TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for Juni 2016
Hujan di bulan Juni, tidak hanya menghadirkan sampah yang bertumpuk di ujung jalan dan genangan air di setiap permukaan jalan, tetapi juga kenangan, semua bergerak, bermuara pada satu rasa.




Pada bulan Juni, kehangatan matahari tidak lagi terasa di pagi hari. Sebab sudah genap dalam bulan ini, kumpulan gerismis selalu hadir membangunkan tidur. Awan putih kelabu yang berkumpul di langit, seolah sudah memberikan kedipan bahwa sebentar lagi gerimis akan berganti menjadi rinai. 

Tidak ada waktu yang sedang mengejar. Lelaki itu dengan kesadaran penuh ingat bahwa hari ini adalah hari Minggu. Tidak perlu tergesa-gesa seperti biasa menyalakan mobil untuk memanaskan mesin. Ia duduk ditepian tempat tidur. Membuka passcode handphone yang sejak semalam ia non-aktif-kan. 

Beberapa pesan singkat sudah menunggu untuk dibaca, ada pula puluhan bahkan ratusan pesan dari group sosial media. Sayangnya ia tidak tertarik, ia lebih tertarik membuka sebuah email, iya email. 

Dear Rendra, 

Bagaimana kabar mu saat ini? Sudah merasa lebih sehat? Baru kemarin rasanya melepas genggamanmu di pintu masuk bandara, menikmati senyum simpulmu yang semakin lama semakin menjauh menuju kerumunan. Baru kemarin rasanya cincin yang kita pesan melingkar di jemari kita. Baru kemarin rasanya kamu dengan sedikit membungkuk atau hampir berlutut, sambil meminta aku untuk menjadi Ibu dari anak-anak mu. Iya, aku merasa semua masih begitu hangat. 

Kita memutuskan untuk berjarak sementara, demi menjaga diri kita dari keburukan, demi membantumu untuk bisa lebih mengembangkan impian, demi keberlangsungan pernikahan kita. 

Rasanya baru kemarin
Namun semua ternyata sudah berbeda. Hanya berselang satu dua bulan dari kedatanganmu menemui orangtuaku, kamu sudah berupaya membagi perhatian mu, bahkan mungkin hati. Kamu kian menjaring banyak perhatian di luar sana, seakan-akan apa yang tersedia dan berusaha aku berikan belum juga cukup untuk memenuhi kebutuhanmu.

Lalu apa kabar kamu hari ini?
Usai banyak cerita yang harus kamu lakoni? Tidak kah kamu lelah? 

Rendra, 
Ada banyak jalan yang tersedia di muka bumi. Ada banyak tempat yang bisa disinggahi. Ada banyak cela yang mungkin bisa saja dilalui. Tetapi hanya ada satu hati yang bisa kamu tempati. Hati bukan tempat persinggahan yang hanya dituju sekadar mencari hiburan, hati juga bukan lorong bermain yang bisa kamu datangi ketika kamu ingin bermain, hati juga bukan tempat di mana nafsu dijajakan.

Jika kamu ingin kembali, berbaliklah. Pilih jalan yang membawa kamu pada kebaikan. Ada seseorang yang akan kamu temui di sana, meski mungkin bukan aku.


Bandung, usai hujan di akhir bulan Juni.

Rinda

Sebuah email yang membuat ia tertegun kemudian memajamkan mata. Ada rongga di dalam sana yang seolah dapat merasakan, degup penuh dengan kerinduan dan mungkin juga rasa sesal. Ia kembali membuka email dari Rinda, membacanya berulang kali, hingga ia merasakan pipinya dihangati oleh buliran. Seakan ia sepenuhnya merasakan, segenap rasa ingin mengulang, namun ia tak lagi mampu, berbalik arah yang menurutnya akan semakin membuat Rinda semakin terluka. 
Untuk Rinda,
Semoga suatu hari, ada maaf yang bisa kamu beri.
Rendra

***

Dalam perjalanan menuju Jakarta, Rinda seorang diri mengendarai mobil melaju melewati jalan tol yang masih sepi. Handphonenya berbunyi, memberi tanda bahwa ada  pesan baru di email milikinya. Ia mengabaikan, tidak langsung melihat pun tergesa-gesa membuka. Hanya ada suara Dewi Lestari yang menemani perjalanannya kali ini. Perjalanan yang kian terasa semakin kosong, semakin hampa. Tidak hanya perjalanan yang kosong, tetapi juga tatapannya, garis wajahnya hanya memamerkan betapa ia sedang terluka. Meski ia masih mampu untuk tersenyum, ceria dan bekerja. 

Sesampai di Jakarta, ia langsung memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran di mana ia akan bertemu dengan kawan lama. Dengan spontan ia membuka handphone, memeriksa beberapa pesan masuk dan percakapan di group media sosial. Namun ada satu pesan yang membuat jantungnya berdegup begitu cepat. Email baru yang bertuliskan dari Rendra. 

Ia membaca satu kalimat yang tertera di sana. Hanya ada nafas yang ia hela. Kemudian beranjak. 


Dunia begitu luas
Namun bukan berarti kita harus selamanya berkelana
Aku tidak dapat menjanjikan apapun kepadamu, selain bakti ku
Perjalanan menuju desa terakhir sebelum mendaki ke Danau Kelimutu sudah dimulai. Perjalanan dengan sepeda motor di malam hari yang dilakukan oleh dua orang gadis nekat yang sama sekali tidak ragu melanjutkan perjalanan ini. 

Setelah menghabiskan sore di Pantai Koka, perjalanan menuju Ende menjadi lebih antusias. Terlebih lagi ketika gelap mulai menguasai sementara bulan penuh sudah menyapa di sisi kanan jalan. Ia nampak sedang menemani perjalanan ini, begitu bercahaya dan menarik. Sayangnya, teknologi yang kami bawa sangat terbatas, tidak mampu mengabadikannya selain menggunakan kedua mata yang mungkin sudah cukup.

Patut disyukuri ketika jalan raya yang dilewati selalu memberikan kemudahan, meski gelap, berliku, menanjak dan menurun, tetapi semua masih dapat dikendalikan. Perjalanan ini aman hingga kami sampai di satu desa yang bernama, Moni. Desa paling akhir sebelum mencapai Danau Kelimutu. Mengingat di sana tidak akan ada warga yang berjualan di tengah malam, maka kami memutuskan untuk mengisi perut di sebuah warung di desa sebelum desa Moni.

Apa kabar kasur malam ini? 

Bukan saya namanya jika terlalu memusingkan akan tidur di mana. Setelah dari Moni, kami terus menancap gas sepeda motor hingga berhenti di pos masuk taman nasional. Di sisi pos nampak ada gubuk yang sudah ditempati oleh beberapa pemuda, sehingga kami meminta izin untuk tidur di mushola. Alhamdulilah diberi izin oleh petugas, bahkan kami diperkenankan untuk menumpang mandi dan sedikit waktu untuk sekadar berbincang dengan mereka.

Tidak lama kemudian kami terlelap, dingin lantai dan udara membuat kami tidak begitu menikmati tidur malam ini. Sebuah masalah? No way! Waktu sholat subuh kemudian datang, usai sholat kami bersiap-siap menuju danau! Yihaaaa

Saat sedang melangsungkan perjalanan seperti ini, saya seolah berpola tidak sebagai perempuan, tidak ada rasa takut pun khawatir. Inilah yang membuat saya semakin candu dengan satu hal; perjalanan. 

Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di pos terakhir sebelum tracking di mulai. Sudah terlihat banyak kendaraan yang diparkir rapi. Dan sudah terdengar logat dan bahasa asing dari para turis yang juga sangat excited dengan perjalanan ini.



Kami mulai menapaki track yang tersedia. Berbekal pakaian seadanya, penerangan dari handphone dan bulan, lalu lagu Gie yang selalu diputar oleh memori. Rasanya dada saya ingin meledak, bahagia! Betapa tidak, saya bisa merasakan aroma dari dedaunan yang basah, tanah basah, dan menikmati bulan yang sempurna tepat di atas kepala. Mendaki pun tidak menjadi masalah. Hanya memerlukan waktu sekitar 20 menit saya sudah bisa melihat semburat matahari pagi yang sedang berusaha untuk keluar dari peraduannya. Langit menjadi begitu megah dengan taburan warna merah jingga, putih dan biru tipis dibalut dengan abu-abu secara kasat mata. Awan seolah tahu diri dan hanya muncul sekejap saja. Menyaksikan matahari terbit di puncak ini, lalu melemparkan padangan pada lembah dan danau beraneka warna. Kabut tipis seolah menjadi pelengkap keistimewaan pagi ini. Nikmat Tuhan yang mana yang bisa didustakan?

Tidak akan pernah sebanding  pujian kepada Tuhan atas semua yang Ia ciptakan


Lebih dari dua jam saya menikmati pemandangan yang ada. Tidak bosan apalagi jemu. Melihat banyak turis asing yang juga menikmati sedari tadi. Saya senang mereka bisa menikmati alam Indonesia yang luar biasa. Saya cukup beruntung karena pagi ini cerah, tidak tertutup kabut pun awan kelabu. Semakin beruntung karena warna danau begitu cantik. Cokelat, tosca dan hijau. Saya menikmatinya dalam diam, habis kata-kata yang bisa saya ucapkan saat berada di sini. Saya benar-benar ingin menikmatinya dalam diam dan di dalam pelukan, pelukan hangatnya matahari pagi.

 


Di puncak ini juga, saya sempat berinteraksi dengan penduduk lokal yang berniaga di sini. Bercanda dengan mereka, saling bersenda gurau. Bahkan Mama-Mama di sini berdoa agar saya bertemu jodoh di sini dan tinggal di Ende. Ah ya, begitu polosnya do'a orang tua  di sini. 

Salah satu Mama yang sedang menawarkan kain tenun khas Kelimutu

Sekitar pukul 10 kami memutuskan untuk turun dan melanjutkan perjalanan. Perasaan bahagia terbawa sepanjang  jalan. Tidak peduli dengan jalanan berlubang, berair, berbatu dan lainya. Tidak peduli dengan terik yang mulai menyengat, bahagia jauh lebih penting dari itu semua. Dan saya akan terus melanjutkan perjalanan ini, dengan atau tanpa teman perjalanan. Perjalanan kami selanjutnya adalah berburu kain Ende dan mengisi perut di Kota Ende. For your information, Kota Ende sudah sangat berkembang jika dinilai dari padatnya jalan raya, pemukiman dan pasar. Jika ingin menikmati Kota Ende, banyak tempat yang bisa dikunjungi untuk sekadar menikmati kearifan lokal. Selamat menjelajah!



** Photos credit by @fenymarintika and @Zuniatmi
Wanna see more pictures? please follow my instagram @fenymariantika
Pukul 16.35 WITA saya meninggalkan hotel Pelita di Maumere. Hotel yang sudah lima hari menjadi tempat saya bernaung. Sore ini saya akan melangsungkan perjalanan ke Flores Timur, Kabupaten Larantuka tepatnya. Wilayah yang konon menjadi pusat peribadatan umat Katolik ketika hari paskah tiba.

Dari Maumere menuju Larantuka menghabiskan waktu 3-4 jam dengan menggunakan angkutan umum berjenis mini bus. Sekitar pukul 16.45 WITA mini bus menjemput saya di hotel, karena sebelumnya sudah saya hubungi. Biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 60.000. Cukup murah bagi saya dengan perjalanan yang cukup jauh.


Pukul 18.15 WITA  mini bus ini baru tancap gas dan menuju Larantuka. Perjalanan malam ditemani rembulan yang benderang. Langit begitu indah dengan bintang-bintang yang berserakan dan dihiasi awan putih. Sementara di dalam mini bus sudah diramaikan oleh suara merdu Mita Talahu dengan tembang-tembang hitsnya.

Sepanjang jalan saya sudah melewati beberapa desa, salah satu desa Geliting. Konon ini menjadi salah satu desa yang mayoritas muslim. Tolerasi di sini cukup tinggi, umat katolik dan muslim saling menghargai satu sama lain. Begitu indahnya, Ibu Pertiwi :)

Menempuh jalan ini seolah membawa saya pada kenangan. Saat masih bersama-sama dengan tim Pencerah Nusantara. Jalanan yang saya lalui saat ini serupa dengan jalanan Probolinggo. Kanan kiri dipenuhi dengan pepohonan rindang, permukaan jalan yang datar dan sempit dan gelap.

Setelah menghabiskan satu album Mita Talahu, akhirnya bus sampai di Kota Larantuka sekitar pukul sepuluh malam. Tidak ada lagi aktivitas di Kota ini, semua mahluk hidup nampaknya sudah kembali ke huniannya masing-masing.

Saat masih di Maumere, saya bertemu seorang teman yang kebetulan berencana untuk menemui keluarganya di sini. Alhasil malam ini saya dan dia bermalam di rumah milik familinya. Tepat ditepian pelabuhan. Rumah yang begitu sederhana, bertembok bambu dan beratap seng berlantai tanah. Alhamdulilah masih ada tempat untuk sekadar meluruskan badan. Rupanya keluarga Kak Fitri ini pedagang ikan asap, kacang rebus dan yang lain, sehingga sebelum tidur saya masih bisa berkenalan dengan aroma yang memenuhi ruangan di rumah ini. Rasanya saya semakin mengantuk :D

Meski Larantuka terkenal dengan pusat wisata umat Katolik, tetapi jangan khawatir bagi kita umat muslim, sebab adzan masih bisa dikumandangkan di sini, terdapat masjid yang cukup besar dan bagus di pinggir jalan raya. Saat subuh tiba, saya mendengar adzan dikumandangkan. Alhamdulilah

Untuk menghemat waktu saya langsung bangun, mengambil air wudhu, mencuci muka, sikat gigi setelah itu saya sudah siap untuk berkeliling. Yeay! Saya bisa merasakan ketenangan di tempat ini. Masyarakat menjalani hidup yang begitu dinamis namun tetap menjaga tatanan kehidupan. Sekitar pukul setengah enam saya sudah berada di jalan raya, menikmati udara pagi dan langit yang mulai bercahaya. Melihat kanan-kiri, sudah banyak dari mereka yang mulai beraktivitas. Saya menyapa sekelompok Ibu-Ibu yang tengah mengantri untuk mendapatkan air bersih di pusat pasar. Saya juga melihat pertokoan satu per satu mulai dibuka.
Langkah saya menuju pelabuhan, sepanjang jalan saya tidak menemukan botol minuman pun bungkus obat batuk yang kerap saya temui jika saya di Jayapura. Ah semoga saja memang ditempat ini semua sudah lebih baik dan terjaga.

Sampai di pelabuhan, saya menuju sisi kiri lapangan pelabuhan. Duduk ditepian batas antara pelabuhan dan laut. Menikmati matahari yang perlahan lahir dari arah yang berbeda, sementara dihadapan saya muncul garis berwarna warni pada permukaan awan putih yang biasa kita sebut pelangi. Seperti sarapan pagi yang Tuhan hidangkan untuk saya! MasyaAllah 

Cukup lama saya duduk terpaku di sini, menikmati apa saja yang ada. Sembari terus memulihkan hati. Tidak pernah terlupa, tidak sama sekali.
Setelah merasa cukup dengan laut dan sunrise, saya beranjak. Menuju sisi Larantuka yang lain. Saya memilih berjalan di tepi jalan raya, sambil menikmati bibir pantai yang membentang sepanjang jalan. Ada kedamaian yang kemudian tercipta, ada senyum yang lahir begitu saja. Saya menikmati bangunan yang memenuhi kaki bukit, tidak hanya rumah warga, tetapi juga gereja. Banyak sekali gereja dengan ragam bentuk dan hiasan. Saya juga sempat singgah di salah satu patung Bunda Maria yang letaknya masih di sisi kiri jalan raya. Dan saya sempat mengabadikan foto bibir pantai yang dibelakangnya terdapat gunung api Lewotobi, sayangnya saya tidak berencana untuk melakukan pendakian. Mungkin lain kali, sehingga saya putuskan untuk mengabadikannya dulu dalam sebuah gambar. 

Saya menyusui jalan ini hingga perbatasan Kota Larantuka dan Kota lainnya. Berbalik arah kemudian kembali menyusuri Kota kecil ini yang indah dan penuh kedamaian. Menyapa mereka, mereka beranggapan bahwa saya seorang mahasiswa, anggaplah begitu. Demikian membuat saya semakin bahagia :D

Saya begitu merasa bersyukur, semacam itu.

Merasa cukup dengan keindahan Maumere-Sikka-Larantuka-Lembata, maka tujuan selanjutnya adalah Ende. Sejak saya mulai adiksi akan travelling, Ende merupakan salah satu titik tujuan saya. Selain Danau Kelimutu yang terkenal sampai manca negara, tentu saja saya sangat penasaran dengan kain tenun dan aneka ragam budaya di sana. Sttt, ini menjadi rahasia kita saja ya, diam-diam saya berencana untuk jatuh cinta dengan kain-kainnya :D

Siang itu jelas sekali saya sangat mengejar waktu. Ketika kapal yang membawa saya dari Lembata menyandar di pelabuhan Larantuka, tidak ada cela untuk membuang waktu. Dengan berjalan cepat saya langsung mencari bus menuju Maumere, sayangnya hari paska sudah tiba. Tidak ada bus yang ngetem (angkutan yang sedang berhenti menunggu penumpang)  di sekitar pelabuhan, sehingga mau tidak mau saya harus naik angkot terlebih dahulu untuk mendapatkan bus.
Tidak terlalu jauh ternyata, karena sekitar 2 kilo di depan sana, banyak bus yang begitu bersemangat mendapatkan penumpang. Saat itu ada sedikit masalah kecil, masalah yang biasa terjadi di dunia perangkutan : perebutan penumpang. Saat itu juga, "taring" saya mau tidak mau harus keluar. Ketika mereka memperebutkan saya, tanpa rasa takut bahkan sedikit berteriak saya mengatakan " Saya ini mengejar waktu, sebelum jam 4 saya harus sampai di Maumere! Saya dari pelabuhan ke sini sendiri tanpa bantuan siapapun termasuk pak supir bus di depan, jadi hak saya mau memilih bus yang mana yang lebih dahulu akan jalan. Kalau bapak-bapak masih ribut juga, sini saya bayar dua-duanya!" Ups! sangarnya keluar kan :D Salah satu yang tidak saya sukai dari travelling kali ini ya ini salah satunya, saya harus berurusan dengan supir-supir yang "kelaparan" dan egois sekali. Tapi semua menjadi beres setelah saya berhenti berbicara dan langsung naik ke bus yang sudah siap berangkat! bye!

Gosh! sebagai penumpang yang sudah menciptakan suasana yang cukup heroik saya sadar diri dong, di dalam bus saya tidak lagi berhak memilih tempat duduk, alhasil saya mendapatkan kursi tengah di bangku paling belakang. Saya sudah bingung sendiri membayangkan kegagalan saya nanti saat mengambil gambar sepanjang perjalanan.
Perjalanan Larantuka-Maumere bukan perjalanan yang membosankan. Sebab, di sebelah kiri saya, sepanjang jalan selama 4 jam, saya disugukan dengan laut! laut yang hijau kebiruan, mangrove bersisian, batu karang, perbukitan, ah! saya semacam menyesal menggunakan bus, seharusnya saya sewa motor saja supaya lebih mudah untuk berhenti di mana pun tempat yang saya suka :D

Setengah perjalanan bus berhenti di satu rumah makan padang di daerah Boru, kecamatan Wulangitang. Rumah makan padang yang menurut saya menunya tidak biasa, sebab apapun makannya selalu dilengkapi dengan satu mangkuk kuah ikan. Saat melihat pelayan menghidangkan saya sempat membatin, ini kobokan ( air untuk cuci tangan) atau? melihat raut wajah bingung saya, seorang bapak dihadapan saya memberitahu bahwa itu kuah ikan. Seketika kami tertawa terbahak-bahak. 

Masih dalam perjalanan, di sisi kiri saya yakni hamparan laut, terdapat kampung Konga, kecamatan Larantuka, ia merupakan kampung penghasil mutiara letaknya tepat di bawah perbukitan.  Informasi ini saya dapatkan dari seorang penumpang yang berdomisili di Lembata dan akan berlibur bersama keluarganya di Maumere. Ia bercerita banyak tentang Lembata, Larantuka, dan pulau Flores tentunya. Teman perjalanan yang menyenangkan menuju Maumere. 

Setelah melewati jalan berliku selama empat jam, sampai juga akhirnya di Maumere. Saya sudah membuat janji dengan seorang teman lama untuk menghabiskan weekend kami bersama menuju Ende dan berakhir di Labuan Bajo.


Saya merasakan dan menyadari bagaimana rasa menjadi hamba yang Ia sayangi, Allah begitu menyayangi saya meski saya berlumur dosa...

Ketika Allah pertemukan saya dengan banyak teman, berinteraksi melalui canda dan juga cerita, cerita pedih yang mendalam pun cerita penuh suka cita. Saya kian menyadari betapa Allah tidak pernah berhenti mencurahkan kasih sayang pada umatNya. 
Karena menjalani hidup sebagai manusia yang tentu saja tidak mampu menolak apapun yang akan terjadi maka hanya satu hal yang dapat dilakukan, berserah pada Maha Kuasa. Menjalani hidup dengan sebaik-baiknya kita sebagai manusia.  Harapan memiliki hidup yang damai tentu menjadi dambaan setiap manusia. Bisa dengan leluasa menikmati hari tanpa harus bermuram durja, mampu menyelesaikan masalah dan mendapatkan jalan keluar tanpa harus memperpanjang derita.

Dan masa lalu semakin menegaskan betapa saya pernah luput mengingat nikmat yang Allah beri. Hari kemarin semakin memperlihatkan pada saya bahwa saya pernah menciptakan jarak dengan Dia yang begitu mencintai saya. Saya menjauh Dia merengkuh.

Dan rasa sakit menyadarkan saya bahwa rasa sakit tidak akan ada apa-apanya dibandingkan rasa sayang Allah yang Allah berikan dalam beragam cara. Melalui do'a Ibu, melalui do'a keluarga, para sahabat, teman-teman seperjuangan, orang-orang yang mungkin tergerak hatinya untuk turut mendoakan. Subhanallah, betapa cinta Allah sangat menguatkan..

Jika bukan karena Allah melembutkannya, bisa jadi hati sudah mengeras
Jika bukan karena kasih sayang Allah, bisa jadi hari ini tidak lagi ada tulisan ini
Jika bukan karena kecintaan Allah, maka kebaikan akan tenggelam bersama senja
Jika bukan karena Allah menguatkan saya, tentu tidak akan kalian pandang siapa saya



Ramadhan Hari Kelima, 2016
Sebagai seorang perempuan muslim, yang tengah belajar untuk menjadi baik dan bermanfaat, yang dalam perjalanan tidak hanya tersandung bantu, tetapi juga terhempas oleh angin timur. Semakin hari semakin memahami, bahwa kebaikan akan selalu berbanding lurus dengan niat yang terpatri di dalam hati. Dan keburukan juga akan berbanding lurus dengan rupa hati di dalam sana, ketika kegelapan dan kehendak Allah memulai cerita. 

Selamat Datang, Ramadhan.

Ini menjadi Ramadhan ke 20 dalam hidup saya. 20 tahun yang lalu saya berusia enam tahun, dan pada usia itu saya mulai mengikuti orangtua saya untuk berpuasa, selain mengikuti orangtua, saya juga bersemangat karena dijanjikan hadiah 30.000 rupiah oleh Mbah Putri. Dan pada puasa pertama dalam hidup saya, saya berhasil berpuasa satu bulan penuh dan mendapatkan hadiah!

Begitu kontras dengan Ramadhan ke 20 ini, di mana saya tidak lagi diiming-imingi hadiah, tetapi lebih mulia dari itu, ampunan Allah, kasih sayang Allah dan ridha Allah. Saya menyadari bahwa yang saya cari saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah kebaikan Allah SWT. 

Selamat Datang, Ramadhan.

Setiap kita memiliki cerita hidup yang berbeda-beda meski mungkin serupa. Cerita hidup yang Allah atur dan rencanakan jauh sebelum kita mengenal dunia. Dan saat ini, saya tengah belajar menerima setiap jalan yang Allah terangkan. Pahit, berduri, getir, sakit, derita, bahagia, tawa, apapun rasa, saya tengah belajar merasakan dan menerima. Dan Ramadhan membuat semuanya semakin nikmat. 


Selamat Datang, Ramadhan.

Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan, maka saya sangat menanti, memanfaatkan dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Sebab saya menyadari bahwa dosa yang melekat pada diri saya sudah amat membelenggu saya. Dan saya tidak ingin berlama-lama berkubang dan berkabung dalam masa yang kelam ini. Sebab saya meyakini bahwa Allah akan selalu memberikan petunjuk dan cahayanya. 

Selamat Datang, Ramadhan.

Hidup memang tidak mudah, dengan demikian saya ingin membuat langkah kaki ini lebih ringan. Ramadhan tidak hanya mengajarkan untuk menahan lapar dan dahaga saja, tetapi jauh lebih dari itu. Saya begitu malu akan diri sendiri, yang lagi lagi belum mampu mengambil pelajaran dari orang lain sehingga Allah menegur, mencurahkan kasih sayangnya secara langsung pada saya melalui ujian ini dan itu.

Dan kini saya bersama Ramadhan, menikmati kehadirannya yang hanya sebentar ini. Berharap setelah ia pergi, tidak banyak hal yang berubah selain kebaikan yang terus menerus menjadi candu untuk kita semua. Kebaikan pada sesama yang akan membawa kita pada kebaikan secara universal. Kasih sayang Allah begitu amat nyata untuk dirasa, semoga kita senantiasa bersyukur dan semakin bersyukur sehingga Allah kian dekat dan lekat.

Tidak mengapa jika kita belum benar-benar berbahagia atas kehadiran Ramadhan, sebab tidak ada rasa yang bisa dipaksa untuk hadir di hati kita. Semua membutuhkan proses, mencintai membutuhkan proses, mari kita belajar mengenal Ramadhan, semakin belajar mengenal Islam, jangan berhenti belajar menjadi hamba Allah yang baik. Semoga kita menjadi orang yang beruntung.

Saya tidak ingin berpura-pura bahagia atas kedatangan Ramadhan, tetapi sejujurnya saya memang menantikannya. Sebab saya ingin membayar hutang padaNya, meski mungkin masih belum mampu untuk menebus semua dosa-dosa saya, tetapi biarlah harapan dan usaha untuk mendapatkan ampunan menuntun saya pada jalanNya.


Selamat Datang, Ramadhan.
Kali ini saya ingin menulis tentang orang ketiga, tepatnya orang ketiga dalam suatu hubungan. ( selingkuhan,red)
 
Mau mendapatkan atau mencari artikel atau tulisan tentang hal ini sangat mudah. Bahkan beberapa waktu yang lalu membaca tulisan di Mojok.co tentang tulisan Mbak siapa ya lupa namanya, seorang selingkuhan yang baik.

Baik? Selingkuhan yang baik? Seperti apa itu? Apa iya ada?

Well
, saya sendiri gak pernah memiliki peran sebagai orang ketiga dalam sebuah hubungan. Amit-amit deh minta jauh! Kayak gak ada pilihan lain saja. Tapi apa iya yang jadi orang ketiga benar-benar gak tahu bahwa dia hanyalah orang ketiga, hanya optional? Pertanyaannya, apa gak ada satu atau dua tanda yang mengarahkan dia pada kecurigaan tentang hal tersebut? Masa' sih? Skeptis nih saya *mikir*

Kalau disurvey, mungkin
"prevalensi" perselingkuhan di jagad raya ini lebih tinggi dari "prevalensi" penyakit menular. Ibaratnya nih, penyakit menular aja ga akan ada kalau ga didahului sama yang namanya perselingkuhan. Iya apa iya? Kalau enggak, saya harus belajar epidemiologi lagi nih Nah balik lagi ke perselingkuhan dan orang ketiga, tentu saja saya bukan satu-satunya perempuan yang sukses membongkar sebuah perselingkuhan yang terencana, terstruktur dan masif ( abaikan bahasa saya ini ) tetapi dari pasir kehidupan ini saya belajar banyak. Tidak sekadar tentang urusan sepele "cinta-cintaan" (cih) tetapi lebih dari itu. Ini tentang kecerdasan, tentang kebodohan yang juga disadari ( secara sadar) tetapi tetap dilakukan.

Beberapa hari yang lalu
housemate saya membacakan sebuah artikel yang mengatakan bahwa seseorang yang berselingkuh diduga memiliki IQ rendah, dan kalau boleh ada penelitian lebih lanjut saya urun saran untuk meneliti juga IQ yang menjadi selingkuhan atau orang ketiga. Saya hanya penasaran, tidak hanya IQ, kalau bisa EQ dan SQ juga.

Sebab mengetahui bahwa
"penyakit" ini tejadi di mana-mana, tidak hanya kalangan orang bodoh, marginal dan sok mampu, tetapi juga di kalangan atas, mapan dan mampu tentunya. Jadi membuat saya tergiring untuk berasumsi bahwa akar dari perselingkuhan ini memang hati, hati yang saya pun gak paham seperti apa. Mungkin harus ada penelitian terlebih dahulu dengan responden yang tidak lain dan tidak bukan adalah pelaku dari perselingkuhan itu sendiri.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah sebuah kejahatan yang disusun dengan baik. Juga sebuah kebenaran jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada perselingkuhan yang tidak direncanakan. Ketika nafsu menjelma menjadi sebuah kerlingan,aneka pujian, atau berbalut puisi hasil jiplakan atau bisa jadi berbalut air wudhu dan sembahyang bersama, atau berpura-pura menjadi yang paling menderita atau apalah 1000 trik dalam menahlukan hati. Jika diidentifikasi lebih lanjut, bisa kita bedakan mana yang sasarannya adalah mahkluk polos setengah bego mana yang mahkluk bebal dan masa bodok mana yang berpura-pura tidak keduanya.

Saya teringat dengan banyak kasus yang ada di sekitaran saya. Entah perselingkuhan saat belum menikah pun dalam status menikah. Keduanya sama saja. Ketika nafsu yang menjadi dewa, maka jadilah ia viral di mana-mana. Fenomena gunung es pun terjadi, satu per satu korban dari perselingkuhan mulai menyadari dan sedikit cerdas harus berlaku apa. Tidak lagi khawatir ini itu, sebab penderitaan menahan pedih jauh lebih mematikan ketimbang menahan malu yang mungkin seminggu sudah berlalu.
*bukancurcol*

Saya juga amat setuju ketika seorang Psikolog mengatakan bahwa
jangan menyalahkan diri sendiri ketika pasangan anda selingkuh, sebab apapun kesalahan anda, tetap saja selingkuh bukan jalan keluar ataupun sebuah balasan atas kesalahan atau kekurangan anda.

Well,
sama seperti membuat kesalahan. Sekali masih merasa berdosa, dua kali merasa sedikit berdosa, tiga kali merasa mungkin akan berdosa, seterusnya makan dosa mungkin akan berlalu bersama waktu atau apalah pikiran yang berusaha mengabaikan.

Yang saya pahami, apapun alasannya melakukan hal ini tidak akan pernah ada titik benarnya. Tidak ada alasan pun alibi yang dapat diterima, tidak satu pun.

Dan hal ini terjadi ketika ada
"kesepakatan" atau "penerimaan" dari pihak ketiga yang entah mengetahui pun tidak, pura-pura tidak tahu pun sungguh tidak tahu, bahkan ada yang memang mengetahui tetapi pura-pura lupa atau pura-pura amnesia. Karena jika tidak ada gayung yang bersambut, maka tidak akan terjadi.


Jadi ingat kalimat yang selalu Bang Napi sampaikan di akhir acara bahwa
kejahatan tidak hanya terjadi karena kesempatan, tetapi juga karena ada niat dari pelakunya. Waspadalah!

Good night!

*korban setelah menonton film detektif
53 tahun silam terdapat satu hari bersejarah di mana Papua kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa bersejarah terjadi tepat tanggal pada 1 Mei 1963 dimana secara resmi UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) menyerahkan kembali wilayah Irian Barat yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda kepada pemerintah Indonesia. Saat itu pula bendera Merah Putih kembali dikibarkan di tanah Irian Barat secara gagah berani.
53 tahun yang lalu pemerintah dan segenap bangsa Indonesia haru biru menerima “saudara kandung” kita kembali. 
Namun gejolak itu ternyata tidak pernah padam. Berganti hari, bertambah generasi, gejolak di dalam dada mereka kian menyala. 
Saya baru menginjak tahun ketiga berdomisili di bumi cenderawasih. Salah satu provinsi, salah satu pulau yang masuk menjadi daftar tempat yang begitu ingin saya kunjungi. Dan sudah dua tahun lebih saya menikmati apa yang saya rencanakan. Ambil bagian dalam membangun tanah ini, meski yang saya lakukan hanya seperti debu yang dihempas oleh angin. Tetapi sesederhana itu niat saya. 

Sejak berada di sini, saya sudah menyiapkan mental untuk menyaksikan aksi demo, aksi perkelahian, dan hal-hal lain seperti yang banyak dikabarkan. Sebab saya menyadari bahwa saya hanyalah seorang pendatang. Tetapi saya juga menyiapkan hati yang tulus untuk menjadi bagian dari Papua.

Akhir-akhir ini, enam bulan terakhir ini tepatnya,harus saya akui memang aksi demo yang menuntut
referendum semakin sering dilakukan. Bahkan frekuensinya menjadi sangat sering dalam tiga bulan terakhir. Jika tidak hari Senin, maka hari Rabu atau pada kedua hari itu mereka akan turun ke jalan dengan membawa atribut demo, spanduk-spanduk yang bertuliskan tuntutan mereka, orasi yang disampaikan secara lantang dan pembuatan “mural” di mana-mana yang bertuliskan “referendum”.

Sebagai seorang pendatang, seorang pendatang yang saat ini tengah menghabiskan hari dengan melaksanakan program kesehatan untuk anak-anak Papua, seorang pendatang yang juga tengah menjadi mahasiswa di Universitas Cenderawasih, seseorang yang sehari-harinya berinteraksi dengan saudara-saudara pribumi, maka saya merasa begitu sedih melihat saudara-saudara saya yang ingin berpisah dari Ibunya sendiri.
Apakah Indonesia begitu tidak baiknya sehingga saudara-saudara ingin berpisah dari Ibu Pertiwi?

Dan setelah berbulan-bulan ini ada banyak saudara saya yang melakukan aksi demo menuntut referendum dilakukan, maka hari ini terdapat juga saudara-saudara yang menggelar aksi damai. Masyarakat yang berkumpul menjadi satu kemudian berkonvoi lengkap dengan mengibarkan bendera Merah-Putih dan spanduk juga poster yang bertuliskan kalimat persuasif untuk mengajak masyarakat yang lain menyudahi segala bentuk usaha untuk merdeka. Mereka juga menuliskan “ Pendatang pun pribumi, mari tong sama-sama pembangun Papua” . Saya tidak dapat menahan haru melihat ini semua, saudara seibu yang kini tengah beradu jarak, beradu hati.

Saya mendapatkan satu informasi dari sebuah essai yang ditulis oleh seorang Guru SMA di Entrop, Jayapura yang merupakan juara essai nasional tahun 2007. Dalam essainya ia menuliskan “
Papua saat ini terus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah terutama dalam hal mengejar ketertinggalannya di berbagai bidang dari daerah lain di negeri ini. sebagai bentuk kemauan kuat untuk memajukan Papua, negara telah mengesahkan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua. Sejak pemberlakuan UU ini, Papua di bawah pemerintahan Republik Indonesia terus berbenah dan terus menjadikan dirinya berdiri sejajar dengan wilayah lainnya di Indonesia. Saat ini sebagai perbaikan UU Otsus, pemerintah tengah menggodok pemberlakuan RUU Pemerintahan Otsus di Tanah Papua yang akan dinilai oleh banyak pengamat akan bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang masih menyisa di Tanah Papua. kita doakan semoga semua berjalan dengan lancar.”

Saya ikut mengaminkan doa-doa yang berisi kebaikan untuk tanah Papua ini. Saya memang tidak memahami betul apa yang terjadi lima puluh tahun silam, saya juga tidak benar-benar mengetahui apa yang terjadi di masa lalu. Tetapi yang saya lihat saat ini, saudara-saudara saya di sini tidak hanya membutuhkan uang, tidak hanya membutuhkan kesepakatan, tetapi mereka lebih membutuhkan pembuktian dari kasih sayang Ibu Pertiwi, Indonesia. Jika Pemerintah Indonesia sudah berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik, maka akan jauh lebih baik lagi ketika kita sebagai anak muda, sebagai masyarakat Indonesia membantu pemerintah agar apa yang kita cita-citakan dan harapkan bersama bisa terwujud. Tidak hanya dengan terus meminta ini itu, namun enggan memberikan apapun yang bisa kita beri untuk negeri ini.
Malu ka 

Jika anak-anak di wilayah lain bisa membaca dengan lancar, maka anak-anak di sini juga harus bisa. Jika anak-anak di luar sana bisa menulis dengan rapi, anak-anak di sini juga harus bisa. Jika anak-anak di sana bisa mengonsumsi makanan yang lezat dan bergizi, maka anak-anak di sini juga harus bisa merasakannya. Jika mama-mama di luar sana bisa memasak masakan yang lezat,bisa menjahit baju, bisa membuat salon, bisa membuka rumah makan,dll maka mama-mama di sini juga harus bisa. Jika pace-pace di luar sana bisa memiliki pekerjaan yang layak dan kemampuan diri yang berkualitas, maka pace-pace di sini juga harus bisa.

Tetapi semua butuh kerjasama, semua membutuhkan usaha, semua diwujudkan dengan cara yang benar. Aktualisasi diri dilakukan dengan cara yang baik. Jika kondisi di luar Papua sudah jauh lebih baik, mengapa kita tidak belajar dari mereka? 

Saya kadang miris melihat kondisi kehidupan saudara-sudara saya di sini, tidak hanya masalah pendidikan dan kesehatan, tetapi juga hal-hal mendasar. Pernah ketika saya overland menuju Kabupaten Sarmi, saya melihat banyak sekali permukiman yang seadanya, anak-anak yang saya bisa menebak status gizi mereka, jauh dari falitias kesehatan, jauh dari fasilitas pendidikan. Saya hancur melihatnya. Begitu lengkap masalah yang ada di sini, begitu rumit mengurainya jika tidak ada kerjasama dari semua pihak dan lapisan kehidupan turut andil dalam memperbaiki kondisi ini.

Sementara dalam kondisi lain, saudara-saudara saya di sini yang tengah bingung, dilema dan resah serta nelangsa akan nasib dan kehidupan mereka sendiri yang mungkin seperti itu-itu saja. Sehingga menciptakan celah bagi pihak ketiga yang mungkin sudah sejak dulu menginginkan bangsa ini terpecah belah.
Namun bagaimana bisa? Apakah ada mantan saudara? apakah pihak-pihak itu tidak mengetahui bagaimana kami mencintai tanah ini? Mencintai Indonesia?

Meski kami tidak membuktikannya dengan perang, tidak membuktikannya dengan demo, tidak membuktikannya dengan frontal, tetapi apakah kehadiran kami dan bertahan di tempat ini bukan karena rasa sayang? Bukan karena rasa peduli? Apakah pihak ketiga itu berpikir kami datang ke sini hanya karena uang? Hanya semata-mata karena uang? Hanya semata-mata karena ditugaskan?

Hei, mari tinggal bersama kami, mari duduk dan menghabiskan waktu bersama kami, kami yang terdiri dari berbagai warna kulit, berbagai bentuk rambut, lihat kami, kami merencanakan masa depan yang cemerlang bersama. Kami melatih anak usia sekolah dasar untuk menjadi lebih sehat, lebih cerdas dan lebih aktif. Kami melatih remaja untuk bisa berpikir positif, tidak tergoda dengan pergaulan yang berisiko, kami mengajak mama-mama untuk skrining kesehatan, kami melakukan banyak hal bersama. Masyarakat di sini merayakan natal bersama, lebaran bersama, sekolah bersama, yang beribadah ke gereja mereka ibadah dengan baik, yang ibadah ke masjid mereka juga beribadah dengan baik, begitu juga saudara-saudara kami yang beribadah ke pure dan vihara. Kami hidup berdampingan, kami baik-baik saja. Apakah masih alasan bagi kalian untuk merebut dan memisahkan kami?

Iya, saya mengerti, saya paham, saya juga setuju jika masih banyak hal-hal yang belum sesuai, yang harus diperbaiki, yang harus ditingkatkan untuk mengejar ketertinggalan, tetapi tidak dengan meminta untuk memisahkan diri dan berganti Ibu
kan? Kita bisa membandingkan dengan beberapa saudara kita yang sudah memalingkan diri, apakah mereka lebih bahagia? Apakah mereka lebih makmur? Apakah mereka lebih maju dari kita? Apakah saat ini kehidupan mereka lebih baik daripada kehidupan mereka dahulu saat masih bersama kita, Indonesia? Saudara, buka mata, buka hati, godaan dan bisikan akan selalu ada. Tetapi apakah kita harus selalu mendengarkan mereka dan mengikuti apa yang mereka inginkan? Apakah semua akan menjadi lebih baik ketika referendum ditunaikan? Mengapa kita tidak bersatu mempertahankan ikatan ini? Jika bukan kita yang bersatu padu mengibarkan Merah Putih, menjaga kedaulatan bangsa kita, lalu siapa lagi?

Saya memang benar-benar tidak mengerti apa-apa, saya tidak tahu alasan yang mendasar saudara kita ingin memisahkan diri, namun sebagai saudara sebangsa, setanah air saya tidak tega, saya tidak sampai hati membayangkan saudara-sudara saya di sini semakin nelangsa.
Jadi bolehkah gejolak itu dipadamkan saja? Tidak inginkah kita bersama-sama satu barisan membangun tanah ini?

Bersama membangun tanah Papua dengan meningkatkan pendidikan anak-anak di sini, bersama-sama bersekolah hingga perguruan tinggi, menjadi Guru, Dokter,Suster, Tentara, Polisi, Arsitek, Manager,Chef, Penyanyi,dan sebagainya, yang apapun profesi kita, kembali membangun tanah Papua bersama hingga ketertinggalan ini bisa kita kejar, agar persatuan ini tidak lagi bisa diceraikan, dan bersama menikmati keindahan alam yang diwariskan oleh bumi pertiwi, keindahan alam yang semoga anak-cucu kita masih bisa menikmatinya.

Ah saudara, sa tra tahan untuk tra menangis. Sa sayang ko sekali. Stop sudah demo minta merdeka, mari kita kuliah yg benar, jangan palang kampus, jangan anarkis.

Cukup peristiwa anakris kemarin yang membuat dosen kita menjadi sakit dan sampai harus dirujuk ke Bandung. Yang sudah-sudah kita dijadikan pelajaran, jangan sampai ada korban dari sikap kita yang keliru. Masa muda memang masa yang berapi-api, maka mari kita salurkan semangat yang membara itu untuk mengabdi pada negeri, belajar yang benar, atur kembali isi kepala dan sudut pandang, yuk sama-sama kita bikin bangga Indonesia.


Dari sabang sampai merauke | Menjajah pulau-pulau | Sambung menyambung menjadi satu | Itulah Indonesia | Indonesia tanah airku | Aku berjanji padamu | Menjunjung tanah airku | Tanah airku Indonesia
Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ▼  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ▼  Juni ( 8 )
      • Aku Ada
      • 14 Days Overland in NTT ( Ende)
      • 14 Days Overland in NTT ( Larantuka)
      • 14 Days Overland in NTT ( Interval menuju Ende)
      • The Power Of Love
      • Selamat Datang, Ramadhan.
      • Selingkuh? Waspadahal!
      • (Kita) Papua
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes