Tentang Ke(tidak)sungguhan

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika hidup sudah kita gantungkan pada Allah..

Iya, belum luput dari benak saya ketika mendapati hasil bahwa saya belum lulus dalam seleksi mahasiswa baru di Univeristas yang memang saya inginkan. Rasa kecewa tentu saja langsung menghampiri saya dan tinggal disana selama beberapa saat.

Belum lekang rasa kecewa karena gagal, kini rasa itu hadir kembali ketika application letter untuk bisa mengabdi di pelosok negeri dalam wadah yang berbeda belum juga berkabar. Menjadi seseorang yang hanya bisa berdiam diri menunggu hasil adalah hal yang paling tidak saya inginkan. Saya ingin ini, itu, banyak sekali!

Sampai akhirnya saya berdamai dengan diri sendiri dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Mungkin bisa jadi Allah ingin saya lebih lama bersama keluarga yang teramat saya cintai. Iya, setelah hijrah, keberadaan saya kali itu adalah yang paling lama. Saya berusaha untuk menikmatinya meski rasanya seperti ingin meledak. Dinamika keluarga besar yang tentu saja tidak sama seperti sinetron di telivisi, tidak sampai seperti itu, tetapi sudah cukup membuat saya menyadari banyak hal. Membangun keluarga harus dengan bahan yang benar, tidak hanya bahan yang kokoh, tetapi juga benar. Bahkan saya memahami bahwa renovasi untuk penyegaran itu penting, meski hanya sekadar mengganti warna cat dinding.

Genap tiga minggu di rumah, saya memutuskan untuk solo backpacker menuju Palembang dan Bangka. Lagi-lagi rencana saya Allah putar 360 derajat. Sore itu ada pihak yang meminta saya datang pada hari senin untuk meeting. Iya, Saya mulai tertarik dengan cara Allah menyeret saya kesana kemari.

Merindukan Jakarta dengan segala ketidakberaturannya. Saya menunaikan tugas di Jakarta termasuk ikut dalam pertemuan komunitas, membantu acara kantor lama, sampai memenuhi permintaan teman-teman yang ingin duduk bersama sekadar berbagi cerita. Menyenangkan memang. Hidup seperti para leluhur yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Di sela aktifitas yang serba tidak terjadwal, saya bisa menikmati perjalanan mendaki gunung setiap akhir pekan. Merbabu dan Karang menjadi pilihan. Menyenangkan, sangat! Saya mulai membuat hidup menjadi lebih mudah dari sebelumnya karena selalu saya palu dengan standar-standar yang entah mengapa harus begitu. 

Bertemu teman-teman baru yang membuat saya semakin riang, semakin banyak belajar bahwa hidup itu jalan sendiri. Ibarat ujian, semua persoalan dikerjakan sendiri. Tidak bisa menyontek, tidak! Karena tidak ada persoalan yang sama pada tiap orang, dan tidak ada persoalan tanpa jawaban.

Saya mulai memahami mengapa Allah memberikan interval ini. Untuk kembali memikirkan dengan lapang dan leluasa tentang apa yang tertanam didalam sana. Hidup seperti apa yang kamu inginkan,Fe?

Apa benar, hidup yang penuh ambisi dan mimpi-mimpi untuk bisa menjadi seseorang yang ber'nama'?
Apa benar, hidup yang waktunya kamu habiskan didepan layar dengan tumpukan kertas setiap harinya?
Apa benar, hidup yang hanya memikirkan pencapaian untuk mu saja?

Lantas, kalau sudah kamu dapatkan, hidup mu sudah selesai?

Ketika waktu mu tersita dengan ambisi dan mimpi, dimana Allah kamu sisipkan?
Ketika hidup mu dihabiskan dengan tugas dan tugas, adakah keluarga masih kamu pikirkan?
****

Ketika itu saya kembali mempelajari diri sendiri. Sejauh mana saya bisa melangkah, semampu apa saya bisa berbuat, seimbangkah antara misi dan visi yang dijalankan. Iya, Allah memberikan interval ini tidak dengan sia-sia.

Milestone yang dibuat dengan pertimbangan yang matang, tetapi Allah juga sudah membuatnya satu yang pasti untuk saya. Tanpa perlu meragukan kepiawaianNya dalam membuat rencana besar untuk umatNya.

Hari penuh syukur tentu saja membuat semuanya lebih mudah. Kesulitan sudah pasti ada, tetapi kembali pada prinsipnya. Allah selalu menciptakan semuanya berpasangan, bersama kesulitan pasti ada kemudahan. 

Ah iya, setiap kita memang memiliki cara tersendiri dalam menikmati hidup, berbagi manfaat dan berbagi kebahagiaan. Saya hanya ingin titip pesan yang juga saya tujukan kepada diri sendiri, selalu, setiap saat,menjadi alarm untuk saya agar menjaga keseimbangan hubungan antara kita dengan Tuhan.. Demi Allah, tujuan hidup kita tidak lebih dari sekadar perjalanan yang akan berakhir kepada Dia.

Intan dan gula hanya pemanis
karya,cita dan cipta manusia juga hanya sebagai lampu jalan yang menerangi langkah
kebaikan dan ketaatan akan menjadi peringan neraca
Semua yang hidup akan kembali padaNya
Gajah mati meninggalkan gading
Manusia mati meninggalkan nama
Kehidupan berakhir meninggalkan pertanggungjawaban selanjutnya...

Share this:

0 komentar :