Selingkuh? Waspadahal!

Kali ini saya ingin menulis tentang orang ketiga, tepatnya orang ketiga dalam suatu hubungan. ( selingkuhan,red)
 
Mau mendapatkan atau mencari artikel atau tulisan tentang hal ini sangat mudah. Bahkan beberapa waktu yang lalu membaca tulisan di Mojok.co tentang tulisan Mbak siapa ya lupa namanya, seorang selingkuhan yang baik.

Baik? Selingkuhan yang baik? Seperti apa itu? Apa iya ada?

Well
, saya sendiri gak pernah memiliki peran sebagai orang ketiga dalam sebuah hubungan. Amit-amit deh minta jauh! Kayak gak ada pilihan lain saja. Tapi apa iya yang jadi orang ketiga benar-benar gak tahu bahwa dia hanyalah orang ketiga, hanya optional? Pertanyaannya, apa gak ada satu atau dua tanda yang mengarahkan dia pada kecurigaan tentang hal tersebut? Masa' sih? Skeptis nih saya *mikir*

Kalau disurvey, mungkin
"prevalensi" perselingkuhan di jagad raya ini lebih tinggi dari "prevalensi" penyakit menular. Ibaratnya nih, penyakit menular aja ga akan ada kalau ga didahului sama yang namanya perselingkuhan. Iya apa iya? Kalau enggak, saya harus belajar epidemiologi lagi nih Nah balik lagi ke perselingkuhan dan orang ketiga, tentu saja saya bukan satu-satunya perempuan yang sukses membongkar sebuah perselingkuhan yang terencana, terstruktur dan masif ( abaikan bahasa saya ini ) tetapi dari pasir kehidupan ini saya belajar banyak. Tidak sekadar tentang urusan sepele "cinta-cintaan" (cih) tetapi lebih dari itu. Ini tentang kecerdasan, tentang kebodohan yang juga disadari ( secara sadar) tetapi tetap dilakukan.

Beberapa hari yang lalu
housemate saya membacakan sebuah artikel yang mengatakan bahwa seseorang yang berselingkuh diduga memiliki IQ rendah, dan kalau boleh ada penelitian lebih lanjut saya urun saran untuk meneliti juga IQ yang menjadi selingkuhan atau orang ketiga. Saya hanya penasaran, tidak hanya IQ, kalau bisa EQ dan SQ juga.

Sebab mengetahui bahwa
"penyakit" ini tejadi di mana-mana, tidak hanya kalangan orang bodoh, marginal dan sok mampu, tetapi juga di kalangan atas, mapan dan mampu tentunya. Jadi membuat saya tergiring untuk berasumsi bahwa akar dari perselingkuhan ini memang hati, hati yang saya pun gak paham seperti apa. Mungkin harus ada penelitian terlebih dahulu dengan responden yang tidak lain dan tidak bukan adalah pelaku dari perselingkuhan itu sendiri.

Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah sebuah kejahatan yang disusun dengan baik. Juga sebuah kebenaran jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada perselingkuhan yang tidak direncanakan. Ketika nafsu menjelma menjadi sebuah kerlingan,aneka pujian, atau berbalut puisi hasil jiplakan atau bisa jadi berbalut air wudhu dan sembahyang bersama, atau berpura-pura menjadi yang paling menderita atau apalah 1000 trik dalam menahlukan hati. Jika diidentifikasi lebih lanjut, bisa kita bedakan mana yang sasarannya adalah mahkluk polos setengah bego mana yang mahkluk bebal dan masa bodok mana yang berpura-pura tidak keduanya.

Saya teringat dengan banyak kasus yang ada di sekitaran saya. Entah perselingkuhan saat belum menikah pun dalam status menikah. Keduanya sama saja. Ketika nafsu yang menjadi dewa, maka jadilah ia viral di mana-mana. Fenomena gunung es pun terjadi, satu per satu korban dari perselingkuhan mulai menyadari dan sedikit cerdas harus berlaku apa. Tidak lagi khawatir ini itu, sebab penderitaan menahan pedih jauh lebih mematikan ketimbang menahan malu yang mungkin seminggu sudah berlalu.
*bukancurcol*

Saya juga amat setuju ketika seorang Psikolog mengatakan bahwa
jangan menyalahkan diri sendiri ketika pasangan anda selingkuh, sebab apapun kesalahan anda, tetap saja selingkuh bukan jalan keluar ataupun sebuah balasan atas kesalahan atau kekurangan anda.

Well,
sama seperti membuat kesalahan. Sekali masih merasa berdosa, dua kali merasa sedikit berdosa, tiga kali merasa mungkin akan berdosa, seterusnya makan dosa mungkin akan berlalu bersama waktu atau apalah pikiran yang berusaha mengabaikan.

Yang saya pahami, apapun alasannya melakukan hal ini tidak akan pernah ada titik benarnya. Tidak ada alasan pun alibi yang dapat diterima, tidak satu pun.

Dan hal ini terjadi ketika ada
"kesepakatan" atau "penerimaan" dari pihak ketiga yang entah mengetahui pun tidak, pura-pura tidak tahu pun sungguh tidak tahu, bahkan ada yang memang mengetahui tetapi pura-pura lupa atau pura-pura amnesia. Karena jika tidak ada gayung yang bersambut, maka tidak akan terjadi.


Jadi ingat kalimat yang selalu Bang Napi sampaikan di akhir acara bahwa
kejahatan tidak hanya terjadi karena kesempatan, tetapi juga karena ada niat dari pelakunya. Waspadalah!

Good night!

*korban setelah menonton film detektif

Share this:

0 komentar :