TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for Februari 2016
Welcome to Dondai Island     

Mengakhiri Februari dengan mengikuti Travelling and Teaching #5 Komunitas 1000 Guru Papua. Kali ini berlokasi di Desa Dondai, Pulau Dondai, Kabupaten Jayapura, Papua. 

Menuju pulau Dondai ditempuh dalam waktu satu jam dari Kota Jayapura. Saya dan tim berangkat sekitar pukul 05.30 WIT dari Abepura dengan menggunakan truk TNI. Dilanjutkan dengan menumpang perahu motor milik warga untuk mengarungi danau Sentani dan sampai di balai adat desa Dondai. Perjalanan kali ini istimewa karena harus melewati danau Sentani dan menginap di pulau Dondai. *excited*

Tidak sampai 30 menit, perahu sudah menyandar di dermaga. Desa ini begitu tenang dan terik. Dari kejauhan sudah nampak babi berkeliaran dengan leluasa termasuk di tepi danau. Nampak juga sampah plastik menghiasi pinggiran danau .

Kami berkumpul di balai adat, disambut oleh kepala kampung. Kegiatan kami dibuka secara kekeluargaan oleh kepala kampung. Setelah acara penyambutan, kami mulai beraksi untuk mengajar. Hanya saja, murid-murid kami belum berangkat ke sekolah. Sehingga kami melakukan salah satu prosesi yang belum pernah kami lakukan sebelumnya : menjemput murid ke rumah. 

Satu per satu rumah kami datangi, menyapa pace-mace kemudian mengajak anak mereka untuk berangkat ke sekolah bersama." Usaha yang bagus! " guman saya dalam hati. Dengan begitu saya bisa sekaligus bertemu orangtua murid, setidaknya dengan begitu juga orangtua bisa mengerti bahwa niat kami mengajar anak mereka sangat seriuse!

Setelah berhasil berangkat bersama, kami ( guru dan murid) berkumpul di halaman. Untuk apel pagi, saling berkenalan. Pada kesempatan kali ini saya akan mengajar murid kelas lima yang saya ketahui setelah menghitung anggota barisan mereka terdapat 9 murid, 4 perempuan dan 5 laki-laki. 


Saya selalu jatuh hati dengan mereka, anak-anak Papua..
yang meski jarang keramas, jarang mandi, jarang sikat gigi, yang kakinya penuh dengan luka, hidungnya penuh dengan ingus, tetapi mereka tetap memikat, tetap manis, tetap percaya diri, begitu polos begitu lucu, begitu menggemaskan dan menyentuh hati..

Setelah berkenalan kami langsung mengubah formasi, mengajar sesuai kelas masing-masing. Saya dan tim berjumlah lima orang. Tugas kami di jam pertama adalah mengajarkan pelajaran Matematika. Kami mulai dengan memberikan pre test perkalian satu angka. Beberapa anak mampu menjawab. Diuji lagi dengan perkalian dua angka yang masih belasan, hanya satu orang yang bisa menjawab. Tania namanya. Sedari awal ia memang lebih cepat dalam menjawab soal. Saya terpikat, ia tidak hanya cantik, ceria, tetapi juga cerdas. 
Terlebih ketika soal demi soal kami berikan. Kemampuan Tania belum ditandingi oleh yang lain. Meski Nahor, salah satu murid laki-laki di kelas ini menyusul keaktifan Tania, tetapi Tania masih jauh lebih mendominasi. Di kelas 5 tidak hanya ada Tania dan Nahor, tetapi ada Isak yang secara kasat mata sama seperti teman-temannya yang lain, namun sebenarnya ia jauh lebih istimewa. Ia membutuhkan perhatian lebih, dalam menghitung, membaca dan menjawab pertanyaan, ia harus dituntun perlahan. Saya menjadi saksi saat ia berusaha dengan keras untuk menuliskan angka enam atau menjawab cita-citanya yakni seorang dokter! 

Mereka begitu riang saat kami ajak bernyanyi, membuat yel-yel pun saat membuat pohon cita-cita, balon perkalian, awan bijaksana dan kupu-kupu penyemangat. Tawa dan binaran mata mereka membuat hati saya begitu bahagia, kehadiran kami begitu mereka rasa, mereka terima. 

Saya semakin yakin jika Tuhan menciptakan perbedaan pada kita untuk bisa saling belajar, saling memahami dan saling menghargai; Tuhan menciptakan kita untuk menambah keindahan dalam hidup kita, saya meyakini itu..

Memasuki kelas profesi membuat kami kebanjiran kebanggaan. Tidak hanya profesi dokter, tentara, polisi, dan guru, tetapi ada seorang anak yang begitu mantap menjawab bahwa ia ingin menjadi Atlet Dayung, Danau Sentani melahirkan seorang pemudi yang kelak menjadi atlet dayung yang mengharumkan nama bangsanya, Regalia. 
Kegiatan ini tidak hanya memfasilitasi kami untuk mengajar, tetapi juga bermain. Membangun ikatan dengan mereka, anak-anak. Lebih dari dua jam kami bermain 6 permainan bersama. Di sebuah lapangan yang penuh dengan kotoran hewan, namun tidak mengurangi kebahagiaan kami semua. Anak-anak begitu riang, begitu gembira!

Saya benar-benar belajar menjadi seorang guru, seorang ibu yang tengah mengahadapi aneka pola anak-anak, yang harus memanage nada bicara, memilih kosa kata, dan mengatur ekspresi agar selalu ceria seperti mereka, setidaknya tidak menampakan wajah lelah pu wajah kesal, saya berusaha dan benar-benar berusaha agar mereka dapat merasakan ketulusan, kehadiran saya yang ingin lekat dengan mereka. 

Anggota kelompok bermain kami terdiri dari 7 orang. 2 guru dan 5 murid. Nahor salah satunya. Murid saya di kelas 5, sisanya campuran murid kelas 2,3 dan 4. Kami memilih nama kelompok kami dengan nama " Mangga", tidak ada filosofi khusus. Hanya saja kami spontan memilih itu. Permainan pertama adalah main joget-jogetan dan berdiri diatas karung. Di permainan pertama kami kalah, kami terlalu senang sehingga saat harus berdiri diatas karung yang kecil, kami jatuh. Anak-anak tidak kecewa, melainkan mereka menertawakan diri sendiri dan kelompoknya yang gagal bertahan berdiri diatas karung. 

Permainan kedua adalah estafet pijakan kaki. Nahor sebagai kapten begitu semangat dan menyemangati teman-temannya. Akhirnya dipermainan kedua kami menang. Permainan ketiga adalah memancing tutup botol dengan menggunakan sumpit, dengan ketelatenan dan ketenangan anak-anak, kami pun memenangkan permainan ketiga ini. Permainan keempat adalah permainan ular naga. Dimana kaki dipasangakan dengan kaki teman kemudian diikat dan harus jalan mengeliingi panitia. Pada permainan kali ini kami kalah bukan karena kurang cepat, melainkan karena kurang mendengarkan petunjuk. Permaina  selanjutnya mendorong botol dengan cara ditiup, kelompok kami kembali menang, dan permainan yang terakhir adalah estafet kelereng di saluran bambu, dan kali ini kami kemabli memenangkan permainan. 

Anak-anak nampak begitu senang dan percaya diri karena setiap mereka mengalungi medali. Mereka medapatkan hadiah dan mendapatkan hal yang bisa mereka banggakan; esteem.

Hari pertama ditutup dengan menonton film bersama, film animasi berjudul Inside Out di balai adat. Meski mungkin mereka tidak memahami bahasa inggris, setidaknya kebersamaan dan gambar dari film tersebut membuat mereka cukup bahagia. 
Sebelum malam, saya sempat mendaki bukit di sisi kiri sekolah yang kemudian diikuti oleh beberapa rekan saya dan anak-anak yang bermain di halaman sekolah. Tentu saja tidak mungkin saya menyia-nyiakan bukit yang begitu indah untuk tidak saya kunjungi. Setelah sekitar 20 menit saya sudah berada di puncak. MasyaAllah..









Rasanya saya tidak ingin turun. Saya masih ingin berada diatas bukit ini. Menikmati kesunyian, ketenangan, keindahan alam, kesyanduan senja. Semua ini benar-benar menjadi obat untuk saya, mengobati segala rasa kecewa dan keletihan pada rutinitas, pada masalah dan pada kesenjangan. Tempat ini memberikan saya "ruang" untuk bergerak lebih luas, mencintai lebih tulus dan berbagi lebih banyak. 
Tidak henti-hentinya saya belajar pada mereka; anak-anak, warga, dan relawan. Belajar menerima kehidupan apapun rupa yang ada. Wujudnya memang tidak selalu enak dipandang dan manis dirasa, tetapi pasti ada cara untuk bisa menerima. 

Saya banyak belajar dari mereka; para guru yang sebenarnya. Dan cinta saya tidak sampai di sini, akan ada jalan untuk jatuh cinta lagi, Papua!
Ditepi dermaga : Aga, Fe, Wei,Idu


Bersama Berta, sang artis cilik : Muti, Fe, Wei, Windu, Andini

Bersama Chef kesayangan : Chris-Fadli

Tidak ada pelajaran atau buku khusus yang mengajarkan tentang mencintai. Sebab ia bagian dari hidup, yang akan kita ketahui setelah kita merasakan dan menjadi bagian darinya.. 

Persis seperti apa yang terjadi pada saya dan gerakan ini. Aneka komunitas yang saya ikuti, yang tujuannya hanya satu " berbagi ". Berbagi kebahagiaan pada anak-anak, berbagi ide dan kreatifitas dengan teman relawan yang lain dan berbagi cerita dengan semua orang yang ditemui.
Saya mencintai "dunia" ini sejak dahulu, sejak saya memahami bahwa bersama-sama akan menciptakan karya yang dasyat!

Kali ini saya akan bercerita tentang Kelas Inspirasi Merauke. Salah satu gerakan yang menjadi viral di mana-mana, entah demi eksistensi atau memang tulus ingin berbagi. Keduanya sah-sah saja menjadi alasan; terserah! Yakin saja bahwa niat baik akan menghasilkan kebaikan juga jika dilakukan dengan cara yang baik. 

Menuju Merauke dengan seorang sahabat yang saya ajak menjelang satu minggu sebelum berangkat. Kami terbang dari Jayapura menuju Merauke dengan menggunakan pesawat lion air yang tentu saja terlambat sekitar satu jam. Bukan hal yang baru tentunya, sehingga tidak menyulut omelan demi omelan keluar seperti kereta api yang lewat. Sebab hati kami sudah lebih luas dan berusaha menjadi perempuan dengan 3 B; brain, beauty, behave :D 


Sesampainya di Merauke kami menuju rumah salah satu relawan Kelas Inspirasi Merauke, Kak Virginie namanya. Seorang sarjana psikologi yang juga relawan Kelas Inspirasi Merauke dengan luar biasa baiknya merelakan rumahnya menjadi tempat singgah kami selama kegiatan berlangsung. Di sana pula kami bertemu dengan relawan lain dari luar Merauke.

( Kiri Depan : Putri-Jakarta, Dita : Bogor ; Kiri Belakang : Mushtofa : Wasior, Yanin-Jayapura, Fe-Jayapura, Hary : Bandung )

Pengalaman demi pengalaman membuat pertemuan dengan relawan (meski baru bertemu) semakin memperkaya diri. Tidak lagi canggung bahkan langsung mencair dan menggila bersama. Tidak ada "modus" tidak ada "flirting", yang ada hanya canda, tawa dan bullying, no hard feeling :D

Saling takjub dengan kreatifitas dan ide masing-masing relawan, hal ini tentu saja menambah pasokan ide yang bisa dikembangkan untuk kegiatan selanjutnya. 

Sekitar pukul 14 kami berangkat menuju sekolah dan desa masing-masing. Berdoa bersama dan saling mendukung satu sama lain sebelum akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Dan saya bersama tim menuju desa Kurik 6. Konon menjadi salah satu desa trans yang masih ramai oleh penduduk transmigrasi. 

Suhu di Merauke jauh lebih panas daripada Jayapura. Teriknya membuat dahaga tidak juga hilang meski sudah dialiri air putih kemasan. Dilengkapi dengan kondisi jalan yang tidak rata, berlubang dan berdebu. Perjalanan ini ditempuh selama 2-3 jam. 


Sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan hamparan sawah dengan padi-padi yang hijau, sekelompok sapi bali yang sedang mencari makan, pepohonan yang jarang-jarang, juga sungai-sungai yang membentang. Langit di Merauke begitu lapang, mungkin karena tidak ada bukit pun gunung di kedua sisi. Begitu jelas garis dan warna langitnya; indah!

Sekitar pukul 17 kami sampai di sebuah desa yang bernama Kurik 6, bus yang membawa kami berhenti tepat di pekarangan rumah Bapak Kepala Kampung. Halaman yang luas dengan bangunan yang sederhana. Dan di depannya saya bisa menikmati senja di ujung desa, menikmati kesederhanaan yang begitu mahal dan langka. 


 Sesungguhnya perjalanan ini membuat saya mendapatkan banyak hal; membuat aneka pelajaran tertata rapi dalam ingatan, dan sesungguhanya perjalanan inilah yang menginspirasi saya. Kian menambah rasa syukur atas semua kehidupan. 

Kami hanyalah relawan yang ingin berbagi dengan anak-anak, kemudian disambut dengan suka cita bahkan oleh Kepala Kampung dan keluarga. Menyenangkan dan mengharukan! Disugukan makanan aneka rasa, diceritakan sejarah tentang desa dan segala macam budaya. Bahkan kami diterima dengan baik oleh Bapak Wakil Kepala Sekolah sekaligus yang menjadi tuan rumah dimana kami menginap malam itu. Menikmati suguhan buah naga yang masak dan disiapkan ayam kampung bumbu ungkep, sambal dan nasi hangat. Luar biasa penerimaan mereka pada kami, yang sesungguhnya tengah belajar dari perjalanan ini. 

Hari Inspirasi : saat upacara di SDN Inpres Kurik 6



Hari inspirasi tiba, saya dipinjamkan motor oleh Bapak Wakil Kepala Sekolah untuk berangkat ke Sekolah. Sudah lama tidak mengendarai sepeda motor. Berangkat dengan rasa senang, menyapa setiap orang sepanjang jalan menuju sekolah. Ada rasa bahagia di dalam dada. 

 Sesampainya di Sekolah Dasar Sumber Mulia, Kurik 6 saya langsung mendekati anak-anak yang tengah bermain. Meyapa mereka dan mencoba ikut bermain. Bermain ala kadarnya, dengan pepohonan yang ada. Kebahagiaan bagi mereka, bagi kami adalah ketika canda dan tawa bisa semudah itu menguncahkan dada kami. Kebahagiaan sudah lahir bahkan sebelum mahatahari ada.

 Tidak lama kemudian lonceng berbunyi, tandanya sudah harus bersiap-siap untuk upacara. Sudah lama saya tidak menjadi bagian dari peserta upacara. Sudah kaku sekali untuk sekadar hormat pun istirahat di tempat. Dan kali ini tidak akan menyia-nyiakan moment ini, ucapara! Dimana rasa bangga akan tanah air begitu menggebu. Tim Kelas Inspirasi baris bersama dewan guru. Kami dengan penuh khikmat mencoba merasakan kembali; upacara bendera. 


 

Sekitar satu jam berlalu, ucapara selesai, bendera merah putih sudah berkibar. Tim Kelas Inspirasi siap beraksi. Amunisi sudah kami siapkan semalam, kini kami siap meramaikan panggung kelas 1- 6. Panitia dengan lihai membagikan jadwal kami, per kelas per 30 menit hingga selesai.  


Saya mengawali kegiatan dengan mengajar anak kelas 6, hanya ada 7 murid yang terdiri dari 4 siswi dan 3 siswa. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang sehat dan tangguh. Meski berapa di Papua, tetapi aksen mereka masih sama seperti leluhurnya di pulau Jawa. Dengan  lekat saya menatap wajah mereka satu per satu, mengadu senyum diwajah kami masing-masing. Saling memperkenalkan diri dan cita-cita. Semua dari mereka sudah memiliki cita-cita, wajar! sudah kelas enam, tentunya mereka jauh lebih matang dalam mempersiapkan rencana selanjutnya. Ketika saya bertanya apakah kamu sudah memperjuangkan untuk mendapatkan cita-cita kamu? Hanya satu dua yang berani menjawab " iya", sisanya dijawab dalam diam. Khas dari anak-anak, 15 tahun yang lalu saya juga masih seperti itu. Ingusan, sok tahu, dan ingin tahu, tetapi saat dihadapkan dengan pertanyaan yang njilmet saya pasti memilih untuk diam atau pura-pura berlalu. haha

Kelas 4-5 cukup jauh berbeda. Mereka lebih riang dan lebih aktif dari kelas 6. Mereka memberi saya nama Kakak Cantik-Manis. Kakak Cantik adalah nama yang diberikan siswi dan Kakak Manis nama yang diberikan oleh siswa. Hampir dari mereka sudah merangkai cita-cita, sudah merajut impian akan jadi apa. Satu-dua masih bingung. Kami bermain tebak profesi, melalui permainan itu saya berusaha membawa imajinasi mereka untuk bisa lebih dekat dengan mereka. Mereka senang, saya jauh lebih senang. 

Kelas 1,2 dan 3 sedikit berbeda. Usia yang masih terlalu belia untuk saya tanya cita-cita mereka. Mengajar mereka dengan cara bermain peran dan bercerita tentang aneka profesi, bernyanyi dan melukis juga menulis surat. Surat pelangi yang akan saya kirimkan ke rekan saya yang saat ini mengajar di kaki gunung Tambora. Haru ketika mendapati seorang siswa bernama Indra yang begitu senang sambil mengangkat suratnya ke atas dan berkata " Horeeee, aku nduwe sahabat pena "

 Ah Nak! Saya siap menghabiskan waktu saya untuk bisa bertemua dengan anak-anak seperti kalian. Anak-anak yang kelak menjadi pemuda-pemudi yang luar biasa!



Tidak hanya mengajar di kelas, kami juga melakukan tanam pohon bersama di sekitar sekolah. Menempelkan cita-cita bersama di langit impian, dan tidak lupa foto bersama. Sebuah cara mengabadikan rangkaian kegiatan yang akan menjadi sejarah bagi mereka, juga bagi saya. Sejarah yang kelak akan saya ceritakan, saya kenang. Mengenang betapa baiknya mereka, menyambut kami penuh suka cita, pihak sekolah bahkan mengundang kepala suku, kepala kampung dan suster di pustu. Kami benar-benar terharu, begitu haru biru. Ucapan terimakasih kami tentu saja tidak cukup mewakili rasa syukur kami atas kebaikan Panitia  dan pihak sekolah yang menyelenggarakan hari inspirasi ini. Semua luar biasa!


Kelas Inspirasi tentu saja hanya menjadi salah satu media, media untuk berbagi, media untuk menciptakan kebahagiaan, media bersyukur, media bermuhasabah dan media melakukan perjalanan hati. Mengajar tidak akan cukup satu-dua hari, bahkan satu- dua tahun! Sebab belajar-mengajar harus dilakukan setiap saat, oleh siapapun dan kepada siapapun. Inspirasi tidak hanya datang dari seseorang yang sudah menggapai impian, tidak hanya dari seseorang yang sudah sukses, tetapi juga bisa datang dari seseorang yang pernah gagal atau tengah berjuang. 

Kecintaan kita pada hidup bisa kita sugukan dalam keseharian kita dan kesediaan kita berbagi dengan sesama. Berbuat baik menjadi salah satu wujud syukur. No hard feeling and keep moving forward.
Sebutlah ini sebagai misi, sebab sebenarnya berada di antara pekerjaan dan hobi. 

Perjalanan ketiga kembali ke Wamena- Tolikara. Perjalanan pertama pada bulan September, iklim masih betah berada di garis kemarau. Jalan masih terjal, berbatu dan berdebu. Perjalanan kedua pada bulan November, seolah mengikuti lirik lagu Gun Roses november rain , even itsn't  like cats and dogs. Dan perjalanan yang ketiga, menjadi perjalanan yang paling menyisakan cerita. Iya, cerita yang cukup " istimewa".


Saya berangkat dari Jayapura pada tanggal 11 Februari dengan menggunakan pesawat trigana air yang seharusnya flight jam 12.00 WIT tetapi delay  hingga satu jam berikutnya yakni pukul 13.25 WIT. Sehingga saya mendarat di Wamena pukul. 14.31 WIT. Sesampai di Wamena saya dijemput oleh rekan dokter bersama isteri dan anaknya. Kemudian kami singgah untuk mengisi perut di sebuah restoran banyuwangi. Ah Wamena, ini di Papua atau Jawa ya? hehe

Wamena masih menyugukan aroma yang sama, kesejukan yang serupa, hanya sedikit ada rasa yang berbeda, lebih getir!

Misi ke Wamena- Tolikara kali ini untuk bertemu dengan kepala Dinas Kesehatan Tolikara. Rencananya akan diskusi terkait program kesehatan yang diperuntukan bagi masyarakat di sana.  Feeling saya, semua akan lancar dan sesuai harapan, diskusi programnya. Karena perjalanan memakan waktu 4-5 jam, sehingga kami memutuskan berangkat besok pagi. Dan malam ini saya bermalam di hotel Palimo, hotel yang iklannya ada di bandara dan jalan-jalan protokol. Konon hotel ini hotel paling bagus di Wamena. 

Dan sesampainya di hotel, iya memang paling bagus jika saya bandingkan dengan hotel di mana saya pernah menginap di sini. Lebih bersih, wangi dan rapi. Kamar 142 menjadi kamar saya malam itu, dengan fasilitas tempat tidur yang twins membuat saya sulit tidur, sebab saya penakut, jadi sudah bisa dibayangkan malam itu saya tidur ayam ditemani televisi yang menyala sampai pagi. 

12 Februari 08.00 WIT kami memulai perjalanan menuju Tolikara. Strada berwarna putih sudah siap memboyong kami ke sana. Musim hujan membuat jalan raya menjadi berair, dipenuhi air tepatnya. Apalagi lubang-lubang beraneka ukuran sudah dipenuhi dengan cairan bewarna cokelat, yang jika dilewati maka air akan mencrat sana sini.

Perjalanan kali ini memacu adrenalin lebih tinggi dari biasanya. Jarak pandang yang begitu dekat karena kabut turun lebih awal, rintik hujan  semakin deras, bebatuan muncul kepermukaan. Sampai-sampai jurang di sisi kanan menjadi tidak kelihatan.

Sekita pukul 12 kami sampai di Tolikara, masyarakat belum berkumpul. Hanya saja saya sudah menemukan kelompok masyarakat versi saya, yakni anak-anak kecil yang sudah rapi dan siap untuk mengaji. Mereka begitu ceria dan aktif. Lari dan lompat sana sini sebelum akhirnya saya mengeluarkan jurus andalan untuk bercerita, berdongeng.

Jadilah saya pendongeng yang hebat di hadapan mereka. Siang itu saya bercerita tentang wujud kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya yang terjadi di  rumah rasulullah SAW. " Kedatangan seorang ibu tengah baya bersama kedua putrinya. Ibu dan kedua anak tersebut dalam keadaan lapar. Mereka meminta sesuatu untuk mengisi perutnya kepada Aisyah yang sedang berada di rumah. Karena di rumah tidak ada sesuatu lagi yang bisa diberikan, kecuali hanya ada tiga butir kurma, maka Aisya pun memberikan kurma tersebut kepada mereka dengan harapan bahwa tiga butir kurma itu dapat dimakan oleh mereka bertiga. Sebutir seorang. Dengan mengucapkan terima kasih, sang ibu menerima tiga butir kurma pemberian Siti Aisyah. Selanjutnya di hadapan Siti Aysyah itu juga, sang Ibu membagi kurma tersebut kepada kedua anaknya. Dengan penuh kasih sayang sebutir diberikan kepada anaknya yang di sebelah kanan, yang sebutir lagi diberikan kepada anaknya yang berada di sebelah kirinya. Dengan hati penuh bahagia sang ibu memperhatikan kedua anaknya yang masing-masing makan sebutir kurma. Tinggal-lah di tangan sang ibu tersisa sebutir kurma. Ketika Ibu ini mau makan sebutir kurma yang ada di tangannya, tiba-tiba secara hampir bersamaan kedua anaknya meminta lagi sebutir kurma kepada ibu mereka, karena perutnya masih begitu lapar. Melihat kedua tangan anaknya yang dijulurkan kepadanya tanda mereka masih lapar, sebutir kurma yang sudah mau dimakan oleh sang ibu ini, tidak jadi dimakannya. Dengan hati penuh iba, dipenggalnya sebutir kurma itu menjadi dua bagian dengan tangannya yang agak gemetar karena menahan lapar. Kemudian diberikan kepada kedua anaknya. Sepenggal untuk anaknya yang ada di sebelah kanan, sepenggal lagi diberikan kepada anaknya yang ada di sebelah kirinya. Maka habislah tiga butir kurma itu. Tanpa sang ibu memakannya sama sekali. Dengan penuh kasih sayang ibu tersebut  memandangi kedua putrinya yang masing-masing makan sepenggal kurma miliknya."

Mendengar cerita yang saya bawakan membuat mereka menjadi lebih diam beberapa saat, sebelum akhirnya suasana menjadi cair kembali ketika saya mengajak mereka bernyanyi.

Kegiatan hari itu berakhir sekitar pukul 17. Tim saya kembali ke Wamena, sementara saya memutuskan menginap di Tolikara. Selain ada keperluan bertemu dengan salah satu dokter, saya juga merindukan suasana pedesaan. Malam itu saya menginap di salah satu rumah warga, Ummi Hikmah kami memanggilnya.

Rumah sederhana yang begitu mencerminkan kehidupan di pedesaan. Tidak ada simbol kemewahan di tempat ini. Benar-benar memberikan rasa nyaman. Ummi berulang kali meminta maaf karena tidak bisa menjamu dengan baik. Tidak ada kasur empuk, tidak ada hiburan, tidak ada apa-apa.Padahal memang ini yang saya inginkan; menikmati kesederhanaan, kesahajaan.

Kebetulan saat itu saya sedang berpuasa, sehingga Ummi kelimpungan mencarikan makanan terbaik untuk saya. Meski sebenarnya saya sudah mencegah untuk melayani saya, tetapi Ummi begitu baik. Dibuatkanya teh manis, dibelikan dua potong ayam goreng dan perkedel. Kami makan malam bersama dibawah temaram lampu neon yang dayanya sudah menurun. Saya begitu menikmati jamuan ini, jamuan yang begitu tulus dan penuh dengan rasa sayang. Ummi, seorang isteri dan perempuan yang merindukan keturunan namun Allah berkehendak lain. Dan malam itu, saya berusaha menjadi "anak" bagi Ummi, bukan seorang tamu dari kota.

Pagi hari sebelum berangkat kerja, saya membantu Ummi untuk memetik beberapa sayuran di halaman belakang seperti daun kol, ubi, daun bawang, dan yang lainnya. Semua sayur itu akan Ummi sulap menjadi makanan yang lezat. Sayangnya tidak ada foto, karena tidak ada listrik sehingga saya tidak bisa mengisi daya baterai iphone.

Selesai Ummi memasak, saya diminta untuk mencicipi semua aneka makanan yang Ummi buat. Mulai dari nasi goreng, bakwan, talas doreng, ubi goreng hingga singkong goreng. Meski saya sudah kenyang luas biasa dengan semua karbohidrat itu, tetap saja saya berusaha mencicipinya satu per satu. Sebab setiap saya lahap dan mengatakan bahwa semua itu enak, ada yang berkembang di wajah Ummi;Senyum!

Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, dan pagi itu saya berpamitan kepada Ummi dan Bapak. Mengucapkan banyak terimakasih karena sudah diberi kesempatan untuk bermalam dengan mereka. Merasakan dan menjadi bagian kehidupan Ummi dan Bapak yang begitu sederhana dan penuh kedamaian, meski hanya sehari.

Setelah pamit dengan Ummi dan Bapak saya berjalan kaki menuju RSUD Tolikara. Melewati bandara dan pasar lama yang sudah rata dengan tanah. Menyapa penduduk pribumi yang sudah memulai aktivitas. Berjalan seorang diri dengan tenang dan riang, tidak selalu menakutkan menjadi minoritas. Sebab hati yang baik akan membawa kita bertemu dengan kebaikan.

Pertemuan dengan dr.Eko berjalan dengan lancar. Tidak hanya dokter Eko sebagai penanggungjawab program kesehatan 1000 Hari Pertama Kehidupan, tetapi juga bidan PTT sebagai pelaksana juga kader posyandu yang turut membantu. Mereka bekerja setiap hari, turun lapangan setiap hari, bertemu dengan Ibu hamil, Ibu menyusui dan balita di posyandu masing-masing setiap hari kecuali hari Minggu dan hari libur. Mereka luar biasa! saya angkat topi melihat kegigihan mereka semua! Pekerjaan selesai, piknik pun selesai.

Perjalanan kembali ke Wamena di mulai. Pukul 16 kami sudah menuju Wamena. Setengah perjalanan kami bertemu dengan jalan yang putus. Tepat di salah satu kampung yang menjadi salah satu titik zona merah (rawan). Tidak ada jalan lain selain jalan ini. Sehingga kami memutuskan untuk kembali ke Tolikara dan mencari mobil sewa, kemudian mencari mobil sewa dari Wamena untuk menjemput kami di seberang jalan yang putus.

Kami menuju Tolikara pukul 17, sampai di sana pukul 19, sholat kemudian tancap gas kembali! Saya sudah tidak memperdulikan rasa letih pun rasa sakit melewati jalan yang begitu hancur berulang kali.



Pukul 22 kami sampai di jalan yang longsor ini. Gambar dalam foto adalah gambar pada saat kejadian. Dan di malam hari kondisi jalan yang putus semakin parah. Semakin licin dan aliran air di sebelah kanan semakin deras. Salah jalan sedikit pilihannya adalah masuk jurang atau terbawa arus. Adrenalin sudah tidak bisa dipacu. Sudah berada dibatas maksimal.

Pukul 01. kami tiba di hotel, saya langsung menuju kamar mandi kemudia beristirahat. Tidak ada hasrat yang lain selain memberikah hak kepada tubuh saya untuk beristirahat. Perjalanan kali ini, perjalanan yang begitu luar biasa.



Pekan ini satu buku berjudul " Sepatu Dahlan" sudah habis di lahap. Buku yang selama ini hanya menghiasi ruang tamu berserta puluhan buku lainnya. Satu buku dengan ratusan lembar yang mengandung makna begitu berharga, mengundang air mata yang seolah merasakan apa yang dirasakan oleh mereka, tokoh di sana. 

Anak-anak, Cita-Cita, dan Kemiskinan. Tiga komponen yang kerap dan menjadi jamur di mana- mana dan sepanjang kehidupan. 

Tidak luput dari ingatan, 20 tahun yang lalu, menjadi anak desa yang hanya mampu menikmati hari dengan bermain seadanya. Halaman, sungai, menangkap capung, main perahu kertas saat hujan hingga bermain kebun atau sawah di belakang rumah. Tidak jauh berbeda dengan Dahlan, meski saat itu Dahlan hidup di tahun 60an, tetapi kemiskinan tidak memiliki rupa yang beragam. Wajah kemiskinan hampir sama.
Jika Dahlan terbiasa kelaparan, setidaknya saya tidak sampai merasakan seperti itu. Tetapi saya pernah merasakan mengisi perut hanya dengan nasi putih, kerupuk dan sambal. Jika Dahlan sampai remaja tidak pernah merasakan kasur, maka bersyukur saya masih merasakan empuknya kasus kapuk lengkap dengan guling dan bantal. Jika Dahlan pulang sekolah harus ngangon domba, saya sesekali membantu Bapak memberi makanan kambing atau mengangkat makanan kambing yang sedang Bapak jemur di halaman rumah. 

Ya, wajah kemiskinan hampir sama. Hanya saja saya pun Dahlan tidak pernah mengeluh. 

Tentu saja, sebagai anak kecil saya pun Dahlan memiliki angan-angan yang kami sebut sebagai impian atau cita-cita untuk memiliki ini dan itu. Jika Dahlan menginginkan sepatu dan sepeda, maka yang saya inginkan dahulu adalah buku dan baju renang. Mungkin nampak terlalu intelek ketika sejak kecil saya sudah menginginkan buku, hal ini terjadi karena saya memiliki tetangga yang memiliki banyak buku dan majalah. Sehingga kadang membuat saya merasa ingin sekali memiliki buku-buku yang banyak seperti yang dia miliki. Sama hal nya seperti baju renang, kebiasaan main di sungai bersama teman-teman membuat saya ingin sekali memiliki baju renang seperti yang mereka pakai. Hanya saja saya paham bahwa itu bukan sesuatu yang benar-benar saya butuhkan. Sehingga keinginan untuk memiliki baju renang hanya terlintas sekali saja. 

Jika Dahlan harus menjual domba untuk membeli Sepatu dan Sepeda, maka saya cukup dengan mengumpulkan buah tangkil (melinjo), cabe, dan jeruk purut untuk menabung membeli buku dan pergi membaca buku di kota sebelah.

Saya masih sangat mengingat masa-masa ini. Terlahir dari keluarga yang sederhana memang membuat saya harus jauh lebih mandiri dari sebaya saya. Bapak hanya pegawai dari koperasi listrik pedesaan yang juga menyambi sebagai petani. Gaji Bapak tentunya tidak seberapa dengan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawab Bapak. Setiap bulan Bapak selalu membeli pasokan bahan makanan untuk sarapan, yakni mie instan, telur, kerupuk, minyak dan lain-lain. Sementara makan siang,  olahan ikan, tempe, tahu dan kadang-kadang ayam disulap menjadi menu lezat oleh Mamak.
Memang, Saya tidak merasakan kemiskinan seperti yang Dahlan rasakan. Namun saya mampu merasakan apa yang Dahlan rasakan. 

Bapak dan Mamak sejak menikah masih hidup satu atap dengan Mbah hingga tahun 2015 rumah milik kami sendiri akhirnya berdiri. Selama 17 tahun pula saya merasakan hidup dan tumbuh di rumah panggung khas suku Lampung. Di mana di desa kami hanya rumah kami yang masih mempertahankan warisan dari nenek moyang dengan alasan yang mungkin tidak perlu dijelaskan. Saya masih sempat merasakan memiliki dapur yang berlantai tanah, yang jika kemarau maka debu akan membuat Mamak lebih sering ngomel dari biasanya. Dan jika hujan maka atap rumah akan menghujani kami dengan air yang turun dari langit.
Kaki saya memang tidak melepuh seperti kaki Dahlan, sebab saya pergi ke sekolah dengan menggunakan jasa ojek.

Sejak TK hingga SD saya sudah berlangganan dengan ojek,Om Usup panggilannya. Saya tidak tahu pasti mengapa bukan Bapak yang mengantarkan saya setiap paginya, melainkan ojek yang Bapak sewa. Bertambahnya hari perlahan saya mengerti, Bapak tidak ingin saya terlambat jika harus berangkat bersama Bapak menuju kantornya. Karena Bapak berangkat jauh lebih siang. Jasa ojek berlanjut hingga saya SMA, meski tidak lagi berlangganan dengan Om Usup. 

Jika Dahlan ingin memiliki sepeda seperti teman-temannya, mungkin pada saat SMP dan SMA saya menginginkan motor seperti teman-teman saya

Tetapi itu hanya keinginan yang lagi-lagi yang lewat sekali saja. Saya paham bahwa cukup dengan satu motor yang Bapak miliki. Lagipula dengan mengunakan Ojek jauh lebih hemat dan tidak berisiko. Dan saya paham bahwa masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting, karena pada saat itu Kakak perempuan saya sedang kuliah, Adik kedua saya sekolah di SMP dan yang bungsu berada di SD.

Saya semakin mengerti mengapa Bapak mendidik kami untuk selalu ingat siapa kita, bersyukur dengan apa yang kita punya dan hidup hemat supaya bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Karena Bapak memahami bahwa kami bukan keluarga yang berlebih, bisa dibilang kadang-kadang juga kekurangan. Tetapi Bapak jarang sekali menampakan hal itu, Bapak seseorang yang gigih selalu membuat kami merasa cukup. 

Mamak pernah berusaha membantu Bapak dengan menjual pakaian atau barang-barang rumah tangga yang dibutuhkan oleh temannya, tetangga atau si pemesan yang baru dikenal. Beberapa tahun Mamak menggeluti bidang tersebut hingga akhirnya Mamak memutuskan berhenti karena semakin banyak modal yang tidak kembali meski banyak barang yang dibeli namun belum dibayar hingga kini. Mamak seseorang yang terlalu baik, yang berdagang pun masih terlalu baik, hingga akhirnya bangkrut dan rugi. Saat itu saya melihat perjuangan Mamak untuk membantu Bapak memenuhi kebutuhan kami semakin membuat saya mengerti bahwa segala sesuatu harus diperjuangkan,Mamak mengerti tidak selamanya harus selalu meminta ke Bapak, terlebih ketika Kakak perempuan saya sudah dewasa, membutuhkan sepatu baru, tas baru, baju baru, aksesoris dan lain-lain. Dan kebetulan Kakak perempuan saya adalah anak kesayangan Mamak. Hehe

Saat itu saya memahami, betapa orangtua berusaha dan sangat berusaha memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Lalu apa kabar dengan kebutuhan saya? Bersyukur saya bukan seseorang yang suka meminta ini-itu, saya lebih banyak diam dan menerima apa yang diberi, termasuk menggunakan barang-barang warisan dari Kakak perempuan saya. Saya menerima, Iya!

Masa kecil, kehidupan di desa, dekat dengan kemiskinan meski kami masih dalam taraf cukup. Semua membuat saya, membentuk dan mendidik saya menjadi pribadi yang seperti saat ini. Sering saya dianggap sebagai anak pertama, mungkin karena saya yang terlalu pemikir mengakibatkan wajah saya menjadi lebih dewasa daripada kakak perempuan saya, mungkin. Atau mungkin karena saya tidak lebih ramah dari kakak saya, sehingga dianggap lebih tua, apapun itu saya tetap anak kedua dan saya lebih muda! hehe

Iya, saya sangat bersyukur sebab hidup saya jauh lebih mudah dan jauh lebih nyaman dari Dahlan. 
Ketika berada di kaki gunung Bromo, Papua, Jakarta, Jawa, di mana pun saya berada dan menyaksikan kemiskinan, ada perasaan seperti tidak sanggup, tidak tega. Terlebih lagi ketika di Papua, rasanya saya semakin tidak sanggup melihat banyak saudara saya di sini yang begitu kuat bertahan hidup dalam kemiskinan. Sementara bagian lain di tanah ini, pemerintah sedang membangun gedung yang megah nun mewah untuk menyambut tamu-tamu negara. Terlebih lagi ketika banyak orang yang kelaparan, masih banyak dari kita yang tidak menghabiskan makanan. Lagi-lagi saya tidak sanggup melihat mereka, hidup bahagia meski dalam kemiskinan.

Setiap turun ke lapangan, melewati kampung-kampung, saya menyaksikan anak-anak dengan tubuh kurus namun perut membuncit, cairan bewarna kuning kehijauan membuat aliran di hidung mereka, kuku-kuku hitam dan panjang, rumah-rumah dari tenda pun anyaman bambu lengkap dengan baju-baju yang diletakan sembarang. 

Wajah kemiskinan memang hampir sama, meski ragam yang memilikinya. 

Dahlan yang miskin mampu membuktikan bahwa kemiskinan bukan alasan untuk menghentikan masa depan. Kemiskinan bukan satu hal yang bisa membunuh cita-cita, tetapi kemiskinan dijadikan cambuk yang setiap saat menjadi pecutan untuk selalu berusaha dan berusaha. Nasib harus diubah, bukan diratapi. Jika Dahlan bisa bangkit dan berjuang, kenapa kita yang lebih beruntung dari dia tidak melakukan hal yang lebih? Jalan dan pilihan selalu ada, masalahnya apakah kita mampu melihat dan mengambilnya? Mimpi, impian, cita-cita, apapun kita menyebutnya tidak akan cukup tanpa usaha, tidak akan pernah terwujud tanpa perjuangan. Pijakan kita harus lebih dikuatkan, lagi-lagi kemiskinan tidak boleh dirawat!


Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ▼  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ▼  Februari ( 4 )
      • Cerita dari Pulau Dondai
      • Kelas Inspirasi Merauke
      • Tolikara #3
      • Wajah Kemiskinan
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes