Dialog Malam


 “ Lampu- lampu yang nampak tersusun rapi, berbaris tanpa aba-aba. Dengan latar langit berwarna hitam pekat dan perlahan mulai disisipi oleh jingga. “

“ Itu kota Malang, sebelah sana Surabaya.” Jelasnya

Mendengar namun pandangan tak beralih sedikitpun. Menatap sebuah lukisan Tuhan Maha Indah, menciptakan sebuah rasa yang banyak disebut mereka sebagai bahagia. Rasa bahagia berasal dari kemampuan kita untuk membangunkan rasa syukur yang selama ini bersemayam didalam hati. Sederhana, karena banyak alasan yang bisa membuat kita bersyukur.

 Saya sangat mencintai alam, “Pecinta Alam?”

Sedari kecil, saya senang sekali duduk di gorong-gorong depan rumah sekadar menunggu matahari tenggelam, meski yang saya lihat hanya sisa- sisa jingga juga mega merahnya. Atau ketika musim capung, saya akan berlari kesana kemari untuk menangkap mereka. Meski kadang saya tidak mendapatkan salah satu dari mereka.

Lekat sekali dalam ingatan, saya pernah melihat dari jendela rumah warna langit yang begitu indah. Langit biru yang mendapat pancaran ssinar matahari berwarna kuning keemasan dengan sinar bergaris- garis seolah tersebar keseluruh permukaan langit. Ah, sayangnya belum kumiliki alat perekan gambar,saat itu.
Banyak yang bertanya, kenapa saya menyukai pantai, juga gunung? Apa saya terlalu melankolis? Hahaha.

Jujur saja! Saya pun tidak mempunyai jawaban yang lugas. Saya menyukai keduanya karena saya mendapatkan diri saya disana. Ketika ke pantai, saya mampu menyelami diri saya atas segala kekurangan, saya belum bisa berenang dengan baik sehingga saya hanya berani berenang jika menggunakan pelampung. Saya menyukai pasir putih sehingga saya meletakan tubuh saya diatasnya, dengan  begitu saya juga bisa menikmati hamparan langit biru. Saya menyukai air sehingga saya membiarkan kaki saya diseret oleh ombak ke pinggiran. Disana, saya cukup menuruti apa yang saya inginkan.

Dan gunung, meski lelah juga dingin. Saya selalu berkeinginan untuk mendaki, mendaki, juga mendaki. Membayangkan hamparan rumput mulai menguning, langit bertabur bintang, angin penuh kesejukan, kesederhanaan dan ketidak berdayaan. Ah Tuhan! Saya hampir kehabisan huruf untuk dirangkai menjelaskan tentang sebuah perjalanan penuh makna, setidaknya untuk saya. Dalam setiap perjalanan mendaki, saya selalu mempunyai banyak waktu untuk berbicara dengan diri senddiri. Tentang ego, tentang mimpi, tentang kesalahan, tentang semua hal yang memenuhi otak saya.

Pada ujung rasa ketika saya sudah tidak mampu untuk menahan ‘suara’, maka saya akan memutuskan untuk mengepak segenap perlatan untuk mendaki. Mendaki memang sebuah perjalanan terbaik untuk saya dibandingkan pantai. Meski keduanya saya sukai,karena ketika mendaki saya bisa mematrikan pada diri saya bahwa seperti inilah hidup. Selalu dihadapi dengan rupa permukaan yang tak selalu sama. Bahkan pemukaan datar hanya sesekali ditemui, selebihnya adalah tanjakan dengan akar atau bebatuan. Meskipun terasa sulit, bukankah kita terus mendaki?  ketika mendaki saya bisa mematrikan pada diri saya bahwa seperti inilah hidup. Selalu dihadapi dengan rupa permukaan yang tak selalu sama. Bahkan pemukaan datar hanya sesekali ditemui, selebihnya adalah tanjakan dengan akar atau bebatuan. Meskipun terasa sulit, bukankah kita terus mendaki? Ya, karena kita sudah mengetahui apa tujuan kita untuk mendaki.

Kita paham benar, sesampainya kita pada ‘posko’ yang kita inginkan, semua usaha yang kita lakukan sangat kita syukuri.  Selalu ada canda tawa juga kutukan- kutukan kecil selama perjalanan. Bukan masalah, bukankah kita memang memiliki warna yang beraneka?

Akan selalu ada perjalanan – perjalanan kecil dalam perjalanan besar. Mencari kebenaran didalam kebenaran. Mencari jalan keluar dalam ketersesatan. Mencari tujuan dalam sebuah asa. Perjalanan yang membuat kita tak harus menggunakan beragam “topeng”.
  

Share this:

0 komentar :