TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for April 2013
Dewasa itu ketika menghadapi masalah layaknya menanti badai usai sambil berdoa atau bahkan bersenandung..

Tidak jarang, masalah datang begitu saja. Terkecil ia berwujud masalah yang muncul didalam pikiran sewaktu-waktu. Seperti sore ini, tetiba memikirkan bisnis apa yang tepat untuk mengisi waktu luang sepasang suami-isteri yang beranjak menjadi lanjut usia. Sepasang suami isteri mulai layu dimakan waktu, dengan melihat putera - puterinya kian dewasa namun belum juga menggenapkan separuh dien. Jelas  saja ini menjadi bahan pikiran bagi mereka. Rumah kian sepi, dan status mereka belum sebagai kakek- nenek.

Adanya kecanggihan telephone genggam membuat banyak hal menjadi lebih mudah. Membuat group diskusi yang beranggotakan kakak-adik. Tiap hari saling sapa, saling menanyakan kabar, saling bertukar informasi tak jarang bertukar cerita yang berakhir di malam hari. Raga kita memang jauh, namun tidak mampu dipungkiri, hati kita tetap dekat..

Sore ini, kita masih melakukan hal sederhana. Yakni saling mendengar, saling memberi pendapat. Kadang ada emosi, kadang ada tawa. Kita menjadi dewasa dengan sudut pandang yg beraneka. Kita semakin rindu dengan diskusi tanpa perantara.

Adik lelaki yang saya banggakan itu menuliskan pesan seperti ini " Jangan khawatir. Beri rasa percaya dan dukungan pada saya, maka saya akan buktikan bahwa saya bisa. Jangan melihat sisi hitam saya, tetapi pandanglah sisi putih meski masih samar "

Dahulu,Adik lelaki saya tidak lebih dari anak bungsu yang manja, tampan, manutan. Lihat kini, ia tumbuh menjadi lelaki dewasa yang penuh emosi, penuh pertimbangan, ia diturunkan sikap kerja keras oleh Bapak kami. Lelaki yang kini menikmati hari tuanya dengan menjadi petani, dan tengah merengek kepada saya meminta diizinkan untuk bersepeda. Ah, Pak! Bermanjalah dengan anak gadismu yang masih rindu dekapanmu..

Dan tentang bisnis, sedang direncanakan sebuah bisnis yang kelak akan membuat hari tua sepasang suami-isteri sangat menikmati hari tua mereka. Semoga..

"Teori tidak melulu berisi tentang idealisme, melainkan tentang realitas yang memang akan kita temui" 
Bahkan Hujan turun dari langit untuk berpulang ke kampung halaman, Tanah..

Ketika ada banyak orang diluar sana yang hidup namun tidak memikirkan hidupnya, maka jangan menaruh harapan mereka akan memikirkan hidup orang lain. Menjadi tontonan dimuka saat kita sebagai subjek yang karib sekali dengan realita. Seolah membandingkan dua sisi mata uang ketika kita melemparkan dua realitas yang berbanding terbalik. Tetapi bukankah itu yang kita sebut dengan kehidupan? berlomba - lomba atas apa yang dimiliki oleh orang lain.

Semakin dewasa memandang kehidupan, semakin mengerti mengapa masih banyak kasus pembunuhan, perampokan, dan aneka kriminal lainya. Bahkan sudah tidak lagi mengaitkan hubungan darah ketika melayangkan kejahatan. Semua itu masih terjadi karena, kita sudah mematikan sikap peduli dengan sesama. Sudah tidak lagi ada rasa empati terhadap apa yang terjadi disekeliling kita.

Bukankah ketika kita memiliki tetangga yang kelaparan, kita memiliki tanggungjawab untuk membuat perutnya sekenyang perut kita? minimal seperti itu. Tidak juga berlebihan seperti " ketika kita punya mobil, kita bertanggungjawab memberi mobil untuknya" . Bukan! bukan begitu.

Saya sempat iri pada salah seorang rekan dalam satu gerakan yang begitu mencintai kampung halaman meski kampung halamannya kadang membuat dia sesak juga jengah. Tetapi niat tulus untuk kembali ke kampung halaman demi mengabdikan diri tetap terpatri dihatinya. Saat itu juga, saya tengok ke dalam hati saya. Belum ada niat yang serupa. Bukan karena tidak mencintai kampung halaman, hanya saja, orang bermodal niat dan semangat memupuk kemampuan seperti saya masih dipandang tidak lebih dari benalu, tetap saja yang akan berkuasa adalah mereka yang memiliki rupiah dengan jumlah yang mungkin tidak saya miliki. Yang kemudian, ketika sudah mendapati seragam mereka akan bekerja sesuka hati.

Saya memimpikan perubahan yang saya mulai dari negara terkecil dalam hidup yakni keluarga. Dan mimpi itu perlahan terwujud. Kini, saya tengah membuat mimpi yang juga kecil untuk kampung halaman. Desa dimana saya dilahirkan, tumbuh menjadi remaja dan selalu menantikan saya pulang dengan kedewasaan.

Kampung yang menjadi pusat kota namun masiih jauh tertinggal. Jelas! tidak hanya karena ulah pemimpin yang tidak tau diri. Beruntung dia sebagai pendatang diterima dengan mudah menjadi pemimpin daerah, namun bisa- bisanya dia mencuri harta rakyat untuk dirinya sendiri. Wajar saja dia dideportasi oleh kampung halaman saya.

Kita itu hidup bukan hanya mencari faktor yang akan mencukupkan diri, tetapi juga mencari faktor mengapa kita harus mencukupkan orang lain.

Dan kini, saya mulai menanam mimpi- mimpi itu. Untuk pulang ke kampung halaman. Sekadar berbagi cerita tentang bagaimana saya berjuang di kampung orang bukan untuk membuat saya sukses, tetapi untuk berbagi cerita dengan mereka bagaimana mereka yang pernah bertemu dengan saya bisa lebih sukses dalam definisi apapun.
" Mengertilah. Kamu cukup menghentikan semua yang tengah memenuhi kepala, berhenti untuk memanjakan kenangan "

Yang disebut dengan luka adalah lubang tak berbentuk dengan tepian hitam dan merah ditengahnya. Perlahan mulai mengering namun tidak sengaja ia jatuhkan air garam disana. 

Apakah berlaku janji dari sebuah harapan bahwa ia selalu ada disetiap celah? sekecil apapun? Jawaban atas pertanyaan itu mungkin IYA. Mungkin tidak berlaku untuk sebuah perjalanan dengan pengemudi yang tak lagi membutuhkan navigatornya, lebih tepatnya navigator lama yang sudah ditinggalkan didalam laci sebuah meja yg hampa.

Adakah penghapus yang mampu menghapus semua rekam atas perjalanan bersama? Adakah obat yang mampu menyembuhkan luka yang selalu menganga? Senantiasa terasa perihnya setiap waktu menyapa.

Tuhan, haruskah marah untuk semua ini?

Waktu kelak akan menyembuhkan. Namun melewati perjalanan dengan luka sedalam ini membuat air mata senantiasa menemani langkah. Selalu saja ada nafas dengan beban yang tidak mungkin bisa ditinggalkan.


Bisa saja membalasnya dengan banyak hal, sayangnya kejahatan tidak bersahabat dengan pemilik luka. Niat buruk dan bisikan setan selalu aja redam oleh naluri. 

Lalu bisa apa?
Bukankah janji sudah lekang oleh ingkar?
Bukankah harapan sudah kandas oleh kepergian?

Hidup memang bukan sebatas aku atau kamu! Tapi kamu sudah membuat hidup berbatas. Berbatas pada kenangan yang selalu mengikuti. Kamu sudah membatasi impian yang dulu mampu direka seluas langit.  Kita sudah membangun nisan diatas kenyataan.

Tetapi, tetap saja tangan ini tidak mampu melepas genggaman. Tetap berbicara tentang segala nilai mu, tentang amal mu. Tetap saja meminta pada Tuhan agar Ia menjaga mu. Tetap saja meminta pada Tuhan untuk menuntun mu kembali, pulang.


Tosari, 29 April 2013



# Ibu Ratna, 

Bidadari tidak selalu turun dari kayangan dengan membawa selendang bewarna, tetapi juga seorang wanita yang datang dengan membawa pewarna untuk hidup, setidaknya hidup ku..

Kehidupan disini hanya memiliki beberapa ruang. Rumah - sekolah - tegal. Tidak ada ruang tempat aku untuk sekadar bermain kelereng apalagi bermain layang -layang. Aku sudah terbiasa menjadi murid yang pendiam di sekolah. Datang untuk mengikuti pelajaran, lantas pulang untuk kemudian menyusuri perbukitan mencari rumput dan kayu- kayu kering. Sudah menjadi kebiasaan ku membawa baju ganti didalam tas karung yang juga berisi beberapa buku tulis untuk menyalin tugas dan materi dari Ibu Ratna, satu-satunya guru yang memberi gambaran pada ku seperti apa seorang Ibu. 

Di desa ini, orang - orang dewasa memiliki kebiasaan mengenakan sarung dipunggung hingga ke dada dengan tujuan agar tidak dingin, sarung penolak angin. Awalnya, aku merasa aneh ketika melihat Mbah kekaweng sarung dibahunya. Namun rasa aneh itu sirna ketika aku melihat tetangga dan orang lain juga melakukan hal yang sama. Pernah aku mencoba kekaweng sarung ke bahu ku, tetapi sayangnya tubuh ku terlalu ringkih untuknya. Tetapi aku tidak pernah melihat Ibu Ratna kekaweng sarung dibahunya. Ibu Ratna salah satu standar wanita cantik bagi ku. Dengan kerudung cokelat yang selalu  Ia kenakan saat mengajar. Atau kerudung hijau yang membuatnya lebih muda.

Sejak mengenal Ibu Ratna, sejak itu pula aku memiliki batasan tentang kecantikan, tentang kelembutan, tentang Ibu juga tentang hidup. Sejak berbagi cerita dengannya, aku mulai memahami, bahwa hidup tidak hanya ada tiga ruang. Namun ada banyak ruang yang harus aku bangun didalam hidup ku.

Hidup itu memiliki komponen yang tidak hanya cair atau padat. Tetapi ada banyak macam komponen didalamnya. Wujud dari perpaduan, juga perpecahan. 
Aku, anak desa dengan segala batas. Memulai hari jauh sebelum matahari terbit. Jika di kota, anak seusia ku masih dalam dekapan selimut yang hangat, tidak untuk anak desa seperti aku. Sedari pukul empat pagi, aku sudah merebus air dan menyalakan kayu bakar untuk menghangatkan tubuh dalam pagi yang masih beku. Memulai pagi di desa ini selalu seperti ini. Standar yang entah oleh siapa dibuat dan menjadi rutinitas untuk semua orang di desa ini.

Aku hidup jauh dari kata layak. Hanya menjalani hari bersama wanita paruh baya yang aku panggil dengan panggilan " Mbah". Konon, ia menemukan aku dibalik kain bermotif bunga-bunga yang ditinggalkan oleh wanita yang melahirkan aku tanpa bantuan Bidan.

Aku masih berusia enam belas tahun. Masih berstatus sebagai siswa SMA Negeri di kecamatan ini.Itu pun hasil kerja keras menabung dari kelas tiga saat dibangku sekolah menengah pertama. Mbah sudah terlalu tua untuk sekedar mencari "suket".

Tidak ada yang istimewa dilain hari. Pagi dengan impian yang masih tertanam dalam dibalik bukit . Terkadang datang rasa iri pada anak-anak pipit yang sudah lihai kepakan sayap. Sementara aku, masih menjadi anak desa dengan segala batas. 
Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ▼  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ▼  April ( 5 )
      • Dialog Sore
      • Impian untuk Kampung Halaman
      • Berhenti
      • Anak " Suket"
      • Anak 'Suket'
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes