Wujud Pembaharuan Bernama Toleransi

 


Sudah pasti Tuhan tidak ingin melihat kita saling berebut kebenaran,sebab hanya Tuhan maha mengetahui tentang kebenaran. Bahkan mungkin Tuhan sudah muak terhadap kita yang sering berlisan dan berpola paling suci..

Dalam hidup, kita memiliki tujuan yang (mungkin) sama meski berbeda bahasa.Tentang Tuhan,dzat yang kita yakini namun berbeda dalam bahasa pun cara kita beribadah padaNya. Dia yang satu,maha segalanya. Tidak ada diantara kita yang paling benar atau paling salah. Yang ada hanya asumsi kita terhadap apa yang kita lihat dan dengar.Sayangnya, keduanya hanya tipuan dari kecanggihan manusia modern,kita terlampau pintar dalam membuat “bualan” berwujud retorik.

Kita terlahir sebagai saudara sebangsa, terlepas dari apa agama yang kamu bawa saat hadir dimuka bumi. Menjalani hidup sebagai warga negara Indonesia yang baik tentu saja tidak akan pernah luput dari nilai yang selalu kita teriakan setiap Senin, saat upacara yakni Pancasila.

Kelima bulir pancasila yang wajib kita ketahui dan amalkan ; Ketuhanan yang maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, keadilan bagi seluruh rakyat indonesia. Dalam kelima bulir tersebut, sudah jelas bahwa kita harus saling menghormati meski kita berbeda keyakinan, berbeda suku dan sebagainya. Sebab, apapun perbedaan yang terdapat didalam diri kita,kembali pada bulir yang ketiga, Persatuan Indonesia. Di sana, kita bisa memahami dan membangun kedamaian di dalam keberagaman. Karena sekali lagi, kebenaran hanya ada pada Tuhan adalah harga mati.

Membaca karya Ahmad Wahib membuat saya teringat akan banyak pemikiran yang pernah ada dibenak saya. Tentang aneka protes terhadap peristiwa yang berkaitan dengan keragaman di negeri ini. Jujur saja, saya salah satu orang yang sangat mengecam perbuatan siapapun dia yang mengganggu orang lain untuk beribadah. Miris jika mendengar kabar terdapat rumah ibadah yang dirusak, dilempar bom, dan sebagainya oleh pihak yang mengaku sebagai pejuang Islam. Islam yang mana? Sedangkal pengetahuan saya, Allah SWT tidak pernah memerintahkan umatnya untuk bersikap seperti itu. Bahkan Nabi Muhammad SAW selalu bersikap baik dengan mereka yang tidak sama sekali percaya terhadap beliau,dan tetap menyebarluaskan agama Islam dengan cara yang santun. Lantas ajaran Islam yang mana yang diikuti oleh mereka-pelaku yang mengaku beragama Islam? Sikap seperti ini tentu sangat tidak baik, sebab perpecahan adalah hasil akhirnya. Kemudian saya terus belajar memahami tentang toleransi dengan benar. Toleransi yang sejak kecil ditanamkan oleh kedua orangtua juga guru di sekolah.

Saya pernah menikmati satu tahun kebersamaan dengan umat Hindu yang berada di lereng gunung Bromo. Di sana,banyak sekali tata cara hidup yang baru. Kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur membuat masyarakat Tosari begitu kental terhadap adat istiadat. Mulai dari kehidupan sehari-hari,seperti selalu membuat sesajen untuk diletakan di pintu masuk rumah, jendela, dapur, kamar mandi bahkan tempat-tempat umum seperti jalan raya, pasar, gapura dan sebagainya. Selain itu, hampir setiap bulan saya ikut meramaikan perayaan yang ada di sana. Seperti perayaan Kasadha, darma santi, lebaran karo, dan perayaan lainnya.

Saya hanyut terbawa suasana saat di sana,begitu menikmati kebersamaan saat bersama warga menuju punden ( pura kecil ) sekadar meletakkan sesajen, atau menyaksikan tarian bali dan sembahyang di pura. Saya juga menikmati lantunan darma santi anak-anak remaja yang kebetulan letak pura mereka berada tepat di belakang rumah dinas saya. Saya menikmati segala perbedaan ini, sangat. Memilik banyak saudara non biologis dengan segala perbedaan membuat saya lebih banyak belajar tentang hidup, tentang ketidaksamaan ini. Dan Saya semakin memahami tentang toleransi dan bagaimana merawatnya supaya ia lestari.

Dan kini, saya berada satu rumah dengan keluarga Christiani, keluarga yang begitu hangat, saling menjaga, saling menghormati.

Saat saya melalui bulan Ramadhan dan Syawal di tanah Papua, saya cukup berkecil hati karena sudah pasti saya akan melewatinya seorang diri tanpa sanak keluarga. Namun ternyata, saya keliru. Keluarga ini membuat saya lebih menikmati Ramadhan di sini. Hampir setiap hari,Ibu kost selalu membuatkan makanan  atau minuman pembuka puasa  untuk saya. Bahkan kami kerap bertukar masakan. Memang, harus saya akui bahwa saya yang memulainya. Ketika saya memasak, saya selalu membuat porsi lebih sebab saya ingin berbagi dengan mereka. Meski bisa jadi cita rasa masakan saya berbeda . Dan kebiasaan yang saya tanam akhirnya berbuah manis. Saat ini hubungan kami layaknya seperti keluarga sendiri.

Dan semakin membuat saya terharu ketika lebaran tiba.Tidak ada tradisi yang saya lakukan seperti saat saya bersama keluarga.Tidak ada rendang, opor, ketupat, kue lebaran dan serba serbi lebaran lainnya. Saya hanya di kamar persegi lengkap dengan laptop, air putih kemasan. Rekan kerja pun sudah di kampung mereka. Saat saya sedang menikmati lebaran seorang diri, putri sulung Ibu kost mengetuk pintu kamar saya dan meminta ikut turun ke ruang keluarga mereka.Ternyata, di sana sudah tertata manis dalam mangkuk besar ,ada opor ayam, ketupatk, es buah, sayur nangka dan keluarga Ibu kost tentunya. Dengan menahan haru, saya mendengarkan Bapak kost memimpin doa, beliau meminta izin pada saya untuk memimpin doa sesuai kepercayaan mereka sekaligus mempersilahkan saya berdoa menurut kepercayaan saya. Dipenghujung doa, air mata saya tumpah begitu saja. Ibu dan adik-adik memeluk saya sambil mengucapkan “ minal aidin mohon maaf lahir dan batin. Terimakasih sudah datang ke rumah kami, ke Papua dengan niat yang mulia “.   

Subhanallah, Alhamdulilah, tiada henti saya mengucap syukur pada Maha Kuasa atas anugerah ini, hati yang luas, pikiran yang jernih dan toleransi yang selaras. Hidup berdampingan dengan perbedaan itu manis dan tolerasi begitu sederhana, bukan?

Keindahan dari keragaman tidak bisa kita rasakan jika kita tidak mencoba membuka sedikit ruang untuk mereka. Selama toleransi itu tidak melebihi batas, maka dengan merawatnya kita bisa memiliki keharmonisan.Saya, begitu menyayangi keberagamaan di muka bumi ini. Bheninka Tunggal Ika,salah satu semboyan yang menjadi bagian dari prinsip hidup, selalu saya coba letakkan dalam setiap langkah dan lisan saya. Sebab sudut pandang yang keliru membuat perbedaan itu semacam “musuh” yang harus dimusnahkan. Padahal ia bisa menjadi “teman” yang asyik diajak jalan bersama,bergandengan,semakin membuat kita mensykuri kehidupan ini.

Tuhan yang saya yakini,tidak pernah memerintahkan saya untuk menanam kebencian, mengukir luka, memasang jarak dengan mereka yang memiliki kepercayaan lain. Sebab dakwah terbaik adalah dengan teladan. Dan bahasa terindah dalam perbedaan adalah kebaikan. Lakum Diinukum waliyadiin

Setiap orang tentu saja memiliki keyakinan terhadap segala sesuatu yang dinilai dengan hati nurani-kenyamanan, sebab hanya di hati nurani kebenaran bersarang.


 

Share this:

0 komentar :