14 Days Overland in NTT ( Larantuka)
Pukul 16.35 WITA saya meninggalkan hotel Pelita di Maumere. Hotel yang sudah lima hari menjadi tempat saya bernaung. Sore
ini saya akan melangsungkan perjalanan ke Flores Timur, Kabupaten
Larantuka tepatnya. Wilayah yang konon menjadi pusat peribadatan umat
Katolik ketika hari paskah tiba.
Dari Maumere menuju Larantuka menghabiskan waktu 3-4 jam dengan menggunakan angkutan umum berjenis mini bus. Sekitar pukul 16.45 WITA mini bus menjemput saya di hotel, karena sebelumnya sudah saya hubungi. Biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 60.000. Cukup murah bagi saya dengan perjalanan yang cukup jauh.
Pukul 18.15 WITA mini bus ini baru tancap gas dan menuju Larantuka. Perjalanan malam ditemani rembulan yang benderang. Langit begitu indah dengan bintang-bintang yang berserakan dan dihiasi awan putih. Sementara di dalam mini bus sudah diramaikan oleh suara merdu Mita Talahu dengan tembang-tembang hitsnya.
Sepanjang jalan saya sudah melewati beberapa desa, salah satu desa Geliting. Konon ini menjadi salah satu desa yang mayoritas muslim. Tolerasi di sini cukup tinggi, umat katolik dan muslim saling menghargai satu sama lain. Begitu indahnya, Ibu Pertiwi :)
Menempuh jalan ini seolah membawa saya pada kenangan. Saat masih bersama-sama dengan tim Pencerah Nusantara. Jalanan yang saya lalui saat ini serupa dengan jalanan Probolinggo. Kanan kiri dipenuhi dengan pepohonan rindang, permukaan jalan yang datar dan sempit dan gelap.
Dari Maumere menuju Larantuka menghabiskan waktu 3-4 jam dengan menggunakan angkutan umum berjenis mini bus. Sekitar pukul 16.45 WITA mini bus menjemput saya di hotel, karena sebelumnya sudah saya hubungi. Biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 60.000. Cukup murah bagi saya dengan perjalanan yang cukup jauh.
Pukul 18.15 WITA mini bus ini baru tancap gas dan menuju Larantuka. Perjalanan malam ditemani rembulan yang benderang. Langit begitu indah dengan bintang-bintang yang berserakan dan dihiasi awan putih. Sementara di dalam mini bus sudah diramaikan oleh suara merdu Mita Talahu dengan tembang-tembang hitsnya.
Sepanjang jalan saya sudah melewati beberapa desa, salah satu desa Geliting. Konon ini menjadi salah satu desa yang mayoritas muslim. Tolerasi di sini cukup tinggi, umat katolik dan muslim saling menghargai satu sama lain. Begitu indahnya, Ibu Pertiwi :)
Menempuh jalan ini seolah membawa saya pada kenangan. Saat masih bersama-sama dengan tim Pencerah Nusantara. Jalanan yang saya lalui saat ini serupa dengan jalanan Probolinggo. Kanan kiri dipenuhi dengan pepohonan rindang, permukaan jalan yang datar dan sempit dan gelap.
Setelah menghabiskan satu album Mita Talahu, akhirnya bus sampai di Kota Larantuka sekitar pukul sepuluh malam. Tidak ada lagi aktivitas di Kota ini, semua mahluk hidup nampaknya sudah kembali ke huniannya masing-masing.
Saat masih di Maumere, saya bertemu seorang teman yang kebetulan berencana untuk menemui keluarganya di sini. Alhasil malam ini saya dan dia bermalam di rumah milik familinya. Tepat ditepian pelabuhan. Rumah yang begitu sederhana, bertembok bambu dan beratap seng berlantai tanah. Alhamdulilah masih ada tempat untuk sekadar meluruskan badan. Rupanya keluarga Kak Fitri ini pedagang ikan asap, kacang rebus dan yang lain, sehingga sebelum tidur saya masih bisa berkenalan dengan aroma yang memenuhi ruangan di rumah ini. Rasanya saya semakin mengantuk :D
Meski Larantuka terkenal dengan pusat wisata umat Katolik, tetapi jangan khawatir bagi kita umat muslim, sebab adzan masih bisa dikumandangkan di sini, terdapat masjid yang cukup besar dan bagus di pinggir jalan raya. Saat subuh tiba, saya mendengar adzan dikumandangkan. Alhamdulilah
Saat masih di Maumere, saya bertemu seorang teman yang kebetulan berencana untuk menemui keluarganya di sini. Alhasil malam ini saya dan dia bermalam di rumah milik familinya. Tepat ditepian pelabuhan. Rumah yang begitu sederhana, bertembok bambu dan beratap seng berlantai tanah. Alhamdulilah masih ada tempat untuk sekadar meluruskan badan. Rupanya keluarga Kak Fitri ini pedagang ikan asap, kacang rebus dan yang lain, sehingga sebelum tidur saya masih bisa berkenalan dengan aroma yang memenuhi ruangan di rumah ini. Rasanya saya semakin mengantuk :D
Meski Larantuka terkenal dengan pusat wisata umat Katolik, tetapi jangan khawatir bagi kita umat muslim, sebab adzan masih bisa dikumandangkan di sini, terdapat masjid yang cukup besar dan bagus di pinggir jalan raya. Saat subuh tiba, saya mendengar adzan dikumandangkan. Alhamdulilah
Untuk menghemat waktu saya langsung bangun, mengambil air wudhu, mencuci muka, sikat gigi setelah itu saya sudah siap untuk berkeliling. Yeay! Saya bisa merasakan ketenangan di tempat ini. Masyarakat menjalani hidup yang begitu dinamis namun tetap menjaga tatanan kehidupan. Sekitar pukul setengah enam saya sudah berada di jalan raya, menikmati udara pagi dan langit yang mulai bercahaya. Melihat kanan-kiri, sudah banyak dari mereka yang mulai beraktivitas. Saya menyapa sekelompok Ibu-Ibu yang tengah mengantri untuk mendapatkan air bersih di pusat pasar. Saya juga melihat pertokoan satu per satu mulai dibuka.
Langkah saya menuju pelabuhan, sepanjang jalan saya tidak menemukan botol minuman pun bungkus obat batuk yang kerap saya temui jika saya di Jayapura. Ah semoga saja memang ditempat ini semua sudah lebih baik dan terjaga.
Sampai di pelabuhan, saya menuju sisi kiri lapangan pelabuhan. Duduk ditepian batas antara pelabuhan dan laut. Menikmati matahari yang perlahan lahir dari arah yang berbeda, sementara dihadapan saya muncul garis berwarna warni pada permukaan awan putih yang biasa kita sebut pelangi. Seperti sarapan pagi yang Tuhan hidangkan untuk saya! MasyaAllah
Cukup lama saya duduk terpaku di sini, menikmati apa saja yang ada. Sembari terus memulihkan hati. Tidak pernah terlupa, tidak sama sekali.
Setelah merasa cukup dengan laut dan sunrise, saya beranjak. Menuju sisi Larantuka yang lain. Saya memilih berjalan di tepi jalan raya, sambil menikmati bibir pantai yang membentang sepanjang jalan. Ada kedamaian yang kemudian tercipta, ada senyum yang lahir begitu saja. Saya menikmati bangunan yang memenuhi kaki bukit, tidak hanya rumah warga, tetapi juga gereja. Banyak sekali gereja dengan ragam bentuk dan hiasan. Saya juga sempat singgah di salah satu patung Bunda Maria yang letaknya masih di sisi kiri jalan raya. Dan saya sempat mengabadikan foto bibir pantai yang dibelakangnya terdapat gunung api Lewotobi, sayangnya saya tidak berencana untuk melakukan pendakian. Mungkin lain kali, sehingga saya putuskan untuk mengabadikannya dulu dalam sebuah gambar.
Saya menyusui jalan ini hingga perbatasan Kota Larantuka dan Kota lainnya. Berbalik arah kemudian kembali menyusuri Kota kecil ini yang indah dan penuh kedamaian. Menyapa mereka, mereka beranggapan bahwa saya seorang mahasiswa, anggaplah begitu. Demikian membuat saya semakin bahagia :D
Saya begitu merasa bersyukur, semacam itu.
0 komentar :
Posting Komentar