Distraksi

Saat menuliskan ini, saya ingin bercerita ketika suasana hati saya sedang tidak menentu. Meski sudah jarang, tetapi perasaan worthless atau useless itu masih saja hadir meski sudah sangat jarang. Saya memahami bahwa kondisi seperti ini tidak boleh saya nikmati karena akan memperkeruh atau memperburuk kondisi selanjutnya. Maka saya berusaha dengan keras untuk tersenyum atau minimal berusaha mengalihkan perasaan-perasaan yang sedang meguasai diri saya. 

Sebenarnya saya sendiri yang menyebabkan ia datang lagi ke hari saya, bukan tanpa alasan karena saya kembali mem-push diri saya untuk mencapai atau menjadi yang lebih dari yang sudah ada atas diri saya. Dan nampaknya, ada sisi lain pada diri saya yang menolak karena bisa jadi karena saya belum siap atau karena saya sudah terlalu lelah untuk mem-push diri saya lebih keras lagi. Saya terlalu lelah nampaknya. Lelah dalam definisi yang berbeda bukan lelah secara fisik, tapi dibalik itu ada kelelahan yang tidak bisa saya rincikan. 

Kemudian disupport oleh lingkungan baru di mana saya harus pindah ke Ibukota lagi demi mendekatkan diri dengan keluarga dan alasan-alasan lainnya. Saya menyukai lingkungan baru, saya menyukai perpindahan, hanya mungkin saja saya sudah tidak lagi menyukai kesendirian dalam arti yang luas. Bukan baper karena ke-single-an saya, tetapi karena memang saya sangat ingin berada di sekitar orang-orang yang menyayangi saya minimal keluarga saya. 

Perasaan seperti ini tentu tidak enak bahkan cukup mengganggu. Rasanya saya hanya ingin di dalam kamar dan berada di balik selimut. Saya semakin lelah dan takut menghadapi dunia yang semakin tidak sesuai dengan harapan. Dalam beberapa hari ini saya mulai memikirkan untuk berhenti menjadi pengguna media sosial meski yang tersisa hanya sebagai pengguna instagram dan whatsapp. Begitu lelah rasanya, lelah sekali. 

Dalam kondisi seperti ini, saya hanya ingin kembali ke rumah atau memulai perjalanan mendaki gunung kembali. Meski pilihan kedua menjadi sangat berisiko karena rekan-rekan saya sudah tidak lagi melakukan hobi lama kami. 

Ada beberapa rekan yang menyarankan agar saya segera menikah, sehingga saya tidak perlu lagi merasakan perasaan serupa. Namun saya menjadi ragu, apakah benar seperti itu? Saya hanya tidak ingin menjadikan pernikahan saya menjadi berat karena harapan-harapan yang saya tanam dengan ideal sejak saya masih seorang diri. Sebab saya yakin, perasaan perasaan itu akan kian beragam ketika saya suatu hari menikah. Saya rasa ini memang menjadi peer untuk saya agar bisa mengatasi hal ini jauh sebelum saya akan memiliki teman hidup. Sehingga kelak saya juga bisa mengatasi dan mengelola perasaan-perasaan yang lebih beragam tanpa harus menimbulkan kerugian untuk diri saya maupun orang lain. 

Jika kamu juga seperti saya, yuk kita sama-sama belajar mengelola perasaan-perasaan yang hadir di dalam hari kita. Semoga kita semua tetap bisa produktif, sehat dan bahagia!




Share this:

0 komentar :