hamparan material putih seperi semen atau pasir pantai. Yang diatasnya masih berdiri batang-batang mati yang siap dijadikan kayu bakar. Ini salah dua pemandangan yang cukup menakjubkan. Saya sempat mengabadikannya, bebatuan yang uniqe karena tersusun rapi seperti gedung gedung diibukota, bahkan lebih rapih dari itu. 


Dilanjutkan dengan medan yang tak jauh berbeda sebelum hamparan ‘semen putih’. Tanjakan- tanjakan kecil yang berarti cukup membuat saya kembali harus beristirahat. Bersyukur bang medan memiliki tugas tersendiri yaitu membuat tanda sebagai arah untuk para pendaki sehingga meminimalkan peluang terjadinya ‘nyasar’ dengan menggunakan talirapia berwarna kuning. Dengan tugasnya tersebut, bang medan mendaki lebih santai, sehingga saya tidak harus mengikuti jejak mereka yang terburu buru seperti sedang lomba. Dengan perjalanan yang santai saya bisa lebih menikmati alam. Tujuan saya mendaki adalah berbagi dengan alam, bukan hanya sekedar lelah meraih puncak! It’s not me





Sempat mengabadikan dibeberapa sudut yang menawarkan keindahan papandayan. Jika dikatakan ‘narsis’ ya anggaplah seperti itu. Saya memang gemar ‘memoto dan dipoto’. Setelah melewati medan yang naik-turun( namanya juga gunung) akhirnya terbayar dengan pemandangan dihadapan saya!
Padang edelwise yanng dikenal juga sebagai Tegal alun. That’s so amaze gan! Saya setengah berlari seperti di pilem india, saya menyukai edelwise dengan filosofinya. Jangankan melihat ia berkembang, membayangkannya saja sudah membuat saya senang. Perlahan saya sunggingkan senyum untuk mereka( hamparan edelwise). Sementara bang aga sibuk dengan kameranya. Hati saya semakin terangkat ke udara, gembira bukan kepayang. Dan dari tempat ini, sudah terlihat puncak yang mungkin tidak sabar untuk segera ditemui. Cukup lama kami disini, berkeliling dengan niat mampir ke danau, namun sayang! Ternyata danau mengering. Tetapi itu tak mengurangi kebahagiaan kami. Berpose dengan bermacam gaya. Dan disini pula, kami berlima mengabadikan perjalanan ini ( bang aga says “akhirnya ada foto gue”.hahahaha)

Melanjutkan perjalanan kami sampai disebuah kali/mata air (sungai kecil). Airnya jernih dan sejuk, namun saya tidak berani meneguknya karena tampak banyak 'plankton' didalamnya. Hanya saja saya mencicipi air itu untuk berwudhu. Dan subhanallah, adem.
Saya dan mas indra shalat berjamaah dirumput yang datarannya lebih rata. Syahdu sekali ketika saya menghadap Tuhan dengan segela kerendahan hati. Meski tak sampai menitihkan buliran, tetapi saya banyak menggondol pelajaran dari perjalanan kali ini. Lihat saja cerita yang saya tulis sebanyak ini.(heheu)







Seolah cukup berleha-leha, kami kembali menyusuri hutan. Kali ini hutan sungguhan. Tanaman liar yang baru disibak, jalan setapak dengan kayu yang tumbang sana-sini. Naik-turun dengan medan yang berbatu dan berdebu. Usai melewati hutan diberikan medan yang kanan-kiri merupakan jurang. Wow, saya yang selebor ini harus hati-hati bermain dengan kecepatan. Lelah menyergap, saya beristirahat. Saya tidak enak hati ketika saya beristirahat. Karena ketika saya berjalan dengan bang aga, bang medan, mas indra, saya secara langsung membuat mereka turut menghentikan langkah. Walaupun mungkin saja mereka juga lelah. Saya kadang terharuJ merasa dilindungi oleh abang sendiri( melow menjurus lebay).



 

 

Akhirnya,
setelah melewati perjalanan yang penuh tantangan, kami sampai dipuncak.
Allahuakbar!!!!!!  

Saya haru sekali. Tidak menyangka dengan kondisi dan stamina saya yang sedang tidak cukup baik namun dipaksa baik saya mampu sampai dipuncakJ. Tanpa harus dipersilahkan saya langsung mengambil tempat yanng rindang kemudian meluruskan kaki. 






Ada hal yang’lucu’ yang saya lakukan dipuncak,yaitu memotong ujung kuku tangan. Saya tidak nyaman melihat ujung-ujung jemari saya tampak kotor sekali. Sementara saya diperkemahan bertugas memasak. Memang hal yang seharusnya tidak diperdulikan oleh pendaki kebanyakan, tetapi tidak untuk saya. Mendaki adalah hoby, tetapi kebersihan adalah bagian dari iman.(loh). Saya yang sibuk membersihakan kuku, sementara yang lain menikmati keindahan dengan mulut mengunyah makanan. Lagi dan lagi saya merasa senang. 
Dipuncak ini bisa dilihat seberapa jauh perjalanan yang dilakukan untuk berada disini. Keindahan mutlak milik alam. Kesempurnaan tunggal milik Tuhan. 


Tak akan terlupakan perjalanan ini. Tak akan lekang kemahsyuran yang tertayangkan. Tak akan terulang kebersamaan yang terjalin.






Berjalan beberapa meter kedepan, akan ada kesempatan melihat danau nun cantik yang berada dikawah belerang yang sudah saya katakan diawal.


Untuk mempersingkat perjalanan kembali ke tenda, sehingga diputuskan untuk bergegas kembali menuruni puncak menuju pondok selada. Tak banyak hambatan saat menuruni puncak, bahkan sangat cepat dibandingkan ketika naik (yaiyalah).





Tak lupa mengabadikannya dengan camdig yang bang aga pindahtangankan pada saya.( ih, tau aja)
Saya gemar bernyanyi, hingga dalam langkahpun tetap mendedangkan lagu-lagu favorit untuk  mengalihkan pikiran hingga tak memikirkan rasa lelah. Langkah demi langkah, setapak kemudian berbatu, kali, hamparan edelwise, hamparan semen putih, kali, akhirnya sampai dipondok selada lagi.



Meminta penjagaan 'my brothers' untuk beberapa waktu disekitar tenda karena saya akan mandi dengan tisuue basah dan mengganti pakaian. Cukup lama memang, usainya memulai untuk menyiapkan makan malam.
Saya senang karena boleh memasak untuk mereka. Saya memang sedang senang-senangnya memasak. Dan masakan favo saya adalah sup jagung manis. Tetapi untuk kali ini saya kecewa. Tidak menyalahkan apapun dan siapapun, mungkin memang saya yang terlalu bersemangat hingga sup yang pertama terlalu pedas oleh merica. Jujur saja, saya kesulitan masak dengan wadah yang kecil, sementara sup ini membutuhkan wadah yang besar untuk kuahnya. Namun akhirnya saya siasati dengan berbagi kuah dengan sup yang kedua. Untuk menetralisir kelebihan merica( maaf ya bang agaJ yang kepedesan karena jadi First konsumen).

Usai makan malam, saya harus kembali melangsungkan mekanisme mengigil karena memang suhu disini sungguh diluar dugaan. Sleping bag saja sedingin frezer. Masyaallah dinginya bukan lagi menusuk tulang. Tapi sudah membekukan nafasJ padahal dihadapan saya ada langit yang sedang dikelilingi oleh jutaan bintang. Membentuk rasi dan galaksi. Kedap-kedip seolah berbagi kebahagiaan. Saya merebahkan tubuh dimatras tepat disamping api unggun. Memejamkan mata kemudian bertatap dengan angkasa. Romantise sekali alam ini. Hingga saya terbuai dan mengabaikan rasa dingin. Tak akan saya temukan keindahan ini dilangit jakarta yang tertutup debu. Beristirahat meski tak mampu karena semua benda seolah mengeluarkan hawa dingin yang membekukan malam..

 
Pukul 05.00 alarm hape berbunyi. Tetapi kini ia tak berpengaruh seperti hari kemarin. Kantuk dan dingin yang menyergap tak juga menghilang. Bahkan saya telah melewatkan subuh saya yang syahdu. Sungguh racun kantuk dan dingin itu! Bertekad untuk mengakhiri rasa malam. Bangkit kemudian melipat sleping bag dan keluar tenda untuk menyikat gigi. Tampak buliran embun membeku. 
Kemudian dikejauhan, tepatnya di kali, mereka menemukan rerumputan sudah membeku. Seperti berada didalam lemari es bahkan lebih indah. Saya dan yang lain menuju TKP, menyaksikannya dengan menyebut asma Allah. Sungguh Allah sudah menyiapkan keindahan yang terbayar lunas dengan kelelahan. Bahkan lebih..

Bukan sebuah rekayasa. Dalam suhu -4 derajat celsius bukan hal yang sulit untuk membuat buliran air menjadi kristal yang menempel pada tumbuhan ataupun benda yang ada didaratan. Seperti embun yang membeku pada rumput dipinggir kali kecil atau mata air. Lokasinya tepat didepan pondok salada. Menakjubkan, sungguh..

Hari ini saya senang juga sedih. Karena hari ini pendakian ini berakhir. Yah,kebebasan bercengkrama dengan alam sudah usai. Kami mulai packing dan mengumpulkan sampah. Melihat mereka satu persatu, meski tak ‘sedarah’ tak ‘seibu’ tak ‘serahim’, mereka sudah saya anggap seperti abang sendiri. Bonus dari Tuhan untuk setiap perjalanan adalah saudara untuk saya. So thanks God^^

Menuruni papandayan dengan wajah sumringah. Membungkus cerita, menyisihkan lelah. Menikmati kebersamaan yang tinggal menghitung detik. Kami menuju cisurupan dengan menggunakan jasa ojek. Dan didalam perjalanan bersama ojek, saya menyempatkan berbincang dengannya. Menanyakan tentang arti dari papandayan ( ternyata si mamang teh teu ngartos). Kembali melihat papandayan dari kejauhan. Saya kembali takjub!

Dan perjalanan kami berakhir di terminal guntur-garut. Mas dodhy menumpangi bus garut-lebak bulus, saya garut-bekasi, dan mereka bertiga garut-pulogadung atau garut-kampung rambutan( belum dikonfirmasi, yang penting udah nyampe semua)


Terimakasih teman untuk kesabaran kalian mendaki bersama saya
Terimakasih bang aga untuk hasil pemotretan yang subhanallah indahnya
Terimakasih untuk bang medan yang sudah membantu membawa bahan makanan
Terimakasih untuk masi indra dan mas dodhy yang setia menemani saya saat 'urgent' tiba
Terimakasih untuk semuanya^__^

Bentangkanlah


Tak ayal matahari tetap menuntun ku mencairkan bongkahan rahasia hati..

Seperti aku yang begitu anggun bergelut dengan imajinasi dimalam hari,
melirik rasi bintang tak tampak pada siang.
Rasa bosan sudah tentunya terhapus dalam rentetan kata.
Aku mengayuh perlahan dengan lidah yang tak pandai,namun berusaha.
Hmm,hukum gravitasi seolah membungkam tubuh ini. Melayang tanpa beban. Berada dibulan khayalan.

Entah sampai kapan aku hanya mampu bersembunyi dibalik gundukan mimpi.
Mimpi yang dulu pernah ku titipkan pada angin malam yang tak pernah lagi ku temukan!
Ingatan itu kemudian ditayangkan sedemikian mengenang.
Mengenang kapan aku memulainya hingga aku menggila.
Kini aku menggodok diri didalam panci yang penuh harapan!
Menggilas habis keputus asaan.

Kawan!
aku bukan pujangga apalagi penyair!
Aku bukan pemuja juga bukan penyihir!
Aku hanya seogok daging yang membentuk diri dalam ruas Illahi.

Terbayangkan oleh ku,

aku menari dalam rangkaian purnama yg ku ciptakan didepan mata,
mengikuti larik pupil mengintai cahaya dan perlahan mengendap membelenggu retina!
Menyulam jarik disetiap cela pembuluh darah,
merekatkan partikel yang berlawanan..
Membentuk organ yang melingkar dengan teluk yang menyalip..

Dia semakin pasih menggerakan daya layang ini mengejar carikan cerita
seolah tak membiarkan ada detik yang terlupa.

Aaha..
Ada yang hampir dilupakan!
Udara yang setia melewati lorong gelap dalam trakea,
hanya untuk mengembangkan hari yang ku punya!

Lalu,"nikmat mana yang bisa aku dustakan??"

hingga kini aku belum mampu merangkai kata untukNya!
Belum layak kata yang ku punya untuk menulis tentang Dia.
Tapi suatu saat akan ku pinta pada dunia,
berikan aku dimensi untuk menampilkan mahakarya hati ,
hanya untuk Nya.



Jakarta, malam yang menyayat kerinduan pada Nya.


Simponi Buitenzorg


Temaram
Damai
Tenang 
Bau tanah usai gerimis memburu
Basah menjamu cuping hidung
Dalam cinta berkata cinta
Dalam kenangan bercerita cinta
Memilih
Memutuskan
Berpaling
Dan Menyatu
..................................................



Berbeda perjalanan ku kali ini. Meski selalu tanpa rencana. Pada akhir pekan pertengahan bulan ini, diputuskan untuk akhirnya mempererat silaturahmi dengan seseorang yang belum lama dikenal. seorang gadis yang ia kenal melalui jejaring sosial. Tak mengapa, persaudaraan bisa disimpulkan melalui media apapun.

 

Gadis itu bernama TUR ASIH. Gadis yang dilahirkan tepat pada tanggal 06 Januari 1990. Gadis berhati 'dieng'. Gadis yang menawan dan tak sembarang. Memulai jalinan kawan diantara ada dan tiada. Saling mengumbar cerita, tawa dan duka. 



Aku memulai perjalanan ini sejak pukul 11.00 wib. Berangkat dari asrama maharani menuju terminal kampung melayu kemudian dilanjutkan menuju stasiun tebet. menyenangkan tentunya! Tak ada satupun perjalanan ku yang hambar tanpa rasa.

Seperti yang aku katakan, tak ada perjalanan ku tanpa rasa. Siang itu ku bubuhkan rasa manis untuk melegitkan perjalanan ini. Dengan balutan t-shirt putih, rok polkadot biru-putih, dan jilbab biru langit yang menyempurnakan keceriaan ku siang itu. Didalam kereta ku rasa sekali banyak pasang mata yang berburu pandang. Mungkin ada yang aneh dengan ku, atau energi positif yang terlalu memancar dari dalam diri ini?? aha, entahlah. Yang beradu dalam pikiran ku adalah pesan singkat yang membuat senyum tak berhenti mengembang. Perjalanan ini seolah menggambarkan aku akan bertemu dengan pujaan hati. Tampak riang tanpa duka.

Hingga kereta yang membawa ku terhenti tepat pada pemberhentian terakhir. Stasiun Bogor. Senyum semakin mengembang ketika aku bertemu dengan gadis 'dieng' yang ku sapa " Teh Asih ". Kala ku lantunkan sapaan padanya, ada yang bergetar didada. seperti ku temukan diri ku di dalam dirinya. 

Sederhana, kami membincangkan tentang kesederhanaan. Ya, seperti kau yang memandang pelangi dengan polos. Berharap pelangi tak akan sirna. Itulah permintaan yang sederhana meski sulit untuk diwujudkan.
Batin ku kian menggerutu. Entah mengapa rasa nyaman semakin membatu. Seperti bau tanah yang begitu khas usai hujan, seperti air yang mengendap diatas bebatuan. Semua lekat dengan jejak. Tak terurai meski peristiwa sudah berakhir.

Perbincangan bukan lagi bermula dari potongan kalimat basi sebuah perkenalan. Melainkan sederet kalimat mengundang tawa. Saling melempar canda. Seperti adik- kakak yang berpisah oleh asa. Mungkin ia merasa atau tidak, ketika bersamanya banyak waktu yang ku curi untuk sekadar memandangi ataupun menyiangi pribadinya. Bergurau meski kadang tak mengundang tawa. ah, banyak hal yang tak beda.

Meretas kebersamaan didalam sepenggal cerita. Berbagi tentang apa yang pernah, sedang dan ingin diri rasa. Mengundang buliran yang tertahan dibalik kelopak mata. Mengajaknya untuk sejenak mengulang asa dan rasa. Dilapisi rasa nikmat menyantap es buah salju dan tiga potong pisang goreng keju. Kadang ada tawa, ada guratan kecewa, bahkan ada pancaran cinta. Seketika pula gerimis mengiringi dua rupa berbagi cerita.

Ah, kota ini memang menyugukan banyak cinta untuk ku. Aku yang gusar disambut oleh "maskot  "kota ini dengan meriah. Hingga kuyup dan menghempas resah. Hilang lelah dan segenap peluh. Seperti bau tanah yang menyegarkan indera penciuman, begitu pula kehadiran ku disini. Meluaskan hati yang sempat menyempit. Mengirigasikan penat yang kerap membendung aliran tawa. 




Aku melihat diri ku didalam dirinya. Meski rupa berbeda, namun hati tetap mengatakan aku dan dia memiliki satu simpul yang mengikat. Terpaut dalam rajutan Illahi yang tak bisa diganti dengan potongan atau rajutan yang lain. 




Banyak rasa yang tak mampu diwujudkan oleh kata.
Banyak kata yang tak bisa dirangkai untuk melabuhkan tawa.
Hanya ada rasa syukur atas kehadiran banyak orang yang menggenapkan jiwa. 
Meramaikan yang sepi
Memberi arti pada yang terabaikan
Meluangkan waktu untuk setitik rindu
Tuhan, terimakasih
Untuk Hidup besertanya

Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ▼  2011 ( 15 )
    • ▼  September ( 1 )
      • SEMERU
    • ►  Agustus ( 2 )
      • Papandayan
      • Monolog
    • ►  Juni ( 4 )
      • Buitenzorg
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes