Sekolah
Pada seorang bocah perempuan yang
tengah putus sekolah saya berani mengatakan “ Eka, boleh orang tua kita hanya
seorang petani atau apapun pekerjaannya, tapi kita sebagai anak harus memiliki
tekad dan mimpi yang lebih dari orang tua kita. Berapapun banyak harta atau
tegal yang orang tua punya sekarang, masih bisa habis suatu saat. Tapi
kemampuan, mimpi, juga semangat kita ndak
akan habis. Apapun yang terjadi,
kamu harus lanjutin sekolah kamu.” Bisa jadi saya terlalu terbawa emosi hingga
mata berkaca- kaca pun ketika saya melihat kedua orang tua Eka yang tak lagi
muda.
Eka, bocah berusia dua belas
tahun yang sudah putus sekolah sekitar tiga tahun yang lalu ketika ia masih
duduk dibangku kelas tiga SD. Untuk masyarakat tengger, biaya bukan faktor
utama seorang anak tidak mau sekolah atau melanjutkan sekolah. Saya kaget
ketika mendengar penjelasannya ketika dia memutuskan untuk berhenti sekolah.
“ Saya ndak mau sekolah, Kak”
“ Ha? Kenapa?” tanya saya penuh
tanda tanya
“ Ndak apa “ jawabnya pelan dengan air muka cukup masam
“ Loh? “
“ Itu Bu, dia sering digangguin
sama temennya disekolah. Jadi dia gak mau sekolah lagi “ jelas Ibunya pada
saya.
Saya pandangi eka dengan
pandangan iba, mulai mendalami apa yang sebenarnya terjadi. Lantas dengan tegas
saya mengatakan “ Eka harus sekolah lagi! Kalau ada yang ganggu eka, lapor ke
guru atau kepala sekolah agar anak yang nakal bisa ditindaklanjuti. Agar ndak mengganggu anak- anak yang lain”
“ Iya Bu, saya juga ingin anak
saya sekolah lagi “ tambah Ibu Rima, ibunda eka.
Kali ini saya mepelajari tentang
fungsi “ figure atau tokoh atau contoh “ juga tentang motivasi. Banyak sekali
anak- anak yang berpotensi akan kemampuan pikiran a.k.a kecerdasan yang
harusnya bisa diarahkan dengan tepat sehingga menghasilkan sumber daya manusia
yang tepat guna. Namun sayang, ketika saya melakukan banyak kegiatan disini
harus melihat banyak remaja perempuan maupun laki- laki tengah menguras otot
mereka untuk menanam kentang ataupun bawang.
Tentu ini sangat miris! Terlebih
lagi saya harus menemui banyak perempuan berstatus IBU dengan usia dibawah 18
Tahun. Lagi –lagi saya harus terbawa emosi saya ketika melihat ‘pemandangan
ini’.
Buat saya, ini adalah masalah.
Tetapi bagi mereka? Mereka, para perempuan muda merasa sudah bahagia hidup
dengan pernikahan muda.
“ Saya ndak disuruh orangtua saya kok Kak. Ini memang mau saya “ ucap deni
seorang Ibu berusia delapan belas tahun yang sudah 42 hari resmi menjadi ibu.
“ Iya Bu, ASI nya dikit. Jadi
kami tambah dengan susu kotak” ucap suaminya
“ Mas tahu kenapa ASI nya dikit?”
tanya saya singkat
“ Ndak”
“ Karena isteri mas masih terlalu muda “ ujar saya
Melihat fisik Deni, dengan kantung
mata panda, konjungtiva yang pucat, tekanan darah yang rendah! Saya hanya bisa
menyarankan suami untuk datang ke puskesmas mengambil vitamin yang saya
sediakan guna membantu memulihkan kondisi deni.
“ Iya Mbak, saya pikir juga
begitu. Memang remaja disini kekurangan contoh teladan “ ujar Pak Ustad Warno
yang juga menikahi isterinya Utari pada usia delapan belas tahun.
“ Iya, saya lihat mereka ( remaja
putus sekolah ) bukan terhalang karena masalah biaya, tapi mereka pikir buat
apa sekolah tinggi- tinggi kalau pada akhirnya akan kembali menjadi petani.
Atau, dengan apa yang orangtua mereka miliki seperti rumah bagus, kendaraan
bagus, dan aneka fasilitas yang dimiliki hasil dari bertani sudah lebih dari
cukup. Mungkin bukan masalah untuk keluarga atau pun si anak, tetapi kita juga
harus tahu, ketika anak memiliki potensi yang lebih daru sekadar hanya menjadi
petani, gak ada salahnya untuk membuat sejarah dalam keluarganya. Saya sangat
menyayangkan sekali, banyak remaja yang cerdas, yang seharusnya bisa menjadi
dokter, guru, atau bahkan camat yang kelak bisa membangun daerah tengger
menjadi lebih maju lagi. Ndak perlu nunggu- nunggu kiriman guru atau dokter
dari daerah lain “. Ujar saya penuh semangat pada seorang sarjana namun kini
menjadi petani ditegal kentangnya.
Saya berpikir keras tentang hal
ini, tentang bagaimana caranya membuat remaja disini memiliki pola pikir yang
berbeda dari yang dahulu. Saya ingin mereka juga memiliki keinginan untuk tetap
bersekolah. Apa saya terlalu memaksakan kehendak saya padahal mereka sendiri
tidak membutuhkan atau menganggap itu penting?
Yang pasti, saya mulai mengajak “
adik –adik “ di delapan desa ini untuk belajar bersama di rumah dinas kami.
Saya dan rekan lainya mulai merancang konsep belajar yang tidak memberatkan
mereka. Tidak hanya pelajaran sekolah, tetapi juga tentang kesehatan reproduksi
remaja, tentang pergaulan juga tentang impian.
Sederhana yang kami inginkan,
mereka mampu menciptakan mimpi juga semangat untuk melakukan perubahan. Bukan
untuk orang lain, tetapi untuk diri mereka sendiri, untuk masa depan mereka
sebagai generasi suku tengger.
“ Perubahan bukan kata sifat, melainkan kata kerja. Meski dasarnya
adalah kata sifat. Namun imbuhan memberinya makna lain. Sejatinya, tidak ada
perubahan tanpa sesuatu yang dikorbankan termasuk waktu juga kebiasaan. Karena
sejatinya, Tuhan menciptakan waktu yang tidak bisa kembali. Karena Tuhan hanya
menginginkan kita untuk selalu maju, melangkah terus dan mencondongkan
pandangan ke depan. Perubahan adalah tentang bagaimana kita bisa belajar pada
masa lalu kemudian menyerap energi positive dan menerapkan pada kehidupan
sekarang “
0 komentar :
Posting Komentar