Kita, Pendengar



Saya salah seorang yang terlalu sering gelisah a.k.a Galau. Mungkin saja hubungan saya dengan Tuhan belum cukup dekat. Meski raga selalu melakukan usaha untuk dekat dengan Dia, hanya saja hati saya masih sering dilanda rindu. Rindu pada ketenangan, kedamaian dan kenyamanan. Bisa jadi saya belum benar- benar mengerti bagaimana menjalin hubungan yang karib denganNya.

Saya juga salah seorang yang selalu menegaskan pada diri bahwa saya tidak membutuhkan oranglain untuk sekadar menjadi pendengar tiap celotehan yang keluar dari mulut saya. Nyatanya, saya keliru!. Saya membutuhkannya dan amat membutuhkan seseorang itu. Seseorang yang siap sedia atas waktu, juga telingga dan bonus senyum sederhana ketika mendengarkan bibir saya membulatkan kata-kata.

Saya merindukan seseorang yang dahulu melakukan hal serupa. Saya tidak lagi mengetahui dia kini tengah menjadi pendengar siapa! Saya rindu. Dan kerinduan ini menjelma menjadi rasa gelisah yang tak beraturan. Ia membutuhkan irigasi untuk mengaliri apa-apa yang ada didalam kotak kaca kedap suara membulat didalam kepala.

“ Mengapa kamu tidak mencari orang lain untuk menjadi pendengar kamu?”

Ini tidak saja perkara mendengar, melainkan perkara seseorang yang memang memberikan kenyamanan ketika apa saja yang keluar dari mulut tanpa kendali. Seseorang yang rela mengembangkan senyumnya sepanjang matahari memandang. Seseorang yang merelakan pundaknya untuk bersandar tatkala beban itu kian meninggi.

Tetapi kini, ia sudah tak lagi menjadi pendengar. Mungkin bosan menjadi pendengar kalimat-kalimat saya yang tak beraturan. Mungkin ia sudah menemukan seseorang yang mampu menjadi pendengarnya. Karena mungkin saya gagal menjadi pendengar yang baik untuknya.

Kini saya tak lagi berbicara seperti dahulu. Saya kembali pada jemari yang berkeliaran diatas tuts notebook. Membuat nada-nada tak beraturan dalam keheningan. Memetik senar gitar tanpa not balok. Bernyanyi sebelum tidur tanpa kontrol irama.

Kini saya hanya sepasang mata sendu dalam suasana kamar pekat, lembab dan mungkin saja berhantu. Belum ada sinar matahari yg menusup perlahan seperti dahulu yang sedari pagi sudah menyentuh kelopak mata,membangunkan dari tidur dengan senyum bahagia.

Kini, semua menjadi abu-abu. Maju tak ada upaya, mundur pun tiada guna. Hanya menunggu tangan Tuhan menggerakan atau menurunkan arahannya. Saya hanya ingin didengar juga mendengarkan. Saya hanya ingin rindu ini sampai dan menyampaikan pesan. Bahwa selamanya ia tetap hidup didalam. Dengan atau tanpa raga yang bersamaan. 

Share this:

0 komentar :