TULIS TANGAN

By Feny Mariantika Firdaus

    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
Home Archive for 2015
Ada beberapa pembaca blog saya yang mungkin akan bete jika membaca tulisan saya yang satu ini. Sepotong surat untuk seseorang yang masih Tuhan sembunyikan. Pada saat saya menulis ini, menulis surat memang sedang tren sekali. Tapi tetep boleh ya saya melanjutkan menulisnya, anggap saja ini bagian dari sisi melankolis seorang single women yang selama ini selalu keliatan sanguinis :)

Dear kamu,

Aku ingin kamu mengetahui impian bersama mu, nanti. Sebab jauh sebelum kita bersama, aku senang sekali bermimpi. Aku bermimpi untuk bisa menikah dengan lelaki yang sederhana dan apa adanya. Lelaki yang santun dan tidak begitu mementingkan gengsi. Dia yang memiliki rupa membuat hati tentram tidak perlu seperti arti tentunya,dia yang amarahnya mampu menyadarkan tanpa menyakiti hati, bukan yang membuat luka dan rasa perih di sana. 

Aku bermimpi memiliki pendamping hidup yang tidak peduli dengan masa lalu yang kelam,sebab bisa jadi aku dahulu adalah aku yang hina dina, jatuh bangun dalam keterpurukan berualng kali.

Aku bermimpi Tuhan mengirimkan seseorang yang membuat aku semakin dewasa dan mampu belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dia yang sabar menemani aku belajar masak berbagai menu yang memiliki rasa lezat, sebab saat ini aku hanya mampu memasak sekadarnya dan kadang hambar. Dia yang tidak pernah balik marah ketika aku merajuk karena pesan singkat atau telephone tidak dijawab. Dia yang memaksimalkan usahanya mencari ridha Tuhan untuk menafkahi keluarganya, aku, kamu dan buah hati kita.

Dear Kamu,

Aku bermimpi kelak kita bisa membangun rumah yang didalamnya terdiri dari kebahagian dan rasa syukur. Meski ada badai dan aneka ujian, tetapi aku ingin kamu mengajari aku bagaimana selalu tersenyum dan percaya bahwa Tuhan sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan sempurna. Tidak perlu khawatir berlebihan hingga membuat vertigo dan migrainku kambuh bersamaan. 
Aku pun bermimpi kita bisa mengajarkan putera-puteri kita menjadi anak yang mandiri, memahami agama, dan tentu saja lebih baik dari kita. Aku ingin kita bisa mendampingi anak-anak kita tumbuh dan berkembang menjadi seseorang yang dewasa dan bijaksana.

Aku memang perempuan yang mandiri, keras, idealis dan perfeksionis. Kadang aku menjelma menjadi seseorang yang tidak mebutuhkan orang lain. Tetapi apakah kamu dan orang lain mengetahui apa yang ada jauh di dalam hati ini? Kelak kamu meminta aku untuk menghabiskan semua waktu yang aku punya untuk anak-anak dan keluarga kita, maka dengan senang hati aku melakukannya.
Kamu tidak perlu khawatir aku akan mementingkan karier, sebab tujuan ku saat ini berkarier tidak lebih dari sekadar mengisi waktu luang sambil menunggu pertemuan kita. Sebab aku sebelum bersama mu adalah seorang tulang punggung keluarga dan penikmat sekolah,keinginan ku untuk melanjutkan sekolah tidak pernah surut. Dan ketika sudah bersama mu, tentu saja kamu akan membantu ku menguatkan tulang-tulang ini dan kita akan berdiskusi tentang sekolah dan impian yang lain. Aku percaya kamu akan menjadi teman sekaligus lawan bicara yang menyenangkan!

Aku juga bermimpi kita hidup sederhana tanpa ada rasa bersaing dengan siapapun, kita hidup tenang dan damai di sebuah rumah sederhana lengkap dengan pekarangannya. Sebab kita akan selalu menghabiskan waktu bersama. Membaca buku di teras, menyantap pisang goreng sambil bersenda gurau.

Untuk kamu yang selalu ada disetiap doaku,

Aku jauh di sini mempersiapkan dan tidak pernah berhenti memperbaiki diri untuk sebuah pertemuan nanti. Bisa jadi kita sudah pernah bertemu. Tetapi pertemuan yang kita nanti adalah pertemuan yang paling aku syukuri di dunia ini. Di mana kita, aku, kamu, keluarga dan sahabat berada di satu tempat kemudian kita berjanji hidup semati dihadapan Allah SWT, sampai bertemu.."

Menulis surat di atas dengan penuh harapan. Kadang seorang perempuan bisa begitu melankolis meski hal tersebut jarang ditemui dirinya. Tetapi hati perempuan  tetaplah sama, lemah lembut seperti awan di angkasa raya. Semoga surat itu sampai pada pemiliknya, siapapun dia, segeralah menemukan jalan untuk menjemput penulis surat di atas. Ia menantimu!
 
Perjalanan menuuju Walesi
Perjalanan Menuju Walesi-Wamena
Agustus 2015, tepat pada hari raya umat muslim, sebuah masjid mengalami kebakaran di desa yang bernama Karubaga. Karubaga merupakan ibukota dari Kabupaten Tolikara. Salah satu wilayah yang baru saja memisahkan diri dari Kabupaten Jayawijaya. 

Kali ini, saya tidak akan membahas tentang apa yang terjadi pada saat itu atau apapun yang berhubungan dengan tragedi tersebut. Sebab saya hanya ingin bercerita tentang serba-serbi perjalanan menuju Wamena - Tolikara dan tentu saja tentang mereka, saudara-saudara kita di sana. 

Pada kesempatan yang pertama, saya pergi bersama tiga orang rekan dari Jakarta. Mereka mewakili lembaga masing-masing dengan tujuan yang sama, memberikan bantuan pada masyarakat di sana. 

Foto ini diambil saat kami berada di Puncak Mega

Kami berangkat dari bandara Sentani menuju Wamena. Perjalanan melalui udara ditempuh hanya sekitar 25- 30 menit. Satu hal yang harus selalu kita siapkan ditempat ini adalah siap-siap untuk menerima. Why? because you will feel it..

Pertama, di pesawat, kita harus mempersiapkan masker atau wewangian supaya mampu bertahan di dalam pesawat tanpa harus mengeluarkan isi perut. Kedua, bersiap-siap menunggu karena nomor tempat duduk yang tertera ditiket kamu sudah ada yang menempati, sehingga kamu akan dicarikan tempat duduk yang lain. 
Usai perkara di pesawat, sesampainya di Wamena saya takjub melihat bandara udara yang begitu sederhana. Hanya beratap seng, berdinding papan dan kawat. Menatap pada kerumunan orang-orang yang berada dibalik pagar batas pengunjung. Banyak yang menawarkan jasa taksi, ojek juga becak. Tidak lupa ada seorang penduduk asli yang berprofesi sebagai model tanpa busana hanya menutup kemaluannya dengan menggunakan koteka. Jika ingin foto bersama, maka harus menyiapkan uang setiap orang sekitar lima puluh ribu hingga seratus ribu. 

Udara di Wamena begitu sejuk. Tidak jauh berbeda dengan daerah yang berada dipegunungan lainnya. Untuk berkeliling di Wamena hanya membutuhkan waktu satu hari. Sebab kota Wamena sangat kecil. 

Siang itu kami tidak langsung menuju Tolikara, kami menyempatkan diri untuk mencicipi makanan di salah satu restaurant Banyumas. Kami tentu saja memilih makanan yang cita rasanya sesuai di lidah. Sebenarnya di sini tidak terlalu banyak pilihan makanan. Sehingga akan menjadi mudah memutuskan mau makan di mana. 

Setelah menyantap makan siang kami bersiap-siap menuju Tolikara. Waktu tempuh Wamena - Tolikara sekitar 3-4 jam. Saya tentu saja sudah sangat tidak sabar untuk melakukan perjalanan. Menikmati pemandangan yang membuat saya jatuh hati berulang kali pada alam ini. 

Belum jauh dari kota, saya sudah menemukan bukit karang yang berada di sisi kanan. Sementara sisi kiri masih dipenuhi dengan pepohonan dan rerumputan. Ada juga sungai-sungai kecil. Dan yang selalu ada dipinggir jalan adalah sekelompok babi berserta anak-anaknya yang begitu menggelitik ketika mereka berlari. 
Perjalanan menuju Tolikara
Setelah itu saya melihat di sisi kiri saya, ada pasir putih yang berada di kaki bukit karang dan bebatuan. Lenkap dengan savana kering di sekitarnya. Ketika melihat pemandangan tersebut, tentu saya mengundang saya untuk singgah dan mengabadikan gambar di sana. Sayangnya, saya tidak mungkin melakukan hal tersebut mengingat saya sedang dalam penugasan kemanusiaam. Alhasil, hanya mata saya yang dengan sempurna mereka detail keindahan pemandangan tersebut.

Satu setengah jam perjalanan membuat jalanan beraspal habis. Kami mulai duduk gemetar nyaris bergoyang karena permukaan jalan sudah tidak lagi rata. Bebatuan dengan ragam ukuran membuat perjalanan semakin menyenangkan. Ditambah dengan musik yang diputar membuat perut kami kian terguncang. Ah perjalanan  memang selalu menyenangkan..

Dan seperti biasa ketika dalam perjalanan, saya tidak pernah rela untuk melewatkan mengambil gambar, apapun yang menurut saya itu sangat menarik. Saya mengabadikan masayrakat pribumi yang sedang memikul sayur mayur dengan menggunakan noken, juga saat bendera merah putih berkibar di halaman sekolah atau kantor-kantor pemerintahan. Senang sekali rasanya melihat merah putih masih berkibar di tempat ini. 
Anak-Anak Papua yang sedang bermain di sekitar rumah


Memasuki setengah perjalanan, tiga rekan saya mulai kehilangan kendali. Kendali untuk tidak tidur. Sementara saya tidak mau melewatkan perjalanan ini. Saya menikmati pemandangan sembari bersyukur. Bersyukur kenapa? Ya, sebab saya memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Saya tidak mampu membayangkan kehidupan mereka. Dan pada saat itu juga, ada ironi yang terasa. Mereka hidup benar-benar seadanya. Sehari-hari hanya ke hutan, berkebun, tidur bersama di dalam Honai, memasak makan dan melakukan segala aktivitas di dalam Honai.( Honai merupakan rumah - tempat tinggal mereka yang dibangun hanya dengan menggunakan kayu dan dilapisi jerami). Ah Tuhan, membayangkannya saja saya sudah sesak. Lalu apa kabar mereka ya? Mereka memang luar biasa bagi saya. 
Honai itu rumah yang tepat ada dibelakang saya

Well, perjalanan masih berlanjut. Kiri jurang kanan jurang. Perjalanan ini sama persis seperti yang pernah saya gambar saat duduk di bangku sekolah dasar. Kiri jurang, kanan jurang, jalanan berkelok dan bebatuan, kabut mulai naik dan menjalar ke semua ruang. Seolah menggoda saya untuk melambaikan tangan. Melalui jendela saya mengeluarkan tangan kiri saya untuk merasakan udara yang begitu segar. Terasa sejuk di kulit. Belum lagi bau tanah dan dedaunan, ciri khas tanaman di pegunungan. Ah, rupanya Tuhan memang sangat mengerti apa yang saya butuhkan dan rindu. Gunung, alam bebas, sebuah perjalanan. Sepanjang jalan saya berkontemplasi dengan diri sendiri. Monolog yang tiada henti. Sampai akhirnya kami sampai di Puncak Mega. Satu titik tertinggi di rute Wamena - Tolikara.  
Puncak Mega

Ketika turun dari mobil dan balik kanan, Subhanallah..
Sudah lama saya istirahat dari aktivitas mendaki gunung. Dan kini saya bisa menikmatinya lagi. Hamparan langit, pepohonan di kejauhan yang nampak begitu homogen, kabut, edelwies, karang, ah bagi saya tidak ada kata yang mampu mewakili apa yang saya lihat pada saat itu. Mungkin salah satu bagian dari surga!

Dan akhirnya empat jam berlalu. Perjalanan yang penuh dengan bebatuan menjadi cerita sendiri. Welcome to Tolikara! Di sisi kanan sudah nampak pagar khas penduduk asli. Itu artinya kami sudah memasuki permukiman. Dan tertangkap oleh mata saya meski dari kejauhan, bendera merah putih di depan pos tentara. Istimewanya Papua, selalu ada pasukan militer yang berjaga-jaga di banyak titik. Termasuk tempat ini. 

Udara sejuk mulai berganti menjadi sangat menusuk. Kami sampai di waktu malam datang. Menyapa siapapun yang ditemui di jalan. Berusaha menampilkan sikap terbaik yang saya miliki. Sebab saya memahami, tidak ada hati yang tidak bisa merasakan kebaikan. 

Tolikara, I'm coming! 
Misi lembaga berjalan, misi pribadi tidak mau kalah. Di sela-sela bertugas, saya berusaha mengabadikan pemandangan di Tolikara. Menyaksikan betapa kental aroma politik di tempat ini, Tapi ah lupakan, Saya tidak ingin ikut-ikutan. Bagi saya, bisa bercengkrama dengan anak-anak di sini, melihat mereka tertawa, atau ekspresi bingung ketika melihat saya atau apapun. Bagi saya itu sangat menyenangkan. Meski saat itu suasana sedang sangat tidak kondusif untuk saya bertingkah seperti turis. 
Akhirnya saya melihat langsung bandara yang ekstrim itu. Saya berjanji dalam hati untuk tidak pernah mendarat di sana. Tetapi ada yang menarik dengan bandara itu, ketika belum ada tanda-tanda pesawat akan mendarat, bandara tersebut digunakan untuk bermain bola atau sekadar berjalan-jalan oleh masyarakat pribumi. Saya tertawa melihat hal tersebut, betapa mereka membuthkan sarana public untuk bermain. 

Dan akhirnya saya menikmati hamparan bintang di langit, itu artinya malam sudah datang..
*Bersambung
Tidak tahu sampai kapan anak-anak ini tidak mengetahui cara membuang cairan yang keluar dari lubang hidung ( hingus) mereka. Meski sudah bewarna kuning bahkan kehijauan dan menyebarkan aroma tidak sedap, tidak juga membuat mereka berusaha membersihkannya. 

" Adik, bisa buang dulu kah hingusnya sebelum periksa  " Ujar seorang perawat yang berada disamping saya dan secara kebetulan kami sama-sama melihat bocah berusia 5 tahun yang sedang menunggu antrian berobat dengan hingus yang mengalir begitu saja.

Tentu saja ini salah satu yang membuat saya sedih secara pribadi. Sebab pemandangan ini tidak hanya terjadi pada anak-anak, tetapi juga pada remaja bahkan orang dewasa. Melihat hal ini, saya sempat bertanya pada rekan sejawat yang sudah lebih dahulu bertugas di sini, apa yang menyebabkan mereka seperti itu dan tidak sembuh-sembuh? Sayangnya saya mendapatkan jawaban yang lebih menyayat hati. Banyak yang mengatakan bahwa mereka seperti itu dikarenakan mereka tidak mengetahui cara membuang hingus, ada juga yang mengatakan bahwa ketika flu mereka tidak berobat secara tuntas sehingga menjadi sering dan tidak sembuh-sembuh. 

Melihat hal tersebut menjadi sangat miris. Bahkan untuk kesehatan dasar pun masyarakat belum menikmatinya. Lantas bagaimana dengan kesehatan tambahan atau lanjutan? Terlalu canggih ketika memilih fokus pada penyakit-penyakit yang tingkat tinggi seperti kanker,meningitis,dll.  Tetapi bukan berarti penyakit tersebut tidak penting. Penting tentunya. Tetapi ini tidak hanya tentang penting atau tidak, tetapi lebih utama dari itu. Ada kelompok masyarakat yang untuk kesehatan dasar pun belum terpenuhi, kok kita malah sibuk urus yang lain?apa karena jauh dari kematian?  Saya rasa, penyakit tingkat tinggi itu juga salah satu faktornya adalah kesehatan dasar yang gagal dipenuhi sehingga membuat komplikasi di masa yang akan datang. Iya ga sih? atau asumsi saya ini tidak berdasarkan data/kenyataan? Tapi apa yang saya sampaikan ini yang saya lihat dilapangan. 

Ketika masyarakat berjalan ke pasar, kebun, ke tempat layanan publik tanpa menggunakan alas kaki, apa hal tersebut tidak berisiko? paling sederhana saja, mereka bisa tertusuk benda tajam yang ada di jalanan/ tempat-tempat terbuka. Apa hal itu tidak berisiko? Belum lagi ketika mereka melewati tempat yang banyak kotoran hewan. Sebut saja hewan-hewan yang memang mayoritas dimiliki oleh masyarakat pribumi. Ah, saya tidak bisa membayangkan betapa leluasanya kuman-kuman itu karib dengan masyarakat. 

Dan yang membuat saya stress karena dekat sekali dengan realita namun belum bisa berbuat banyak. Melihat anak-anak yang datang ke sekolah dengan baju yang kotor, wajah yang lusuh, aroma yang tidak sedap, lengkap dengan hingus yang mengalir begitu saja. Kuku-kuku yang panjang dan hitam, gigi-gigi berlubang dan penuh dengan warna orange-kemerahan. Ah Nak! apa kalian nyaman seperti itu? Kadang saya menjadi melankolis melihat anak-anak di sini, yang tumbuh begitu saja dan apa adanya. Lalu bagaimana dengan daya tangkap dan perkembangan daya pikir mereka? Apa kabar ?

Ingin sekali rasanya mengajarkan cara mandi yang benar kepada mereka, tetapi bagaimana caranya? Kota Jayapura saja, tidak semua tempat mendapatkan air bersih dengan mudah. Lantas bagaimana mereka bisa mandi dengan benar ketika air bersih pun tidak ada? Lalu bagaimana mereka bisa mencuci tangan dibawah air mengalir dengan menggunakan sabun jika air bersih pun langka? Kemudian apakah masuk akal ketika kita berbicara perilaku hidup bersih dan sehat, sementara tempat tinggal mereka masih bersatu dengan hewan peliharaan, MCK tidak ada, ventilasi pun tidak nampak. 

Kadang saya berpikir semua ini akan mudah ketika ada ibu peri atau doraemon yang bisa membantu untuk mengabulkan sesuatu dalam sekejab dan tanpa usaha. Sayangnya, negeri kita bukan negeri dongeng. Kehidupan ini nyata-senyata-nyatanya. Negeri ini ada dan saya berada di dalamnya. Ah teman! apa yang bisa kita lakukan bersama? Anak-anak ini, mereka yang 10-20 tahun mendatang akan menggantikan kita. Tidakkah kita peduli pada mereka? Tidakkah kita ingin mempersiapkan mereka meneruskan kebaikan-kebaikan yang tidak seberapa ini? Tidak kah?



Demam tidak selalu disebabkan oleh infeksi viral atau bakteri pun sejenisnya. Tetapi bisa disebabkan kondisi tubuh yang tengah mengalami penurunan, bisa penurunan semangat pun daya tahan. 

Salah satu sebab dari penurunan ini adalah pola bekerja yang terlalu dinamis bahkan overloaded. Dua puluh empat jam waktu yang dimiliki, hanya beberapa jam yang digunakan untuk diri sendiri. Kadang, saya beranggapan diri saya sedang berlaku tidak adil, tetapi kadang saya menguatkan alasan bahwa kondisi ini memang demi tujuan yang baik. 

Tetapi sampainya pada titik ini, saya pun menyadari bahwa saya mungkin tidak berlaku adil dengan diri sendiri karena pada akhirnya saya membuat tubuh saya menjadi tidak sehat. Jika waktu istirahat dirasa sudah cukup, bisa jadi keseimbangan tersebut belum tercapai  karena kurangnya aktivitas fisik. Memahami bahwa dalam keseharian kita tetap membutuhkan aktivitas fisik yang sesuai. Setidaknya ada waktu yang diluangkan untuk berolahraga, untuk berkeringat.

Well, salah satu kuncinya adalah mengelola waktu dengan baik, mengelola stress dengan baik, dan mengelola suasana hati dengan tepat.

Mari sehat, produktif dan bermanfaat :)

"Saya meyakini bahwa cerita yang kita buat dalam perjalanan ini, sudah lebih dulu ditulis oleh Sang Pemilik Hidup..."

Tahun 2015, menjadi tahun kedua saya berada di Papua, tepatnya Kota Jayapura. Di tempat ini saya mengalami banyak hal yang cukup penting dalam hidup saya. Salah satunya menjadi leader dalam memimpin kantor cabang di sini. 

Kali ini, saya ingin bercerita tentang gaya kepemimpinan.

Saya seseorang yang berkarakter cukup keras. Saya seseorang yang tidak hanya mementingkan hasil, tetapi juga proses. Saya ingin, semua rekan kerja bisa melakukan pekerjaan mereka sesuai standar, sesuai dengan ekspektasi saya. Meski harus saya akui, terkadang kemampuan seseorang tidak bisa melejit begitu saja. Sehingga dibutuhkan waktu untuk belajar dan beradaptasi. Dan saya memahami itu dengan tetap mendelegasikan tugas kepada mereka, dengan tetap melakukan pemantauan dan menyediakan waktu ketika mereka membutuhkan arahan, meski kadang dalam pelaksanaanya proses ini sangat dinamis.

Proses ini menjadi sangat menyenangkan. Bagaimana tidak, saya melihat salah satu karyawan yang meminta pekerjaa tambahan lantaran ia berpikir dengan waktu kerja delapan jam, ia masih memiliki banyak waktu untuk bisa mengejarkan hal lain setelah pekerjaan wajibnya. Dengan begitu, tentu saja saya dengan senang hati memberikan ia peluang untuk membantu di bidang program. 

Menjadi pemimpin memang tidak mudah, sebab pemimpin bukan sosok sempurna yang mampu memenuhi semua harapan setiap orang di sekitarnya..

Saya mengatakan itu sebab saya berulang kali melakukan kesalahan sebagai seorang pemimpin. Salah satu contoh saja, ketika sampai kepada saya sebuah pengaduan dari salah satu member yang mengatakan bahwa ia belum mendapat kartu keanggotaannya. Setelah menerima pengaduan tersebut, tanpa berusaha melakukan konfirmasi, saya langsung memberikan teguran kepada karyawan yang bersangkutan. Saya akui saya salah. Bagaimana pun, seharusnya saya tidak serta merta menerima informasi hanya dari satu pihak dan menghakimi satu pihak. Dan kini, kejadian tersebut menjadi alarm saya dalam  bersikap jika ada kejadian serupa. 

Saya memahami, bahwa proses belajar tidak akan pernah berhenti. Ketika melakukan kesalahan, yang saya pikirkan adalah bagaimana saya tidak melakukan kesalahan yang sama. Sebab menjadi sangat merugi ketika saya tidak mampu mengambil pelajaran dari kesalahan yang pernah dibuat. 

Dan menjadi seorang pemimpin tentu saja membutuhkan daya seni dan kreatifitas yang tinggi untuk mampu mengelola sumber daya yang ada. Setidaknya mengelola diri sendiri, untuk profesional dan tidak mengikutsertakan suasana hati dalam bekerja. 

Well, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tidak ada yang tidak bisa diubah demi kebaikan bersama. Semoga kita mampu menjadi manusia yang lebih baik lagi.


" Failing to plan means planning to fail"
Sejatinya kita tengah berjalan, bergerak mengitari bumi. Mencari sesuatu yang mungkin kita sendiri tidak yakin dengan hal tersebut. Mimpi, cita-cita, harapan, kenyamanan, dan apapun kita menyebutnya. Masing-masing kita tengah menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak pernah kita pahami dengan sungguh, bisa jadi kita hanya sekadar berpura-pura memahami.

Berawal dari berpura-pura bahwa kita paham akan membawa kita pada satu titik pemahaman, kita semakin belajar, semakin mencari, semakin berusaha untuk melepaskan jubah ketidakpahaman yang kemudian membuat kita mendapatkan pelajaran darinya. Tidak ada yang benar-benar benar dari dunia ini. Perjalanan tetap memberikan kita dua makna, dua sudut pandang, dua sisi; kiri dan kanan. 

Kini aku berjalan menuju titik yang sama dengan yang ( mungkin ) kamu tuju. Aku memulainya dari barat dan kamu memulainya dari timur. Kemudian kita bertemu di satu titik yang sama dekat sama jauh.

Kilometer itu bernama kamu.

Ini bukan perkara berapa kali kamu pun aku singgah di tempat yang lain. Tetapi ini tentang perjalanan kita akan berhenti di mana. Tempat kita kembali pulang usai perjalanan panjang. Tempat di mana kita tidak perlu menjadi orang lain, tempat di mana segala amarah; kecewa; harapan; bahagia; air mata bisa tercurah begitu saja. Tempat di mana kamu dan aku bisa kembali jalan bersama dengan arah dan langkah yang seirama. 

Kilometer itu bernama kamu.
Sekali lagi aku ingin mengatakan. Tidak peduli seberapa kali kamu singgah ditempat lain, sebab kamu mengetahui kemana kamu harus pulang.  

Seperti perjalanan, tak berlangsung sepanjang waktu. Tetap ada interval didalamnya. Karena jarak antara bayang dan kita hanya sebatas mata.



Ketika lisan tak sejalan dengan hati..
Ketika apa yang dilihat tidak sesuai dengan yang dirasa..


Anggap saja kita tengah bermain peran, berpura-pura tegar padahal ada hati yang tak terlihat oleh mata sedang menahan perih,atau anggap saja kita sedang berpura-pura sanggup bertahan meski sebenarnya pijakan sudah tidak lagi seimbang, bahkan berkali-kali jatuh walaupun tidak satu pun mata menangkapnya. Anggap saja kita sedang mendapatkan peran sebagai ibu peri yang mampu tersenyum sepanjang masa dan mengabaikan rasa kecewa pun beban kehidupan.

Iya, anggap saja kita sedang bermain peran menjadi orang lain yang selalu bahagia dan bersyukur.
Anggap saja kita sedang menikmati lakon sebagai seseorang yang paling beruntung di dunia. Anggap saja masalah, ujian, cobaan tidak pernah menghampiri hari. Anggap saja kita sedang berada di surga dengan kehidupan yang serba ada. Anggap saja kita sedang menjadi atau berada sesuai keinginan kita. 

Sebab, hanya Allah yang mengetahui segala sesuatunya. Kita? hanya berpura-pura mengetahui segalanya. Padahal sebenarnya kita tidak lebih dari sekadar menikmati kepura-puraan. Atau mungkin bukan "kita"? melainkan hanya saya? Iya, mungkin hanya saya yang tengah berpura-pura mampu menjalani kehidupan dengan cara dan rasa yang terbaik. Bisa Jadi!


Ketika kamu sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Semua nampak begitu membosankan dan tidak menarik. Ketika itu, bisa jadi kamu tengah menginginkan hal yang sama seperti yang saya inginkan saat ini. Bebas.

Bebas dari segala macam beban yang kerap memenuhi pikiran juga doa-doa. Bebas dari kekhawatiran akan hidup yang terlampau sering menghantui bukan memotivasi. Bebas dari pikiran negatif yang selalu membayangi setiap optimisme yang tengah dialirkan. Iya, saya ingin bebas dari segala belenggu yang terlalu erat menahan langkah saya untuk terus menapaki jalan ini.


Adakah kamu mengerti bahwa di dunia ini sudah terlanjur terkontaminasi oleh banyak aliran, sudut pandang atau apapun mereka menyebutnya. Setiap orang merasa benar, setiap orang tidak mau mengalah, setiap orang berusaha menjadi yang pertama, yang terhebat, dan aneka “ter” lainnya. Sehingga pandangan sinis, fitnah-fitnah, hingga persaingan yang tidak sehat meramaikan hiruk pikuk dunia kita saat ini. Siapa pula yang sudah berjasa menciptakan standar-standar hidup seperti itu? Yang mungkin membuat orang lain menjadi tertekan. Mungkin termasuk saya? Bisa jadi. 

Dan sungguh, menjadi manusia di jaman ini sungguh tidak mudah. Bicara soal agama bukan lagi masalah yang sederhana. Agama itu bukan tentang fisik, setidaknya bagi saya pribadi. Agama itu tentang keseluruhan, tentang keutuhan. Dan saya memohon, berhenti mengatasnamakan agama untuk sesuatu yang jauh dari kebaikan.

Saya mungkin seseorang yang kurang bersyukur. Mengapa begitu? Sebab saya pernah meminta kepada Allah untuk menyudahi perjalanan di dunia. Sebab saya lelah. Meski saya paham sekali, bekal kebaikan untuk hidup di akhirat sangat jauh dari cukup. Mungkin hanya dosa-dosa saya yang kian menggelembung. Tetapi, Allah belum memenuhi permintaan saya, mungkin Allah masih memberi saya waktu untuk menyukupi bekal saya. Sayangnya, mungkin hanya dosa-dosa yang berhasil saya kumpulkan. Beginilah manusia yang merugi seperti saya, meski sudah berusaha menjadi insan sebaik mungkin, nyatanya saya belum mampu menjadi sebaik-baiknya manusia. Astagfirullah, berulang kali meminta ampun, namun berulang kali berbuat dan mengulangi perbuatan dosa. Bukankah semua itu melelahkan?

Saya kembali bertanya kepada diri saya sendiri, sebenarnya apa tujuan saya di dalam kehidupan ini? Kehidupan yang katanya hanya sementara, namun begitu alot. Apa mungkin memang saya tidak bahagia dan kurang bersyukur? Di mana sebenarnya letak syukur dan bahagia? Apakah hanya berwujud senyum atau ucapan Alhamdulilah?

Saya masih belum mengerti. Tetapi mungkin setiap orang pernah merasakan apa yang saya rasakan saat ini? Atau mungkin hanya saya? Bisa jadi orang lain menemukan kebahagiaan dan tujuan hidup dari keluarga yang terkasih. Bicara tentang keluarga, saya juga memiliki keluarga yang baik, sederhana dan kadang membuat saya rindu. Tetapi bukan keluarga yang sempurna. Karena tetap saja, ada intrik yang kadang membuat saya kembali melambaikan tangan pada Tuhan. Begitu mudahnya saya menyerah? Mungkin. Seperti yang saya katakan tadi bahwa saya sudah lelah dan bosan.

Saya ingat bahwa Allah sang pembolak-balik hati kita. Bisa jadi semua ini ada hikmahnya. Saya melampaui batas. Sebagai manusia, harusnya saya tidak mengabaikan nilai-nilai yang sudah ditanamkan. Menjadi hina dan nista adalah sebuah kehancuran yang sangat disesali. Semoga masih ada waktu untuk memperbaiki di kemudian hari. Allah ma ana


Langganan: Postingan ( Atom )

Ruang Diskusi

Nama

Email *

Pesan *

Total Pageviews

Lates Posts

  • Bubur Manado Rasa Jayapura
    Jika berkunjung ke Papua dan mencari kuliner khas Papua, pasti semua orang akan mencari menu yang bernama Papeda . Iya, salah satu menu ut...
  • ( Karna ) Hujan
    ( Karna ) Hujan adalah cara alam memperlihatkan bahwa setiap ruang adalah kawan yang saling berkaitan , proses yang selalu k...
  • Ke-(Mati)-an
    Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarny...
Seluruh isi blog ini adalah hak cipta dari Feny Mariantika. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2022 ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
  • ►  2021 ( 20 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 10 )
    • ►  Maret ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 6 )
  • ►  2020 ( 2 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2019 ( 2 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  April ( 1 )
  • ►  2018 ( 24 )
    • ►  November ( 1 )
    • ►  Oktober ( 1 )
    • ►  September ( 3 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Juni ( 2 )
    • ►  Mei ( 4 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 7 )
    • ►  Februari ( 2 )
  • ►  2017 ( 20 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 9 )
    • ►  Agustus ( 1 )
    • ►  Mei ( 3 )
    • ►  April ( 1 )
    • ►  Februari ( 2 )
    • ►  Januari ( 2 )
  • ►  2016 ( 41 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  November ( 2 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  September ( 10 )
    • ►  Juli ( 1 )
    • ►  Juni ( 8 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 6 )
    • ►  Februari ( 4 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ▼  2015 ( 8 )
    • ▼  November ( 2 )
      • Surat untuk Kamu
      • Tolikara #1
    • ►  Oktober ( 3 )
      • Tidakkah Kita?
      • Titik Balik
      • Belajar Memimpin
    • ►  September ( 1 )
      • Kilometer Itu Bernama, Kamu.
    • ►  Juni ( 1 )
      • Mari Berpura-pura!
    • ►  Januari ( 1 )
      • Jangan Bersedih
  • ►  2014 ( 21 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 4 )
    • ►  Juli ( 5 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 3 )
    • ►  Maret ( 2 )
    • ►  Januari ( 4 )
  • ►  2013 ( 58 )
    • ►  Desember ( 3 )
    • ►  Oktober ( 6 )
    • ►  Agustus ( 10 )
    • ►  Juli ( 8 )
    • ►  Juni ( 3 )
    • ►  Mei ( 5 )
    • ►  April ( 5 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 10 )
    • ►  Januari ( 5 )
  • ►  2012 ( 14 )
    • ►  Desember ( 1 )
    • ►  September ( 4 )
    • ►  Juli ( 3 )
    • ►  Mei ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
  • ►  2011 ( 15 )
    • ►  September ( 1 )
    • ►  Agustus ( 2 )
    • ►  Juni ( 4 )
    • ►  Mei ( 1 )
    • ►  April ( 2 )
    • ►  Maret ( 3 )
    • ►  Februari ( 1 )
    • ►  Januari ( 1 )
  • ►  2010 ( 1 )
    • ►  November ( 1 )

Hi There, Here I am

Hi There, Here I am

bout Author

Feny Mariantika Firdaus adalah seorang gadis kelahiran Sang Bumi Ruwai Jurai, Lampung pada 25 Maret 1990.

Fe, biasa ia di sapa, sudah gemar menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi dan cerita perjalanan.

Perempuan yang sangat menyukai travelling, mendaki, berdikusi, mengajar, menulis, membaca dan bergabung dengan aneka komunitas; relawan Indonesia Mengajar - Indonesia Menyala sejak tahun 2011 dan Kelas Inspirasi pun tidak ketinggalan sejak tahun 2014.

Bergabung sebagai Bidan Pencerah Nusantara sebuah program dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs membuat ia semakin memiliki kesempatan untuk mengembangkan hobinya dan mengunjungi masyarakat di desa-desa pelosok negeri.

Saat ini ia berada di Barat Indonesia, tepatnya di Padang setelah menikah pada tahun 2019.Pengalaman mengelilingi Indonesia membuatnya selalu rindu perjalanan, usai menghabiskan 1 tahun di kaki gunung bromo, 3,5 tahun di Papua,1 tahun di Aceh, 6 bulan di tanah borneo, kini ia meluaskan perjalanannya di Minangkabau. Setelah ini akan ke mana lagi? Yuk ikutin terus cerita perjalanannya.

Followers

Copyright 2014 TULIS TANGAN .
Blogger Templates Designed by OddThemes