Aceh, Bukan Destinasi Biasa





Persahabatan akan membawa kita pada kejutan yang bisa jadi adalah impian kita di masa lampau



Perjalanan kali ini merupakan perjalanan yang memiliki banyak tujuan. Tidak hanya menghadiri pernikahan seorang sahabat, tetapi juga misi “perjalanan a(r)ti” seperti biasa yang selama ini saya lakukan. Berlangsung di bulan Agustus 2015, malam itu saya memutuskan berangkat dari rumah. Karena masih di kampung halaman, sehingga saya memutuskan ke Jakarta tidak dengan pesawat. Saya memilih untuk naik kapal, selain karena memilih yang lebih ekonomis, saya juga senang menikmati perjalanan darat. Sebab saya suka mengamati apapun yang ada di sepanjang jalan, sembari membiarkan pikiran saya berbicara seorang diri. 

Berangkat dari rumah dengan menggunakan travel menuju pelabuhan Bakauheni. Hanya dengan tujuh puluh ribu rupiah maka saya bisa duduk santai menikmati perjalanan yang berdurasi kurang lebih tiga jam. Kampung halaman saya berada di Kota Sukadana, Lampung Timur, sementara pelabuhan Bakeuheni berada di Lampung Selatan. 

Tiga jam berlalu, saya kemudian membeli tiket di pelabuhan Bakuheni hanya dengan uang tiga belas ribu rupiah. Tidak ada bagasi atau barang bawaan yang berlebih. Tidak ada di dalam kamus perjalanan saya membawa oleh-oleh atau barang bawaan yang nantinya akan memenuhi tangan. Saya hanya akan mengisi punggung saya dengan satu tas, titik.

Kali ini kapal fery yang katanya masih baru ini akan membawa saya menuju pelabuhan Merak dalam kurun waktu 2-2,5 jam. Saya akui kapal kali ini memang jauh lebih bagus dari biasanya. Tidak hanya kualitas air conditioner yang masih bagus, tetapi juga kursi dan aroma ruangan yang terawat. Sangat bagus untuk saya menenggelamkan diri pada alam mimpi a.k.a tidur. 

Penerbangan menuju Aceh masih esok sore, sementara saya akan sampai di Merak pada dini hari. Saya memang berencana untuk singgah di rumah salah satu sahabat Pencerah Nusantara yang bernama Resti, teh Resti saya biasa memanggilnya. Dari Merak saya turun di terminal Pakupatan. Dari pelabuhan Merak menuju terminal Pakupatan saya hanya mengeluarkan uang sebesar sepuluh ribu rupiah. Karena rumah teh Resti tidak dilewati oleh angkutan umum, maka saya menggunakan jasa ojek. 

Singkat cerita, saya beristirahat di kediaman teh Resti hingga siang hari sebelum saya melanjutkan perjalanan menuju bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. 

***
Sekitar pukul dua siang saya diantar oleh ayah teh Resti menuju halte damri. Selang beberapa waktu bus damri menuju bandara tiba tepat dihadapan saya. Hanya membutuhkan waktu sekitar satu hingga satu setengah jam maka saya sudah berada di bandara Soetta. Dan di sana saya bertemu dengan Tosari Gals yang terdiri dari Lanlan dan Nenek. 

Betapa sempurnanya perjalanan kali ini, tidak hanya karena destinasi yang menggugah naluri, tetapi juga karena teman perjalanan yang merupakan sahabat karib hati. Ahey!

Penerbangan  kami menuju Aceh kali ini bersama cabung besi milik Garuda. Betapa nyamannya melihat pramugari dan pramugara yang menyapa dengan mengucapkan salam, mengajak berdo’a ah tapi sayangnya tidak mengajak ke pelaminan #eaaaa

Sampai di Banda Aceh hampir tengah malam sekitar pukul 10, hal ini terjadi dikarenakan pesawat delay. Meski lelah, saya tetap mampu menikmati pemandangan malam hari di sini. Aceh, ah saya sudah terlalu senang. Kehabisan kata-kata.
Pernikahan Kak Fairuz

Hari pertama di sini dipenuhi dengan agenda pernikahan Kak Fairuz. Kami menginap di hotel Kuala Radja yang berada di pusat kota. Hari pertama kami mendapatkan wisata gratis ke Masjid bersejarah di Banda Aceh yakni Masjid Baiturrahman. Masjid raya yang tidak hanya indah, tetapi detail arsitekturnya membuat saya takjub. Tidak hanya bangunan masjid, tetapi juga taman dan ornamen-ornamen secara keseluruhan. Ah, saya memang mudah sekali jatuh cinta!
Kami di Pantai Lampuuk

Setelah mengikuti prosesi pernikahan Kak Fai, kami ( Tosari Gals) ditemani oleh seorang teman yaitu Bang Alan, “pamit” untuk mengexplore kota Banda Aceh. Berawal dari Museum Tsunami, Museum Kapal PLTD Apung, Pantai Pasir Putih Lampuuk yang begitu menyejukan mata. Ah, Aceh mmebuat saya jatuh cinta berulang kali, pada alamnya :D

Tidak hanya itu, tetapi juga kuliner yang disediakan. Cita rasa yang sempurna, lengkap dengan rempah-rempah yang pekat dan juga lezat. Tidak hanya mie aceh, tetapi juga ayam tangkap, kue cane dan aneka makanan yang lain. Saat di Aceh, lupakan diet, lupakan program pelangsingan atau apapun namanya, karena makanan Aceh terlalu sayang untuk dilewatkan!

***
Keesokan harinya kami bersiap-siap menuju pulau Sabang. Salah satu pulau yang menyediakan keindahan alam yang tidak hanya mengindahkan pandangan, tetapi juga memberikan ketenangan karena pantai-pantai di sana menyediakan “ruang” untuk kita mendapatkan ketenangan.

Pagi hari yang sudah diisi dengan semangat menjelajah. Hari ini kami tidak hanya bertiga, tetapi berempat bersama Luwi. Bule asal Kanada yang merupakan teman Kak Fairuz dan teman kami juga tentunya.
Dari hotel menuju pelabuhan Ule Lheu kami diantar oleh beberapa teman yang memang tinggal di sini, Bang Idus dan Bang Ilham. Hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di pelabuhan. Dan ya, dihadapan kami sudah nampak pintu masuk ke dermaga. Rasa senang di dalam hati..*abaikan*
Di pelabuhan Ule Lheu
Sabang, salah satu destinasi impian yang sudah menjadi kenyataan.

Berangkat menuju Sabang sekitar pukul 09.30 WIB, perjalanan laut hanya sekitar 45 menit, menggunakan kapal cepat VIP dengan harga tiket Rp. 100.000. 45 menit di dalam kapal kecil tentu saja sedikit mengguncang isi perut, untungnya kami bisa pura-pura tertidur.

Kini sudah nampak di hadapan kami pelabuhan Balohan. Pelabuhan yang kecil tetapi cukup ramai. Dipenuhi dengan kendaraan roda dua dan kerumunan laki-laki dewasa yang sudah siap untuk menawarkan jasa menjadi guide pun menawarkan penyewaan kendaraan untuk berkeliling di Sabang.Kami memilih untuk menyewa motor, 2 motor yang kami sewa hanya dengan satu lembar lima puluh ribu rupiah. 

Maka kehebohan dan jiwa 'pembalap' pun muncul seketika. Saya membonceng Nenek sementara Luwi membonceng Lanlan. Kami blusukan bertanya kesana kemari agar tidak salah jalan. Mengingat perjalanan kami hanya satu hari. 

Sungguh mudah sekali bisa berbahagia hari itu!


Sekitar 1,5 - 2 jam kami berkendara, sebelum akhirnya kami sampai di tugu titik nol kilometer, Sabang. Meski masih dalam proses renovasi, kami masih berkesempatan untuk mengabadikan gambar bersama di sini. Tidak lupa kami melihat-lihat pemandangan di sekitar. Laut lepas, tenang, biru dan penuh kedamaian. 

Selanjutnya kami memutar arah, mengexplore pantai sepanjang jalan. Banyak sekali pantai yang masih begitu polos tanpa banyak riasan. Kami menikmatinya barang lima sampai sepuluh menit. Sebab roadshow kami harus tetap berjalan. Kami menyusuri sepanjang jalan. Beberapa kali berhenti di random spot untuk sekadar mengambil gambar. tidak terhitung ada berapa banyak pantai yang kami kunjungi hanya sekadar say hi. Mungkin ini sebuah pertanda bahwa suatu saat harus kembali ke sini, menikmatinya dengan tenang.

Sore hari kami kembali ke Banda Aceh. Kemudian menikmati waktu yang tersisa dengan berkeliling di kota Banda Aceh sambil mencari buah tangan khas Aceh. 

Aceh memang salah satu destinasi yang suatu hari harus saya ulang. Sebab masih sangat banyak pantai dan tempat-tempat wonderful yang belum saya datangi. Apalagi under water di sana! argh, someday! Maafkan saya karena pada perjalanan kali ini tidak banyak foto stunning yang bisa saya tangkap. Selain karena begitu menikmati, satu hari sungguh tidak cukup untuk sekadar hunting gambar. Maka dengan tegas saya mengatakan, Yuk ke Aceh!



See you again, Aceh! be nice please :)


 

Share this:

0 komentar :