Tinggal

Menjadi seorang Anya berarti harus menjadi perempuan tangguh tanpa batas. Menjadi "larangan" menampakan kesedihan atau rasa lain yang tidak menyenangkan. Sejak kecil, aku sudah terbiasa menjadi seorang bocah tanpa rasa atau kata lainnnya tidak boleh merasakan apapun. Jikapun boleh aku merasakan, itu berarti hanyalah ketegaran. Tidak ada satu emosi pun yang boleh keluar selain kebahagiaan yang sering dipalsukan. 

Terlahir dari keluarga yang nyaris miskin, dilengkapi dengan pertengkaran keluarga, lingkungan yang tidak sehat di mana masih banyak pencuri, saling ghibah iri dengki dan penyakit hati lainnya. Aku banyak menghabiskan waktu di rumah, tidak untuk menonton tv sebab tidak ada tv, sehingga hanya di kamar atau membaca buku pelajaran yang sudah tidak bisa dihitung berapa kali dibaca. 

Sejak kecil, aku telah menyimpan rapi semua memori ini. Setiap memori yang mayoritas berisi hal-hal tidak menyenangkan. Jika anak-anak seharusnya berbahagia, sejak kecil aku sudah mempertanyakan mana kebahagiaan untuk Anya? 

****

Setiap hari sebagai Bidan, aku selalu pergi ke desa-desa dengan jadwal yang berbeda-beda. Meski sebagai seorang Bidan, aku tidak hanya membantu Ibu hamil dan bayi saja tetapi juga masyarakat dari kelompok usia lainnya yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang masih mampu aku berikan.  Aku akan senang sekali ketika sampai di desa sudah disambut oleh mereka yang sudah duduk rapi menunggu kedatangan Bidan Anya. 

Ada banyak senyum dari anak-anak bermata bening, ada senyum dari nenek dan kakek yang sudah layu dimakan jaman, ada bapak-bapak yang masih menjadi ahli hisap rokok dan yang lainnya. Dalam sehari, aku bisa memberikan pelayanan kesehatan kepada 20-50 orang. Lelah? pasti. Menyenangkan? sangat!

Senyum dan kebahagiaan mereka menjadi salah satu sumber kebahagiaan tidak hanya sebagai bidan tetapi juga bagi diri sendiri. Aku merasa memiliki arti, memiliki makna dari kehidupan yang hampa ini. Tidak jarang dari mereka datang hanya untuk berbincang-bincang. Seperti beberapa anak muda yang selalu datang untuk bertemu ketua geng, ya aku dinobatkan sebagai ketua geng mereka karena aku selalu mengisi materi tentang pengembangan diri remaja. Mereka hanya lima orang, ada Janggir, Harun, Sadek, Mahir dan Lifah. 

Bagi mereka aku merupakan sosok kakak yang galak namun teramat membantu mereka dalam belajar. Meski tidak dapat melanjutkan sekolah menengah atas, namun mereka tetap ingin belajar. Sehingga tidak jarang aku membawakan mereka buku-buku yang mereka pesan dan ingin dibaca. Janggir dan Lifah ingin sekali mengikuti ujian paket agar suatu hari bisa mencari kerja di kecamatan atau kota. Sementara Harun,Sadek dan Mahir akan berusaha untuk menjadi polisi atau tentara. 

Setiap hari, aku selalu menghabiskan waktu untuk ke desa-desa. Bertemu dengan orang-orang yang berbeda. Secara umum, aku harus memberikan pendampingan dan pelayanan di tiga desa, dalam 1 minggu terdapat 6 hari kerja sehingga setiap desa memiliki 2 kali kunjungan. 


****

Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, aku menjadi pihak yang paling sering ditekan. Kondisi tersebut membuat aku tumbuh seperti ini. Perasaan tidak berarti semakin hari semakin nyata. Perasaan tidak memiliki siapa-siapa seperti bayangan di malam hari, begitu jelas terlihat. Jika ada yang mengatakan kita hari ini dibentuk oleh kita di masa lalu, maka teori itu sungguh benar buatku. Aku teramat menyadari hal itu, aku mengakui jika aku masih belum bisa memaafkan masa-masa yang lalu. Masa di mana aku hanya sakit seorang diri. 

Share this:

0 komentar :