TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for Januari 2013
Tuhan menciptakan keraguan adalah untuk memberikan kita satu pelajaran tentang keyakinan.

Analognya seperti ini, "ketika saya sedang berjalan-jalan mencari rumah dalam sebuah komplek perumahan, saya melihat dan mengamati satu persatu rumah yang ada. Saya sesuaikan dengan kriteria yang saya inginkan. Setelah mengelilingi semua rumah yang ada, saya tidak menemukan satu pun rumah yang memenuhi semua kriteria saya. lantas saya pindah menuju komplek perumahan yang lain. Saya melakukan hal yang sama. Saya kelilingi rumah dari satu ke lainnya. Saya amati dengan sangat dekat, alih-alih agar tidak ada yang terlewat. Perlahan saya akhirnya berada di pintu keluar. Hal ini saya lakukan berulang kali. Lantas saya duduk dan bertanya pada diri sendiri. Mengapa tidak ada satu pun rumah yang sesuai dengan kriteria yang saya inginkan? Apakah selera yang membangun rumah terlalu payah sehingga tidak ada satu pun yang memenuhi kriteria saya? atau kriteria saya yang salah?. Terakhir saya kembali bersih keras mencari rumah yang cocok untuk saya. Pada satu komplek dengan pemandangan yang indah, udara yang segar, dan tempat yang nyaman, saya menyukai rumah itu. Saya melihatnya lebih dekat. Saya menyukai rumah itu, tetapi saya ragu untuk membelinya. saya khawatir rumah itu tidak membuat saya nyaman. saya khawatir pilihan saya salah"

Kemudian, saya mencoba mempertimbangkan kembali tentang arti ideal di dalam pikiran saya. Jika ideal yang bertahan dialur pikir saya adalah kesempurnaan pada sudut pandang, maka kini mulai saya otak-atik kembali. Juga memeriksa rasa khawatir dan keraguan pada hal-hal yang samar. Bukankah hal tersebut saya yang membuat? " Bisa saja Tuhan memberi saya rasa ragu untuk menguji seberapa jauh saya mampu mempertahankan keyakinan"

Saya belajar tentang bagaimana saya mampu mempercayai bahwa apa yang saya pilih itu akan menjadi ideal ketika pusat pikir saya tidak mengirimkan signal penolakan terhadap apa yang tidak sempurna menurutnya. Logika. karena pada dasarnya, Keyakinan bukan berbasis logika, melainkan RASA. Tuhan menciptakan keyakinan untuk dirasa, bukan dipikirkan. Tugas antara nurani dan otak itu berbeda!

Jika kamu mencari Tuhan, gunakan hati! jika kamu mencari keyakinan, gunakan Hati! ketika kamu menentukan pilihan, maka Gunakan Tuhan dan Hati!

Jakarta, 22 januari 2013

Pada seorang bocah perempuan yang tengah putus sekolah saya berani mengatakan “ Eka, boleh orang tua kita hanya seorang petani atau apapun pekerjaannya, tapi kita sebagai anak harus memiliki tekad dan mimpi yang lebih dari orang tua kita. Berapapun banyak harta atau tegal yang orang tua punya sekarang, masih bisa habis suatu saat. Tapi kemampuan, mimpi, juga semangat kita ndak  akan habis. Apapun yang terjadi, kamu harus lanjutin sekolah kamu.” Bisa jadi saya terlalu terbawa emosi hingga mata berkaca- kaca pun ketika saya melihat kedua orang tua Eka yang tak lagi muda.

Eka, bocah berusia dua belas tahun yang sudah putus sekolah sekitar tiga tahun yang lalu ketika ia masih duduk dibangku kelas tiga SD. Untuk masyarakat tengger, biaya bukan faktor utama seorang anak tidak mau sekolah atau melanjutkan sekolah. Saya kaget ketika mendengar penjelasannya ketika dia memutuskan untuk berhenti sekolah.

“ Saya ndak  mau sekolah, Kak”
“ Ha? Kenapa?” tanya saya penuh tanda tanya
“ Ndak apa “ jawabnya pelan dengan air muka cukup masam
“ Loh? “
“ Itu Bu, dia sering digangguin sama temennya disekolah. Jadi dia gak mau sekolah lagi “ jelas Ibunya pada saya.

Saya pandangi eka dengan pandangan iba, mulai mendalami apa yang sebenarnya terjadi. Lantas dengan tegas saya mengatakan “ Eka harus sekolah lagi! Kalau ada yang ganggu eka, lapor ke guru atau kepala sekolah agar anak yang nakal bisa ditindaklanjuti. Agar ndak  mengganggu anak- anak yang lain”

“ Iya Bu, saya juga ingin anak saya sekolah lagi “ tambah Ibu Rima, ibunda eka.

Kali ini saya mepelajari tentang fungsi “ figure atau tokoh atau contoh “ juga tentang motivasi. Banyak sekali anak- anak yang berpotensi akan kemampuan pikiran a.k.a kecerdasan yang harusnya bisa diarahkan dengan tepat sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang tepat guna. Namun sayang, ketika saya melakukan banyak kegiatan disini harus melihat banyak remaja perempuan maupun laki- laki tengah menguras otot mereka untuk menanam kentang ataupun bawang.

Tentu ini sangat miris! Terlebih lagi saya harus menemui banyak perempuan berstatus IBU dengan usia dibawah 18 Tahun. Lagi –lagi saya harus terbawa emosi saya ketika melihat ‘pemandangan ini’.

Buat saya, ini adalah masalah. Tetapi bagi mereka? Mereka, para perempuan muda merasa sudah bahagia hidup dengan pernikahan muda.

“ Saya ndak disuruh orangtua saya kok Kak. Ini memang mau saya “ ucap deni seorang Ibu berusia delapan belas tahun yang sudah 42 hari resmi menjadi ibu.
“ Iya Bu, ASI nya dikit. Jadi kami tambah dengan susu kotak” ucap suaminya
“ Mas tahu kenapa ASI nya dikit?” tanya saya singkat
“ Ndak”
“ Karena isteri mas masih terlalu muda “ ujar saya

Melihat fisik Deni, dengan kantung mata panda, konjungtiva yang pucat, tekanan darah yang rendah! Saya hanya bisa menyarankan suami untuk datang ke puskesmas mengambil vitamin yang saya sediakan guna membantu memulihkan kondisi deni. 

“ Iya Mbak, saya pikir juga begitu. Memang remaja disini kekurangan contoh teladan “ ujar Pak Ustad Warno yang juga menikahi isterinya Utari pada usia delapan belas tahun.

“ Iya, saya lihat mereka ( remaja putus sekolah ) bukan terhalang karena masalah biaya, tapi mereka pikir buat apa sekolah tinggi- tinggi kalau pada akhirnya akan kembali menjadi petani. Atau, dengan apa yang orangtua mereka miliki seperti rumah bagus, kendaraan bagus, dan aneka fasilitas yang dimiliki hasil dari bertani sudah lebih dari cukup. Mungkin bukan masalah untuk keluarga atau pun si anak, tetapi kita juga harus tahu, ketika anak memiliki potensi yang lebih daru sekadar hanya menjadi petani, gak ada salahnya untuk membuat sejarah dalam keluarganya. Saya sangat menyayangkan sekali, banyak remaja yang cerdas, yang seharusnya bisa menjadi dokter, guru, atau bahkan camat yang kelak bisa membangun daerah tengger menjadi lebih maju lagi. Ndak  perlu nunggu- nunggu kiriman guru atau dokter dari daerah lain “. Ujar saya penuh semangat pada seorang sarjana namun kini menjadi petani ditegal kentangnya.

Saya berpikir keras tentang hal ini, tentang bagaimana caranya membuat remaja disini memiliki pola pikir yang berbeda dari yang dahulu. Saya ingin mereka juga memiliki keinginan untuk tetap bersekolah. Apa saya terlalu memaksakan kehendak saya padahal mereka sendiri tidak membutuhkan atau menganggap itu penting?

Yang pasti, saya mulai mengajak “ adik –adik “ di delapan desa ini untuk belajar bersama di rumah dinas kami. Saya dan rekan lainya mulai merancang konsep belajar yang tidak memberatkan mereka. Tidak hanya pelajaran sekolah, tetapi juga tentang kesehatan reproduksi remaja, tentang pergaulan juga tentang impian.
Sederhana yang kami inginkan, mereka mampu menciptakan mimpi juga semangat untuk melakukan perubahan. Bukan untuk orang lain, tetapi untuk diri mereka sendiri, untuk masa depan mereka sebagai generasi suku tengger.

“ Perubahan bukan kata sifat, melainkan kata kerja. Meski dasarnya adalah kata sifat. Namun imbuhan memberinya makna lain. Sejatinya, tidak ada perubahan tanpa sesuatu yang dikorbankan termasuk waktu juga kebiasaan. Karena sejatinya, Tuhan menciptakan waktu yang tidak bisa kembali. Karena Tuhan hanya menginginkan kita untuk selalu maju, melangkah terus dan mencondongkan pandangan ke depan. Perubahan adalah tentang bagaimana kita bisa belajar pada masa lalu kemudian menyerap energi positive dan menerapkan pada kehidupan sekarang “


Perempuan, yang dahulu hanya berkutik dengan tiga tugas pokok yakni masak, dapur, kasur. Tetapi tidak untuk jaman sekarang yang sudah terkenal dengan ‘emansipasi perempuan’. Saya tidak menyebut wanita dalam hal ini, karena bagi saya kata ‘ perempuan’ lebih memiliki nilai essensial didalamnya.

Kini, saya menemukan ‘praktik’ emansipasi perempuan di sebuah kecamatan yang bernama Tosari. Kecamatan  yang terdiri dari delapan desa. Tidak jauh berbeda pada tiap desa tersebut, karena mereka sudah terbiasa hidup dengan ‘pembagian’ tugas yang merata.

Di awal, melihat kehidupan disini, saya sempat berpikir apakah perempuan di wilayah ini masih ‘ diperbudak’ oleh tradisi? Nyatanya, saya menemukan hal lain!

Sepanjang jalan menuju desa wonokoyo, saya melihat beberapa perempuan tengah berjalan dengan beban di atas kepala, pundak juga kedua tangannya. Sekelompok perempuan itu tengah membawa pulang rumput sebagai bahan makanan hewan ternak mereka juga tumpukan kayu bakar guna mengepulkan dapur mereka.
 Saya hanya mampu menggelengkan kepala. Sempat terpikir oleh saya, kemana para lelaki yang berstatus suami mereka? Karena rasa penasaran saya, saya memberanikan bertanya pada salah satu petugas sesepuh di puskesmas yang juga paham benar terhadapa masyarakat suku tengger ini.

Menurut Pak Darto, masyarakat tengger sudah terbiasa dengan pola saling membantu antara suami dan isteri apapun pekerjaan yang tengah dilakoni. Tanpa harus mempertimbangkan apakah itu tugas suami atau isteri. Misalnya, ketika sang isteri tengah mengambil makanan untuk ternak mereka, biasanya sang suami tengah menggemburkan tanah dikebun atau sedang menanam kentang dan aneka sayur lainnya. Ketika itu saya mulai mengerti.

Lantas saya temui hal sepele  namun bermakna sekali, seperti seorang suami yang tidak harus mengedepankan rasa malu ketika harus mencuci pakaian dan membersihakan kamar mandi pada hari minggu yang kebetulan sepasang suami isteri ini adalah seorang pegawai negeri sipil dengan berprofesi sebagai seorang guru.

Saya bertanya pada sang suami “ Pak made ndak  malu kalau mengerjakan pekerjaan perempuan?” tanya saya dengan nada setengah bercanda.

“ Ah nak, kenapa harus malu? Sudah harusnya suami isteri itu saling berbagi kan? Termasuk berbagi pekerjaan. Hehehe” jawab Pak Made disambung dengan nada tawa

Lain hal ketika saya kembali ‘mengintip’ emansipasi di desa lain, desa mororejo yang kebetulan terpilih menjadi desa pertama pelaksanaan program pemetaan kesehatan keluarga. Berawal dari seorang kader yang memberi usul agar pelaksanaan tidak dilakukan dipagi hari karena akan bersamaan dengan waktu mereka ‘ngarit atau macul ke tegal ‘.

Tegal merupakan sebutan untuk ladang atau tempat berkebun mereka. ‘Macul’ adalah kegiatan menggemburkan tanah dan membersihkannya dari rerumputan sedangkan ‘ngarit’ adalah memotong rumput dengan celurit untuk menjadi bahan makanan ternak. 

Atau seperti yang kader saya katakan ketika kami dalam perjalanan pulang usai melakukan pemetaan di RT 05, Bu Iwa mengatakan bahwa “ saya sangat bersyukur punya suami macam suami saya. Ndak  pernah melarang kegiatan saya diluar rumah yang berhubungan dengan masyarakat. Malah ya mbak Fe, pernah saya seharian ada acara kader yang pulangnya sampe malem. Eh sampe rumah, suami saya sudah masak jadi saya tinggal makan. Hehe”

Mendengar penuturannya, saya mencoba bertanya lebih lanjut “ Oh begitu ya bu. Beruntung sekali ya. Hehehe. Kalau disini memang kebanyakan para suami sudah biasa saja ya kalau berbagi tugas dengan isterinya?”

“ Iya kebanyakan, tapi masih ada juga sih mba yang masih ngerasa malu kalau ngelakoni kerjaan isteri. Katanya itu kan pekerjaan perempuan. Tapi alhamdulilah tinggal sedikit yang masih begitu”. Ujarnya
Juga dalam partisipasi perempuan dalam hak untuk berpolitik. Di beberapa desa di kecamatan tosari terdapat beberapa kepala desanya adalah seorang perempuan. Disini, saya mulai melihat bahwa paradigma kuno tentang perempuan mulai bergeser kearah yg lebih baik. Kesetaraan gender membawa angin segar untuk kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Bawasannya, perempuan sudah memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan meningkatkan taraf hidupnya.

Masyarakat desa yang buta dengan istilah ‘emansipasi perempuan’ tetapi sudah lebih dahulu mempraktikannya. Kadang, orang kota terlampau pintar berteori hingga terlalu rumit melakoninya. Kadang, yang menjadi masalah bagi orang kota, bukan masalah untuk masyarakat disini. Saya menjadi banyak belajar dari mereka. Dari kehidupan yang mereka jalani tanpa harus memikirkan bagaimana cara mengubah langit menjadi warna lain. Bagi mereka, warna jingga pada pagi, warna biru pada siang, warna kelabu pada hujan, warna hita pada malam sudah menjadi cukup.

 “ Lampu- lampu yang nampak tersusun rapi, berbaris tanpa aba-aba. Dengan latar langit berwarna hitam pekat dan perlahan mulai disisipi oleh jingga. “

“ Itu kota Malang, sebelah sana Surabaya.” Jelasnya

Mendengar namun pandangan tak beralih sedikitpun. Menatap sebuah lukisan Tuhan Maha Indah, menciptakan sebuah rasa yang banyak disebut mereka sebagai bahagia. Rasa bahagia berasal dari kemampuan kita untuk membangunkan rasa syukur yang selama ini bersemayam didalam hati. Sederhana, karena banyak alasan yang bisa membuat kita bersyukur.

 Saya sangat mencintai alam, “Pecinta Alam?”

Sedari kecil, saya senang sekali duduk di gorong-gorong depan rumah sekadar menunggu matahari tenggelam, meski yang saya lihat hanya sisa- sisa jingga juga mega merahnya. Atau ketika musim capung, saya akan berlari kesana kemari untuk menangkap mereka. Meski kadang saya tidak mendapatkan salah satu dari mereka.

Lekat sekali dalam ingatan, saya pernah melihat dari jendela rumah warna langit yang begitu indah. Langit biru yang mendapat pancaran ssinar matahari berwarna kuning keemasan dengan sinar bergaris- garis seolah tersebar keseluruh permukaan langit. Ah, sayangnya belum kumiliki alat perekan gambar,saat itu.
Banyak yang bertanya, kenapa saya menyukai pantai, juga gunung? Apa saya terlalu melankolis? Hahaha.

Jujur saja! Saya pun tidak mempunyai jawaban yang lugas. Saya menyukai keduanya karena saya mendapatkan diri saya disana. Ketika ke pantai, saya mampu menyelami diri saya atas segala kekurangan, saya belum bisa berenang dengan baik sehingga saya hanya berani berenang jika menggunakan pelampung. Saya menyukai pasir putih sehingga saya meletakan tubuh saya diatasnya, dengan  begitu saya juga bisa menikmati hamparan langit biru. Saya menyukai air sehingga saya membiarkan kaki saya diseret oleh ombak ke pinggiran. Disana, saya cukup menuruti apa yang saya inginkan.

Dan gunung, meski lelah juga dingin. Saya selalu berkeinginan untuk mendaki, mendaki, juga mendaki. Membayangkan hamparan rumput mulai menguning, langit bertabur bintang, angin penuh kesejukan, kesederhanaan dan ketidak berdayaan. Ah Tuhan! Saya hampir kehabisan huruf untuk dirangkai menjelaskan tentang sebuah perjalanan penuh makna, setidaknya untuk saya. Dalam setiap perjalanan mendaki, saya selalu mempunyai banyak waktu untuk berbicara dengan diri senddiri. Tentang ego, tentang mimpi, tentang kesalahan, tentang semua hal yang memenuhi otak saya.

Pada ujung rasa ketika saya sudah tidak mampu untuk menahan ‘suara’, maka saya akan memutuskan untuk mengepak segenap perlatan untuk mendaki. Mendaki memang sebuah perjalanan terbaik untuk saya dibandingkan pantai. Meski keduanya saya sukai,karena ketika mendaki saya bisa mematrikan pada diri saya bahwa seperti inilah hidup. Selalu dihadapi dengan rupa permukaan yang tak selalu sama. Bahkan pemukaan datar hanya sesekali ditemui, selebihnya adalah tanjakan dengan akar atau bebatuan. Meskipun terasa sulit, bukankah kita terus mendaki?  ketika mendaki saya bisa mematrikan pada diri saya bahwa seperti inilah hidup. Selalu dihadapi dengan rupa permukaan yang tak selalu sama. Bahkan pemukaan datar hanya sesekali ditemui, selebihnya adalah tanjakan dengan akar atau bebatuan. Meskipun terasa sulit, bukankah kita terus mendaki? Ya, karena kita sudah mengetahui apa tujuan kita untuk mendaki.

Kita paham benar, sesampainya kita pada ‘posko’ yang kita inginkan, semua usaha yang kita lakukan sangat kita syukuri.  Selalu ada canda tawa juga kutukan- kutukan kecil selama perjalanan. Bukan masalah, bukankah kita memang memiliki warna yang beraneka?

Akan selalu ada perjalanan – perjalanan kecil dalam perjalanan besar. Mencari kebenaran didalam kebenaran. Mencari jalan keluar dalam ketersesatan. Mencari tujuan dalam sebuah asa. Perjalanan yang membuat kita tak harus menggunakan beragam “topeng”.
  

“  Setiap kita terlahir dengan segala kelebihan pun kekurangan yang disebut dengan Anugerah. Tidak ada daun yang tidak berlubang. Sekalipun telah diberi obat anti kuman. Tidak ada seorang pun yang sempurna, karena Tuhan telah memberinya banyak hal untuk disyukuri dan tidak memberinya banyak hal untuk dipelajari“

Setiap menolong persalinan, hal pertama yang dinilai setelah bayi lahir adalah nafasnya. Jika bayi bernafas dengan baik maka penilaian berikutnya langsung tertuju pada kelengkapan tubuhnya. Biasanya bidan atau dokter kandungan akan berteriak “ lengkap” sebagai tanda bahwa tidak ada kecacatan fisik dari bayi tersebut. Dan semua ibu akan mengucap syukur ketika kata "lengkap" teredengar usai persalinan.

Seorang ibu merupakan ‘Petugas Pemerhati Kesehatan’ terbaik untuk buah hatinya. Semenjak lahir didunia, seorang ibu akan paham benar terhadap tiap perkembangan yang bayinya alami. Mulai dari waktu buang air kecil, buang air besar, cara tertawa, cara menyusu, pertanda kenyang, pertanda lapar, dan aneka cara lainnya yang hanya seorang ibu yang mengerti tanda yang bayinya berikan, mungkin hanya seorang ibu yang akan paham dengan aneka signal tersebut.

Ibu Sumi, seorang guru sekolah dasar yang sudah mengabdi dalam hitungan tahun yang tak singkat. Merupakan salah seorang ibu yang dikaruniai seorang anak dengan ‘kekurangan’ yang membuatnya memiliki ‘ kelebihan’.

Anis, bayi mungil yang sudah disadarinya tidak seperti bayi kebanyakan. Sedari kecil, ketika Bu Sumi memberikan mainan  berbunyi yang biasa disebut dengan “ krecekan”, Bu Sumi mulai menyadari bahwa Anis bukan bayi biasa. Karena ketika memainkan “ krecekan”, Bu Sumi tidak mendapatkan respon seorang bayi normal yang seharusnya seolah mencari sumber suara. Hal tersebut sudah dilakukan berulang kali. Namun Anis tetap tidak merespon keberadaan sumber bunyi yang berada tepat disamping telingganya.

“ Saya sudah mennyadari hal tersebut sejak Anis masih bayi. Saya selalu mencoba merangsang pendengaran juga penglihatan Anis dengan beberapa permainan. Tetapi tetap saja saya tidak mendapatkan hasil yang saya harapkan. Sampai Anis mulai beranjak menjadi balita. Saya semakin yakin bahwa Anis memang tidak bisa mendengar juga melihat dengan baik. Apa lagi dengan kondisi matanya yang sebelah kanan tidak sempurna. Kata dokter, terdapat katarak pada mata Anis. Dan Anis didiagnosa sebagai anak idiot”

Sungguh luar biasa ketegaran yang Bu Sumi miliki. Menerima kabar dari seorang dokter yang dengan tegas mengatakan bahwa anaknya ‘idiot’! Betapa pemilihan kata yang sangat menghujam hati seorang ibu. Meski begitu, hal tersebut sebuah kenyataan yang harus diterima.

Malaikat tak bersayap, itulah seorang Ibu. Bu sumi tidak serta merta membiarkan Anis menjadi ‘beban’ dalam hidupnya. Meski kini mereka hanya tinggal berdua, Anis tumbuh menjadi remaja yang mandiri juga spesial. Setidaknya untuk dirinya sendiri. Meski memiliki keterbatasan, Anis mampu melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah sama sekali dilatih oleh Bu Sumi.

“ Saya juga sering terkaget- kaget kalau Anis melakukan hal –hal yang menurut saya luar biasa. Suatu hari saya melihat dia dialam kamar mandi sedang berusaha mencuci pakaian. Meski memang lebih lama dari saya ketika saya mencuci. Pernah juga suatu sore dia memasak air untuk saya mandi. Bahkan yang lebih mengagetkan saya, dia mampu menyetrika meski lebih lama, namun apa yang dia kerjakan cukup rapih. Anis benar- benar membuat saya bersyukur. Meski dokter mengatakan bahwa  dia ‘idiot’, ia tetap mampu menciptakan sebuah kebanggan untuk saya.”

“ Halo Anis anak manis, apa kabar?”

Sapa saya ketika berkunjung diawal bulan november. Tidak ada jawaban lugas yang keluar dari mulitnya kecuali suara seperti ‘erangan’ kecil serta senyum dipipinya. Kemudian ia langsung menjulurkan kedua tangannya untuk meraih tangan saya, lantas diciumnya punggung tangan kanan saya.

Tiba- tiba Anis mengarahkan kameranya seolah meminta saya untuk bergaya, saya pikir itu sekadar ‘mainan’ semata. Tetapi saya salah! Dia benar-benar membidik gambar saya. Dan hasilnya! Tepat! Saya pikir kebetulan, saya memintanya untuk memoto saya lagi, berulang kali. Dan hasilnya sama. Jujur saya terharu melihat sosok Anis pada siang itu, terlebih lagi ketika dia beranjak dari duduknya lantas masuk kedalam kamar, kemudian datang kepada saya dengan membawakan beberapa album foto bergambar dirinya, Bu Sumi dan banyak orang lainnya yang menjadi objek kameranya.

“ semua foto itu Anis yang moto loh Mbak Fe. Ibu juga awalnya kaget melihat Anis bisa seperti itu, tetapi melihat Anis menyukai kegiatan barunya, Ibu jadi mendukung. Ia sering merengek untuk mencetak hasil memotonya. Makanya semuanya Ibu cetak dan Ibu belikan album. Sering, sebelum Ibu berangkat mengajar, Anis meminta Ibu untuk menjadi objek fotonya. Makanya banyak sekali foto Ibu disana “ ujar Bu Sumi dengan nada penuh suka ketika menceritakan anaknya.

Lantas berbincang – bincang dengan Bu Sumi tentang pertumbunan Anis. Didapat sebuah cerita bahwa Anis pernah disekolahkan di SLB meski hanya bertahan beberapa bulan. Karena disana Anis lebih suka menyendiri, sehingga membuat petugasnya kualahan untuk memantau aktifitas Anis. Hingga pernah suatu hari, Anis ditemukan tengah menggunting rambutnya. Sehingga Bu Sumi memutuskan untuk membawa Anis kembali kerumah. Selain pertimbangan keamanan dan kenyamanan Anis, Bu Sumi tidak tega berjauhan dengan puterinya. Karena letak SLB cukup jauh dari rumah. Sehingga Bu Sumi hanya bisa mengunjungi anis tiap akhir pekan.

“ Saya tidak melihat Anis sebagai anak ‘idoit’ Bu. Bukan untuk menyenangkan hati Ibu, bukan! Tetapi Anis benar- benar tidak menapakan tanda- tanda bahwa ia ‘idiot’. Yang saya lihat, secara kemampuan Anis memiliki kemampuan yang sama dengan anak lainya, padahal tanpa Ibu latih atau beritahu. Kemampuan ‘mencontoh’ Anis bisa saya bilang tidak jauh berbeda dari anak lain. Hanya saja,memang Anis dibatasi oleh pendengaran dan penglihatan yang tak seperti biasa. Anis bukannya tidak bisa berbicara, tetapi karena Anis tidak bisa mendengar, hal tersebut yang membuat Anis tidak bisa berbicara. Karena tahap awal untuk bisa berbicara adalah mendengar. Mendengar apa yang sekelilingnya ucapkan.”

“ Ia Mbak Fe,  Ibu juga tidak tahu harus bagaimana ketika Anis dikatakan sebagai anak idiot. Ya, ibu terima saja. Pernah ibu membawa Anis ke dokter spesialis mata untuk konsultasi penglihatanya, dan dokter mengatakan bahwa mata Anis katarak. Memang, ibu juga melihat bahwa ada selaput putih dimata Anis. Dokter menyarankan untuk dioperasi. Ibu dilema. Ibu takut kalau Anis kenapa- kenapa. “

“ Ibu, tidak ada kata terlambat. Saya tidak bermaksud untuk mengajari atau menggurui Ibu. Anis anak yang pintar. Lihat saja ‘karya’ dan kemampuannya! Dia sangat menyukai photography, Anis memiliki keinginan juga kemampuan yang luar biasa. Ibu harus bersemangat untuk meminimalisir kekurangannya. Anis baru 15 tahun. Tidak ada salahnya kita membantu Anis untuk bisa hidup lebih luar biasa lagi. Untuk mata, operasi katarak itu sedikit sekali efek juga kegagalannya. Dokter pasti akan mempertimbangkan banyak hal. Jika menurut dokter Anis boleh melakukan operasi katarak, itu berarti memang tidak membahayakan Anis. Dan untuk pendengaran, bisa kita konsultasikan lagi dengan dokter THT. Siapa tahu, dengan dibantu alat dengar, Anis perlahan bisa mendengar dengan lebih baik. Sehingga dengan Anis mampu mendengar juga bisa kita latih untuk berbicara. Memang Bu, semua tidak mudah dan tidak langsung menunjukan hasil. Tetapi tidak ada salahnya kita mencoba untuk Anis. Saya sangat terharu juga bangga terhadap perjuangan Ibu seorang diri untuk merawat dan membahagiakan Anis. Membuat Anis menjadi anak dengan banyak ‘kelebihan’.



Tosari, 2012
Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ▼  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ▼  Januari ( 5 )
      • Tuhan dan hati
      • Sekolah
      • Perempuan
      • Dialog Malam
      • Dia, Anis
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes