Anak " Suket"

# Ibu Ratna, 

Bidadari tidak selalu turun dari kayangan dengan membawa selendang bewarna, tetapi juga seorang wanita yang datang dengan membawa pewarna untuk hidup, setidaknya hidup ku..

Kehidupan disini hanya memiliki beberapa ruang. Rumah - sekolah - tegal. Tidak ada ruang tempat aku untuk sekadar bermain kelereng apalagi bermain layang -layang. Aku sudah terbiasa menjadi murid yang pendiam di sekolah. Datang untuk mengikuti pelajaran, lantas pulang untuk kemudian menyusuri perbukitan mencari rumput dan kayu- kayu kering. Sudah menjadi kebiasaan ku membawa baju ganti didalam tas karung yang juga berisi beberapa buku tulis untuk menyalin tugas dan materi dari Ibu Ratna, satu-satunya guru yang memberi gambaran pada ku seperti apa seorang Ibu. 

Di desa ini, orang - orang dewasa memiliki kebiasaan mengenakan sarung dipunggung hingga ke dada dengan tujuan agar tidak dingin, sarung penolak angin. Awalnya, aku merasa aneh ketika melihat Mbah kekaweng sarung dibahunya. Namun rasa aneh itu sirna ketika aku melihat tetangga dan orang lain juga melakukan hal yang sama. Pernah aku mencoba kekaweng sarung ke bahu ku, tetapi sayangnya tubuh ku terlalu ringkih untuknya. Tetapi aku tidak pernah melihat Ibu Ratna kekaweng sarung dibahunya. Ibu Ratna salah satu standar wanita cantik bagi ku. Dengan kerudung cokelat yang selalu  Ia kenakan saat mengajar. Atau kerudung hijau yang membuatnya lebih muda.

Sejak mengenal Ibu Ratna, sejak itu pula aku memiliki batasan tentang kecantikan, tentang kelembutan, tentang Ibu juga tentang hidup. Sejak berbagi cerita dengannya, aku mulai memahami, bahwa hidup tidak hanya ada tiga ruang. Namun ada banyak ruang yang harus aku bangun didalam hidup ku.

Hidup itu memiliki komponen yang tidak hanya cair atau padat. Tetapi ada banyak macam komponen didalamnya. Wujud dari perpaduan, juga perpecahan. 

Share this:

0 komentar :