Tolikara #3
Sebutlah ini sebagai misi, sebab sebenarnya berada di antara pekerjaan dan hobi.
Perjalanan ketiga kembali ke Wamena- Tolikara. Perjalanan pertama pada bulan September, iklim masih betah berada di garis kemarau. Jalan masih terjal, berbatu dan berdebu. Perjalanan kedua pada bulan November, seolah mengikuti lirik lagu Gun Roses november rain , even itsn't like cats and dogs. Dan perjalanan yang ketiga, menjadi perjalanan yang paling menyisakan cerita. Iya, cerita yang cukup " istimewa".
Saya berangkat dari Jayapura pada tanggal 11 Februari dengan menggunakan pesawat trigana air yang seharusnya flight jam 12.00 WIT tetapi delay hingga satu jam berikutnya yakni pukul 13.25 WIT. Sehingga saya mendarat di Wamena pukul. 14.31 WIT. Sesampai di Wamena saya dijemput oleh rekan dokter bersama isteri dan anaknya. Kemudian kami singgah untuk mengisi perut di sebuah restoran banyuwangi. Ah Wamena, ini di Papua atau Jawa ya? hehe
Wamena masih menyugukan aroma yang sama, kesejukan yang serupa, hanya sedikit ada rasa yang berbeda, lebih getir!
Misi ke Wamena- Tolikara kali ini untuk bertemu dengan kepala Dinas Kesehatan Tolikara. Rencananya akan diskusi terkait program kesehatan yang diperuntukan bagi masyarakat di sana. Feeling saya, semua akan lancar dan sesuai harapan, diskusi programnya. Karena perjalanan memakan waktu 4-5 jam, sehingga kami memutuskan berangkat besok pagi. Dan malam ini saya bermalam di hotel Palimo, hotel yang iklannya ada di bandara dan jalan-jalan protokol. Konon hotel ini hotel paling bagus di Wamena.
Dan sesampainya di hotel, iya memang paling bagus jika saya bandingkan dengan hotel di mana saya pernah menginap di sini. Lebih bersih, wangi dan rapi. Kamar 142 menjadi kamar saya malam itu, dengan fasilitas tempat tidur yang twins membuat saya sulit tidur, sebab saya penakut, jadi sudah bisa dibayangkan malam itu saya tidur ayam ditemani televisi yang menyala sampai pagi.
12 Februari 08.00 WIT kami memulai perjalanan menuju Tolikara. Strada berwarna putih sudah siap memboyong kami ke sana. Musim hujan membuat jalan raya menjadi berair, dipenuhi air tepatnya. Apalagi lubang-lubang beraneka ukuran sudah dipenuhi dengan cairan bewarna cokelat, yang jika dilewati maka air akan mencrat sana sini.
Perjalanan kali ini memacu adrenalin lebih tinggi dari biasanya. Jarak pandang yang begitu dekat karena kabut turun lebih awal, rintik hujan semakin deras, bebatuan muncul kepermukaan. Sampai-sampai jurang di sisi kanan menjadi tidak kelihatan.
Sekita pukul 12 kami sampai di Tolikara, masyarakat belum berkumpul. Hanya saja saya sudah menemukan kelompok masyarakat versi saya, yakni anak-anak kecil yang sudah rapi dan siap untuk mengaji. Mereka begitu ceria dan aktif. Lari dan lompat sana sini sebelum akhirnya saya mengeluarkan jurus andalan untuk bercerita, berdongeng.
Jadilah saya pendongeng yang hebat di hadapan mereka. Siang itu saya bercerita tentang wujud kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya yang terjadi di rumah rasulullah SAW. " Kedatangan seorang ibu tengah baya bersama kedua putrinya. Ibu dan kedua anak tersebut dalam keadaan lapar. Mereka meminta sesuatu untuk mengisi perutnya kepada Aisyah yang sedang berada di rumah. Karena di rumah tidak ada sesuatu lagi yang bisa diberikan, kecuali hanya ada tiga butir kurma, maka Aisya pun memberikan kurma tersebut kepada mereka dengan harapan bahwa tiga butir kurma itu dapat dimakan oleh mereka bertiga. Sebutir seorang. Dengan mengucapkan terima kasih, sang ibu menerima tiga butir kurma pemberian Siti Aisyah. Selanjutnya di hadapan Siti Aysyah itu juga, sang Ibu membagi kurma tersebut kepada kedua anaknya. Dengan penuh kasih sayang sebutir diberikan kepada anaknya yang di sebelah kanan, yang sebutir lagi diberikan kepada anaknya yang berada di sebelah kirinya. Dengan hati penuh bahagia sang ibu memperhatikan kedua anaknya yang masing-masing makan sebutir kurma. Tinggal-lah di tangan sang ibu tersisa sebutir kurma. Ketika Ibu ini mau makan sebutir kurma yang ada di tangannya, tiba-tiba secara hampir bersamaan kedua anaknya meminta lagi sebutir kurma kepada ibu mereka, karena perutnya masih begitu lapar. Melihat kedua tangan anaknya yang dijulurkan kepadanya tanda mereka masih lapar, sebutir kurma yang sudah mau dimakan oleh sang ibu ini, tidak jadi dimakannya. Dengan hati penuh iba, dipenggalnya sebutir kurma itu menjadi dua bagian dengan tangannya yang agak gemetar karena menahan lapar. Kemudian diberikan kepada kedua anaknya. Sepenggal untuk anaknya yang ada di sebelah kanan, sepenggal lagi diberikan kepada anaknya yang ada di sebelah kirinya. Maka habislah tiga butir kurma itu. Tanpa sang ibu memakannya sama sekali. Dengan penuh kasih sayang ibu tersebut memandangi kedua putrinya yang masing-masing makan sepenggal kurma miliknya."
Mendengar cerita yang saya bawakan membuat mereka menjadi lebih diam beberapa saat, sebelum akhirnya suasana menjadi cair kembali ketika saya mengajak mereka bernyanyi.
Kegiatan hari itu berakhir sekitar pukul 17. Tim saya kembali ke Wamena, sementara saya memutuskan menginap di Tolikara. Selain ada keperluan bertemu dengan salah satu dokter, saya juga merindukan suasana pedesaan. Malam itu saya menginap di salah satu rumah warga, Ummi Hikmah kami memanggilnya.
Rumah sederhana yang begitu mencerminkan kehidupan di pedesaan. Tidak ada simbol kemewahan di tempat ini. Benar-benar memberikan rasa nyaman. Ummi berulang kali meminta maaf karena tidak bisa menjamu dengan baik. Tidak ada kasur empuk, tidak ada hiburan, tidak ada apa-apa.Padahal memang ini yang saya inginkan; menikmati kesederhanaan, kesahajaan.
Kebetulan saat itu saya sedang berpuasa, sehingga Ummi kelimpungan mencarikan makanan terbaik untuk saya. Meski sebenarnya saya sudah mencegah untuk melayani saya, tetapi Ummi begitu baik. Dibuatkanya teh manis, dibelikan dua potong ayam goreng dan perkedel. Kami makan malam bersama dibawah temaram lampu neon yang dayanya sudah menurun. Saya begitu menikmati jamuan ini, jamuan yang begitu tulus dan penuh dengan rasa sayang. Ummi, seorang isteri dan perempuan yang merindukan keturunan namun Allah berkehendak lain. Dan malam itu, saya berusaha menjadi "anak" bagi Ummi, bukan seorang tamu dari kota.
Pagi hari sebelum berangkat kerja, saya membantu Ummi untuk memetik beberapa sayuran di halaman belakang seperti daun kol, ubi, daun bawang, dan yang lainnya. Semua sayur itu akan Ummi sulap menjadi makanan yang lezat. Sayangnya tidak ada foto, karena tidak ada listrik sehingga saya tidak bisa mengisi daya baterai iphone.
Selesai Ummi memasak, saya diminta untuk mencicipi semua aneka makanan yang Ummi buat. Mulai dari nasi goreng, bakwan, talas doreng, ubi goreng hingga singkong goreng. Meski saya sudah kenyang luas biasa dengan semua karbohidrat itu, tetap saja saya berusaha mencicipinya satu per satu. Sebab setiap saya lahap dan mengatakan bahwa semua itu enak, ada yang berkembang di wajah Ummi;Senyum!
Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, dan pagi itu saya berpamitan kepada Ummi dan Bapak. Mengucapkan banyak terimakasih karena sudah diberi kesempatan untuk bermalam dengan mereka. Merasakan dan menjadi bagian kehidupan Ummi dan Bapak yang begitu sederhana dan penuh kedamaian, meski hanya sehari.
Setelah pamit dengan Ummi dan Bapak saya berjalan kaki menuju RSUD Tolikara. Melewati bandara dan pasar lama yang sudah rata dengan tanah. Menyapa penduduk pribumi yang sudah memulai aktivitas. Berjalan seorang diri dengan tenang dan riang, tidak selalu menakutkan menjadi minoritas. Sebab hati yang baik akan membawa kita bertemu dengan kebaikan.
Pertemuan dengan dr.Eko berjalan dengan lancar. Tidak hanya dokter Eko sebagai penanggungjawab program kesehatan 1000 Hari Pertama Kehidupan, tetapi juga bidan PTT sebagai pelaksana juga kader posyandu yang turut membantu. Mereka bekerja setiap hari, turun lapangan setiap hari, bertemu dengan Ibu hamil, Ibu menyusui dan balita di posyandu masing-masing setiap hari kecuali hari Minggu dan hari libur. Mereka luar biasa! saya angkat topi melihat kegigihan mereka semua! Pekerjaan selesai, piknik pun selesai.
Perjalanan kembali ke Wamena di mulai. Pukul 16 kami sudah menuju Wamena. Setengah perjalanan kami bertemu dengan jalan yang putus. Tepat di salah satu kampung yang menjadi salah satu titik zona merah (rawan). Tidak ada jalan lain selain jalan ini. Sehingga kami memutuskan untuk kembali ke Tolikara dan mencari mobil sewa, kemudian mencari mobil sewa dari Wamena untuk menjemput kami di seberang jalan yang putus.
Kami menuju Tolikara pukul 17, sampai di sana pukul 19, sholat kemudian tancap gas kembali! Saya sudah tidak memperdulikan rasa letih pun rasa sakit melewati jalan yang begitu hancur berulang kali.
Perjalanan kali ini memacu adrenalin lebih tinggi dari biasanya. Jarak pandang yang begitu dekat karena kabut turun lebih awal, rintik hujan semakin deras, bebatuan muncul kepermukaan. Sampai-sampai jurang di sisi kanan menjadi tidak kelihatan.
Sekita pukul 12 kami sampai di Tolikara, masyarakat belum berkumpul. Hanya saja saya sudah menemukan kelompok masyarakat versi saya, yakni anak-anak kecil yang sudah rapi dan siap untuk mengaji. Mereka begitu ceria dan aktif. Lari dan lompat sana sini sebelum akhirnya saya mengeluarkan jurus andalan untuk bercerita, berdongeng.
Jadilah saya pendongeng yang hebat di hadapan mereka. Siang itu saya bercerita tentang wujud kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya yang terjadi di rumah rasulullah SAW. " Kedatangan seorang ibu tengah baya bersama kedua putrinya. Ibu dan kedua anak tersebut dalam keadaan lapar. Mereka meminta sesuatu untuk mengisi perutnya kepada Aisyah yang sedang berada di rumah. Karena di rumah tidak ada sesuatu lagi yang bisa diberikan, kecuali hanya ada tiga butir kurma, maka Aisya pun memberikan kurma tersebut kepada mereka dengan harapan bahwa tiga butir kurma itu dapat dimakan oleh mereka bertiga. Sebutir seorang. Dengan mengucapkan terima kasih, sang ibu menerima tiga butir kurma pemberian Siti Aisyah. Selanjutnya di hadapan Siti Aysyah itu juga, sang Ibu membagi kurma tersebut kepada kedua anaknya. Dengan penuh kasih sayang sebutir diberikan kepada anaknya yang di sebelah kanan, yang sebutir lagi diberikan kepada anaknya yang berada di sebelah kirinya. Dengan hati penuh bahagia sang ibu memperhatikan kedua anaknya yang masing-masing makan sebutir kurma. Tinggal-lah di tangan sang ibu tersisa sebutir kurma. Ketika Ibu ini mau makan sebutir kurma yang ada di tangannya, tiba-tiba secara hampir bersamaan kedua anaknya meminta lagi sebutir kurma kepada ibu mereka, karena perutnya masih begitu lapar. Melihat kedua tangan anaknya yang dijulurkan kepadanya tanda mereka masih lapar, sebutir kurma yang sudah mau dimakan oleh sang ibu ini, tidak jadi dimakannya. Dengan hati penuh iba, dipenggalnya sebutir kurma itu menjadi dua bagian dengan tangannya yang agak gemetar karena menahan lapar. Kemudian diberikan kepada kedua anaknya. Sepenggal untuk anaknya yang ada di sebelah kanan, sepenggal lagi diberikan kepada anaknya yang ada di sebelah kirinya. Maka habislah tiga butir kurma itu. Tanpa sang ibu memakannya sama sekali. Dengan penuh kasih sayang ibu tersebut memandangi kedua putrinya yang masing-masing makan sepenggal kurma miliknya."
Mendengar cerita yang saya bawakan membuat mereka menjadi lebih diam beberapa saat, sebelum akhirnya suasana menjadi cair kembali ketika saya mengajak mereka bernyanyi.
Kegiatan hari itu berakhir sekitar pukul 17. Tim saya kembali ke Wamena, sementara saya memutuskan menginap di Tolikara. Selain ada keperluan bertemu dengan salah satu dokter, saya juga merindukan suasana pedesaan. Malam itu saya menginap di salah satu rumah warga, Ummi Hikmah kami memanggilnya.
Rumah sederhana yang begitu mencerminkan kehidupan di pedesaan. Tidak ada simbol kemewahan di tempat ini. Benar-benar memberikan rasa nyaman. Ummi berulang kali meminta maaf karena tidak bisa menjamu dengan baik. Tidak ada kasur empuk, tidak ada hiburan, tidak ada apa-apa.Padahal memang ini yang saya inginkan; menikmati kesederhanaan, kesahajaan.
Kebetulan saat itu saya sedang berpuasa, sehingga Ummi kelimpungan mencarikan makanan terbaik untuk saya. Meski sebenarnya saya sudah mencegah untuk melayani saya, tetapi Ummi begitu baik. Dibuatkanya teh manis, dibelikan dua potong ayam goreng dan perkedel. Kami makan malam bersama dibawah temaram lampu neon yang dayanya sudah menurun. Saya begitu menikmati jamuan ini, jamuan yang begitu tulus dan penuh dengan rasa sayang. Ummi, seorang isteri dan perempuan yang merindukan keturunan namun Allah berkehendak lain. Dan malam itu, saya berusaha menjadi "anak" bagi Ummi, bukan seorang tamu dari kota.
Pagi hari sebelum berangkat kerja, saya membantu Ummi untuk memetik beberapa sayuran di halaman belakang seperti daun kol, ubi, daun bawang, dan yang lainnya. Semua sayur itu akan Ummi sulap menjadi makanan yang lezat. Sayangnya tidak ada foto, karena tidak ada listrik sehingga saya tidak bisa mengisi daya baterai iphone.
Selesai Ummi memasak, saya diminta untuk mencicipi semua aneka makanan yang Ummi buat. Mulai dari nasi goreng, bakwan, talas doreng, ubi goreng hingga singkong goreng. Meski saya sudah kenyang luas biasa dengan semua karbohidrat itu, tetap saja saya berusaha mencicipinya satu per satu. Sebab setiap saya lahap dan mengatakan bahwa semua itu enak, ada yang berkembang di wajah Ummi;Senyum!
Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, dan pagi itu saya berpamitan kepada Ummi dan Bapak. Mengucapkan banyak terimakasih karena sudah diberi kesempatan untuk bermalam dengan mereka. Merasakan dan menjadi bagian kehidupan Ummi dan Bapak yang begitu sederhana dan penuh kedamaian, meski hanya sehari.
Setelah pamit dengan Ummi dan Bapak saya berjalan kaki menuju RSUD Tolikara. Melewati bandara dan pasar lama yang sudah rata dengan tanah. Menyapa penduduk pribumi yang sudah memulai aktivitas. Berjalan seorang diri dengan tenang dan riang, tidak selalu menakutkan menjadi minoritas. Sebab hati yang baik akan membawa kita bertemu dengan kebaikan.
Pertemuan dengan dr.Eko berjalan dengan lancar. Tidak hanya dokter Eko sebagai penanggungjawab program kesehatan 1000 Hari Pertama Kehidupan, tetapi juga bidan PTT sebagai pelaksana juga kader posyandu yang turut membantu. Mereka bekerja setiap hari, turun lapangan setiap hari, bertemu dengan Ibu hamil, Ibu menyusui dan balita di posyandu masing-masing setiap hari kecuali hari Minggu dan hari libur. Mereka luar biasa! saya angkat topi melihat kegigihan mereka semua! Pekerjaan selesai, piknik pun selesai.
Perjalanan kembali ke Wamena di mulai. Pukul 16 kami sudah menuju Wamena. Setengah perjalanan kami bertemu dengan jalan yang putus. Tepat di salah satu kampung yang menjadi salah satu titik zona merah (rawan). Tidak ada jalan lain selain jalan ini. Sehingga kami memutuskan untuk kembali ke Tolikara dan mencari mobil sewa, kemudian mencari mobil sewa dari Wamena untuk menjemput kami di seberang jalan yang putus.
Kami menuju Tolikara pukul 17, sampai di sana pukul 19, sholat kemudian tancap gas kembali! Saya sudah tidak memperdulikan rasa letih pun rasa sakit melewati jalan yang begitu hancur berulang kali.
Pukul 22 kami sampai di jalan yang longsor ini. Gambar dalam foto adalah gambar pada saat kejadian. Dan di malam hari kondisi jalan yang putus semakin parah. Semakin licin dan aliran air di sebelah kanan semakin deras. Salah jalan sedikit pilihannya adalah masuk jurang atau terbawa arus. Adrenalin sudah tidak bisa dipacu. Sudah berada dibatas maksimal.
Pukul 01. kami tiba di hotel, saya langsung menuju kamar mandi kemudia beristirahat. Tidak ada hasrat yang lain selain memberikah hak kepada tubuh saya untuk beristirahat. Perjalanan kali ini, perjalanan yang begitu luar biasa.
Pukul 01. kami tiba di hotel, saya langsung menuju kamar mandi kemudia beristirahat. Tidak ada hasrat yang lain selain memberikah hak kepada tubuh saya untuk beristirahat. Perjalanan kali ini, perjalanan yang begitu luar biasa.
0 komentar :
Posting Komentar