TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for Februari 2013
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu
*Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Sebagai anak muda, pernah kita berpikir tentang Perjuangan? Tentang usaha kita untuk memperjuangkan sebuah 'kemerdekaan' banyak umat? atau sebagai anak muda kita hanya berpikir tentang gadget, tentang gaya, siapa yang paling cantik? siapa yang paling keren? siapa yang paling gaul?

Pernah kita berpikir betapa keras dan mati-matian perjuangan para Pejuang kita terdahulu yang manisnya bisa kita rasakan? Pernah? Pejuang hanya diingat ketika membaca nama mereka yang menjadi nama jalan, atau sekadar nama-nama rumah sakit. Itupun jika kita mengenal mereka dari pelajar sejarah. Jika tidak, Who knows?

Saya, kamu, kita bisa mengoreksi diri masing- masing. Apa yang bisa dan telah kita lakukan untuk melanjutkan perjuangan mereka. Meski bukan dalam bentuk peperangan lagi, karena jaman sudah beda. Melainkan dengan perjuangan kita untuk tetap mempertahankan apa yang sudah mereka perjuangkan.

Saya senang sekali, ketika banyak anak muda yang secara tidak langsung terlibat langsung dalam Pembangunan. Dengan berlomba-lomba meningkatkan prestasi, berlomba-lomba membuat sebuah organisasi anak muda, berlomba-lomba mengambil peran dalam Pembangunan Indonesia. 

Namun disamping itu, masih banyak anak muda yang juga menciptakan 'dunia' mereka sendiri. Bahkan lebih pekat dan lebih sempit dari dunia nyata. Mereka 'menyamankan diri' dengan pergaulan bebas yang menganggap seks bebas dan narkoba sebagai sahabat, dengan kegiatan yang berujung pada praktek "premanisme' dan kriminalitas. Yang berakibat pada kehancuran masa depan juga meningkatnya angka kriminalitas oleh anak muda, menjulangnya penderita HIV AIDS maupun Penyakit Menular seksual, kehamilan remaja, yang pada akhirnya berujung pada kematian.

Semua itu adalah Fakta yang selama ini kita 'anggap' mungkin bukan masalah atau bahkan dianggap biasa. Atau mungkin terlalu pesimis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Memang, saya tahu itu tidak mudah. Dan sudah pasti, menyelesaikannya pun tidak sekadarnya. Akan banyak melibatkan pihak, sektor, juga penguasa termasuk anak muda lainnya. Sebenarnya, Pemerintah tidak diam saja dalam hal ini, namun masih sangat kurang didukung oleh 'oknum' didalamnya. Rasa peduli atau tepatnya tingkat kepedulian akan hal ini masih sangat kurang.Contoh saja, masih banyak 'oknum' yang tertangkap karena juga terlibat dalam permasalah diatas. Meski mereka bukan lagi anak muda, namun mereka adalah pihak yang seharusnya turut aktif dalam menyelesaikan permasalah ini.

Itulah PR kita sebagai Subjek dalam mengambil peran membuat Perubahan sebagai anak muda. Perjuangan kita lebih berat karena kita harus berjuang melawan 'nafsu' diri sendiri. Kita harus 'berperang' dengan hal-hal buruk yang mungkin akan selalu menggoda kita. Seharusnya, sebagai anak muda kita sudah bisa mempertimbangkan tindak tanduk kita. Bukankah di sekolah kita diajarkan untuk memahami Pancasila,Undang-undang dasar? itu semua diajarkan agar kita paham kita harus hidup seperti apa. Terlebih lagi setiap agama mengajarkan hal-hal baik dan melarang hal-hal yang buruk. Bahkan dalam bangku sekolah, kita diberitahu tentang kesehatan, budaya, kejahatan, dan pengetahuan tentang alam semesta. Sayangnya, tidak semua dari kita memahami, ,mengerti dan menganggap semua itu penting untuk diaplikasikan. Bahkan mungkin hanya sebagai materi usang yang berlalu dan berulang dari generasi ke generasi! hufff,terasa sulit memang! Tetapi kita harus bangkit dari rasa pesimis! Kita harus saling  bahu membahu dalam mengubah banyak hal. termasuk mengubah paradigma tentang Dunia anak muda.

Anak Muda adalah Penentu akan jadi seperti apa Generasi selanjutnya.
Anak Muda adalah Cerminan akan seperti apa bangsa kita pada tahun-tahun mendatang
Anak Muda adalah Pensil yang akan dihabiskan untuk menulis sejarah tentang Indonesia

Kita, sebagai anak muda memiliki banyak pilihan akan menjadi apa dan mampu memberi apa pada negeri yang sangat kita cintai.

Untuk kita Generasi Muda,

Untuk melihat bintang yang indah, kita memang harus menunggu langit yang gulita. Untuk melihat pelangi yang elok, kita harus melewati badai sampai ia berlalu. Kita tidak perlu menyalahkan atau mengucilkan orang lain. Yang perlu kita lakukan adalah terus berprestas dalam masing-masing frame, terus peduli dengan sesama yang masih belum satu genggaman dan terus membuat perubahan meski bermulai dari diri sendiri. Karna saat ini, kita bukan sekadar Objek pembangunan, melainkan Subjek atasnya!


Ram, kamu sepertinya langit yang berwarna biru itu, palsu. Pasti kamu bertanya, bagaimana bisa? Iya! Biru pada langit itu hanya tampilan luar. Sebut saja topeng. Sama seperti kamu. Untuk menarik perhatian, kamu menampilkan hal termanis yang bisa kamu tampilkan. Setelah mendapatkan apa yang kamu inginkan, kamu tampakan hal terburuk yang kamu miliki. Seperti langit, ketika awan biru mulai ditutupi warna putih kemudian kelabu dan munculah suara petir lantas hujan mulai berpulang.

Sebenarnya hujan itu adalah mekanisme alam demi mempertahankan diri. Apa sama seperti mu? Memecahkan 'kita' hanya untuk mempertahankan diri. Kata mereka, biar waktu yang menjawab. Tetapi apa  mereka tahu, kamu tahu? Membiarkan diri dalam keentahan itu seperti sedang meracuninya dengan racun yang dianggap madu!

Ram, Mungkin satu pertanyaan yang sampai kapan pun akan aku usahakan untuk temukan jawabannya. Mengapa kamu melakukan hal ini? Pertanyaan itu akan selalu mencarimu, sampai aku benar-benar temukan jawaban yang memang menjadi dasar mu.
Ketika semua meninggalkan dalam rasa kecewa yang bergelut didalam hati mereka, masih ada bagian dari mereka yang tidak turut meninggalkan. Mereka yang telah mampu menerima diri kita dalam keadaan hina sekalipun.


Devya Ayu Kasha, seorang gadis dengan senyum simpul manis miliknya. Gadis yang saya sapa ' teteh' . Ia bukan gadis sunda seperti yang nampak dari panggilan akrab dari saya. Saya mengenalnya ketika pertemuan komunitas membaca. Ia gadis yang menyenangkan juga dewasa. Pertemanan kami berlanjut dan kian terpaut dengan kegiatan kecil dan sekadarnya yang kami rencanakan. Mulai dari nonton bareng, jalan-jalan sekitar Bogor - Jakarta pun ketika harus melakukan perjalanan mendaki gunung atau menyusuri pantai.

Dia gadis yang tangguh mandiri meski kadang rapuh. Yang nampak pendiam namun akan berubah menjadi 'ceriwis' ketika sudah bertemua dengan 'golongannya'.

Kami memang baru saling mengenal, namun ada hal lain yang membuat kami begitu dekat. Yakni, Hati.

Kami pernah bertengkar, dan paling sering adalah beradu pendapat. Saling merasa benar. Kami kerap tidak saling berbicara. Tetapi hati kami saling memaafkan, saling merindukan. Kami seperti dua gadis yang saling bercermin. Banyak memiliki persamaan juga perbedaan.

Kami sama- sama gemar 'merajuk' pada orang-orang yang kami sayang..

Saya menyayanginya tanpa harus ada deklarasi, tanpa hadiah atau tanpa simbol. Saya menyayanginya seperti saya menyayangi kakak perempuan saya. Bahkan saya kerap emosi ketika ada beberapa lelaki yang membuat teteh menangis. Sudah saya katakan! saya menyayangi dia.

Hingga ketika saya merasa sedang berada pada titik kehancuran hidup, dia mungkin saja sangat kecewa terhadap saya. Namun dia tetap mampu mengatakan " Gue bangga dan tetep sayang elu apapun bentuk elu".  Dan saya hanya mampu menangis. Ketika tidak ada satu pun orang yang bisa saya ajak bercerita, dia akan tetap ada. Meski kadang ia hanya menanggapi dengan senyuman atau "hahahaha". Its enough.

Dia sudah menjadi bagian dari diri saya. Nampak bergantung atau terlalu mungkin. Tetapi begitu adanya. Saya menganggapnya lebih dari sekadar teman, lebih dari sekadar sahabat. Teteh salah satu hal yang terpenting yang saya butuhkan. Dan Allah mengetahuinya hingga sampai saat ini teteh tetap ada, meski jauh disana, namun tetap dekat disini, dihati.

Kelemahan saya adalah tidak terlalu pandai menyatakan rasa sayang saya terhadap objek. Mungkin hal ini yang membuat saya sering 'merajuk' .

Teh, Terimakasih untuk semuanya. Untuk kasih dan sayang juga maafnya.



Kita seperti burung dan ketinggian. Ketika kau ingin terbang, tanpa ada ketinggian mungkin kau akan selamanya bertengger pada ranting.


# Salah satu kado teruntuk Teteh yang miladnya sudah berlalu :D
Akan ada banyak cerita yang mungkin tidak habis untuk saya tulis. Semenjak permukaan hati mulai berlubang. Ada banyak cela untuk menyimpan cerita disana. Satu persatu mulai menempati kotaknya masing-masing. Perlahan mulai membiarkan mereka 'berteman'. Berharap akan ada keterkaitan diantaranya.

Dalam jeda melewati tiap mili jalan, berpadu dengan embun yang mulai terserap daun. Kembali melepaskan ingatan, membiarkan mereka bermain dengan sejumput harapan bercampur rasa kecewa.

Banyak hal yang masih menggenang didalam keseharian. Tentu saja mengganggu sisi damai juga menyamarkan ketenangan. Rupa bisa saja menampilkan kesahajaan pun riang. Tetapi hati akan tetap pada kondisi awal. Terluka parah, terlebih lagi ia berada didalam. Luka yang berbahaya adalah luka yang tidak nampak.

Selama melintasi jalan ini, jalan yang membawa saya pada sebuah desa yang secara tidak sengaja memberikan rangkaian peristiwa yang sudah pasti tidak bisa diulang. kedua sisi nampak hamparan rumput hijau tumbuh tak beraturan, juga deretan pinus ada yang baru memulai hidupnya namun ada juga yang sudah lapuk ditelan usia. Pegunungan yang gagah namun kadang tersamarkan oleh awan juga kabut yang mulai meninggi. Anak pipit berterbangan diatas ketinggian. Satu dua pasangan suami isteri tengah mengumpulkan rerumputan liar untuk sapi dikandang. Juga bocah dengan cairan kuning mengering diatas bibir. Inilah kehidupan desa yang memberi waktu kepada saya untuk sekadar bertanya pada diri sendiri.

Jalan yang berliku disertai pemandangan nun indah, menuntun saya pada sebuah cerita masa lalu yang memang manis untuk dikenang, meski pahit dalam akhir cerita. Bukan sebuah masalah, saya akan tetap mengenangnya sebagai salah satu cerita manis dalam perjalanan hidup saya.

Manis dan pahit hanyalah simbol dari aneka rasa yang tidak memiliki kepatenan atas ambang batas. Rasa manis mengajarkan saya bagaimana harus bersikap hingga orang lain bisa tersenyum juga menciptakan rasa nyaman dan aneka kesenangan lainnya. Sementara rasa pahit memberitahu satu pelajaran terpenting kepada saya, bahwa apapun usaha yang saya lakukan untuk menciptakan rasa manis pada orang lain juga akan tetap diikuti oleh rasa pahit. Karena sampai kapanpun, saya tidak akan pernah dengan sempurna melakukan hal tersebut.

Yah, sampai kapan pun saya tidak akan mampu membuat semua orang bahagia. Hal terpahit yang akan saya terima ketika orang lain merasa tidak meneguk rasa manis dari saya.

Ah Tuhan, kadang saya berpikir ketika melewati jalan-jalan lenggang ini. Berpikir tentang apa saja yang sudah saya perbuat di dunia ini. Melakukan hal yang sangat menyenangkan untuk saya. Tetapi apa saya sudah berpikir tentang hal-hal yang saya lakukan namun tidak menyenangkan orang lain?

Ketika berpikir tentang hal itu, saya kembali pada teori manis- pahit, teori yang saya buat untuk memberitahu pada diri saya bahwa sampai kapanpun, akan ada pahit yang mengikuti langkah. Karena ia adalah bagian dari proses penyadaran diri bahwa kita memang tidak akan pernah bisa membahagiakan semua orang atas apa yang kita lakukan maupun atas apa yang kita miliki.




 



Mungkin kita bukan lagi sepasang domba selalu berada dihamparan rerumputan seperti biasa..

Teruntuk kamu yg selalu ditemani kenangan,

Kamu masih ingat dengan puisi yang kamu rangkai sore itu? usai kamu melakukan kewajiban kamu untuk memandikan Whisky, kemudian kamu meletakkan kepala diatas bantal kesayangan kamu sambil memanyunkan bibir seperti sedang merajuk dan perlahan menatap kearah ku yang sedang sibuk menyisir 'anak' mu.

Aku ingat benar puisi pertama yang lahir dari jemarimu..

" Kita adalah sepasang. Jika salah satu hilang, maka tidak akan ada cadangan." 

Kamu dengan binaran mata yg paripurna mendekati aku dan memberikan secarik kertas yang sudah dibubuhi kalimat disana. Ah, kamu tahu? itu kali pertama aku mendapatkan sebuah puisi dari seseorang yang tidak pernah menyatakan cintanya lagi.

Harris Risjad, nama yang sedari berkenalan tidak pernah aku menyebutnya, namun sudah menempati tangga tertinggi dihati. Aku terbiasa memanggilmu,Sayang.

Kita bukan lagi anak kecil yang bermain layang-layang dipenghujung hari. Seperti belasan tahun yang lalu. Saat kamu dengan kasih menggendong aku yang terjatuh akibat tali layang-layang mu yang membentang tak terlihat. Kini, kita sudah menjadi sepasang kekasih dewasa yang tidak lagi menyatu. Kita dianggap mereka sepasang, meski sebenarnya sudah berai tak pasti sejak kapan dan tak tahu penyebabnya.

Gerangan semu yang membuat kita saling berbalik. Kamu ke selatan, sementara aku menuju utara. tetapi ada satu hal yang mungkin kamu lupa. Bumi kita ini bulat, sayang! selatan, utara, timur pun barat. Kamu akan tetap kembali pada pusatnya. dan disana kamu hanya akan menemui satu titik yakni,  aku.

Aku hanya menunaikan janji. Seperti permintaan mu dahulu, dengan lembut kamu berbisik " Jangan pernah tinggalkan 'kita' meski dalam keadaan terburuk sekalipun".

Dan aku tidak pernah meninggalkan 'kita'. Hanya saja, aku memberi mu waktu untuk menikmati hidupmu tanpa aku. Mungkin saja, selama bersama, aku terlampau menggenggam jemarimu hingga membuat mu jengah. Maaf Tuan, tidak berniat untuk menjadikan mu tahanan. Hanya saja, rasa yang aku punya menuntun aku untuk menjaga mu. Meski nampaknya terlalu.

Aku tidak ingin terlalu banyak menuliskan huruf  disurat pertama ini, semenjak kita sudah tidak saling bicara. Kamu terlalu sibuk menangisi kepergian Whisky yang memang sudah habis waktunya. Bahkan ketika aku yang pergi, tidak ada air yang keluar dari matamu. Mungkin memang aku tidak sebanding dengan dia kesayanganmu.

Surat ini tidak memberikan apa- apa, sayang. surat ini hanya menyampaikan apa-apa yang selama ini ingin aku sampaikan. Sejujurnya, kita hanya sedang menipu diri kita sendiri. Kamu teramat membutuhkan aku berada disisimu, begitu bukan? sementara aku masih bergelut mencari keyakinan yang lenyap malam itu. 

Aku tidak ingin lebih lama membingungkan kamu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa Bumi kita masih bulat. Jadi jika tujuan mu masih sama, maka segeralah menuju pusat. Ada yang menunggu mu ditaman kota pada senja yang masih jingga, mungkin saja untuk menulis puisi berdua seperti kala. Aku hanya ingin mendapati balasan ditaman kota. Balaslah segera! agar tidak ada kecewa yang berpendar disana.

*Mungkin ini surat yang selalu kamu tanyakan pada pak pos. Maaf jika baru sekarang aku kirim. Karena bukan hal mudah untuk menuliskan tentang apa yang kita yakini adanya. Aku ingin memanggilmu, Sayang. Seperti perempuan yang dahulu pernah memanggil sayang pada mu. sejujurnya, aku rindu dia. Ibu,mu.


Ditulis oleh seseorang yang tidak pernah benar benar meninggalkan juga melepaskan,kamu




Aku pengagum matahari. Salah satu nikmat dari Tuhan yang mutlak tidak bisa ku pungkiri. Menyambut pagi dengan segenap harapan yang tersikap kala melihat semburat sinarnya menyelinap dibalik kelopak mata. Merasakan setiap energinya perlahan merayapi pori-pori lantas mengisi pundi-pundi semangat. Merasuk hingga membuai hati untuk turut berbagi, seperti matahari yang senantiasa berbagi tanpa takut merasa rugi. Dan aku, matahari dalam hidupku.

Seorang gadis berusia 22 tahun dengan semangat berkibar. Tak lagi mengingat kapan pertama kali aku mulai gemar berlakon seperti matahari, tepatnya ingin seperti matahari. Aku menyadari bahwasannya aku belum memiliki harta benda untuk ku berikan pada mereka yang ku anggap membutuhkan. Tetapi aku melihat kedalam diriku sendiri, aku yakin ada sesuatu yang ku punya yang bisa kubagi pada oranglain. Ya, aku menemukan beberapa hal yang bisa aku bagi yakni semangat! Aku mendapati potongan kalimat untuk ku “ kau seperti awan yang selalu membuatku ingin terbang tinggi ” dari seorang sahabat yang pernah kubagi setonggak semangat untuknya.

Aku memiliki ribuan semangat yang siap dikobarkan. Aku wujud generasi muda yang tak henti-hentinya menginginkan untuk belajar, belajar dan belajar. Tak jarang membuat orang lain menggelengkan kepala ulah aku yang kadang diluar dugaan. Seperti beberapa kegiatan yang aku ikuti, contoh saja. Aku pernah bergabung dengan sebuah organisasi yang letaknya cukup jauh dari tempat dimana aku menghabiskan hari. Hingga rekanku satu organisasi bertanya “ Adakah alasan lain yang membuat kau sampai disini, teman?” aku menggelengkan kepala. Bagiku, jarak bukan penghalang untuk aku menyambung silaturahmi, apalagi disana aku mendapatkan banyak pengetahuan dan ilmu yang berguna untuk hidup. Apa yang mereka berikan kepada ku tentu saja aku kemas dengan kemasan yang berbeda. Banyak ilmu yang kemudian aku terapkan dalam kehidupanku saat ini. Apa yang menurutku belum tepat ketika melihat oranglain, maka aku ambil dan aku ‘olah’ untuk menjadi energi positif yang kelak bermanfaat dn siap untuk dibagi. Tak ada yang sia-sia dari apa yang aku lihat, aku dengar, aku rasakan. Semua bisa ku pantulkan untuk sudut-sudut ruangan yang gelap bahkan yang sudah gemintang.

Aku ingin bercerita sedikit,

Didalam metromini yang baru saja ku injakan kaki didalam kumpulan seng beroda itu, sering kudapati satu paket keluarga yang ‘berprofesi’ sebagai pengamen. Tentu saja sebagai seseorang yaang masih memiliki hati nurani aku iba. Melihat anak balita yang digendong oleh sang ibu, kemudian tangan kanannya menggandeng bocah berusia empat tahun kurang lebih, sementara sang suami mencoba memetikkan gitar yang tak lagi lengkap senarnya. Mereka bernyanyi, meski nada yang dikeluarkan jauh dari ‘easy listening’ tetapi cukup membuatku merogoh sejumlah rupiah dikantong. Bisa saja aku hanya memberi satu logam, namun aku dibuat kembali berpikir oleh diriku sendiri. 

Aku membatin” Kau saja, dengan uang berwarna hijau tak cukup membuat perutmu tenang dalam satu hari. Terlebih lagi untuk keempat manusia yanga ada dihadapan mu! Apalaah arti satu logam jika kau memiliki lebih dari itu? Bukankah kau sendiri yang mengatakan jangan menunggu cukup baru memberi?”

Kala itu, dalam waktu sepersekian detk terjadi perang pikiran. Lantas aku menukar koin yang semula menjadi lembar. Bukan aku sombong atau sekadar gengsi, hanya saja aku memberi dengan melihat diri ku sendiri. Aku ingin berbagi apa yang aku punya tanpa harus merasa aku akan merugi.

Aku terlampaui sering menjadi pengamat perilaku orang lain. Namun aku tak menggunjing, sungguh! Dari tingkah mereka yang aku amati, kemudian aku mengembalikan pada diri ku. Bertanya pada sepotong hati tentang apa saja yang bisa ku berikan untuk banyak orang. Lantas hati seperti menjawab “ Berbagilah dengan semangat dan senyuman, berikan apa yang tak orang lain minta, namun kau tahu orang itu membutuhkannya”.

Aku mengingat sepotong kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat itu salah satu temanku tengah mengulang tahun. Aku mengenalnya baik. Ia tergolong seseorang yang sulit untuk memaafkan oranglain. Sedikit saja tentangnya. Kala itu, aku melihat banyak dari sejumlah temanku memberinya hadiah seperti boneka dan aksesoris lain. Aku tertegun. Aku memikirkan judul buku yang akan ku berikan kepadanya. Aku selalu memberikan buku kepada teman-teman ku yang tengah berulang tahun. Setelah menimbang, akhirnya aku memutuskan untuk memberi buku dengan judul “ Setetes iman untuk melembutkan hati”. Ku tulis dihalaman depan yang kosong dengan serangkaian kalimat kenangan untuknya. Tak disangka, tanggapan yang kudapati sangat mengharukan. Ia datang lantas menangis memelukku. Aku hanya mampu mengelus bahunya perlahan.

Aku senang melakukaan hal yang kecil dan remeh temeh namun itu berarti untuk oranglain. Setiap orang memiliki cara yang uniqe dalam berbagi. Dan aku menyukai itu,hoby ku yang satu ini. Aku seperti sedang merajut sayap untuk aku terbang diatas impianku. Memberi lebih banyak tanpa harus takut akan habis dari diri ini. Aku percaya bahwa apa yang aku beri kepada oranglain, meski tidak berwujud benda- aku meyakini bahwa kelak itu akan bermanfaat. Setidaknya ketika kau terpuruk atau sedang jatuh, ada aku yang menyediakan waktu untuk kalian sekadar meluapkan semangat bangkit,untuk menjadi pendengar dan berbagi tentang hari, sepotong hati kadang menggodok kita dengan aneka rasa.

Semakin hari aku semakin mengerti. Mengapa matahari selalu hadir sepanjang siang lantas bulan bergantian pada malam. Ketika bulan hadir dilangit malamku, dibelahan bumi lain matahari senang bersenang senang dengan sinarnya. Ini selalu menarik. Bagaimana alam dan kehidupan mengajarkan kita untuk saling menalikan kasih dalam ikatan yang tak sama.

Dengan semangat aku memampukan diri,kelak aku lebih banyak ‘menanam’ ditempat yang subur maupun tandus. Dimana dan kepada siapa. Mengembalikan nilai yang tengah diubah oleh tangan yang bertuan. Berwujud senyum menyapa pagi. Salam dan semangat berbagiJ
















Sepotong surat yang ditulis oleh seorang bocah yang duduk dibangku sekolah dasar kelas 4. Lia, anak dari sepasang suami isteri yang sudah tidak lagi menjaga keharmonisan rumah tangganya. Sang bapak yang tidak lagi menafkahi bahkan sudah menjalin hubungan dengan wanita lain.

Pertemuan dengan Lia terjadi ketika rumah Lia menjadi salah satu rumah yang saya datangi untuk dilakukan Pemetaan Kesehatan keluarga yang merupakan salah satu program kami ( Pencerah Nusantara). Semula, tidak ada pembicaraan yang mengarah pada masalah pribadi. Saya hanya sedikit mewawancarai terkait masalah kesehatan.

Ibunda dari Lia, terlihat sebagai sosok Ibu yang mandiri, tegar juga bertanggungjawab. Dapat saya lihat dari gaya bicara, perkerjaanya sehari-hari yakni menjadi kuli pasar dipagi hari, siang menjadi pembantu rumah tangga, dan sore mengambil makanan sapi di ladang.

Saya menaru empati padanya. Perlahan, Ibunda Lia semakin detail bercerita tentang keluarganya. Sampai pada akhirnya beliau menunjukan secarik kertas kumal yang berisi permintaan dan pertanyaan Lia terhadap hubungan orang tuanya. Lia menginginkan seorang adik seperti teman-temannya. Lia menginginkan sepeda untuk bermain kelak dengan adiknya. Lia menginginkan keluarga yang bahagia..

Lia menangis ketika surat itu diberikan kepada saya. Saat itu, saya berjanji pada diri saya untuk tidak menangis. Sayangnya, pertahanan saya runtuh ketika membaca surat yang Lia buat atas kata hatinya sendiri.

Lihat! betapa anak menjadi korban atas ketidakharmonisan hubungan orangtua. Apakah orangtua memikirkan hal ini? Bagaimana psikis anaknya ketika orangtua saling beradu argumentasi dihadapan anaknya. terlebih lagi ketika saling bermain tangan?

Lia, bisa jadi salah satu anak yang beruntung ketika perpecahan terjadi didalam keluarganya tidak membuat lia menjadi anak yang memusuhi masa depan. Karena lia masih mendapatkan peringkat kedua di sekolahnya. Lia tetap ingin menunujukan bahwa ia adalah anak yang cerdas. Keinginannya menjadi seorang guru terus ia pupuk dengan rajin bersekolah dan belajar dirumah.

Saya berjanji membelikannya boneka kelinci ketika semester ini dia mendapatkan peringkat satu. Dan dia berjanji akan mendpatkan peringkat satu!



Saya salah seorang yang terlalu sering gelisah a.k.a Galau. Mungkin saja hubungan saya dengan Tuhan belum cukup dekat. Meski raga selalu melakukan usaha untuk dekat dengan Dia, hanya saja hati saya masih sering dilanda rindu. Rindu pada ketenangan, kedamaian dan kenyamanan. Bisa jadi saya belum benar- benar mengerti bagaimana menjalin hubungan yang karib denganNya.

Saya juga salah seorang yang selalu menegaskan pada diri bahwa saya tidak membutuhkan oranglain untuk sekadar menjadi pendengar tiap celotehan yang keluar dari mulut saya. Nyatanya, saya keliru!. Saya membutuhkannya dan amat membutuhkan seseorang itu. Seseorang yang siap sedia atas waktu, juga telingga dan bonus senyum sederhana ketika mendengarkan bibir saya membulatkan kata-kata.

Saya merindukan seseorang yang dahulu melakukan hal serupa. Saya tidak lagi mengetahui dia kini tengah menjadi pendengar siapa! Saya rindu. Dan kerinduan ini menjelma menjadi rasa gelisah yang tak beraturan. Ia membutuhkan irigasi untuk mengaliri apa-apa yang ada didalam kotak kaca kedap suara membulat didalam kepala.

“ Mengapa kamu tidak mencari orang lain untuk menjadi pendengar kamu?”

Ini tidak saja perkara mendengar, melainkan perkara seseorang yang memang memberikan kenyamanan ketika apa saja yang keluar dari mulut tanpa kendali. Seseorang yang rela mengembangkan senyumnya sepanjang matahari memandang. Seseorang yang merelakan pundaknya untuk bersandar tatkala beban itu kian meninggi.

Tetapi kini, ia sudah tak lagi menjadi pendengar. Mungkin bosan menjadi pendengar kalimat-kalimat saya yang tak beraturan. Mungkin ia sudah menemukan seseorang yang mampu menjadi pendengarnya. Karena mungkin saya gagal menjadi pendengar yang baik untuknya.

Kini saya tak lagi berbicara seperti dahulu. Saya kembali pada jemari yang berkeliaran diatas tuts notebook. Membuat nada-nada tak beraturan dalam keheningan. Memetik senar gitar tanpa not balok. Bernyanyi sebelum tidur tanpa kontrol irama.

Kini saya hanya sepasang mata sendu dalam suasana kamar pekat, lembab dan mungkin saja berhantu. Belum ada sinar matahari yg menusup perlahan seperti dahulu yang sedari pagi sudah menyentuh kelopak mata,membangunkan dari tidur dengan senyum bahagia.

Kini, semua menjadi abu-abu. Maju tak ada upaya, mundur pun tiada guna. Hanya menunggu tangan Tuhan menggerakan atau menurunkan arahannya. Saya hanya ingin didengar juga mendengarkan. Saya hanya ingin rindu ini sampai dan menyampaikan pesan. Bahwa selamanya ia tetap hidup didalam. Dengan atau tanpa raga yang bersamaan. 



Ada banyak cara Tuhan untuk membuat kita menjadi istimewa. Mungkin cara ini menjadi salah satunya. Melalui rasa bersalah, kemudian membuat kita mendapatkan kembali jalan yang dikehendakiNya. Ketika kita dipisahkan, bukan berarti kita tak satu. Hanya saja untuk menjadi satu, harus Tuhan yakinkan bahwa kita tidak salah dalam memutuskan sebuah pilihan. Karena ragu yang kau punya, membuat kita semakin yakin akan adanya jalan Tuhan. Jalan yang tidak selalu mulus, tetapi tetap jalan yang benar. Untuk mempertegas, bahwa ini belum menjadi akhir perjalanan kita, karena ini masih sebuah proses yang pada akhirnya akan kita ketahui jalan cerita Tuhan. Jika boleh saya meminta, bersabarlah dan pahamilah alurnya.

“Tidak perlu rasanya terburu-buru untuk melepas alas kaki yang kau kenakan jika itu belum waktunya untuk kau lepaskan. Jika kau ingin memberi ruang pada jari untuk bernafas, maka longgarkanlah. Jangan kau lepas begitu saja. Pun ketika sudah waktunya untuk kau lepas, maka lepaskanlah ditempat yang layak untuknya. Seperti ketika kau membelinya ditempat yang baik, maka lepaskan ia ditempat yang baik pula”

Kembali berpikir ketika menunggu garuda 0324 siap membawa saya terbang. Kau tahu, untuk sampai pada GA 0324 membawa saya terbang, saya harus melewati berulang kali proses untuk dapat terbang bersamanya. Dimulai dengan saya memilih pesawat yang akan saya tumpangi, lantas membeli tiketnya, kemudian melewati banyak pintu pemeriksaan  sebelum akhirnya saya sampai pada sebuah kursi tepat berada disamping jendela dengan aneka kenyamanan disana. Itupun jika tidak ada delay yang kadang membuat kesal. Kau pun tau, menunggu akibat penundaan itu tidak enak! Iya, kan?

Kalau saja, saya terbawa rasa khawatir untuk terbang dengan pesawat alih-alih takut terjatuh atau mengalami musibah, maka secara tidak langssung saya tengah mengkerdilkan diri saya sendiri yang sudah mau di’bodohi’ oleh rasa khawatir akan sesuatu keburukan yang semu,rasa yang diciptakan oleh diri saya sendiri. Bukankah pesawat sudah dibuat dengan perhitungan yang matang oleh ahlinya? Lantas untuk apa saya mengkhawatirkannya? Bukankah ia diciptakan memang dengan segala kecanggihan juga kekunoannya? Bukankah tidak ada satupun hal yang hanya memiliki tunggal sisi?

Didalam penerbangan yang haya berdurasi 75 menit, saya berulang-ulang kembali berpikir tentang rasa takut, khawatir pun ragu yang tengah menyelimutimu. Tentang keraguan akan pilihan yang dahulu sudah diyakini. Rasanya, tidak mudah untuk menerima sebuah ‘kejutan’ yang didalamnya berisi pembatalan rencana untuk mengarungi masa depan bersama. Mendapati kenyataan bahwa apa yang kau bangun dalam ratusan hari akan berakhir hanya dengan hitungan menit. Tetapi inilah power of emotional yang berdampak negative. Ketika emosi sudah menjadi raja pada tuan rumahnya. Tanpa menggunakan logika ataupun perhitungan yang lain. Meski hidup bukan matematika, tetapi akan tetap ada perhitungan didalamnya.


Tiga tahun yang lalu, saya pernah meninggalkan orang yang menyayangi saya, tanpa alasan dan hanya melalui pesan singkat. Saat itu saya masih duduk di bangku kuliah. Jika saya tidak keiru, saya mengirim pesan itu dimalam hari, kemudian menangis. Saya menangis karena saya harus meninggalkan hubungan yang sudah kami bangun dengan tujuan yang sama. Dia lelaki yang tampan, baik juga cerdas. Saya mengenal dia semenjak saya masih duduk dibangku SMP. Dia adalah kakak kelas favorit teman-teman saya, mungkin termasuk saya. Singkat cerita, kami mulai dekat ketika kami berada pada SMA yang sama. Saya terpilih menjadi Queen ketika penerimaan siswa baru. Dan dia salah seorang pejabat osis di SMA. Saat itu kami belum memiliki hubungan khusus. Karena dia memang tidak pernah sepi digandrungi oleh siswi- siswi SMA pada masa itu.

Perjalanan hubungan yang mulai dekat berawal ketika saya berada di semester satu. Kami memutuskan untuk menjadi teman dekat pada saat itu. Dia laki-laki yang baik. Banyak mengajarkan hal yang baik kepada saya. Seperti seorang kakak laki-laki yang tengah membimbing adiknya. Saling mengenal keluarga dan kerabat. Semakin jauh membicarakan tentang masa depan. Tetapi, semakin lama menjadi teman dekat, semakin hilang rasa yang dulu saya punya. Dia memang baik, tampan, cerdas dan dari keluarga baik-baik. Tetapi ada hal yang membuat saya merasa kalau kami bukanlah, Sepasang. Sayangnya, saya tidak tahu pasti apa hal itu.

Permulaan yang membuat saya mengakhirinya hanya melalui pesan singkat, karena saya tidak tega untuk mengatakanya melalui telephone. Saya menangis tentu saja, karena saya sadar saya telah menyakiti seseorang yang sudah membagi kasih sayangnya dengan tulus kepada saya.

****

Mungkin iman saya terlalu lemah ketika tergoda untuk menerima jalinan dari seseorang yang katanya memiliki niat sungguhan. Saya dan dia tetap seorang manusia, manusia yang memiliki rasa juga nafsu. Sayangnya, keteguhan terhadap apa yang berusaha saya jaga sedari dulu tidak berhasil saya pertahankan. Saya menjalani proses yang dulu pernah saya pertanyakan manfaatnya, yakni pacaran. Meski kami tidak pernah menganggap kami pacaran. Tetapi terlalu munafik jika saya mengatakan seperti itu, karena pada akhirnya jalinan ini tetap mengarah pada istilah ‘pacaran’.

Saya tahu dengan jelas bahwa apa yang saya putuskan kala itu adalah keliru. Tetapi kala itu, saya bisa apa? Ketika kita saling menemukan seseorang yang membuat kita nyaman, membuat saya tidak dominan, dan membuat saya yakin terhadap niatnya. Mau langsung menikah? mana siap. Mau saling menyimpan perasaan? mana kepikiran saat itu. Meski saling mengetahui, bahwa ini baru permulaan. Saya jatuh cinta? Ya, saya mulai mempelajari apa itu cinta, apa itu nyaman, apa itu keyakinan...
  
Ketika itu, saya sudah sangat yakin dengan apa yang dia yakini. Meski berulang kali diserang oleh ragu, dan dia berulang kali meyakinkan saya. Dan dia berhasil meyakinkan saya bahwa kami pasti mampu menyatukan dua keluarga juga menyatukan dua hati kami. Sayangnya, tepat pada hari Idul Fitri, dia tetiba memutuskan bahwa dia sudah tidak lagi menginginkan adanya KITA ( saya dan dia). Saat itu, saya tidak mampu berkata apa-apa. Saya seperti berada di puncak usai lelah mendaki, kemudian saya didorong begitu saja ke jurang. 


“ Kamu tidak perlu menangisi kepergian dia, karena kamu hanya ditinggalkan oleh orang yang tidak mencintai kamu. Yang harus menangis adalah dia. Karena dia telah meninggalkan orang yang sangat mencintai dia”( Pesan Mba Fafa karena saya masih sering menangisi hal tersebut).

Banyak rangkaian kalimat yang oleh para sahabat berikan kepada saya ketika saya mengalami kegagalan dalam membina hubungan yang memang saya harapkan menjadi pilihan terakhir untuk saya. 

“ Sedari awal saya tidak pernah main-main ketika memutuskan untuk memilih dia. Begitupun dengan dia. “ ( ucap saya ketika tangan masih dialiri cairan infus dan lelehan airmata)

Jika sedari awal dia tidak meyakinkan saya terhadap ribuan ragu, mungkin tidak akan sesakit ini. Jika sedari awal, dia tidak sungguh yakin terhadap apa yang dia pilih, mungkin saya bisa lebih siap terhadap perlakuan ini. Atau saya yang terlalu polos atau bahkan bodoh untuk dibodoh-bodohi? Mungkin saya memang bodoh :(

Tetapi kenyataanya berbeda. Dia yang kerjakeras membangun semuanya, tetapi dia juga yang menghancurkanya begitu saja.

Banyak hal dari apa yang saya alami, bisa saya pelajari bahwa apa yang kita perbuat kepada orang lain, suatu saat akan berbalik pada kita. Ya Tuhan, saya tidak tahu harus berkata apa. Saya mungkin terlalu berlebihan ketika menceritakan kegagalan ini, sementara banyak di luar sana yang lebih tersiksa, lebih malang dari saya. Saya lebih beruntung karena Tuhan segera memperlihatkan pada saya bahwa dia tidak benar- benar berniat meminta saya pada Tuhan juga pada Orangtua saya. Malang sekali saya. hahaha

Sudah seharusnya saya bersyukur. Seperti seorang sahabat yang berkata “ Kamu sudah Tuhan ambil dari jalan yang salah, terus kamu masih mau jalan lagi ke jalan itu?”

Jujur saja saya banyak menangis, tidak hanya sehari dua hari. Karena luka dan cara yang sangat tidak enak untuk dirasa. Sampai seorang sahabat mengirim pesan “ Kamu itu perempuan kuat. Kamu banyak menginspirasi teman- teman kamu. Kamu pasti kuat”. Ya, Saya pasti kuat!

Perlahan, saya mulai menyusun rasa percaya diri lagi. Mulai mengembalikan semangat-semangat seperti dulu. Keceriaan seperti dulu. Saya mulai mengembalikan hidup saya seperti semula. Perlahan, saya mulai menerima kenyataan. Saya terlalu berharap pada manusia. Saya keliru. Hidup saya tidak akan berhenti pada fase ini. Ini hanya fase kecil yang Tuhan sudah siapkan untuk saya bahkan sebelum saya terlahir. Menyesal? pasti. Tetapi untuk apa? bukankah tidak mengubah apapun.

Ketika ada teman yang bertanya, " Bagaimana jika dia datang dan ingin kembali ke kamu?" .
 " Untuk apa?kalau hanya untuk memperluas luka, silahkan urungkan." Jawab saya.
 " Bagaimana kalau dia kembali untuk memperbaiki semuanya?" tanyanya lagi.

Hening. Tidak ada jawaban yang saya berikan.

“ Apa yang sudah hilang, biarkan. Ikhlaskan. Karena mungkin itu bukan milik mu. “

“ Yang keliru akan Tuhan luruskan. Yang salah akan Tuhan Benarkan”

“ Berpisah bukan berarti kalian tidak berjodoh. Mungkin saja Tuhan sedang menjaga kalian akan tidak melakukan kesalahan lagi. Saat ini, perbaiki diri,pantaskan diri. Karena Imam mu nanti adalah apa yang ada didirimu.”


*Terinspirasi dari cerita jatuh bangun pasangan yang sudah halal diluar sana J
Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2015 ( 8 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 3 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Juni ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ▼  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ▼  Februari ( 10 )
      • Anak Muda Cerminan Indonesia
      • Cukup Kamu Membacanya.
      • Tentang Mereka, Sahabat
      • Manis - Pahit
      • Puisi Pertama
      • Aku, ‘matahari’
      • Sepucuk Surat Lia
      • Kita, Pendengar
      • Power Of Emotional ( Negative)
      • Bukan Hukuman, Hanya Pelajaran Khusus
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes