Tinggal

Tumpukan buku sudah tersusun rapi, nampak lebih hidup dibandingkan hari pertama ada di sini. Tidak ada yang berbeda tentang rasa, sepi masih menjadi berteriak untuk ditemani. Masa ini seperti masa pemulihan dari rasa sakit kehilangan banyak hal, namun yang paling terasa derita adalah kehilangan kesempatan untuk membuat kenangan indah. Jarak seolah muncul ke permukaan sebagai pembatas tanpa ada cara menembusnya. 

Kata-kata semakin menjelma melalui tulisan dan tidak lagi suara. Atau kadang ia hanya berada di kepala. Hidup terasa hampa tanpa suara. Menikmati hari tanpa benar-benar merasakan nikmatnya. Aku mulai lupa pada semua yang aku miliki di masa lalu, sebab pertanyaan yang tersisa hanyalah mau dibawa kemana kehidupan selanjutnya tanpa dia. 

Setiap memulai hari selalu ada pertanyaan yang mengawali terbukanya mata " Apa yang harus aku lakukan untuk melewati hari ini?". Sebuah pertanyaan yang begitu kontras dengan kehidupanku beberapa minggu yang lalu. Kemana pergi energi yang selama ini aku punya? Yang tidak pernah jatuh melawan arus ibukota, yang tak pernah rapuh digerus oleh kesibukan lembaran kertas hingga tengah malam, yang tidak pernah melemah meski tubuh sudah melambaikan bendera putih. 

Tidak ada jawaban yang pasti, sebab apa yang terjadi hari ini, aku memilih untuk seperti ini. Kini aku hanya perlu duduk di beranda rumah, ditemani satu botol air dan keheningan hari. Dengan tenang aku mampu menulis seperti biasa, tanpa harus terdorong sedemikian rupa. Aku menulis dengan riang gembira, meski yang aku tulisan akan memancing duka. 

Aku sudah lama menyiapkan diri untuk menuliskan ini, perjalanan hidup seorang manusia yang tidak diinginkan namun tetap saja harus hidup. Konon mereka bilang bahwa kesempatan ini harus selalu disyukuri, karena tidak setiap kita memilikinya.

Maka aku memutuskan untuk memulai cerita, tepatnya bercerita dan akan terus bercerita. Wahai engkau, tetaplah menemani aku meski hanya dalam kenangan.

***

Sore itu di sebuah desa di mana aku sedang bertugas. Aku masih belum menyelesaikan tugas bersama sekolompok bocah yang tengah membaca di ruang kerja. Ya, memang ruang kerja yang aku miliki juga aku pergunakan untuk anak-anak di sini membaca. Aku pikir hal ini akan cukup membantu mereka dalam beraktivitas yang positif.

Ruang kerja ini memiliki luas yang tidak seberapa, hanya memiliki panjang 8 meter dan lebar 5 meter. Sudah disesaki dengan perabotan untuk membantu Ibu-Ibu bersalin dan memeriksakan kehamilannya. Ditambah dengan rak buku yang menempel didinding barang 2 buah dengan panjang sesuai dengan lebar bangunan.

Aku memang seorang bidan, namun perhatian pada dunia pendidikan dan anak-anak juga menjadi prioritas. Jangan pernah meminta aku memilih dua hal tersebut, karena mereka bukan pilihan.

Mereka mengenal aku sebagai bidan desa, meski aku sedikit berbeda dengan bidan desa lainnya sebab aku bukan mengikuti program pemerintah melainkan lembaga swasta yang juga berupaya membantu program pemerintah seperti yang kita ketahui. Tetapi anggap saja aku bidan desa seperti lainnya.

Keberadaan di desa ini bisa dibilang belum cukup lama, baru memasuki bulan kelima. Aku dikenal warga dengan sebutan bidan Anya, mungkin sulit untuk mereka mengeja nama lengkap yang memang cukup sulit untuk dilafazkan, Gratifanya Bilaisyah.  Bidan yang tidak pernah mengenakan seragam putih dan hanya memakai celana jeans atau rok batas lutut dengan atasan kaos oblong batik atau lebih mendekati daster-daster batik. Mungkin hal tersebut juga yang membuat bocah-bocah semakin nyaman berada di ruang kerja, karena bagi mereka bidan Anya tidak menakutkan.

Aku hampir 24 jam berada di ruang tersebut, karena memang aku tinggal di sana. Aku menolak diberikan fasilitas tempat tinggal yang berbeda dengan asumsi khawatir tidak terurus dan pasien sulit menemui jika ruang kerja ini kosong. Maklum, di desa ini pantang membicarakan kecanggihan teknologi. Listrik saja masih terjadwal belum setiap saat ada. Untung saja, aku diperbolehkan melengkapi ruang kerja dengan genset yang digunakan sewaktu-waktu jika ada pasien darurat di malam hari.


***

Mencoba mengingat hari-hari di sana. Di mana lebih dari 2 tahun aku menghabiskan waktu di sana. Niat hati melarikan diri membuat aku terperangkap di lubang yang jauh lebih dalam. Ingatan berusaha menghentikanwaktu, sayangnya belum ada yang mampu berhasil melakukannya. Aku semakin tenggelam dalam arus yang aku buat sendiri.     




Share this:

0 komentar :