Perempuan


Perempuan, yang dahulu hanya berkutik dengan tiga tugas pokok yakni masak, dapur, kasur. Tetapi tidak untuk jaman sekarang yang sudah terkenal dengan ‘emansipasi perempuan’. Saya tidak menyebut wanita dalam hal ini, karena bagi saya kata ‘ perempuan’ lebih memiliki nilai essensial didalamnya.

Kini, saya menemukan ‘praktik’ emansipasi perempuan di sebuah kecamatan yang bernama Tosari. Kecamatan  yang terdiri dari delapan desa. Tidak jauh berbeda pada tiap desa tersebut, karena mereka sudah terbiasa hidup dengan ‘pembagian’ tugas yang merata.

Di awal, melihat kehidupan disini, saya sempat berpikir apakah perempuan di wilayah ini masih ‘ diperbudak’ oleh tradisi? Nyatanya, saya menemukan hal lain!

Sepanjang jalan menuju desa wonokoyo, saya melihat beberapa perempuan tengah berjalan dengan beban di atas kepala, pundak juga kedua tangannya. Sekelompok perempuan itu tengah membawa pulang rumput sebagai bahan makanan hewan ternak mereka juga tumpukan kayu bakar guna mengepulkan dapur mereka.
 Saya hanya mampu menggelengkan kepala. Sempat terpikir oleh saya, kemana para lelaki yang berstatus suami mereka? Karena rasa penasaran saya, saya memberanikan bertanya pada salah satu petugas sesepuh di puskesmas yang juga paham benar terhadapa masyarakat suku tengger ini.

Menurut Pak Darto, masyarakat tengger sudah terbiasa dengan pola saling membantu antara suami dan isteri apapun pekerjaan yang tengah dilakoni. Tanpa harus mempertimbangkan apakah itu tugas suami atau isteri. Misalnya, ketika sang isteri tengah mengambil makanan untuk ternak mereka, biasanya sang suami tengah menggemburkan tanah dikebun atau sedang menanam kentang dan aneka sayur lainnya. Ketika itu saya mulai mengerti.

Lantas saya temui hal sepele  namun bermakna sekali, seperti seorang suami yang tidak harus mengedepankan rasa malu ketika harus mencuci pakaian dan membersihakan kamar mandi pada hari minggu yang kebetulan sepasang suami isteri ini adalah seorang pegawai negeri sipil dengan berprofesi sebagai seorang guru.

Saya bertanya pada sang suami “ Pak made ndak  malu kalau mengerjakan pekerjaan perempuan?” tanya saya dengan nada setengah bercanda.

“ Ah nak, kenapa harus malu? Sudah harusnya suami isteri itu saling berbagi kan? Termasuk berbagi pekerjaan. Hehehe” jawab Pak Made disambung dengan nada tawa

Lain hal ketika saya kembali ‘mengintip’ emansipasi di desa lain, desa mororejo yang kebetulan terpilih menjadi desa pertama pelaksanaan program pemetaan kesehatan keluarga. Berawal dari seorang kader yang memberi usul agar pelaksanaan tidak dilakukan dipagi hari karena akan bersamaan dengan waktu mereka ‘ngarit atau macul ke tegal ‘.

Tegal merupakan sebutan untuk ladang atau tempat berkebun mereka. ‘Macul’ adalah kegiatan menggemburkan tanah dan membersihkannya dari rerumputan sedangkan ‘ngarit’ adalah memotong rumput dengan celurit untuk menjadi bahan makanan ternak. 

Atau seperti yang kader saya katakan ketika kami dalam perjalanan pulang usai melakukan pemetaan di RT 05, Bu Iwa mengatakan bahwa “ saya sangat bersyukur punya suami macam suami saya. Ndak  pernah melarang kegiatan saya diluar rumah yang berhubungan dengan masyarakat. Malah ya mbak Fe, pernah saya seharian ada acara kader yang pulangnya sampe malem. Eh sampe rumah, suami saya sudah masak jadi saya tinggal makan. Hehe”

Mendengar penuturannya, saya mencoba bertanya lebih lanjut “ Oh begitu ya bu. Beruntung sekali ya. Hehehe. Kalau disini memang kebanyakan para suami sudah biasa saja ya kalau berbagi tugas dengan isterinya?”

“ Iya kebanyakan, tapi masih ada juga sih mba yang masih ngerasa malu kalau ngelakoni kerjaan isteri. Katanya itu kan pekerjaan perempuan. Tapi alhamdulilah tinggal sedikit yang masih begitu”. Ujarnya
Juga dalam partisipasi perempuan dalam hak untuk berpolitik. Di beberapa desa di kecamatan tosari terdapat beberapa kepala desanya adalah seorang perempuan. Disini, saya mulai melihat bahwa paradigma kuno tentang perempuan mulai bergeser kearah yg lebih baik. Kesetaraan gender membawa angin segar untuk kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Bawasannya, perempuan sudah memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan meningkatkan taraf hidupnya.

Masyarakat desa yang buta dengan istilah ‘emansipasi perempuan’ tetapi sudah lebih dahulu mempraktikannya. Kadang, orang kota terlampau pintar berteori hingga terlalu rumit melakoninya. Kadang, yang menjadi masalah bagi orang kota, bukan masalah untuk masyarakat disini. Saya menjadi banyak belajar dari mereka. Dari kehidupan yang mereka jalani tanpa harus memikirkan bagaimana cara mengubah langit menjadi warna lain. Bagi mereka, warna jingga pada pagi, warna biru pada siang, warna kelabu pada hujan, warna hita pada malam sudah menjadi cukup.

Share this:

0 komentar :