Impian untuk Kampung Halaman

Bahkan Hujan turun dari langit untuk berpulang ke kampung halaman, Tanah..

Ketika ada banyak orang diluar sana yang hidup namun tidak memikirkan hidupnya, maka jangan menaruh harapan mereka akan memikirkan hidup orang lain. Menjadi tontonan dimuka saat kita sebagai subjek yang karib sekali dengan realita. Seolah membandingkan dua sisi mata uang ketika kita melemparkan dua realitas yang berbanding terbalik. Tetapi bukankah itu yang kita sebut dengan kehidupan? berlomba - lomba atas apa yang dimiliki oleh orang lain.

Semakin dewasa memandang kehidupan, semakin mengerti mengapa masih banyak kasus pembunuhan, perampokan, dan aneka kriminal lainya. Bahkan sudah tidak lagi mengaitkan hubungan darah ketika melayangkan kejahatan. Semua itu masih terjadi karena, kita sudah mematikan sikap peduli dengan sesama. Sudah tidak lagi ada rasa empati terhadap apa yang terjadi disekeliling kita.

Bukankah ketika kita memiliki tetangga yang kelaparan, kita memiliki tanggungjawab untuk membuat perutnya sekenyang perut kita? minimal seperti itu. Tidak juga berlebihan seperti " ketika kita punya mobil, kita bertanggungjawab memberi mobil untuknya" . Bukan! bukan begitu.

Saya sempat iri pada salah seorang rekan dalam satu gerakan yang begitu mencintai kampung halaman meski kampung halamannya kadang membuat dia sesak juga jengah. Tetapi niat tulus untuk kembali ke kampung halaman demi mengabdikan diri tetap terpatri dihatinya. Saat itu juga, saya tengok ke dalam hati saya. Belum ada niat yang serupa. Bukan karena tidak mencintai kampung halaman, hanya saja, orang bermodal niat dan semangat memupuk kemampuan seperti saya masih dipandang tidak lebih dari benalu, tetap saja yang akan berkuasa adalah mereka yang memiliki rupiah dengan jumlah yang mungkin tidak saya miliki. Yang kemudian, ketika sudah mendapati seragam mereka akan bekerja sesuka hati.

Saya memimpikan perubahan yang saya mulai dari negara terkecil dalam hidup yakni keluarga. Dan mimpi itu perlahan terwujud. Kini, saya tengah membuat mimpi yang juga kecil untuk kampung halaman. Desa dimana saya dilahirkan, tumbuh menjadi remaja dan selalu menantikan saya pulang dengan kedewasaan.

Kampung yang menjadi pusat kota namun masiih jauh tertinggal. Jelas! tidak hanya karena ulah pemimpin yang tidak tau diri. Beruntung dia sebagai pendatang diterima dengan mudah menjadi pemimpin daerah, namun bisa- bisanya dia mencuri harta rakyat untuk dirinya sendiri. Wajar saja dia dideportasi oleh kampung halaman saya.

Kita itu hidup bukan hanya mencari faktor yang akan mencukupkan diri, tetapi juga mencari faktor mengapa kita harus mencukupkan orang lain.

Dan kini, saya mulai menanam mimpi- mimpi itu. Untuk pulang ke kampung halaman. Sekadar berbagi cerita tentang bagaimana saya berjuang di kampung orang bukan untuk membuat saya sukses, tetapi untuk berbagi cerita dengan mereka bagaimana mereka yang pernah bertemu dengan saya bisa lebih sukses dalam definisi apapun.

Share this:

0 komentar :