Sepotong Senja dari Sorong, Papua Barat

Awan itu seperti kamu, yang selalu membuat aku ingin terus terbang, jauh lebih tinggi lagi
Kali ini perjalanan dinas membawa saya menuju Ibukota dari Papua Barat, Sorong. Penerbangan dari Jayapura pukul 09.10 WIT jika sesuai jadwal, sayangnya borading hampir pukul 09.35 WIT. Penerbangan kali ini bersama Nam Air, cukup nyaman untuk berada di awan kurang lebih 1,5 jam.

Saat menulis ini, saya masih di pesawat. Menikmati pemandangan dari jendela yang begitu menyejukan mata. Hamparan awan putih yang tersusun rapi, berlapis-lapis, bergerak dengan kesesuaian.

Mata saya menyapu seluruh pemandangan yang terjangkau. Indah, Maha Suci Allah dengan segala keindahanNya.

Sedikit turbulensi cukup menyadarkan lamunan saya. Betapa hidup memang harus dijalankan dengan kesadaran yang maksimal. Karena dengan begitu maka kita akan semakin paham bagaimana harus membuat hidup menjadi tidak sia-sia. 

Tiga hari bekerja, definisi bekerja yang menurut saya sangat menyenangkan. Betapa tidak, pekerjaan saya membawa saya bertemu dengan kelompok belajar yang peduli terhadap pendidikan Suku Kokoda, salah satu suku asli di tanah Papua Barat ini. Hari pertama saya bertemu dengan mereka, membincangkan banyak hal, mulai dari A hingga a lagi. Saya belajar banyak dari mereka semua, bagaimana untuk tetap bertahan hidup tanpa mengabaikan nasib sesama. Bagaimana memulai sebuah cita-cita yang mulia melalui hal-hal kecil bagi kita namun bisa jadi hal besar dan berharga bagi orang lain. Maka dalam kehidupan ini, sudah pantaslah kita tidak hanya melihat satu sudut pandang. Perkayalah!

Hari kedua, saya langsung ke pemukiman Suku Kokoda. Terdapat sekitar 13 bangunan rumah panggung yang terbuat dari kayu, rumah seadanya, dengan genangan air di bawah rumah dan beberapa lapisan sampah plastik yang tidak mungkin terurai. 13 rumah yang satu rumah mungkin menampung 3-4 kepala keluarga. Saya tersenyum meski dalam hati menangis, bagaimana bisa mereka hidup seperti ini selama ini?

Tidak berlama-lama bermelankolis, karena dihadapan saya ada puluhan anak yang menyambut dengan penuh suka cita. Saya begitu malu datang ke sini dengan penampilan yang begitu rapih. Harusnya saya bisa sedikit lebih santai dengan menggunakn jeans dan kaos oblong tanpa menginggalkan daypack dan topi kesayangan. Tetapi apalah daya, saya terpaksa tetap bermain dengan mereka lengkap dengan pakaian kerja yang menurut saya "enggak banget"!


Anak-anak ini, saya belum mengerti hingga saat ini. Bagaimana mereka bisa tetap nyaman menjalani hari sementara cairan yang keluar dari hidung mereka tidak juga berhenti? Bagaimana mereka bisa bermain di halaman yang penuh dengan air bewarna cokelat. Lalu bagaimana pertumbuhan mereka selanjutnya? Saya tidak berani membayangkan jika melihat kondisi mereka yang bisa dibilang kurus, perut buncit, dan ya seperti yang kita ketahui pada umumnya.
Dan yang lebih membuat hati saya perih ketika mereka saya ajak bernyanyi dan belajar bahasa, mereka hanya merespon seadanya atau merespon dengan respon yang tidak sesuai. Pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa keputusan untuk membina komplek ini cukup tepat, asal mampu memberdayakan mereka dan meningkatkan daya ungkit mereka. Tidak dengan memberikan bantuan materi secara langsung. Jangan!

Hidup memang selalu memiliki rupa, beragam, tidak berbatas dan tidak sama..

Setelah dua hari bersama kelompok belajar dan suku Kokoda, maka hari selanjutnya saya menghabiskannya dengan meeting bersama calon partner. Seperti Jayapura, Kota Sorong sudah cukup maju. Selama saya berada di sana, saya sempat bertanya di dalam hati " Ini Jawa kah Papua?" . Pertanyaan tersebut naik ke permukaan begitu saja, karena sepanjang mata memandang, yang saya temui bukanlah orang Papua dalam arti sebenarnya, tetapi masyarakat transmigrasi yang sudah menahun di sini. 

Salah satunya adalah lawan bicara saya kali ini. Mereka akademisi yang sudah cukup lama membangun peradaban di Sorong. Tidak hanya di bidang pendidikan  tetapi juga kesehatan dan kehidupan sosial. Sekitar 2-3 jam berdiskusi dengan mereka membuat saya kembali belajar, bagaimana menjadi seseorang yang menyenangkan namun tetap sopan dalam nilai. Bagaimana menjadi seseorang yang pandai dan cakap demi kemajuan umat. Lelucon kadang menjadi kata kunci dalam sebuah kesuksesan. Karena dengan lelucon, singan pun bisa jadi tertawa terbahak-bahak, asal singanya mengerti saja :p 

Dan selanjutnya hari terakhir, di mana saya menghabiskan waktu bersama seorang teman wartawan, seseorang yang menyenangkan dan cukup easy going.  Kami menyusuri beberapa pantai, bermain ke pulau terdekat yang hanya ditempuh dalam beberapa menit, dan akhirnya menikmati senja di pelabuhan kecil milik kepolisian setempat. Ada satu pantai yang begitu tenang, meski suhu menunjukan angka 34 derajat celcius, namun angin yang datang dan pergi meninggalkan kesejukan. Saya jarang sekali bisa menikmati waktu seperti ini, duduk santai, kepala mengadah ke arah langit, menikmati suara ombak dan lembutnya pasir putih. Meski memiliki teman pasa siang itu, namun saya mampu memberikan waktu untuk diri sendiri. Betapa nikmatnya berjalan menuju ke dalam diri, ia teramat dekat, namun kadang menjadi perjalanan yang melelahkan. 


Lagi-lagi saya harus mengakui bahwa hidup akan terasa sangat menyenangkan dan membahagiakan ketika kita tetap on the trackNya dan tidak lupa bersyukur!

Bisa jadi senja akan terlihat berbeda, namun satu yang akan tetap sama; rasa


See more picture on my instagram @Fenymariantika

Share this:

0 komentar :