Cerita dari Pulau Dondai

Welcome to Dondai Island     

Mengakhiri Februari dengan mengikuti Travelling and Teaching #5 Komunitas 1000 Guru Papua. Kali ini berlokasi di Desa Dondai, Pulau Dondai, Kabupaten Jayapura, Papua. 

Menuju pulau Dondai ditempuh dalam waktu satu jam dari Kota Jayapura. Saya dan tim berangkat sekitar pukul 05.30 WIT dari Abepura dengan menggunakan truk TNI. Dilanjutkan dengan menumpang perahu motor milik warga untuk mengarungi danau Sentani dan sampai di balai adat desa Dondai. Perjalanan kali ini istimewa karena harus melewati danau Sentani dan menginap di pulau Dondai. *excited*

Tidak sampai 30 menit, perahu sudah menyandar di dermaga. Desa ini begitu tenang dan terik. Dari kejauhan sudah nampak babi berkeliaran dengan leluasa termasuk di tepi danau. Nampak juga sampah plastik menghiasi pinggiran danau .

Kami berkumpul di balai adat, disambut oleh kepala kampung. Kegiatan kami dibuka secara kekeluargaan oleh kepala kampung. Setelah acara penyambutan, kami mulai beraksi untuk mengajar. Hanya saja, murid-murid kami belum berangkat ke sekolah. Sehingga kami melakukan salah satu prosesi yang belum pernah kami lakukan sebelumnya : menjemput murid ke rumah. 

Satu per satu rumah kami datangi, menyapa pace-mace kemudian mengajak anak mereka untuk berangkat ke sekolah bersama." Usaha yang bagus! " guman saya dalam hati. Dengan begitu saya bisa sekaligus bertemu orangtua murid, setidaknya dengan begitu juga orangtua bisa mengerti bahwa niat kami mengajar anak mereka sangat seriuse!

Setelah berhasil berangkat bersama, kami ( guru dan murid) berkumpul di halaman. Untuk apel pagi, saling berkenalan. Pada kesempatan kali ini saya akan mengajar murid kelas lima yang saya ketahui setelah menghitung anggota barisan mereka terdapat 9 murid, 4 perempuan dan 5 laki-laki. 


Saya selalu jatuh hati dengan mereka, anak-anak Papua..
yang meski jarang keramas, jarang mandi, jarang sikat gigi, yang kakinya penuh dengan luka, hidungnya penuh dengan ingus, tetapi mereka tetap memikat, tetap manis, tetap percaya diri, begitu polos begitu lucu, begitu menggemaskan dan menyentuh hati..

Setelah berkenalan kami langsung mengubah formasi, mengajar sesuai kelas masing-masing. Saya dan tim berjumlah lima orang. Tugas kami di jam pertama adalah mengajarkan pelajaran Matematika. Kami mulai dengan memberikan pre test perkalian satu angka. Beberapa anak mampu menjawab. Diuji lagi dengan perkalian dua angka yang masih belasan, hanya satu orang yang bisa menjawab. Tania namanya. Sedari awal ia memang lebih cepat dalam menjawab soal. Saya terpikat, ia tidak hanya cantik, ceria, tetapi juga cerdas. 
Terlebih ketika soal demi soal kami berikan. Kemampuan Tania belum ditandingi oleh yang lain. Meski Nahor, salah satu murid laki-laki di kelas ini menyusul keaktifan Tania, tetapi Tania masih jauh lebih mendominasi. Di kelas 5 tidak hanya ada Tania dan Nahor, tetapi ada Isak yang secara kasat mata sama seperti teman-temannya yang lain, namun sebenarnya ia jauh lebih istimewa. Ia membutuhkan perhatian lebih, dalam menghitung, membaca dan menjawab pertanyaan, ia harus dituntun perlahan. Saya menjadi saksi saat ia berusaha dengan keras untuk menuliskan angka enam atau menjawab cita-citanya yakni seorang dokter! 

Mereka begitu riang saat kami ajak bernyanyi, membuat yel-yel pun saat membuat pohon cita-cita, balon perkalian, awan bijaksana dan kupu-kupu penyemangat. Tawa dan binaran mata mereka membuat hati saya begitu bahagia, kehadiran kami begitu mereka rasa, mereka terima. 

Saya semakin yakin jika Tuhan menciptakan perbedaan pada kita untuk bisa saling belajar, saling memahami dan saling menghargai; Tuhan menciptakan kita untuk menambah keindahan dalam hidup kita, saya meyakini itu..

Memasuki kelas profesi membuat kami kebanjiran kebanggaan. Tidak hanya profesi dokter, tentara, polisi, dan guru, tetapi ada seorang anak yang begitu mantap menjawab bahwa ia ingin menjadi Atlet Dayung, Danau Sentani melahirkan seorang pemudi yang kelak menjadi atlet dayung yang mengharumkan nama bangsanya, Regalia. 
Kegiatan ini tidak hanya memfasilitasi kami untuk mengajar, tetapi juga bermain. Membangun ikatan dengan mereka, anak-anak. Lebih dari dua jam kami bermain 6 permainan bersama. Di sebuah lapangan yang penuh dengan kotoran hewan, namun tidak mengurangi kebahagiaan kami semua. Anak-anak begitu riang, begitu gembira!

Saya benar-benar belajar menjadi seorang guru, seorang ibu yang tengah mengahadapi aneka pola anak-anak, yang harus memanage nada bicara, memilih kosa kata, dan mengatur ekspresi agar selalu ceria seperti mereka, setidaknya tidak menampakan wajah lelah pu wajah kesal, saya berusaha dan benar-benar berusaha agar mereka dapat merasakan ketulusan, kehadiran saya yang ingin lekat dengan mereka. 

Anggota kelompok bermain kami terdiri dari 7 orang. 2 guru dan 5 murid. Nahor salah satunya. Murid saya di kelas 5, sisanya campuran murid kelas 2,3 dan 4. Kami memilih nama kelompok kami dengan nama " Mangga", tidak ada filosofi khusus. Hanya saja kami spontan memilih itu. Permainan pertama adalah main joget-jogetan dan berdiri diatas karung. Di permainan pertama kami kalah, kami terlalu senang sehingga saat harus berdiri diatas karung yang kecil, kami jatuh. Anak-anak tidak kecewa, melainkan mereka menertawakan diri sendiri dan kelompoknya yang gagal bertahan berdiri diatas karung. 

Permainan kedua adalah estafet pijakan kaki. Nahor sebagai kapten begitu semangat dan menyemangati teman-temannya. Akhirnya dipermainan kedua kami menang. Permainan ketiga adalah memancing tutup botol dengan menggunakan sumpit, dengan ketelatenan dan ketenangan anak-anak, kami pun memenangkan permainan ketiga ini. Permainan keempat adalah permainan ular naga. Dimana kaki dipasangakan dengan kaki teman kemudian diikat dan harus jalan mengeliingi panitia. Pada permainan kali ini kami kalah bukan karena kurang cepat, melainkan karena kurang mendengarkan petunjuk. Permaina  selanjutnya mendorong botol dengan cara ditiup, kelompok kami kembali menang, dan permainan yang terakhir adalah estafet kelereng di saluran bambu, dan kali ini kami kemabli memenangkan permainan. 

Anak-anak nampak begitu senang dan percaya diri karena setiap mereka mengalungi medali. Mereka medapatkan hadiah dan mendapatkan hal yang bisa mereka banggakan; esteem.

Hari pertama ditutup dengan menonton film bersama, film animasi berjudul Inside Out di balai adat. Meski mungkin mereka tidak memahami bahasa inggris, setidaknya kebersamaan dan gambar dari film tersebut membuat mereka cukup bahagia. 
Sebelum malam, saya sempat mendaki bukit di sisi kiri sekolah yang kemudian diikuti oleh beberapa rekan saya dan anak-anak yang bermain di halaman sekolah. Tentu saja tidak mungkin saya menyia-nyiakan bukit yang begitu indah untuk tidak saya kunjungi. Setelah sekitar 20 menit saya sudah berada di puncak. MasyaAllah..









Rasanya saya tidak ingin turun. Saya masih ingin berada diatas bukit ini. Menikmati kesunyian, ketenangan, keindahan alam, kesyanduan senja. Semua ini benar-benar menjadi obat untuk saya, mengobati segala rasa kecewa dan keletihan pada rutinitas, pada masalah dan pada kesenjangan. Tempat ini memberikan saya "ruang" untuk bergerak lebih luas, mencintai lebih tulus dan berbagi lebih banyak. 
Tidak henti-hentinya saya belajar pada mereka; anak-anak, warga, dan relawan. Belajar menerima kehidupan apapun rupa yang ada. Wujudnya memang tidak selalu enak dipandang dan manis dirasa, tetapi pasti ada cara untuk bisa menerima. 

Saya banyak belajar dari mereka; para guru yang sebenarnya. Dan cinta saya tidak sampai di sini, akan ada jalan untuk jatuh cinta lagi, Papua!
Ditepi dermaga : Aga, Fe, Wei,Idu


Bersama Berta, sang artis cilik : Muti, Fe, Wei, Windu, Andini

Bersama Chef kesayangan : Chris-Fadli

Share this:

0 komentar :