Aku, ‘matahari’
Aku
pengagum matahari. Salah satu nikmat dari Tuhan yang mutlak tidak bisa ku
pungkiri. Menyambut pagi dengan segenap harapan yang tersikap kala melihat
semburat sinarnya menyelinap dibalik kelopak mata. Merasakan setiap energinya
perlahan merayapi pori-pori lantas mengisi pundi-pundi semangat. Merasuk hingga
membuai hati untuk turut berbagi, seperti matahari yang senantiasa berbagi
tanpa takut merasa rugi. Dan aku, matahari dalam hidupku.
Seorang gadis berusia 22 tahun dengan semangat berkibar. Tak lagi mengingat
kapan pertama kali aku mulai gemar berlakon seperti matahari, tepatnya ingin
seperti matahari. Aku menyadari bahwasannya aku belum memiliki harta benda
untuk ku berikan pada mereka yang ku anggap membutuhkan. Tetapi aku melihat
kedalam diriku sendiri, aku yakin ada sesuatu yang ku punya yang bisa kubagi
pada oranglain. Ya, aku menemukan
beberapa hal yang bisa aku bagi yakni semangat! Aku mendapati potongan kalimat
untuk ku “ kau seperti awan yang selalu
membuatku ingin terbang tinggi ” dari seorang sahabat yang pernah kubagi
setonggak semangat untuknya.
Aku
memiliki ribuan semangat yang siap dikobarkan. Aku wujud generasi muda yang tak
henti-hentinya menginginkan untuk belajar, belajar dan belajar. Tak jarang
membuat orang lain menggelengkan kepala ulah
aku yang kadang diluar dugaan. Seperti beberapa kegiatan yang aku ikuti, contoh
saja. Aku pernah bergabung dengan sebuah organisasi yang letaknya cukup jauh
dari tempat dimana aku menghabiskan hari. Hingga rekanku satu organisasi
bertanya “ Adakah alasan lain yang membuat
kau sampai disini, teman?” aku menggelengkan kepala. Bagiku, jarak bukan
penghalang untuk aku menyambung silaturahmi, apalagi disana aku mendapatkan
banyak pengetahuan dan ilmu yang berguna untuk hidup. Apa yang mereka berikan
kepada ku tentu saja aku kemas dengan kemasan yang berbeda. Banyak ilmu yang
kemudian aku terapkan dalam kehidupanku saat ini. Apa yang menurutku belum
tepat ketika melihat oranglain, maka aku ambil dan aku ‘olah’ untuk menjadi energi positif yang kelak bermanfaat dn siap
untuk dibagi. Tak ada yang sia-sia dari apa yang aku lihat, aku dengar, aku
rasakan. Semua bisa ku pantulkan untuk sudut-sudut ruangan yang gelap bahkan
yang sudah gemintang.
Aku
ingin bercerita sedikit,
Didalam
metromini yang baru saja ku injakan kaki didalam kumpulan seng beroda itu, sering kudapati satu paket keluarga yang
‘berprofesi’ sebagai pengamen. Tentu
saja sebagai seseorang yaang masih memiliki hati nurani aku iba. Melihat anak
balita yang digendong oleh sang ibu, kemudian tangan kanannya menggandeng bocah
berusia empat tahun kurang lebih, sementara sang suami mencoba memetikkan gitar
yang tak lagi lengkap senarnya. Mereka bernyanyi, meski nada yang dikeluarkan
jauh dari ‘easy listening’ tetapi cukup
membuatku merogoh sejumlah rupiah dikantong. Bisa saja aku hanya memberi satu
logam, namun aku dibuat kembali berpikir oleh diriku sendiri.
Aku membatin” Kau saja, dengan uang berwarna hijau tak
cukup membuat perutmu tenang dalam satu hari. Terlebih lagi untuk keempat
manusia yanga ada dihadapan mu! Apalaah arti satu logam jika kau memiliki lebih
dari itu? Bukankah kau sendiri yang mengatakan jangan menunggu cukup baru
memberi?”
Kala itu, dalam waktu
sepersekian detk terjadi perang pikiran. Lantas aku menukar koin yang semula
menjadi lembar. Bukan aku sombong atau sekadar gengsi, hanya saja aku memberi
dengan melihat diri ku sendiri. Aku ingin berbagi apa yang aku punya tanpa
harus merasa aku akan merugi.
Aku
terlampaui sering menjadi pengamat perilaku orang lain. Namun aku tak
menggunjing, sungguh! Dari tingkah mereka yang aku amati, kemudian aku
mengembalikan pada diri ku. Bertanya pada sepotong hati tentang apa saja yang
bisa ku berikan untuk banyak orang. Lantas hati seperti menjawab “ Berbagilah dengan semangat dan senyuman,
berikan apa yang tak orang lain minta, namun kau tahu orang itu membutuhkannya”.
Aku
mengingat sepotong kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat itu salah satu
temanku tengah mengulang tahun. Aku mengenalnya baik. Ia tergolong seseorang
yang sulit untuk memaafkan oranglain. Sedikit saja tentangnya. Kala itu, aku
melihat banyak dari sejumlah temanku memberinya hadiah seperti boneka dan
aksesoris lain. Aku tertegun. Aku memikirkan judul buku yang akan ku berikan
kepadanya. Aku selalu memberikan buku kepada teman-teman ku yang tengah
berulang tahun. Setelah menimbang, akhirnya aku memutuskan untuk memberi buku
dengan judul “ Setetes iman untuk melembutkan
hati”. Ku tulis dihalaman depan yang kosong dengan serangkaian kalimat
kenangan untuknya. Tak disangka, tanggapan yang kudapati sangat mengharukan. Ia
datang lantas menangis memelukku. Aku hanya mampu mengelus bahunya perlahan.
Aku
senang melakukaan hal yang kecil dan remeh
temeh namun itu berarti untuk oranglain. Setiap orang memiliki cara yang uniqe dalam berbagi. Dan aku menyukai
itu,hoby ku yang satu ini. Aku seperti sedang merajut sayap untuk aku terbang
diatas impianku. Memberi lebih banyak tanpa harus takut akan habis dari diri
ini. Aku percaya bahwa apa yang aku beri kepada oranglain, meski tidak berwujud
benda- aku meyakini bahwa kelak itu akan bermanfaat. Setidaknya ketika kau
terpuruk atau sedang jatuh, ada aku yang menyediakan waktu untuk kalian sekadar
meluapkan semangat bangkit,untuk menjadi pendengar dan berbagi tentang hari,
sepotong hati kadang menggodok kita dengan aneka rasa.
Semakin
hari aku semakin mengerti. Mengapa matahari selalu hadir sepanjang siang lantas
bulan bergantian pada malam. Ketika bulan hadir dilangit malamku, dibelahan
bumi lain matahari senang bersenang senang dengan sinarnya. Ini selalu menarik.
Bagaimana alam dan kehidupan mengajarkan kita untuk saling menalikan kasih
dalam ikatan yang tak sama.
Dengan
semangat aku memampukan diri,kelak aku lebih banyak ‘menanam’ ditempat yang subur maupun tandus. Dimana dan kepada
siapa. Mengembalikan nilai yang tengah diubah oleh tangan yang bertuan. Berwujud senyum menyapa pagi. Salam dan
semangat berbagiJ
0 komentar :
Posting Komentar