14 Days Overland NTT ( Part Labuan Bajo)
Tulisan terakhir saya tentang
explore NTT masih bersambung. Menuliskan keseruan yang sudah berlalu memang
memiliki cita rasa sendiri. Dan kali ini saya akan bercerita tentang jelajah
Labuan Bajo, destinasi wisata yang cukup terkenal di kalangan turis lokal
bahkan manca negara. Apa istimewanya?
Tunggu dulu, saya akan
menceritakannya mulai dari jalan kanan yang kami pilih setelah turun dari
Kampung Adat Wae Rebo.
Kekurangan perjalanan saya kali
ini adalah kamera yang kurang ready dan
kalau tidak salah, pada saat itu saya yang mengendarai sepeda motor, sehingga
saya luput dalam dokumentasi. Padahal rupa jalan yang kami lewati sangat
ekstrem, karena tidak hanya jalan bebatuan yang cukup besar dan licin, tetapi
juga luas jalan yang begitu ‘hemat’, dilengkapi dengan posisi jurang berada di
sebelah kiri. Lalu apa yang terjadi? Kami putar arah? Balik kanan? Urungkan niat?
Oh No! Yang terjadi adalah sebaliknya. Kami melanjutkan perjalanan dnegan tawa
yang tidak putus-putus, terpeleset, terjatuh, dorong motor, dan aneka hal-hal
yang luar biasa membuat perjalanan kami benar-benar penuh tawa.
*ketiga foto di atas belum cukup mewakili rupa jalan belasan kilometer atau bahkan puluhan kilometer yang kami tempuh :D
Oh iya, by the way, saya lupa, saya sudah memperkenalkan tokoh lain
dalam cerita ini selain saya? Maafkan saya jika belum, maka izinkan saya
mengenalkannya kali ini. Namanya Zuni, seorang teman dari kantor lama, yang
kebetulan sedang bertugas di Maumere dan kami bertemu lagi dalam sebuah acara,
lalu ketika mengetahui saya akan explore NTT maka ia urun diri untuk ikut. Maka
jadilah perjalanan ini kemudian berkawan meski tanpa rencana sebelumnya. Adanya
Mba Zuni membuat saya tidak perlu mencari sewa motor, karena akhirnya kami
menggunakan sepeda motor miliknya. Dan juga seorang kawan bernama Etika yang turut campur dalam perjalanan kali ini edisi Labuan Bajo, kebetulan ia sedang bertugas di NTB, sehingga bisa membersamai perjalanan ini menjadi lebih berwarna.
Oke, back to the point.
Ada sekitar 7-10 kilometer
jalanan yang kami lalui seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Meski jalanan
hancur seperti itu, tidak mengurangi kebahagiaan dan ketakjuban kami dengan
pemandangan sekitar. Sisi sebelah kiri yang saya katakan jurang, dibawah jurang
terdapat pemandangan yang begitu menyejukan mata. Bias sinar matahari yang
direfleksikan dengan indah oleh air laut, nampak begitu berbinar seperti bola
mata yang dipenuhi kebahagiaan. Hamparan laut dengan warna biru kehijauan,
suara angin dan ombak yang saling beradu ritme. Ditambah dengan lekukan bukit
bertaburan rerumputan seperti savana dan kuda yang sedang mengisi perut, sesekali kami bertemu
dengan penduduk yang sedang bercocok tanam, lalu melihat kerumunan sapi dan
kerbau yang sedang berendam di kubangan, melewati bayak jembatan dan sungai,
melewati sisi kota-kota kecil dengan cuaca yang silih berganti, matahari dan
hujan seperti sudah dibagi shiftnya dengan rapi. Sehingga pakaian yang melekat
di tubuh kami nampaknya tidak perlu lagi dicuci.
Perjalanan dari Barat
Daya Kota Ruteng menuju Manggarai Barat di mana Labuan Bajo berada cukup jauh. Perjalanan kami
di mulai sekitar pukul delapan pagi, dan kami sampai di Labuan Bajo beberapa saat
sebelum magrib tiba, sekitar pukul empat sore dan langsung disambut oleh hujan.
Masih teringat jelas meski sudah beberapa bulan yang lalu, dalam perjalanan
dari Wae Rebo – Labuan Bajo kami singgah untuk makan siang pada tengah hari,
mungkin sesuai dengan jadwal sholat dzuhur, lalu makan sore di warung bakso
ketika sudah di Labuan Bajo.Sesampainya di Labuan Bajo kami cukup lelah
berputar-putar mencari penginapan yang sesuai dengan budget yang sudah kami
siapkan. Sambil saya mencari di traveloka, kami juga mencari langsung di sekitar.
Sebelum sampai di Labuan Bajo,
saya tidak pernah membayangkan bahwa kota ini seperti ini. Begitu kecil dan ‘dipaksa’
menjadi sebuah kota yang ‘wah’. Nampak seperti pulau dewata, namun hanya
sebagian kecil. Begitu banyak penginapan, sesuai dengan isi kantong dan life
style atau status sosial. Terdapat juga mini market lokal pun nasional (?), dan
tentu saja yang tidak kalah banyak adalah toko baju, cinderamata dan tempat makan.
Sepanjang jalan pengunjung akan menemukan toko-toko tersebut. Dan untuk
pengunjung yang muslim, tidak perlu khawatir karena terdapat masjid yang cukup
besar di depan kantor pelabuhan.
Pada malam pertama di labuan Bajo
kami memutuskan untuk menginap di sebuah hotel, hotel dengan harga yang sangat
murah yakni Rp. 325.000,- yang bernama Hotel Blessing yang berada di pusat kota.
Di hotel ini, kamar yang disediakan cukup nyaman, dilengkapi dengan kasur dan
tempat tidur tentunya, lemari, kipas angin, televisi, kamar mandi, air hangat
dan jendela yang langsung bertemu dengan sinar matahari. ‘ fasilitas’ yang
cocok bagi traveller macam saya. Ah tapi
ini hanya pencitraan semata, sebab saya masih menggunakan jasa laundry
dengan membayar sekitar tiga puluh lima ribu untuk sejumlah pakaian saya. Setelah kami check in, kami
kembali menuju pelabuhan dan sekitarnya. Demi explore Labuan bajo dengan harga
yang murah. Ini merupakan salah satu kebanggan saya ketika bisa mendapatkan
harga yang hampir membuat orang lain masuk jurang :p
For your information, salah satu destinasi yang banyak dikunjungi
di sini adalah Pulau Komodo. Lalu disusul dengan beberapa destinasi lainnya
seperti Pink Beach, Padar Island, Kenawa Beach, Rinca Island, Kelor Island, Gili, Manta Point, dan masih banyak yang
lainnya. Biasanya banyak sekali travel agen yang open trip sesuai dengan
itinerary yang sudah disiapkan dan biaya akan disesuaikan dengan bayak lokasi
yang dikunjungi dan kapal yang disewa.
Sore itu, kami menuju pelabuhan,
berbincang-bincang sedikit dengan masyarakat yang ada. Mereka bertanya dan kami
menjawab. Keajaiban ketika saya travelling adalah keramahan yang tiba-tiba
menjadi bagian diri saya, tapi percayalah, itu hanya sesaat :D Perbincangan pun semakin
terdengar menyenangkan, ada seorang lelaki yang ternyata menyediakan perahu
untuk disewa. Ia memberikan harga tiga juta per hari, sudah termasuk makan 2
kali sehari. Bagi saya tentu saja harga tersebut terlalu tinggi, negosiasi pun
terjadi. Saya dengan santai menawar dan menjawab setiap penawaran dari mereka. Mereka
pun menanggapi penawaran dari saya dengan beberapa kali saling bertatap muka, penawaran
demi penawaran pun terjadi, dan harga akhir disepakati senilai satu setengah
juta :D kami bersalaman, saling bertukar nomor handphone, dan saya berlalu
dengan wajah merekah dan jumawa :D
Mega merah mulai menyala dan
senja mulai sirna. Kami menyempatkan menikamti senja di pantai tidak bernama di
sekitaran pelabuhan Labuan Bajo. Pantai yang menyediakan pemandangan syahdu dan
sederhana, meski saya melihat sampai menghiasi setiap sudut pantai. Usai merasa cukup, kami kembali
ke Hotel untuk beristirahat karena dini hari kami harus bangun dan berlayar
menuju kebahagiaan, ke pulau komodo maksudnya.
Sebelumnya, saya akan share
itinerary esok hari. Esok hari kami akan ke Pulau Padar, Pulau Komodo, Pantai
Pink, lalu camping di Pantai Kenawa. Lalu mengapa Pulau Rinca dilewati? Karena tujuannya
untuk bersilaturahmi dengan komodo, maka cukup bagi kami hanya ke Pulau Komodo.
Apa kabar dengan Manta Point? Menarik sebenarnya, tetapi cukup bagi saya
bertemu dengan biota laut di Pink Beach.
And here we go!
Dini hari kemudian berlalu,
perahu sudah siap untuk melaju. Amunisi seadanya tetapi cukup lengkap untuk
sebuah perjalanan yang luar biasa. Saya duduk di bahu perahu. Menikmati pecahan
sinar matahari yang mulai berbagi, kantuk seolah pergi seperti zombi yang takut
dengan matahari. Lalu laut mulai memainkan perannya. Ombak yang tadinya tenang
mulai menunjukan rupa aslinya. Mereka berusaha membawa kami ke dalam permainan
mereka. Meski tanpa memakai pelampung, kami tetap berani menikmati permainan
dengan air laut, sesekali.
Sekitar tiga jam kami sampai di
Pulau Padar. Pulau yang membuat saya takjub. Mengapa? Tentu saja bukan hanya
karena ia indah, tetapi karena ia benar-benar indah!
Sebelum trekking dan
sampai di titik terindah Pulau Padar, saya harus melakoni drama terlebih dahulu.
Hari itu merupakan hari Minggu, tiba-tiba ada tiga orang laki-laki dewasa yang
menghadang kami para pengunjung lalu menanyakan tiket masuk kepada kami. Lalu saya
bertanya kepada Pak Jumadi, pemilik perahu kami sekalligus guide kami. Lalu ia
mengatakan biasanya tiket dibeli saat di Pulau Komodo, namun karena kami lebih
dahulu ke Pulau Padar, maka tiket pun belum dibeli. ( note : kami tidak
bermaksud untuk melanggar peraturan, hanya saja ini cara yang efektif mengingat
kami hanya satu hari) dan tidak ada ketentuan tersebut, katanya. Sehingga saya
harus maju di garis depan, menghadari si Bapak yang paling tua diantara
ketiganya. Lalu beradu argumentasi hingga akhirnya ia menyerah dan membiarkan
kami pergi.
Kapal rombongan lain yang memilih menunda ke Pulau Padar, mungkin beli tiket dulu ke Komodo :D |
Ohya, tidak hanya saya yang protes, tetapi juga ada rombongan lain
yang mempertanyakan tindakan mereka ( seorang bule dan pasangannya) yang
bertanya mengapa swiping hanya di hari minggu? Mengapa tidak dilakukan di
hari-hari lain juga? Dan ternyata ada beberapa rombongan sebelumnya yang
menunda kedatangan mereka ke Padar Island hanya karena oknum yang menyebalkan
yang sedang praktik pungli di hari Minggu yang indah ini. Untungnya, bagi saya
bukan masalah besar untuk menghadapi makhluk macam begitu. Dan info dari guide
saya, Lelaki itu menanyakan dari mana saya berasal karena belum ada orang yang
berani berargumentasi ( baca : marah) dengan dia seperti yang saya lakukan. Ya mohon
maaf ya Pak, tanpa mengurangi rasa hormat, saya bukannya bermaksud kurang ajar,
tetapi kelemahlembutan saya Bapak tolak, sehingga mau tidak mau saya harus
mengeluarkan taring saya sebelum Bapak menggeluarkan taring Bapak lebih dahulu.
Well, drama berakhir dengan baik.
Saya bahkan menyampaikan kepada mereka untuk menyiapkan tiket lengkap dengan
stampel jika ingin membuka “ pos” baru di Pulau Padar. Bye drama!
Trekking pun di mulai. Untuk melihat
keindahan yang sempurna memang membutuhkan usaha dan sudut pandang yang tepat. Dan
untuk mendapatkan titik tersebut, pengunjung harus mendaki bukit sekitar dua
puluh menit, bisa juga lebih, tergantung kemampuan dan seberapa sering kamu
berhenti untuk istirahat atau mengambil gambar. Sebab pemandangan di Pulau
Padar membuat saya tidak ingin kemana-mana.
Dan ketika sudah sampai di titik
tertinggi atau titik yang cukup untuk menikmati sebagian kecil keindahan surga,
maka welcome to heaven, wait just a piece
of heaven. Kamu akan melihat bagaimana Tuhan begitu ahli dalam menciptakan
keindahan, bagaimana laut terlihat terbagi menjadi beberapa titik dengan ukiran
bukit yang berbeda-beda. Bagaimana peletakan tanjung atau teluk menjadi ornamen
yang begitu sempurna. Belum lagi perpaduan warna putih pada pasir dengan warna
air laut biru bergradasi hijau, ditambah dengan hamparan rumput berwarna hijau
kecokelatan. Meski terik begitu menyengat, namun udara yang lahir dari tempat
ini seolah menjadi oase di gurun sahara. Padar
Island so wonderful!
Mengingat perjalanan masih panjang, maka kami
mulai turun perlahan. Jika mendaki membutuhkan waktu sekitar 20 menit, maka
ketika turun menjadi sedikit lebih lama karena jalan begitu licin dan berpasir,
sehingga beberapa kali terjatuh.Usai dari Padar, maka itinerary
selanjutnya adalah pulau Komodo. Dari Pulau Padar, kami membuthkan waktu
sekitar 30 menit-45 menit untuk bisa sampai di Pulau Komodo. Namun di tengah
perjalanan kami menyempatkan untuk mampir di Kampung pulau Komodo untuk mengisi
bahan bakar, beristirahat sejenak dan sholat dzuhur.
Di sini kami menyempatkan untuk
bermain di dermaga, mengambil banyak gambar untuk didokumentasikan. Bertemu dengan
penduduk lokal, berbincang dan bermain-main dengan anak-anak pulau yang sedang
mandi di laut. Menyaksikan kehidupan mereka, kehidupan yang serba terbatas
namun kebahagiaan mereka terlihat begitu luas.
Usai dari sini, kami melanjutkan
perjalanan kami ke Pulau Komodo, hanya membuthkan waktu sekitar 20 menit untuk
bisa sampai ke sini. Setelah perahu bersandar di dermaga, kami langsung berlari
di jembatan yang berada di atas laut, melihat lihat ke bawah, menikmati
pemandangan di mana banyak ikan-ikan kecil sedang beraktivitas. Hingga akhirnya
kami sampai di tugu pulau Komodo. Sebelum sampai ke pos perizinan, kami
menyempatkan untuk mengabadikan gambar di sini.
Selanjutnya kami menuju sebuah
bangunan, kantor yang begitu ramah lingkungan dan terlihat ramai oleh para
petugas. Rangers adalah sebutan untuk mereka. Kami disambut oleh seorang Bapak
yang sangat ramah. Menerima kami di ruangannya, mengajak kami berkenalan dan
berbicang sesaat sebelum mengisi buku izin. Ia hanya meminta kami membayar
senilai delapan puluh empat ribu rupiah, bukan dua ratus ribu seperti pada
umumnya. Ia mengatakan karena kami begitu lucu dan menawan :P Tanpa berlama-lama, kami langsung
menuju habitatnya Komodo ditemai oleh seorang rangers yang lengkap dengan
tongkatnya. Konon, tongkat kayu yang ia bawa sudah cukup menjadi penangkal
keganasan Komodo. Hanya beberapa langkah dari pos,
sekitar 30 langkah orang dewasa, kami sudah bisa bertemu dengan para komodo. Kami
bisa bertemu dengan beberapa komodo dari berbagai usia, hingga komodo yang
paling tua, yang hanya tidur tanpa daya, begitu kurus dengan kulit yang sudah
sangat rapuh. Beberapa kali mengabadikan moment
bersama para komodo dengan berbagai pose, sayangnya saya tidak menemukan
dokumentasi tersebut. Hilang entah ke mana. Pengalaman bertemu dengan komodo
merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Jika selama ini hanya dapat
melihatnya melalui gambar, maka kali ini saya bisa melihatnya langsung bahkan
menyentuhnya dengan nyata. Di Pulau ini memang hanya terdapat Komodo dewasa,
sementara bayi atau anak Komodo ditangkar di Pulau Rinca. Namun jika kamu
memiliki waktu yang lebih banyak, tidak ada salahnya kamu mengunjungi dedek-dedek Komodo di Pulau Rinca.
Setelah puas berbincang tentang
sejarah dan aneka cerita di sini lalu puas melihat komodo, maka kami
melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya yaitu Pink beach! Yeay
Salah satu bonus perjalanan ini
adalah kami mendapatkan guide and team yang sangat menyenangkan. Meski mungkin
mereka hanya mendapatkan keuntungan sedikit dari kami, namun mereka tetap
meberikan pelayanan yang maksimal. Contohnya saja sebelum sampai di Pink Beach,
mereka menawarkan kami untuk singgah di Pantai yang saya lupa namanya untuk
bisa menikmati kelapa muda di tepi pantai. Ah, apalah ini namaya kalau bukan
kebahagiaan :D Ketika sedikit lagi perahu sampai
di garis pantai, saya sudah bersiap siap melompat dan byuuurrrrr, lalu berenang
sesuka hati di pantai yang begitu bersih, jernih dan hangat. Sementara guide
and team langsung mencari kelapa-kelapa muda untuk disantap. Sekitar lima belas
menit maka santapan pun ada di depan mata. Ketika sedang enak-enaknya menikmati
buah kelapa, maka hancur tiba-tiba ketika salah seorang crew perahu menyadari
bahwa air mulai surut dan perahu karam.Pada saat yang sama, saya
langsung melirik pada yang lain. Berusaha menilai respon mereka yang bisa jadi
tidak sama dengan respon saya. Sementara guide dan satu teamnya langsung menuju
perahu dan berusaha sekuat tenaga untuk memindahkan perahu.
Sementara saya dan rekan saya
hanya melihat aksi mereka sambil melanjutkan menyantap buah kelapa muda ini,
sebelum akhirnya kami membantu mereka menurunkan barang-barang karena perahu
terlanjur karam dan tidak ada cara lain untuk membuatnya bisa berlayar kecuali
menunggu air laut pasang yang berarti harus menunggu sekitar 2-3 jam lagi.
Lalu otak saya mulai mencari
akal, pasti ada rencana seru yang sudah Allah siapkan untuk hal ini. Setelah mencari-cari
alternatif, maka kami memutuskan untuk jalan menyusuri bukit ( trekking lagi) menuju
pink beach, konon dari pantai saat ini, butuh waktu mungkin satu jam untuk bisa
berada di balik bukit dan sampai ke Pink Beach.
Dan akhirnya kami trekking lagi. Beberapa
barang seperti tas yang hanya berisi pakaian kami tinggal di perahu, lalu kami
hanya membawa barang-barang berharga dan bahan makanan secukupnya. Semua sisa
barang aman karena 2 crew perahu tetap tinggal bersama perahu, sementara
guide pergi bersama kami. Sepanjang jalan begitu banyak informasi dan cerita
yang saya dapatkan. Tentang rute yang sedang kami lewati ini, konon merupakan
rute yang masyarakat gunakan saat panen buah asam, saat mengembala, termasuk
saat berperang dan sebagainya. Hamparan savana di tengah-tengah laut dan
perbukitan menambah keistimewaan perjalanan ini. Saya sangat bersyukur meski
warna kulit dan wajah mulai menghitam dan kian kusam, namun perjalanan yang
menyenangkan seolah tidak ada apa-apanya :D
Dan usaha kami untuk sampai Pink Beach pun hampir usai. Tertinggal satu tebing lagi kami sudah sampai, dan sebelum
sampai di tebing, maka Allah memberikan kesempatan pada saya untuk melihat baby Manta :D
Akhirnya, pink beach di depan
mata. Tanpa berlama-lama saya langsung berguling-guling ri di atas pasir yang
memang berwarna pink, merah muda. Mereka begitu halus dan menggemaskan. Setelah
itu saya langsung berenang dan menikmati pemandnagan bawah laut dengan kacamata
seadanya tanpa kamera underwater.
Tidak apa, bagi saya melihat mereka secara
langsung sudah menjadi kebahagiaan tersendiri. Di pantai ini kami cukup lama,
menunggu perahu lain datang untuk menjemput kami, perahu yang sudah di pesan
oleh Pak Jumadi agar kami bisa melanjutkan perjalanan. Setelah puas di Pink Beach dan hari sudah mulai gelap, kami kemudian berlayar menuju pantai di mana
perahu kami karam. Tidak membuthkan waktu yang lama, hanya sekitar lima belas
menit kami sudah sampai. Di sana saya sempat mengabadikan
sunset yang begitu elegan turun ke bumi. Bagiamana membayangkannya? Jangan dibayangkan!
Hari menggelap, kami menuju
Kampung Pulo untuk mandi dan makan malam di rumah kerabat guide kami. Pengalaman
yang luar biasa ketika mandi di kamar mandi tanpa dinding alias terbuka, tepat
dibawah langit malam penuh bintang, kami hanya berdoa bahwa tidak ada satu pun
mata yang turut menyaksikan moment ini. Karena sudah malam, kami
memutuskan untuk kembali ke Labuan Bajo, tidak perlu singgah di Kenawa. Sebab
malam sudah terlalu dingin, dan kami pun tidak membawa tenda. ( lah tadi bilang mau camping? :p)
Perjalanan pulang sama sekali
tidak saya rasa. Konon beberapa kali berhenti di lautan karena gelombang cukup
dinamis, saya sama sekali tidak merasa, mungkin karena tidur saya yang begitu
nyenyak meski dalam posisi tubuh terlipat. Hingga akhirnya pada adzan subuh
kami sampai di Pelabuuhan Labuan bajo lagi.
Perjalanan yang sungguh
melelahkan, menyenangkan dan unimaginable!
Sampai ketemu di cerita
perjalanan selanjutnya, masih ada Kupang, Rote dan Sumba :D
2 komentar :
Hahahahaa..wah bapaknya salah orang kalo mau pungli sembarang. Belum tau nih yang datang rekor adu argumennya selalu juara. Jadi ingat "tehnik" menghindari pungutan liar ke Danau Love hahahaa. Keren tulisannya Fe.
*kakaidu.wordpress.com
Hahahaha, ampuuuun. Maafkan saya bapak pungli *salim* Thank you Bang Idoe sudah mampir.
Posting Komentar