( Karna ) Hujan
( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu ketergantungan, dan hasil yang menunggalkan tujuan
Kita membiarkan apa saja berjalan dengan
ritmenya. Pun kita dengan langkah teratur juga hening. Membiarkan
daun kuning jatuh diantara sekelebat memori yang membuat kita tersadar bahwa
kita sedang melangkah. Terus melewati trotoar berlumut sampai pada ujung tangga yang sesak dengan debu dan plastik bekas.
***
Ia begitu
sendu, langit diatas sana yang mulai menjatuhkan rintik. Aku sedikit bertanya,
mengapa hujan selalu turun meski tidak ada yang meminta? apakah hujan tahu
bahwa banyak yang menghardiknya? meski tidak bisa dipungkiri banyak juga yang
memujinya.
Lantas bagaimana dengan aku? aku pecandu
hujan. Aku selalu merasa damai ketika aku bertemu dengannya, karna aku layak
api yang dipadamkan olehnya. Sering aku merindunya lebih dari sekadar
merindukan seorang yang pernah ada.
***
Langkah sesaat terhenti karena kita aku
sedang berada didalam gerbong kereta khusus perempuan. Gerbong ini mencerminakan betapa perempuan lebih dihargai, saat ini. Perempuan memiliki tempat yang layak didalam
lingkaran sosial. Aku menyukai tempat yang memperlihatkan kehomogenan. Aku
bisa menikmat aneka ekspresi dengan nuansa kebebasan kaum ku. Melihat seorang
ibu yang dengan leluasa menyusui anaknya. Melihat anak remaja yang tengah
tumbuh dewasa dengan kalimat-kalimat telephonenya. Mengamati para wanita karier
dengan blazer andalan dan pantopel kesayangan yang warnanya kian meredup. Didalam gerbong ini aku bisa menyadur aneka rupa dari kaum ku sendiri.
***
Aku menikmati langkah yang belum berarah seperti hujan yang turun tanpa memberi kabar juga seperti cara aku menikmati kado kecil dari sang tuan untuk kaum ku lebih mudah dalam 'berjalan'. Aku menikmati apa saja yang tertera dihadapan, meski kadang juga menerka sedikit tentang rasa takut akan hari esok.
Mempertanyakan kapan hujan kembali turun, kapan aku bisa berada di gerbong kereta khusus perempuan, dan masih seragam pertanyaan yang membuat aku semakin ingin melangkah meski belum berarah.
Satu atau dua mungkin juga tiga atau sampai angka selanjutnya, aku percaya aku akan tetap menikmati perjalanan yang sesungguhnya sudah terpetakan olehNya. Hanya saja aku (masih) berpura-pura lugu seolah tidak mengetahui apa dan siapa.
***
Hujan kembali memulangkan rintiknya satu demi satu tepat diatas kemeja berwarna abu yang menjadi salah satu favoritku. Membuat kacamata menjadi berembun kemudian bermandikan buliran. Aku teramat menyukai saat- saat ini. Membiarkan segala rasa meluap berpadu dengan aroma daun, tanah dan kedamaian. Memejamkan mata berusaha menyempurnakan kekhusyukan menikmati hujan.
***
Hujan tidak mampu menyelinap kedalam kenangan | Ia hanya bisa mendekap dari luar sebelum meninggalkan uap pada ruang | Seperti biasa, seperti kita memaknai sebuah kepergian | Karna cepat atau lambat waktu akan tetap melepas topeng | Hujan tidak akan pernah mampu menyelinap pada permukaan yang sempurna rata | Karna hujan adalah wujud dari kedamaian dan kesetiaan | Setiap kita akan kembali | Kepada (siapa) pemiliknya
0 komentar :
Posting Komentar