Si Miskin yang Bermartabat
Menulis
ini di dalam mobil yang sudah terparkir di depan rumah kost. Ditemani
langit kelabu dan rintik hujan. Sementara radio masih dengan merdu
memutarkan tembang-tembang yang tengah naik daun.
Sore ini, tepatnya hari ini saya mengingat kalimat yang pernah Dahlan Iskan tulisan dalam bukunya yang berjudul " ganti hati " yaitu menjadi si miskin yang tetap bermartabat. Dahlan Iskan yang kaya raya itu saja selalu berusaha menjadi si miskin yang bermartabat. Sebab dengan begitu kita mampu memelihara harga diri.
Semoga tulisan saya ini bukan hasil dari melodramatis saya berpisah dengan Februari. Tulisan yang lahir dari banyak pengamatan dan (mungkin) pengalaman pribadi.
Saya ini tentulah bukan siapa-siapa. Bukan seseorang yang memiliki popularitas pun tidak berusaha untuk meraihnya. Bukan juga seorang wanita dengan harta berlimpah, bukan. Saya tidak memiliki apa-apa, tabungan hanya satu sampai dua juta itu pun kalau bisa bertahan, tidak punya kendaraan pribadi sekalipun sepeda, tidak punya reksa dana apalagi investasi. Hanya memiliki sebuah rumah di kampung halaman, yang (mungkin) menjadi tempat kemana saya akan pulang suatu hari, iya suatu hari.
Saya hanya anak rantau yang menghabiskan waktu remaja dan dewasa awal di Ibukota, keliling pulau Jawa, Sumatera dan kemudian menikmati dua tahun terakhir saya di Papua. Menjadi anak rantau yang menghabiskan banyak waktu di jalan, turun ke masyarakat dan menyusuri keindahan alam.
Saya berusaha menjadi si miskin yang bermartabat. Meski tidak memiliki apa-apa, setidaknya saya tidak pernah meminta-minta apalagi meminta belas kasihan. Saya berusaha tidak mengeluh meski mungkin pada saat itu ada hal yang layak dikeluhkan. Sebab orangtua saya mengajarkan untuk bisa mandiri, untuk bertahan dengan apa yang dimiliki, untuk bersyukur atas semua pencapaian. Tangan di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah. Ini merupakan salah satu prinsip dalam hidup yang bisa menjadi cara dalam memelihara harga diri sendiri.
Saya sangat berusaha jadi si miskin yang bermartabat dengan mencari penghasilan tambahan dengan tenaga ekstra tanpa memperdulikan posisi atau jabatan saya di kantor utama. Sebab sebagai tulang punggung keluarga saya harus memiliki kemampuan dalam mengelola dan mengembangkan kreatifitas dalam mencari nafkah. Meski harus sampai pulang malam atau kehilangan banyak tenaga. Semua saya lakukan untuk menjadi si miskin yang bermartabat. Bukan karena gengsi, serakah atau terburu-buru menjadi kaya raya., tidak sama sekali. Ini hanya cara untuk menghargai diri sendiri dan tentu saja untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan menjalani hidup dengan baik.
Sebab banyak orang yang memilih cara lain, memilih jalan lain, dengan merugikan pihak lain, dengan cara yang tidak baik, dengan sulap atau magic, dengan kebohongan atau menjadi penjilat, apapun itu. Sah-sah saja. Up to you! Hidup memang mempersilahkan kita untuk memilih. Tersedia banyak sekali pilihan dari a hingga z. Tidak ada yang salah, tidak ada yang paling benar. Hanya saja saya tengah berusaha untuk memilih jalan yang sesuai, menurut saya. Di mana kemampuan bisa dimaksimalkan untuk mencapai tujuan tanpa harus mengabaikan harga diri, tanpa harus membuat cerita dan citra diri yang buruk. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama dan amal baik tentunya. Setiap jalan yang kita pilih selalu membawa kita pada sebuah muara, entah itu muara kebaikan atau sebaliknya. Selamat melanjutkan perjalanan!
Sore ini, tepatnya hari ini saya mengingat kalimat yang pernah Dahlan Iskan tulisan dalam bukunya yang berjudul " ganti hati " yaitu menjadi si miskin yang tetap bermartabat. Dahlan Iskan yang kaya raya itu saja selalu berusaha menjadi si miskin yang bermartabat. Sebab dengan begitu kita mampu memelihara harga diri.
Semoga tulisan saya ini bukan hasil dari melodramatis saya berpisah dengan Februari. Tulisan yang lahir dari banyak pengamatan dan (mungkin) pengalaman pribadi.
Saya ini tentulah bukan siapa-siapa. Bukan seseorang yang memiliki popularitas pun tidak berusaha untuk meraihnya. Bukan juga seorang wanita dengan harta berlimpah, bukan. Saya tidak memiliki apa-apa, tabungan hanya satu sampai dua juta itu pun kalau bisa bertahan, tidak punya kendaraan pribadi sekalipun sepeda, tidak punya reksa dana apalagi investasi. Hanya memiliki sebuah rumah di kampung halaman, yang (mungkin) menjadi tempat kemana saya akan pulang suatu hari, iya suatu hari.
Saya hanya anak rantau yang menghabiskan waktu remaja dan dewasa awal di Ibukota, keliling pulau Jawa, Sumatera dan kemudian menikmati dua tahun terakhir saya di Papua. Menjadi anak rantau yang menghabiskan banyak waktu di jalan, turun ke masyarakat dan menyusuri keindahan alam.
Saya berusaha menjadi si miskin yang bermartabat. Meski tidak memiliki apa-apa, setidaknya saya tidak pernah meminta-minta apalagi meminta belas kasihan. Saya berusaha tidak mengeluh meski mungkin pada saat itu ada hal yang layak dikeluhkan. Sebab orangtua saya mengajarkan untuk bisa mandiri, untuk bertahan dengan apa yang dimiliki, untuk bersyukur atas semua pencapaian. Tangan di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah. Ini merupakan salah satu prinsip dalam hidup yang bisa menjadi cara dalam memelihara harga diri sendiri.
Saya sangat berusaha jadi si miskin yang bermartabat dengan mencari penghasilan tambahan dengan tenaga ekstra tanpa memperdulikan posisi atau jabatan saya di kantor utama. Sebab sebagai tulang punggung keluarga saya harus memiliki kemampuan dalam mengelola dan mengembangkan kreatifitas dalam mencari nafkah. Meski harus sampai pulang malam atau kehilangan banyak tenaga. Semua saya lakukan untuk menjadi si miskin yang bermartabat. Bukan karena gengsi, serakah atau terburu-buru menjadi kaya raya., tidak sama sekali. Ini hanya cara untuk menghargai diri sendiri dan tentu saja untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan menjalani hidup dengan baik.
Sebab banyak orang yang memilih cara lain, memilih jalan lain, dengan merugikan pihak lain, dengan cara yang tidak baik, dengan sulap atau magic, dengan kebohongan atau menjadi penjilat, apapun itu. Sah-sah saja. Up to you! Hidup memang mempersilahkan kita untuk memilih. Tersedia banyak sekali pilihan dari a hingga z. Tidak ada yang salah, tidak ada yang paling benar. Hanya saja saya tengah berusaha untuk memilih jalan yang sesuai, menurut saya. Di mana kemampuan bisa dimaksimalkan untuk mencapai tujuan tanpa harus mengabaikan harga diri, tanpa harus membuat cerita dan citra diri yang buruk. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama dan amal baik tentunya. Setiap jalan yang kita pilih selalu membawa kita pada sebuah muara, entah itu muara kebaikan atau sebaliknya. Selamat melanjutkan perjalanan!
0 komentar :
Posting Komentar