Wajah Kemiskinan

Pekan ini satu buku berjudul " Sepatu Dahlan" sudah habis di lahap. Buku yang selama ini hanya menghiasi ruang tamu berserta puluhan buku lainnya. Satu buku dengan ratusan lembar yang mengandung makna begitu berharga, mengundang air mata yang seolah merasakan apa yang dirasakan oleh mereka, tokoh di sana. 

Anak-anak, Cita-Cita, dan Kemiskinan. Tiga komponen yang kerap dan menjadi jamur di mana- mana dan sepanjang kehidupan. 

Tidak luput dari ingatan, 20 tahun yang lalu, menjadi anak desa yang hanya mampu menikmati hari dengan bermain seadanya. Halaman, sungai, menangkap capung, main perahu kertas saat hujan hingga bermain kebun atau sawah di belakang rumah. Tidak jauh berbeda dengan Dahlan, meski saat itu Dahlan hidup di tahun 60an, tetapi kemiskinan tidak memiliki rupa yang beragam. Wajah kemiskinan hampir sama.
Jika Dahlan terbiasa kelaparan, setidaknya saya tidak sampai merasakan seperti itu. Tetapi saya pernah merasakan mengisi perut hanya dengan nasi putih, kerupuk dan sambal. Jika Dahlan sampai remaja tidak pernah merasakan kasur, maka bersyukur saya masih merasakan empuknya kasus kapuk lengkap dengan guling dan bantal. Jika Dahlan pulang sekolah harus ngangon domba, saya sesekali membantu Bapak memberi makanan kambing atau mengangkat makanan kambing yang sedang Bapak jemur di halaman rumah. 

Ya, wajah kemiskinan hampir sama. Hanya saja saya pun Dahlan tidak pernah mengeluh. 

Tentu saja, sebagai anak kecil saya pun Dahlan memiliki angan-angan yang kami sebut sebagai impian atau cita-cita untuk memiliki ini dan itu. Jika Dahlan menginginkan sepatu dan sepeda, maka yang saya inginkan dahulu adalah buku dan baju renang. Mungkin nampak terlalu intelek ketika sejak kecil saya sudah menginginkan buku, hal ini terjadi karena saya memiliki tetangga yang memiliki banyak buku dan majalah. Sehingga kadang membuat saya merasa ingin sekali memiliki buku-buku yang banyak seperti yang dia miliki. Sama hal nya seperti baju renang, kebiasaan main di sungai bersama teman-teman membuat saya ingin sekali memiliki baju renang seperti yang mereka pakai. Hanya saja saya paham bahwa itu bukan sesuatu yang benar-benar saya butuhkan. Sehingga keinginan untuk memiliki baju renang hanya terlintas sekali saja. 

Jika Dahlan harus menjual domba untuk membeli Sepatu dan Sepeda, maka saya cukup dengan mengumpulkan buah tangkil (melinjo), cabe, dan jeruk purut untuk menabung membeli buku dan pergi membaca buku di kota sebelah.

Saya masih sangat mengingat masa-masa ini. Terlahir dari keluarga yang sederhana memang membuat saya harus jauh lebih mandiri dari sebaya saya. Bapak hanya pegawai dari koperasi listrik pedesaan yang juga menyambi sebagai petani. Gaji Bapak tentunya tidak seberapa dengan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawab Bapak. Setiap bulan Bapak selalu membeli pasokan bahan makanan untuk sarapan, yakni mie instan, telur, kerupuk, minyak dan lain-lain. Sementara makan siang,  olahan ikan, tempe, tahu dan kadang-kadang ayam disulap menjadi menu lezat oleh Mamak.
Memang, Saya tidak merasakan kemiskinan seperti yang Dahlan rasakan. Namun saya mampu merasakan apa yang Dahlan rasakan. 

Bapak dan Mamak sejak menikah masih hidup satu atap dengan Mbah hingga tahun 2015 rumah milik kami sendiri akhirnya berdiri. Selama 17 tahun pula saya merasakan hidup dan tumbuh di rumah panggung khas suku Lampung. Di mana di desa kami hanya rumah kami yang masih mempertahankan warisan dari nenek moyang dengan alasan yang mungkin tidak perlu dijelaskan. Saya masih sempat merasakan memiliki dapur yang berlantai tanah, yang jika kemarau maka debu akan membuat Mamak lebih sering ngomel dari biasanya. Dan jika hujan maka atap rumah akan menghujani kami dengan air yang turun dari langit.
Kaki saya memang tidak melepuh seperti kaki Dahlan, sebab saya pergi ke sekolah dengan menggunakan jasa ojek.

Sejak TK hingga SD saya sudah berlangganan dengan ojek,Om Usup panggilannya. Saya tidak tahu pasti mengapa bukan Bapak yang mengantarkan saya setiap paginya, melainkan ojek yang Bapak sewa. Bertambahnya hari perlahan saya mengerti, Bapak tidak ingin saya terlambat jika harus berangkat bersama Bapak menuju kantornya. Karena Bapak berangkat jauh lebih siang. Jasa ojek berlanjut hingga saya SMA, meski tidak lagi berlangganan dengan Om Usup. 

Jika Dahlan ingin memiliki sepeda seperti teman-temannya, mungkin pada saat SMP dan SMA saya menginginkan motor seperti teman-teman saya

Tetapi itu hanya keinginan yang lagi-lagi yang lewat sekali saja. Saya paham bahwa cukup dengan satu motor yang Bapak miliki. Lagipula dengan mengunakan Ojek jauh lebih hemat dan tidak berisiko. Dan saya paham bahwa masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting, karena pada saat itu Kakak perempuan saya sedang kuliah, Adik kedua saya sekolah di SMP dan yang bungsu berada di SD.

Saya semakin mengerti mengapa Bapak mendidik kami untuk selalu ingat siapa kita, bersyukur dengan apa yang kita punya dan hidup hemat supaya bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Karena Bapak memahami bahwa kami bukan keluarga yang berlebih, bisa dibilang kadang-kadang juga kekurangan. Tetapi Bapak jarang sekali menampakan hal itu, Bapak seseorang yang gigih selalu membuat kami merasa cukup. 

Mamak pernah berusaha membantu Bapak dengan menjual pakaian atau barang-barang rumah tangga yang dibutuhkan oleh temannya, tetangga atau si pemesan yang baru dikenal. Beberapa tahun Mamak menggeluti bidang tersebut hingga akhirnya Mamak memutuskan berhenti karena semakin banyak modal yang tidak kembali meski banyak barang yang dibeli namun belum dibayar hingga kini. Mamak seseorang yang terlalu baik, yang berdagang pun masih terlalu baik, hingga akhirnya bangkrut dan rugi. Saat itu saya melihat perjuangan Mamak untuk membantu Bapak memenuhi kebutuhan kami semakin membuat saya mengerti bahwa segala sesuatu harus diperjuangkan,Mamak mengerti tidak selamanya harus selalu meminta ke Bapak, terlebih ketika Kakak perempuan saya sudah dewasa, membutuhkan sepatu baru, tas baru, baju baru, aksesoris dan lain-lain. Dan kebetulan Kakak perempuan saya adalah anak kesayangan Mamak. Hehe

Saat itu saya memahami, betapa orangtua berusaha dan sangat berusaha memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Lalu apa kabar dengan kebutuhan saya? Bersyukur saya bukan seseorang yang suka meminta ini-itu, saya lebih banyak diam dan menerima apa yang diberi, termasuk menggunakan barang-barang warisan dari Kakak perempuan saya. Saya menerima, Iya!

Masa kecil, kehidupan di desa, dekat dengan kemiskinan meski kami masih dalam taraf cukup. Semua membuat saya, membentuk dan mendidik saya menjadi pribadi yang seperti saat ini. Sering saya dianggap sebagai anak pertama, mungkin karena saya yang terlalu pemikir mengakibatkan wajah saya menjadi lebih dewasa daripada kakak perempuan saya, mungkin. Atau mungkin karena saya tidak lebih ramah dari kakak saya, sehingga dianggap lebih tua, apapun itu saya tetap anak kedua dan saya lebih muda! hehe

Iya, saya sangat bersyukur sebab hidup saya jauh lebih mudah dan jauh lebih nyaman dari Dahlan. 
Ketika berada di kaki gunung Bromo, Papua, Jakarta, Jawa, di mana pun saya berada dan menyaksikan kemiskinan, ada perasaan seperti tidak sanggup, tidak tega. Terlebih lagi ketika di Papua, rasanya saya semakin tidak sanggup melihat banyak saudara saya di sini yang begitu kuat bertahan hidup dalam kemiskinan. Sementara bagian lain di tanah ini, pemerintah sedang membangun gedung yang megah nun mewah untuk menyambut tamu-tamu negara. Terlebih lagi ketika banyak orang yang kelaparan, masih banyak dari kita yang tidak menghabiskan makanan. Lagi-lagi saya tidak sanggup melihat mereka, hidup bahagia meski dalam kemiskinan.

Setiap turun ke lapangan, melewati kampung-kampung, saya menyaksikan anak-anak dengan tubuh kurus namun perut membuncit, cairan bewarna kuning kehijauan membuat aliran di hidung mereka, kuku-kuku hitam dan panjang, rumah-rumah dari tenda pun anyaman bambu lengkap dengan baju-baju yang diletakan sembarang. 

Wajah kemiskinan memang hampir sama, meski ragam yang memilikinya. 

Dahlan yang miskin mampu membuktikan bahwa kemiskinan bukan alasan untuk menghentikan masa depan. Kemiskinan bukan satu hal yang bisa membunuh cita-cita, tetapi kemiskinan dijadikan cambuk yang setiap saat menjadi pecutan untuk selalu berusaha dan berusaha. Nasib harus diubah, bukan diratapi. Jika Dahlan bisa bangkit dan berjuang, kenapa kita yang lebih beruntung dari dia tidak melakukan hal yang lebih? Jalan dan pilihan selalu ada, masalahnya apakah kita mampu melihat dan mengambilnya? Mimpi, impian, cita-cita, apapun kita menyebutnya tidak akan cukup tanpa usaha, tidak akan pernah terwujud tanpa perjuangan. Pijakan kita harus lebih dikuatkan, lagi-lagi kemiskinan tidak boleh dirawat!


Share this:

0 komentar :